Tampilkan postingan dengan label Kitab Dhammapada. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kitab Dhammapada. Tampilkan semua postingan

Kamis, 23 Agustus 2007

Bab 5

ORANG BODOH [bala vagga]


(1) Kisah Seorang Pemuda
(2) Kisah Murid
yang Tinggal Bersama Mahakassapa Thera

(3) Kisah Ananda, Seorang Hartawan
(4) Kisah Dua Orang Pencopet
(5) Kisah Udayi Thera
(6) Kisah Tiga Puluh Bhikkhu dari Paveyyaka
(7) Kisah Suppabuddha, Penderita Kusta
(8) Kisah Seorang Petani
(9) Kisah Sumana, Penjual Bunga
(10) Kisah Uppalavanna Theri
(11) Kisah Jambuka Thera
(12) Kisah Ahipeta
(13) Kisah Satthikutapeta
(14) Kisah Citta, Seorang Perumah Tangga
(15) Kisah Samanera Tissa Yang Berdiam di Hutan

Kembali ke daftar Bab di Dhammapada


Syair 60
(1) Kisah Seorang Pemuda

Suatu hari Raja Pasenadi dari Kosala sedang berjalan-jalan di kota. Secara tidak sengaja beliau melihat seorang wanita muda berdiri dekat jendela rumahnya dan beliau langsung jatuh cinta. Raja mencoba untuk menemukan berbagai cara dan kesempatan untuk mendapatkannya. Setelah mengetahui bahwa wanita muda itu telah menikah, Raja memanggil suami wanita muda tersebut dan dijadikan pelayan di istana.

Suatu ketika raja memerintahkan suami wanita muda itu untuk melakukan suatu pekerjaan yang sangat sulit. Pemuda itu diperintahkan untuk pergi ke suatu tempat, satu yojana (dua belas mil) jauhnya dari Savatthi, serta membawa pulang beberapa bunga teratai Kumuda dan sedikit tanah merah yang dikenal dengan nama Arunavati, tanahnya Naga, dan kembali ke Savatthi pada sore yang sama, pada waktu raja mandi.

Tujuan raja adalah untuk membunuh suami wanita muda tersebut jika ia gagal kembali pada waktu yang telah ditentukan, dan mengambil wanita muda itu sebagai istrinya.

Pemuda itu mengambil ransum makanan dari istrinya dengan tergesa-gesa, dan segera berangkat untuk melaksanakan perintah raja. Di perjalanan, pemuda itu membagi bekal makanannya kepada seorang pengembara. Dia juga melemparkan sedikit nasi ke dalam air dan berteriak: "O, makhluk-makhluk penjaga dan naga-naga penghuni sungai ini ! Raja Pasenadi telah menyuruhku untuk mengambil beberapa bunga teratai Kumuda dan tanah merah Arunavati untuk beliau. Hari ini aku telah membagi makananku dengan seorang pengembara; aku juga memberi makanan buat ikan-ikan di sungai; sekarang aku juga membagi manfaat perbuatan baikku yang telah aku lakukan hari ini denganmu. Berilah aku bunga teratai Kumuda dan tanah merah Arunavati." Raja Naga mendengarnya. Dengan menyamar sebagai orang tua memberikan bunga teratai dan tanah merah yang diharapkan.

Sore hari Raja Pasenadi yang cemas seandainya pemuda tersebut datang kembali tepat pada waktunya telah memerintahkan untuk menutup gerbang kota lebih awal. Setelah mengetahui bahwa pintu gerbang kota telah ditutup maka pemuda tadi meletakkan tanah merah pada dinding kota dan menempelinya dengan bunga teratai.

Kemudian dia menyatakan dengan keras: "O, para warga kota ! Jadilah saksiku ! Hari ini aku telah memenuhi tugasku tepat pada waktunya seperti yang telah diperintahkan oleh Raja. Raja Pasenadi, tanpa ada keadilan, merencanakan untuk membunuhku."

Setelah itu pemuda tadi menuju Vihara Jetavana untuk mencari perlindungan dan menghibur dirinya di tempat yang penuh kedamaian tersebut.

Di lain pihak Raja Pasenadi yang digoda oleh nafsu seksualnya, tidak dapat tidur, dan terus memikirkan bagaimana menyingkirkan suami wanita muda itu dan memperistrinya. Tengah malam beliau mendengar suara-suara aneh; yang sesungguhnya merupakan suara-suara yang menyayat hati dari empat makhluk menderita di alam Lohakumbhi Niraya. Sang Raja sangat ketakutan mendengar suara-suara yang mengerikan tersebut. Keesokan paginya Raja Pasenadi mengunjungi Sang Buddha, seperti yang disarankan oleh Ratu Mallika.

Kemudian Sang Buddha menjelaskan tentang empat suara yang didengar raja pada malam hari, beliau mengatakan bahwa suara-suara itu merupakan suara-suara empat makhluk, yang merupakan putra dari seorang hartawan yang hidup pada masa Buddha Kassapa, dan sekarang mereka menderta di Lohakumbhi Niraya sebab mereka telah melakukan perzinaan dengan istri-istri orang lain.

Raja akhirnya menyadari perbuatan buruk dan akibat yang akan diperoleh. Raja berjanji tidak akan menginginkan istri orang lain lagi. "Kejadian itu sama dengan nafsu keinginanku untuk memiliki istri orang lain yang membuatku tersiksa dan tidak dapat tidur," pikir beliau.

Kemudian Raja Pasenadi mengatakan kepada Sang Buddha, "Bhante, sekarang saya menyadari bagaimana lamanya malam untuk seseorang yang tidak dapat tidur." Pemuda tadi juga mengatakan,"Bhante, saya telah melakukan perjalanan penuh satu yojana kemarin, saya juga mengetahui bagaimana panjangnya satu yojana bagi seseorang yang lelah."

Sang Buddha kemudian membabarkan syair 60 dengan menggabungkan kedua pernyataan di atas seperti berikut ini :

Malam terasa panjang bagi orang yang berjaga, satu yojana terasa jauh bagi orang yang lelah; sungguh panjang siklus kehidupan bagi orang bodoh yang tak mengenal Ajaran Benar.

Pemuda tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Syair 61
(2) Kisah Murid yang Tinggal Bersama Mahakassapa Thera

Ketika Mahakassapa Thera bersemayam dekat Rajagaha, beliau tinggal bersama dua orang bhikkhu muda. Salah satu bhikkhu tersebut sangat hormat, patuh, dan taat kepada Mahakassapa Thera. Tetapi bhikkhu yang satu lagi tidak seperti itu. Ketika Mahakassapa Thera mencela kekurangtaatan melaksanakan tugas-tugas murid yang belakangan, murid tersebut sangat kecewa.

Pada suatu kesempatan, ia pergi ke salah satu rumah umat awam siswa Mahakassapa Thera, dan membohongi mereka bahwa Sang Thera sedang sakit. Ia mendapatkan beberapa makanan dari mereka untuk Mahakassapa Thera. Tetapi ia makan makanan tersebut di perjalanan. Ketika sang thera menasehati tentang kelakuannya itu, bhikkhu tersebut menjadi sangat marah.

Keesokan harinya ketika Mahakassapa Thera pergi keluar untuk berpindapatta, bhikkhu muda yang bodoh ini tidak ikut. Ia memecahkan tempat air dan kuali, serta membakar vihara.

Seorang bhikkhu dari Rajagaha menceriterakan peristiwa itu kepada Sang Buddha, Sang Buddha mengatakan lebih baik Mahakassapa Thera tinggal sendirian daripada tinggal bersama orang bodoh.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 61 berikut :

Apabila dalam pengembaraan seseorang tak menemukan sahabat yang lebih baik atau sebanding dengan dirinya, maka hendaklah ia tetap melanjutkan pengembaraannya seorang diri. Janganlah bergaul dengan orang bodoh.

Bhikkhu dari Rajagaha tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Syair 62
(3) Kisah Ananda, Seorang Hartawan

Tinggallah seorang hartawan yang sangat kaya bernama Ananda di Savatthi. Meskipun dia memiliki delapan crore, dia tidak mau memberikan sesuatu apapun untuk berdana. Kepada anaknya Mulasiri, dia sering mengatakan, "Jangan berpikir bahwa kekayaan yang kita miliki saat ini cukup banyak. Jangan berikan sesuatu apapun yang kau punyai, untukmu buatlah semakin bertambah. Jika tidak, kekayaanmu akan semakin berkurang."

Orang kaya ini memiliki lima guci berisi emas yang dikubur di dalam rumahnya dan ia meninggal dunia tanpa memberitahukan tempat penyimpanan guci itu kepada putranya.

Ananda, orang kaya yang telah meninggal tadi, dilahirkan kembali di sebuah perkampungan pengemis, tidak jauh dari Savatthi. Waktu ibunya sedang mengandung, penghasilan dan keberuntungan para pengemis menurun. Penduduk perkampungan itu berpikir bahwa ada seseorang yang tidak beruntung dan menyebabkan kesialan di antara mereka. Dengan membagi mereka ke dalam kelompok-kelompok, mereka mengambil kesimpulan bahwa pengemis wanita yang sedang mengandung itu mendatangkan kesialan bagi mereka.

Ia diusir keluar dari desa. Ketika anaknya lahir, anaknya sangat jelek dan menjijikkan. Jika pengemis wanita itu pergi mengemis sendirian ia akan memperoleh hasil seperti biasa, tetapi jika ia pergi bersama putranya ia tidak mendapatkan apa-apa. Maka, ketika putranya bertambah dewasa dan dapat berjalan sendiri, ibunya memasang tanda di tangannya dan kemudian meninggalkannya.

Ketika pengemis muda itu berkelana ke Savatthi, ia mengingat rumahnya dan kehidupannya yang lampau. Ia mengunjungi rumah tersebut. Anak-anak dari putranya, Mulasiri, melihatnya. Mereka sangat ketakutan melihat penampilannya yang buruk. Pelayan-pelayan kemudian memukulinya dan mendorongnya keluar rumah.

Sang Buddha yang sedang melakukan pindapatta melihat peristiwa itu dan meminta Y.A. Ananda untuk mengundang Mulasiri. Ketika Mulasiri datang, Sang Buddha memberitahukan bahwa pengemis muda tadi adalah ayahnya sendiri pada kehidupan yang lampau. Tetapi Mulasiri tidak mempercayainya.

Maka Sang Buddha menyuruh pengemis muda itu untuk menunjukkan di mana lima buah guci emas tersebut dikubur. Akhirnya Mulasiri menerima kenyataan yang ada dan sejak saat itu ia menjadi umat awam pengikut Sang Buddha.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 62 berikut :

"Anak-anak ini milikku, kekayaan ini milikku," demikianlah pikiran orang bodoh. Apabila dirinya sendiri sebenarnya bukan merupakan miliknya, bagaimana mungkin anak dan kekayaan itu menjadi miliknya?

Syair 63
(4) Kisah Dua Orang Pencopet

Suatu ketika dua orang pencopet bersama-sama dengan sekelompok umat awam pergi ke Vihara Jetavana. Di sana Sang Buddha sedang memberikan khotbah. Satu di antara mereka mendengarkan dengan penuh perhatian dan mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Tetapi pencopet satunya lagi tidak memperhatikan khotbah yang disampaikan karena ia hanya berpikir untuk mencuri sesuatu. Ia mengatur cara untuk mengambil sejumlah uang dari salah seorang umat.

Setelah khotbah berakhir mereka pulang dan memasak makan siangnya di rumah pencopet kedua, pencopet yang sudah mengatur cara untuk mengambil sejumlah uang tersebut. Istri dari pencopet kedua mencela pencopet pertama: "Kamu sangat tidak bijaksana, mengapa kamu tidak mempunyai sesuatu untuk dimasak di rumahmu."

Mendengar pernyataan tersebut, pencopet pertama berpikir,"Orang ini sangat bodoh, dia berpikir bahwa dia menjadi sangat bijaksana." Kemudian bersama-sama dengan keluarganya, ia menghadap Sang Buddha dan menceritakan apa yang telah terjadi pada dirinya.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 63 berikut :

Bila orang bodoh dapat menyadari kebodohannya, maka ia dapat dikatakan bijaksana; tetapi orang bodoh yang menganggap dirinya bijaksana, sesungguhnya dialah yang disebut orang bodoh.

Semua keluarga pencopet pertama tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Syair 64
(5) Kisah Udayi Thera

Udayi Thera sering mengunjungi, dan duduk di atas tempat duduk, di mana para thera terpelajar duduk pada waktu menyampaikan khotbah. Pada suatu kesempatan, beberapa bhikkhu tamu menyangka bahwa ia adalah seorang thera yang terpelajar, dan mereka mengajukan beberapa pertanyaan tentang lima kelompok unsur khandha. Udayi Thera tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, sebab beliau tidak mengerti sama sekali tentang Dhamma.

Para bhikkhu tamu sangat terkejut menemukan seseorang yang tinggal dalam satu vihara dengan Sang Buddha hanya mengetahui sedikit saja tentang khandha dan ayatana (dasar indria dan objek indria).

Kepada para bhikkhu tamu itu Sang Buddha menerangkan keadaan Udayi Thera dalam syair 64 berikut ini :

Orang bodoh, walaupun selama hidupnya bergaul dengan orang bijaksana, tetap tidak akan mengerti Dhamma, bagaikan sendok yang tidak dapat merasakan rasa sayur.

Syair 65
(6) Kisah Tiga Puluh Bhikkhu dari Paveyyaka

Suatu ketika, tiga puluh orang pemuda dari Paveyyaka bersenang-senang dengan seorang pelacur di hutan. Ketika mereka lengah, pelacur itu mencuri beberapa perhiasan dan melarikan diri.

Pemuda-pemuda tersebut mencari pelacur yang lari, di hutan mereka bertemu dengan Sang Buddha dalam perjalanan. Sang Buddha menyampaikan suatu khotbah kepada para pemuda tersebut dan mereka mencapai tingkat kesucian sotapatti. Mereka semuanya bergabung dengan Sang Buddha dan ikut ke Vihara Jetavana.

Ketika tinggal di vihara, mereka berlatih dengan sungguh-sungguh hidup sederhana atau melaksanakan latihan keras (dhutanga). Akhirnya ketika Sang Buddha menyampaikan ‘Anamatagga Sutta’ (Khotbah tentang Keberadaan Hidup yang Tak Terhitung), seluruh bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat.

Ketika bhikkhu-bhikkhu yang lain memberikan komentar bahwa bhikkhu-bhikkhu dari Paveyyaka sangat cepat mencapai tingkat kesucian Arahat, Sang Buddha menjawab dalam syair 65 berikut ini :

Walaupun hanya sesaat saja orang pandai bergaul dengan orang bijaksana, namun dengan segera ia akan dapat mengerti Dhamma, bagaikan lidah yang dapat merasakan rasa sayur.

Syair 66
(7) Kisah Suppabuddha, Penderita Kusta

Suppabuddha, penderita kusta, suatu ketika duduk di bagian belakang kumpulan orang dan mendengarkan dengan penuh perhatian khotbah yang disampaikan oleh Sang Buddha, mencapai tingkat kesucian sotapatti. Ketika kerumunan orang tersebut sudah membubarkan diri, ia mengikuti Sang Buddha ke vihara. Ia berharap dapat memberitahukan kepada Sang Buddha tentang pencapaiannya.

Sakka, raja para dewa, berkeinginan untuk menguji keyakinan orang kusta tersebut kepada Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha, menampakkan dirinya dan berkata:"Kamu hanya seoang miskin, hidup dari meminta-minta, tanpa seorang pun yang mendekati kamu. Saya dapat memberi kamu kekayaan yang sangat besar jika kamu mengingkari Buddha, Dhamma, dan Sangha dan katakan pula bahwa kamu tidak bermanfaat bagi mereka."

Suppabuddha menjawab,"Sesungguhnya saya bukanlah orang miskin, tanpa seorang pun yang percaya. Saya orang kaya; saya meyakini tujuh ciri yang dimiliki oleh para ariya; saya mempunyai keyakinan (saddha), kesusilaan (sila), malu berbuat jahat (hiri), takut akan akibat perbuatan jahat (ottappa), pengetahuan (suta), murah hati (caga), dan kebijaksanaan (panna)."

Kemudian Sakkha menghadap Sang Buddha mendahului Suppabuddha dan menceritakan percakapannya dengan Suppabuddha. Sang Buddha menjawab bahwa tidaklah mudah meskipun seratus atau seribu Sakka untuk membujuk Suppabuddha meninggalkan Buddha, Dhamma, dan Sangha.

Setelah Suppabuddha sampai di vihara, ia melapor kepada Sang Buddha bahwa ia telah mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Dalam perjalanan pulangnya dari Vihara Jetavana, Suppabuddha mati berlumuran darah diseruduk seekor sapi yang sedang marah, yang sesungguhnya adalah satu raksasa yang menyamar sebagai seekor sapi. Raksasa ini tidak lain adalah pelacur yang dibunuh oleh Suppabuddha pada kehidupannya yang lampau dan yang telah memenuhi keinginannya untuk membalas dendam.

Ketika berita kematian Suppabuddha sampai di Vihara Jetavana, para bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha, di mana Suppabuddha dilahirkan kembali dan Sang Buddha menjawab bahwa Suppabuddha dilahirkan kembali di alam dewa Tavatimsa. Sang Buddha juga menerangkan kepada para bhikkhu bahwa Suppabuddha dilahirkan sebagai seorang kusta karena pada salah satu kelahirannya yang lampau, ia pernah meludahi seorang Paccekabuddha.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 66 berikut :

Orang bodoh yang dangkal pengetahuannya memperlakukan diri sendiri seperti musuh; ia melakukan perbuatan jahat yang akan menghasilkan buah yang pahit.

Syair 67
(8) Kisah Seorang Petani

Suatu hari beberapa pencuri setelah mencuri benda-benda berharga dan sejumlah uang dari rumah orang kaya melarikan diri ke suatu ladang. Di sana mereka membagi hasil curian dan berlari berpisah. Tetapi sebuah bungkusan yang berisi uang yang berjumlah banyak terjatuh dari tangan salah seorang pencuri, dan tertinggal di belakang. Tidak ada yang memperhatikan.

Keesokan paginya Sang Buddha yang sedang mengamati dunia dengan penglihatan supranaturalnya, melihat bahwa ada seorang petani sedang bekerja dekat ladang tersebut, akan mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Segera Sang Buddha pergi ke sana, ditemani oleh Y.A. Ananda. Petani tersebut ketika melihat Sang Buddha memberi hormat, kemudian melanjutkan kembali membajak sawah.

Sang Buddha melihat bungkusan uang tersebut dan berkata,"Ananda, lihatlah seekor ular yang sangat berbisa." Ananda menjawab, "Ya, Bhante, itu benar-benar seekor ular yang sangat berbisa!" Kemudian Sang Buddha dan Ananda melanjutkan perjalanannya.

Petani itu mendengarkan percakapan tersebut di atas, ia pergi mencari apakah benar ada seekor ular, dan menemukan bungkusan yang berisi uang. Ia mengambil bungkusan itu dan menyembunyikannya di suatu tempat.

Pemilik barang yang dicuri datang ke ladang mencari jejak para pencuri. Ia menemukan jejak kaki petani, kemudian ia menemukan bungkusan uang. Ia menangkap petani itu dengan dakwaan sebagai pencuri dan menghadapkannya kepada raja.

Raja memerintahkan orang kaya itu untuk membunuh petani. Ketika dibawa ke pemakaman, tempat petani akan dibunuh, petani itu mengulang kalimat: "Ananda, lihatlah ada seekor ular yang sangat berbisa. Bhante, saya melihat ular; sungguh-sungguh seekor ular yang sangat berbisa!"

Ketika pegawai Raja mendengar percakapan antara Sang Buddha dan Ananda diulang-ulang selama dalam perjalanan, mereka kebingungan, dan membawanya menghadap Raja. Raja menyangka bahwa petani itu memanggil Sang Buddha untuk dijadikan saksi; beliau kemudian meminta kehadiran Sang Buddha.

Setelah mendengar segala keterangan apa yang terjadi pagi hari itu dari Sang Buddha, raja mengatakan, "Apabila ia tidak dapat memanggil Sang Buddha sebagai saksi yang menyatakan ia tidak bersalah, orang ini akan dibunuh."

Kepada petani itu, Sang Buddha berkata,"Orang bijaksana seharusnya tidak melakukan sesuatu yang akan membuatnya menyesal setelah melakukannya."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 67 berikut :

Bilamana suatu perbuatan setelah selesai dilakukan membuat seseorang menyesal, maka perbuatan itu tidak baik. Orang itu akan menerima akibat perbuatannya dengan ratap tangis dan wajah yang berlinang air mata.

Petani tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Syair 68
(9) Kisah Sumana, Penjual Bunga

Seorang penjual bunga, bernama Sumana, harus mengirimkan bunga melati kepada Raja Bimbisara dari Rajagaha setiap pagi. Suatu hari, ketika ia akan pergi ke istana, ia melihat Sang Buddha, dengan pancaran sinar aura sangat terang, datang ke kota untuk berpindapatta dengan diikuti oleh beberapa bhikkhu.

Melihat Sang Buddha yang sangat agung, penjual bunga Sumana sangat ingin mendanakan bunganya kepada Sang Buddha, pada saat itu dan di tempat itu pula. Ia memutuskan, meskipun raja akan mengusirnya dari kota atau membunuhnya, ia tidak akan memberikan bunganya kepada raja pada hari itu.

Kemudian ia melemparkan bunganya ke samping, ke belakang, ke atas dan di atas kepala Sang Buddha. Bunga-bunga itu menggantung di udara; di atas kepala Sang Buddha membentuk seperti payung dari bunga-bunga. Di belakang dan di sisi-sisi Beliau membentuk seperti dinding. Bunga-bunga ini terus mengikuti Sang Buddha kemana saja Beliau berjalan, dan ikut berhenti ketika Beliau berhenti.

Ketika Sang Buddha berjalan, dikelilingi oleh dinding-dinding dari bunga, dan dipayungi oleh bunga, dengan enam sinar yang memancar dari tubuhnya, diikuti oleh kelompok besar, ribuan orang dari dalam maupun dari luar kota Rajagaha. Mereka keluar dari rumahnya dan memberi hormat kepada Sang Buddha. Bagi Sumana sendiri, seluruh tubuhnya diliputi dengan kegiuran batin (piti).

Istri Sumana kemudian menghadap raja dan berkata bahwa ia tidak ikut campur dalam kesalahan suaminya, karena suaminya tidak mengirim bunga kepada raja hari ini. Raja yang telah mencapai tingkat kesucian sotapanna, merasa sangat berbahagia. Ia keluar istana untuk melihat pemandangan yang indah itu dan memberikan hormat kepada Sang Buddha.

Raja juga mengambil kesempatan untuk memberikan dana makanan kepada Sang Buddha dan murid-muridnya. Setelah makan siang, Sang Buddha kembali ke Vihara Jetavana dan raja mengikutinya sampai beberapa jauh.

Dalam perjalanan pulang raja memanggil Sumana dan memberikan penghargaan kepadanya yang berupa delapan ekor gajah, delapan ekor kuda, delapan orang budak laki-laki, delapan orang budak wanita, delapan orang anak gadis, dan uang delapan ribu.

Di Vihara Jetavana, Y.A. Ananda bertanya kepada Sang Buddha apa manfaat yang akan diperoleh Sumana dari perbuatan baik yang telah dilakukannya pada pagi hari itu. Sang Buddha menjawab bahwa Sumana, yang telah memberikan dana kepada Sang Buddha tanpa memikirkan hidupnya, tidak akan dilahirkan di empat alam yang menyedihkan (Apaya) untuk beratus-ratus ribu kehidupan yang akan datang. Dan ia akan menjadi seorang Paccekabuddha. Setelah itu, Sang Buddha memasuki Gandhakuti, dan bunga-bunga itu jatuh dengan sendirinya.

Malam harinya, pada akhir khotbah Sang Buddha membabarkan syair 68 berikut ini :

Bila suatu perbuatan setelah selesai dilakukan tidak membuat seseorang menyesal, maka perbuatan itu adalah baik. Orang itu akan menerima buah perbuatannya dengan hati gembira dan puas.

Syair 69
(10) Kisah Uppalavanna Theri

[Kisah ini mempunyai kelanjutan dengan Bab 26, syair 401]

Ada seorang putri hartawan di Savatthi yang sangat cantik, dengan wajah yang sangat lembut dan manis, seperti bunga teratai biru. Ia diberi nama "Uppalavanna", teratai biru. Kecantikannya tersohor sampai ke mana-mana, dan banyak pemuda yang ingin melamarnya. Pangeran, orang kaya dan yang lainnya. Tetapi ia memutuskan bahwa lebih baik dia menjadi seorang bhikkhuni, murid wanita Sang Buddha yang hidup tidak berkeluarga.

Suatu hari setelah menyalakan sebuah lampu, dia memusatkan pikirannya pada nyala lampu, dan bermeditasi dengan obyek api, beliau segera mencapai pandangan terang magga dan akhirnya mencapai tingkat kesucian arahat.

Beberapa waktu kemudian ia pindah ke ‘Hutan Gelap’ (Andhavana) dan hidup dalam kesunyian. Ketika Uppalavanna sedang keluar untuk menerima dana makanan, Nanda, putra dari pamannya, datang mengunjungi vihara tempat ia tinggal dan memukul-mukulkan dirinya ke bawah tempat duduk Uppalavanna.

Nanda telah jatuh cinta kepada Uppalavanna sebelum ia menjadi seorang bhikkhuni; dan sangat ingin memilikinya dengan paksa. Ketika Uppalavanna datang, ia melihat Nanda dan berkata,"Kamu bodoh! Jangan menyakiti dirimu sendiri. Jangan menganiaya dirimu sendiri." Tetapi Nanda tidak mau berhenti. Setelah puas menyakiti dirinya, Nanda meninggalkan Uppalavanna.

Segera setelah ia melangkahkan kakinya ke tanah, tanah itu langsung membelah dan ia masuk ke dalamnya, akibat dari perbuatannya mengganggu orang suci.

Mendengar hal itu Sang Buddha membabarkan syair 69 berikut ini:

Selama buah dari suatu perbuatan jahat belum masak, maka orang bodoh akan menganggapnya manis seperti madu; tetapi apabila buah perbuatan itu telah masak, maka ia akan merasakan pahitnya penderitaan.

Beberapa orang mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Sang Buddha selanjutnya mengundang Raja Pasenadi dari Kosala dan berkata kepada beliau tentang bahayanya seorang bhikkhuni tinggal di hutan menghadapi orang-orang tidak bertanggung jawab yang dibutakan oleh nafsu seksualnya. Sang Raja berjanji hanya akan membangun vihara-vihara untuk para bhikkhuni di kota-kota atau dekat dengan kota.

Syair 70
(11) Kisah Jambuka Thera

Jambuka adalah putra seorang hartawan di Savatthi. Berkaitan dengan perbuatan buruk yang dilakukannya di masa lampau ia harus dilahirkan dengan kelakuan yang sangat aneh.

Ketika masih anak-anak, ia tidur di lantai tanpa alas kasur, dan memakan kotorannya sendiri sebagai ganti nasi. Ketika ia bertambah dewasa, orang tuanya mengirim kepada Ajivaka, pertapa telanjang. Ketika pertapa itu mengetahui kebiasaan makannya yang aneh, mereka mengirim Jambuka pulang ke rumah. Setiap malam ia makan kotoran manusia. Setiap hari berdiri dengan satu kaki, dan membiarkan mulutnya terbuka.

Ia selalu mengatakan bahwa ia membiarkan mulutnya terbuka sebab ia hidup dari udara dan ia berdiri dengan satu kaki sebab akan memberatkan bumi untuk mengangkatnya. "Saya tidak pernah duduk, saya tidak pernah tidur," ia berbangga diri, dan oleh karena itu ia dikenal dengan nama Jambuka, orang congkak.

Beberapa orang mempercayainya dan beberapa orang mau datang kepadanya untuk berdana makanan. Jambuka akan menolak dan berkata, "Saya tidak menerima makanan selain udara." Ketika dipaksa, dia menerima sedikit dana makanan tersebut, kemudian ia akan memberikan segenggam rumput kusa kepada orang yang berdana makanan itu dan berkata: "Sekarang pergilah, semoga ini dapat memberikan kebahagiaan bagi anda."

Dengan cara ini, Jambuka hidup selama lima puluh lima tahun, telanjang, dan hanya makan kotoran manusia.

Suatu hari Sang Buddha melihat bahwa Jambuka akan mencapai tingkat kesucian arahat dengan segera. Maka suatu sore Sang Buddha pergi ke tempat tinggal Jambuka dan menanyakan di mana tempat bermalam.

Jambuka menunjukkan sebuah gua yang ada di gunung tidak jauh dari lempengan batu tempat tinggalnya.

Selama malam pertama, kedua, dan ketiga, dewa-dewa Catumaharajika, Sakka, dan Mahabrahma datang untuk memberikan penghormatan secara bergantian kepada Sang Buddha. Pada ketiga kesempatan tersebut, hutan itu terang benderang dan Jambuka menyaksikan ketiga cahaya tersebut.

Pagi harinya, ia mengunjungi Sang Buddha dan bertanya tentang cahaya tersebut.

Ketika diberitahu bahwa dewa-dewa, Sakka dan Mahabrahma datang memberikan hormat pada Sang Buddha, Jambuka sangat tertarik dan berkata kepada Sang Buddha: "Anda pasti benar-benar orang besar bagi para dewa, Sakka, dan Mahabrahma sehingga mereka datang dan memberikan hormat kepadamu. Tidak seperti saya, meskipun saya telah berlatih hidup sederhana selama 55 tahun, hidup dari udara dan berdiri dengan satu kaki, tidak satu dewa pun, tidak juga Sakka, Mahabrahma mengunjungiku."

Sang Buddha berkata kepadanya, "O, Jambuka! Kamu dapat menipu orang lain, tetapi kamu tidak dapat menipuKu. Saya tahu bahwa selama 55 tahun kamu telah makan kotoran dan tidur di tanah."

Lebih jauh Sang Buddha menerangkan kepadanya bagaimana kehidupannya yang lampau pada masa Buddha Kassapa, Jambuka telah menghalangi seorang thera untuk berkunjung ke rumah umat awam yang ingin berdana makanan dan bagaimana ia telah melemparkan semua makanan yang dikirimkan untuk thera tersebut. Karena kejahatannya itu Jambuka sekarang makan kotoran dan tidur di tanah. Mendengar penjelasan tersebut, Jambuka sangat terkejut dan menyesal telah berbuat jahat dan telah menipu orang lain.

Ia berlutut di hadapan Sang Buddha, dan Sang Buddha memberinya selembar kain untuk dikenakan. Sang Buddha memberikan khotbah; dan pada akhir khotbah, Jambuka mencapai tingkat kesucian arahat serta menjadi murid Sang Buddha.

Murid-murid Jambuka dari Anga dan Magadha datang dan mereka sangat terkejut melihat Jambuka bersama Sang Buddha. Jambuka menjelaskan kepada mereka bahwa ia telah menjadi murid Sang Buddha.

Kepada mereka Sang Buddha berkata meskipun guru mereka telah hidup dengan sederhana dengan makan makanan yang sangat sederhana, hal itu tidak bermanfaat walaupun seperenambelas bagian dari latihan dan perkembangannya saat ini.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 70 berikut :

Biarpun bulan demi bulan orang bodoh memakan makanannya dengan ujung rumput kusa, namun demikian ia tidak berharga seperenam belas bagian dari mereka yang telah mengerti Dhamma dengan baik.

Syair 71
(12) Kisah Ahipeta

Murid utama Sang Buddha, Maha Moggallana Thera sedang dalam perjalanan untuk menerima dana makanan bersama Lakkhana Thera di Rajagaha. Ketika melihat sesuatu, beliau tersenyum tetapi tidak mengatakan apa-apa.

Setelah tiba di vihara, Maha Moggallana Thera memberitahu Lakkhana Thera bahwa beliau tersenyum karena beliau melihat makhluk peta dengan kepala manusia dan bertubuh ular.

Sang Buddha berkata bahwa Beliau sendiri telah melihat makhluk peta pada saat Beliau mencapai Penerangan Sempurna. Sang Buddha juga menerangkan bahwa beberapa waktu yang lampau, ada seorang Paccekabuddha, yang dihormati oleh banyak orang. Orang-orang pergi ke vihara melewati suatu ladang. Pemilik ladang tersebut khawatir ladangnya akan rusak disebabkan oleh banyak orang lalu lalang pergi ke vihara, kemudian ia membakar vihara itu. Akibatnya Paccekabuddha harus berpindah ke tempat lain. Murid-murid Paccekabuddha menjadi sangat marah kepada pemilik ladang tersebut, mereka memukuli dan membunuhnya.

Pemilik ladang itu dilahirkan kembali di neraka Avici. Kelahirannya saat sekarang ini sebagai makhluk setan merupakan akibat dari perbuatan buruk yang telah ia lakukan pada masa lampau.

Pada akhir penjelasannya, Sang Buddha berkata,"Sebuah perbuatan buruk tidak langsung berbuah, tetapi akan selalu mengikuti pembuat kejahatan. Tidak ada yang dapat bebas dari akibat perbuatan jahat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 71 berikut :

Suatu perbuatan jahat yang telah dilakukan tidak segera menghasilkan buah, seperti air susu yang tidak langsung menjadi dadih; demikianlah perbuatan jahat itu membara mengikuti orang bodoh, seperti api yang ditutupi abu.

Syair 72
(13) Kisah Satthikutapeta

Murid utama Maha Moggallana melihat makhluk setan (Peta) yang sangat besar ketika sedang menerima dana makanan bersama Lakkhana Thera.

Berkenaan dengan hal ini, Sang Buddha menjelaskan bahwa makhluk itu bernama Satthikuta, pada salah satu kehidupannya yang lampau, adalah seorang yang sangat berbakat melempar batu. Pada suatu hari, dia minta izin dari gurunya untuk menguji ketrampilannya. Gurunya berkata agar tidak melempar seekor sapi, atau manusia, yang akan menyebabkan dia harus membayar kerugian kepada pemiliknya atau saudara-saudaranya. Tetapi disarankan untuk mencari sasaran yang tidak ada pemiliknya atau tidak dijaga.

Ketika melihat seorang Paccekabuddha, orang bodoh itu, berpikir bahwa Paccekabuddha, tidak mempunyai pemilik atau penjaga, adalah sasaran yang tepat. Maka dia melempar sebuah batu kepada Paccekabuddha yang sedang berpindapatta. Batu itu masuk ke dalam satu telinga Paccekabuddha dan keluar pada telinga satunya. Paccekabuddha itu meninggal dunia begitu sampai di vihara. Pelempar batu itu mati dibunuh oleh pengikut-pengikut Paccekabuddha, dan ia dilahirkan kembali di neraka Avici.

Setelah itu, dia dilahirkan kembali sebagai makhluk setan dan sejak itu dia mengalami akibat dari perbuatan buruk yang telah dilakukan, sebagai makhluk setan dengan kepala yang sangat besar dan selalu dipukul dengan palu yang membara.

Pada akhir penjelasan, Sang Buddha berkata,"Bagi orang bodoh, ketrampilan atau pengetahuan tidak ada gunanya; hanya akan membahayakan dirinya sendiri."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 72 berikut :

Orang bodoh mendapat pengetahuan dan kemashuran yang menuju kepada kehancuran. Pengetahuan dan kemashurannya itu akan menghancurkan semua perbuatan baiknya dan akan membelah kepalanya sendiri.

Syair 73 dan 74
(14) Kisah Citta, Seorang Perumah Tangga

Citta, seorang perumah tangga, suatu hari berjumpa dengan Mahanama Thera, salah seorang dari lima bhikkhu pertama (Pancavaggiya), yang sedang berpindapatta, dan mengundang thera tersebut ke rumahnya.

Di sana, ia mendanakan makanan kepada thera tersebut dan setelah mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh Mahanama Thera, Citta mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Kemudian, Citta membangun sebuah vihara di kebun mangganya. Di sana, ia memenuhi kebutuhan semua bhikkhu yang datang ke viharanya dan bhikkhu Suddhamma tinggal di tempat itu.

Suatu hari, dua orang murid utama Sang Buddha, Y.A. Sariputta dan Y.A. Maha Moggallana, datang ke vihara tersebut. Setelah mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh Y.A. Sariputta, Citta mencapai tingkat kesucian anagami.

Kemudian, ia mengundang dua murid utama Sang Buddha tersebut ke rumahnya untuk menerima dana makan esok hari. Ia juga mengundang bhikkhu Suddhamma, tetapi beliau menolak dengan marah dan berkata,"Kamu mengundangku setelah mengundang dua bhikkhu tersebut."

Citta mengundang kembali undangannya, tetapi undangan tersebut ditolak. Walaupun demikian, bhikkhu Sudhamma pergi ke rumah Citta pagi-pagi keesokan harinya. Ketika dipersilakan masuk, Sudhamma menolak dan berkata bahwa dia tidak akan duduk karena dia sedang berpindapatta.

Ketika dia melihat makanan yang didanakan kepada dua orang murid utama Sang Buddha, dia sangat iri dan tidak dapat menahan kemarahannya. Dia mencaci Citta dan berkata, "Aku tidak ingin tinggal lebih lama di viharamu!", dan meninggalkan rumah tersebut dengan penuh kemarahan.

Dari sana, dia mengunjungi Sang Buddha dan melaporkan segala yang telah terjadi. Kepadanya, Sang Buddha berkata,"Kamu telah menghina seorang umat awam yang berdana dengan penuh keyakinan dan kemurahan hati. Kamu lebih baik kembali ke sana dan mengakui kesalahanmu." Sudhamma melakukan apa yang telah dikatakan oleh Sang Buddha, tetapi Citta tidak menghiraukan; maka dia kembali menghadap Sang Buddha untuk kedua kalinya. Sang Buddha, mengetahui bahwa kesombongan Sudhamma telah berkurang pada waktu itu. Kemudian Beliau berkata, "Anakku, seorang bhikkhu yang baik seharusnya tidak mempunyai ikatan; seorang bhikkhu yang baik seharusnya tidak terikat dengan berkata, ‘ini adalah viharaku, ini tempatku, dan ini adalah muridku,’ dan sebagainya, dengan berpikir demikian keterikatan dan kesombongan akan bertambah."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 73 dan 74 berikut ini :

Seorang bhikkhu yang bodoh menginginkan ketenaran yang keliru, ingin menonjol di antara para bhikkhu, ingin berkuasa dalam vihara-vihara, dan ingin dihormati oleh semua keluarga.

"Biarlah umat awam dan para bhikkhu berpikir bahwa hal ini hanya dilakukan olehku; dalam semua pekerjaan besar atau kecil mereka menunjuk diriku," demikianlah ambisi bhikkhu yang bodoh itu; dan keinginan serta kesombongannya pun terus bertambah.

Setelah khotbah Dhamma itu berakhir, Sudhamma pergi ke rumah Citta, dan pada saat itu mereka dapat berdamai. Dalam waktu tidak beberapa lama, Sudhamma mencapai tingkat kesucian arahat.

Syair 75
(15) Kisah Samanera Tissa Yang Berdiam di Hutan

Tissa adalah seorang putra hartawan dari Savatthi. Ayahnya biasa memberi dana makanan kepada Murid Utama Sang Buddha, Sariputta Thera di rumahnya.

Ketika masih kecil Tissa sering berjumpa dengan Murid Utama pada setiap kesempatan. Pada umur 7 tahun ia menjadi seorang samanera di bawah bimbingan Sariputta Thera. Ketika ia tinggal di Vihara Jetavana, banyak teman dan saudara-saudaranya yang mengunjunginya, membawa pemberian/hadiah dan dana. Samanera berpikir bahwa kunjungan ini sangat menjemukan.

Setelah mempelajari salah satu obyek meditasi, ia pergi ke sebuah vihara yang terletak di dalam hutan. Setiap kali penduduk mendanakan sesuatu, Tissa hanya berkata " Semoga kamu berbahagia, bebas dari penderitaan," (Sukhita hotha, dukkha muccatha), dan kemudian ia berlalu.

Ketika tinggal di vihara dalam hutan, ia tekun dan rajin berlatih meditasi, dan pada akhir bulan ketiga ia mencapai tingkat kesucian arahat.

Setelah selesai masa vassa, Y.A. Sariputta ditemani oleh Y.A. Maha Moggallana dan beberapa orang bhikkhu senior datang mengunjungi Samananera Tissa, dengan seizin Sang Buddha.

Seluruh penduduk desa hadir untuk menyambut Y.A. Sariputta bersama rombongan 4.000 bhikkhu. Mereka juga memohon agar Y.A. Sariputta berkenan menyampaikan khotbah, tetapi murid utama tersebut meminta muridnya, Samanera Tissa, untuk menyampaikan khotbah kepada penduduk desa.

Para penduduk desa, berkata bahwa guru mereka, Samanera Tissa, hanya dapat berkata, "Semoga anda berbahagia, bebas dari penderitaan," dan mohon kepada Y.A. Sariputta untuk menugaskan bhikkhu yang lain.

Tetapi Y.A. Sariputta tetap meminta Samanera Tissa untuk memberikan khotbah Dhamma, dan berkata kepada Tissa, "Tissa, berkatalah kepada mereka tentang Dhamma dan tunjukkan kepada mereka bagaimana mencapai kebahagiaan dan bagaimana bebas dari penderitaan."

Untuk memenuhi permintaan gurunya, Samanera Tissa pergi ke tempat khusus untuk menyampaikan khotbah Dhamma. Ia menjelaskan kepada para penduduk desa, arti kelompok kehidupan (khandha), landasan indria dan obyek indria (ayatana), faktor-faktor menuju Penerangan/Pencerahan Sempurna (Bodhipakkhiya Dhamma), jalan menuju kesucian arahat dan nibbana, dan sebagainya. Akhirnya, ia menjelaskan,"Siapa saja yang mencapai tingkat kesucian arahat akan terbebas dari semua penderitaan dan mencapai ‘kedamaian sempurna’; sementara yang lainnya masih berputar-putar pada lingkaran tumimbal lahir (samsara)."

Y.A. Sariputta memuji Tissa telah menyampaikan khotbah Dhamma dengan baik.

Fajar mulai menyingsing ketika ia menyelesaikan uraiannya, dan seluruh penduduk desa sangat terpesona. Beberapa dari mereka terkejut karena Samanera Tissa memahami Dhamma dengan baik, tetapi mereka juga merasa tidak puas karena pada awalnya ia hanya sedikit mengajarkan Dhamma kepada mereka; sedangkan yang lain merasa bahagia mengetahui samanera tersebut sangat terpelajar dan merasa bahwa mereka sangat beruntung Samanera Tissa berada di antara mereka.

Sang Buddha, dengan kemampuan batin luar biasa-Nya, melihat dari Vihara Jetavana bahwa timbul dua kelompok penduduk desa, kemudian Beliau menampakkan diri; untuk menjernihkan kesalahpahaman yang ada.

Sang Buddha hadir ketika para penduduk desa sedang menyiapkan makanan untuk para bhikkhu. Maka, mereka mempunyai kesempatan untuk berdana makanan kepada Sang Buddha. Setelah bersantap, Sang Buddha berkata kepada para penduduk desa,"O umat awam, kamu semua sangat beruntung memiliki Samanera Tissa di antara kalian. Karena dengan kehadirannya di sini, Aku, murid-murid utama-Ku, bhikkhu-bhikkhu senior dan banyak bhikkhu lainnya saat ini hadir mengunjungi kalian." Kata-kata ini menyadarkan para penduduk desa bagaimana beruntungnya mereka bersama Samanera Tissa dan mereka sangat puas.

Sang Buddha kemudian menyampaikan khotbah kepada para penduduk desa dan para bhikkhu, dan pada akhirnya, beberapa dari mereka mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Selesai menyampaikan khotbah, Sang Buddha pulang kembali ke Vihara Jetavana. Sore harinya, para bhikkhu memuji Samanera Tissa di hadapan Sang Buddha, "Bhante, Samanera Tissa telah melakukan sesuatu yang tidak mudah; meskipun ia telah memperoleh pemberian dan dana dari orang-orang Savatthi, tetapi meninggalkannya dan pergi hidup sederhana di dalam hutan."

Kepada mereka Sang Buddha menjelaskan, "Para bhikkhu, seorang bhikkhu, apakah ia tinggal di desa ataupun di kota, seharusnya hidup tidak mengharapkan pemberian dan dana. Jika seorang bhikkhu meninggalkan semua keuntungan keduniawian dan rajin melaksanakan Dhamma, maka ia pasti akan mencapai tingkat kesucian arahat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 75 berikut :

Ada jalan lain menuju pada keuntungan duniawi, dan ada jalan lain yang menuju ke Nibbana. Setelah menyadari hal ini dengan jelas, hendaklah seseorang bhikkhu siswa Sang Buddha tidak bergembira dalam hal-hal duniawi, tetapi mengembangkan pembebasan diri.


Sumber: http://members.tripod.com/dhammacakka/dhammapada/dpb5.htm


Kembali ke daftar isi bab ini..
Kembali ke daftar Bab di Dhammapada

Bab 6

ORANG BIJAKSANA [pandita vagga]


(1) Kisah Bhikkhu Radha
(2) Kisah Bhikkhu Assaji dan Punabbasuka

(3) Kisah Channa Thera

(4) Kisah Mahakappina Thera

(5) Kisah Samanera Pandita

(6) Kisah Lakundaka Bhaddiya Thera

(7) Kisah Kanamata

(8) Kisah Lima Ratus Bhikkhu

(9) Kisah Bhikkhu Dhammika

(10) Kisah Pendengar-pendengar Dhamma

(11) Kisah Kunjungan Lima Ratus Bhikkhu

Kembali ke daftar Bab di Dhammapada


Syair 76

(1) Kisah Bhikkhu Radha

Radha adalah seorang brahmana miskin yang tinggal di vihara. Ia hanya melakukan sedikit pelayanan untuk para bhikkhu. Atas pelayanannya ia memperoleh makanan, pakaian dan kebutuhan lainnya. Tidak ada seorang pun yang mendorongnya menjadi seorang bhikkhu, meskipun ia mempunyai keinginan yang besar untuk menjadi bhikkhu.

Suatu hari, ketika hari menjelang pagi. Sang Buddha mengamati dunia dengan kemampuan batin luar biasa-Nya. Dilihat-Nya brahmana tua itu mempunyai kesempatan untuk mencapai tingkat kesucian arahat.

Paginya, Sang Buddha pergi menemui brahmin tua itu dan mengetahui bahwa para bhikkhu di vihara tersebut tidak menginginkan brahmin tua itu bergabung dalam pasamuan bhikkhu. Sang Buddha mengundang para bhikkhu dan bertanya,

"Apakah ada di antara para bhikkhu di sini yang mengingat hal baik yang pernah dilakukan oleh orang tua ini ?"

Atas pertanyaan ini Yang Ariya Sariputta menjawab

"Bhante, saya mengingat satu peristiwa ketika orang tua itu memberikan sesendok nasi kepada saya."

"Jika demikian," Sang Buddha berkata, "Tidakkah seharusnya kamu menolong dermawan itu untuk membebaskannya dari penderitaan hidup?"

Yang Ariya Sariputta setuju untuk menjadikan orang tua itu sebagai seorang bhikkhu dan kemudian menerima sebagaimana mestinya. Yang Ariya Sariputta membimbing bhikkhu tua itu dan bhikkhu tua itu mengikutinya dengan sungguh-sungguh. Dalam waktu beberapa hari, bhikkhu tua itu telah mencapai tingkat kesucian Arahat.

Ketika Sang Buddha datang untuk menemui para bhikkhu, mereka melaporkan bagaimana tekunnya bhikkhu tua itu mengikuti bimbingan Yang Ariya Sariputta. Kepada mereka, Sang Buddha menjawab bahwa para bhikkhu seharusnya mudah dibimbing seperti Radha dan tidak marah ketika mendapat celaan atas kesalahan atau kegagalannya.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 76 berikut ini :

Seandainya seseorang bertemu orang bijaksana yang mau menunjukkan dan memberitahukan kesalahan-kesalahannya seperti orang yang menunjukkan harta karun, hendaknya ia bergaul dengan orang bijaksana itu. Sungguh baik dan tidak tercela bergaul dengan orang yang bijaksana.

Syair 77

(2) Kisah Bhikkhu Assaji dan Punabbasuka

Bhikkhu Assaji dan Punabbasuka bersama dengan lima ratus orang muridnya tinggal di desa Kitagiri. Ketika bertempat tinggal di desa itu, mereka memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara menanam bunga dan pohon buah-buahan untuk kepentingan mereka. Jadi mereka melanggar peraturan dasar bagi kehidupan para bhikkhu.

Setelah Sang Buddha mendengar hal itu, Beliau mengirimkan dua orang siswa utama-Nya, Sariputta dan Maha Moggallana, untuk menghentikan perbuatan mereka yang tidak patut. Kepada kedua siswa utama-Nya Sang Buddha berkata,

"Katakan kepada para bhikkhu itu, jangan merusak keyakinan dan kemurahan hati umat awam dengan perbuatan yang tidak patut. Jika mereka tidak patuh, paksalah mereka untuk keluar dari vihara, jangan ragu-ragu untuk melakukan seperti apa yang telah saya katakan kepadamu. Hanya orang bodoh tidak menyukai orang yang memberikan nasehat baik dan melarang berbuat jahat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 77 berikut :

Biarlah ia memberi nasehat, petunjuk, dan melarang apa yang tidak baik, orang bijaksana akan dicintai oleh orang yang baik dan dijauhi oleh orang yang jahat.

Syair 78

(3) Kisah Channa Thera

Channa adalah pelayan yang menyertai Pangeran Siddhattha ketika beliau pergi meninggalkan istana dengan menunggang seekor kuda, dan ingin meninggalkan keduniawian. Ketika Sang Pangeran telah mencapai tingkat Ke-Buddha-an, Channa tetap mengikutinya dengan menjadi seorang bhikkhu. Sebagai seorang bhikkhu, ia sangat sombong dan suka bersikap main kuasa, hal itu disebabkan hubungannya yang dekat dengan Sang Buddha. Channa kerap berkata,

"Saya yang menemani Tuanku ketika Beliau meninggalkan istana dan menuju ke hutan. Pada waktu itu, saya satu-satunya teman Beliau, dan tiada yang lainnya. Tetapi sekarang, Sariputta dan Moggallana mengatakan bahwa mereka berdua adalah pemimpin dari para bhikkhu dan mempunyai kekuasaan untuk mengatur dan memerintah para bhikkhu !"

Ketika Sang Buddha mengundang dan memperingatkan perihal perilakunya itu, ia diam, tetapi kemudian terus-menerus mencela dua murid utama, Sariputta dan Moggallana.

Sampai tiga kali Sang Buddha memanggil dan memperingatkannya, tetapi ia tetap tidak berubah. Sekali lagi Sang Buddha memanggil Channa, dan berkata,

"Channa inilah dua murid utama yang mulia dan teman yang baik untukmu, kamu harus bergaul dengan mereka dan jalinlah hubungan yang baik dengan mereka."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 78 berikut ini :

Jangan bergaul dengan orang jahat, jangan bergaul dengan orang yang berbudi rendah; tetapi bergaullah dengan sahabat yang baik, bergaullah dengan orang yang berbudi luhur.

Walau telah diperingatkan beberapa kali dan nasehat-nasehat juga telah diberikan oleh Sang Buddha, Channa tetap melakukan hal yang disukainya dan terus berkata-kata yang tidak baik terhadap bhikkhu-bhikkhu tersebut.

Sebenarnya, Sang Buddha mengetahui hal ini dan Beliau berkata bahwa Channa tidak akan berubah selama Sang Buddha masih hidup. Tetapi setelah Sang Buddha mangkat (parinibbana), Channa pasti berubah. Pada malam sebelum mangkat (parinibbana), Sang Buddha memanggil Ananda Thera ke samping tempat berbaring Beliau dan memerintahkan Ananda Thera agar menjatuhkan hukuman Brahma (Brahmadanda) kepada Channa. Sebagai contoh, para bhikkhu tidak boleh menghiraukannya dan tidak melakukan pekerjaan apapun bersama Channa.

Setelah Sang Buddha mangkat (parinibbana), Channa mendengar hukuman yang diberikan oleh Ananda Thera. Ia merasakan penyesalan yang mendalam atas kesalahan-kesalahannya sehingga ia tidak sadarkan diri sebanyak 3 kali. Kemudian ia mengakui kesalahannya kepada para bhikkhu dan meminta maaf. Pada saat itu ia mengubah tingkah lakunya dan pandangannya. Ia juga patuh pada petunjuk mereka untuk praktek meditasi. Beberapa waktu kemudian Channa mencapai tingkat kesucian arahat.

Syair 79

(4) Kisah Mahakappina Thera

Mahakappina adalah Raja dari Kukkutavati. Ia mempunyai seorang permaisuri bernama Anoja. Ia juga memiliki seribu orang menteri yang membantu kelangsungan pemerintahan.

Suatu hari Raja bersama seribu orang menteri pergi ke taman. Di sana mereka bertemu dengan beberapa pedagang dari Savatthi. Mendengar tentang Buddha, Dhamma, dan Sangha dari para pedagang, Raja dan menteri-menterinya segera pergi ke Savatthi.

Pada hari itu, ketika Sang Buddha mengamati dunia dengan kemampuan batin luar biasa-Nya, Beliau melihat bahwa Mahakappina dan para menterinya sedang dalam perjalanan menuju Savatthi. Beliau juga mengetahui bahwa mereka dapat mencapai tingkat kesucian arahat.

Sang Buddha pergi ke suatu tempat yang jauhnya 120 yojana dari Savatthi untuk menemui mereka. Di bawah pohon Banyan di tepi sungai Candabhaga, Sang Buddha menunggu mereka.

Raja Mahakappina dan para menterinya datang ke tempat di mana Sang Buddha menunggu. Ketika mereka melihat Sang Buddha dengan enam warna terpancar dari tubuhnya, mereka mendekati Sang Buddha dan menghormat Beliau.

Sang Buddha kemudian memberikan khotbah kepada mereka. Setelah mendengarkan khotbah itu raja dan para menterinya mencapai tingkat kesucian sotapatti. Mereka memohon kepada Sang Buddha untuk diterima menjadi bhikkhu. Sang Buddha melihat masa lalu (kehidupan lalu) mereka, dan mengetahui bahwa mereka sudah pernah mempersembahkan jubah kuning pada kehidupan lampau. Beliau lalu berkata kepada mereka "Ehi bhikkhu", dan mereka semua menjadi bhikkhu.

Sementara itu, Permaisuri Anoja, mendengar tentang kepergian raja ke Savatthi, memanggil istri dari seribu orang menterinya dan bersama-sama mereka mengikuti jalan yang dilalui raja. Mereka juga sampai ke tempat di mana Sang Buddha sebelumnya menemui Raja Kukkutavati. Mereka menemui Sang Buddha yang memancarkan enam warna dan kemudian menghormat Beliau.

Pada saat itu Sang Buddha dengan kemampuan batin-Nya membuat raja dan para menterinya tidak dapat dilihat, sehingga istri-istri mereka tidak dapat melihat mereka. Oleh karena itu ratu bertanya di mana raja dan para menterinya berada. Sang Buddha berkata kepada ratu dan rombongannya untuk menunggu beberapa saat dan menyatakan tak lama lagi raja akan datang bersama para menterinya.

Kemudian Sang Buddha memberikan khotbah lain kepada mereka. Pada saat khotbah berakhir, raja dan para menterinya mencapai tingkat kesucian arahat. Ratu dan para istri menteri mencapai tingkat kesucian sotapatti. Setelah itu ratu dan rombongannya melihat bhikkhu yang baru saja ditahbiskan dan mengenali mereka bahwa mereka sebelumnya adalah suaminya.

Wanita-wanita itu kemudian memohon izin kepada Sang Buddha untuk diterima menjadi bhikkhuni; mereka langsung pergi ke Savatthi. Di sana mereka diterima menjadi bhikkhuni, dan tak lama kemudian mereka juga mencapai tingkat kesucian arahat. Kemudian Sang Buddha kembali ke Vihara Jetavana bersama seribu bhikkhu. Di Vihara Jetavana, Mahakappina ketika beristirahat sepanjang malam atau pada siang hari sering berkata,

"Oh, bahagia !" (Aho Sukham).

Para bhikkhu yang mendengarkan beliau mengucapkan kata-kata itu beberapa kali dalam sehari, melaporkan hal tersebut kepada Sang Buddha. Kepada mereka Sang Buddha menjawab

"Anakku Kappina telah merasakan bahagianya kehidupan dalam Dhamma dengan pikiran yang tenang; ia mengucapkan kata-kata itu sebagai ungkapan kegembiraan yang meluap-luap berkenaan dengan nibbana."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 79 berikut :

Ia yang mengenal Dhamma akan hidup berbahagia dengan pikiran yang tenang. Orang bijaksana selalu bergembira dalam ajaran yang dibabarkan oleh para Ariya.

Syair 80

(5) Kisah Samanera Pandita

Pandita adalah seorang putra orang kaya di Savatthi. Ia menjadi seorang samanera pada saat berusia tujuh tahun. Pada hari ke delapan setelah menjadi samanera, ia pergi mengikuti Sariputta Thera berpindapatta, ia melihat beberapa petani mengairi ladangnya dan bertanya kepada Y.A. Sariputta Thera,

"Dapatkah air yang tanpa kesadaran dibimbing ke tempat yang seseorang kehendaki ?"

Sang Thera menjawab,"Ya, air dapat dibimbing kemanapun yang dikehendaki seseorang."

Mereka kemudian melanjutkan perjalanan, samanera melihat beberapa pembuat anak panah memanasi panah mereka dengan api dan meluruskannya. Selanjutnya ia melewati beberapa tukang kayu sedang memotong, menggergaji, dan menghaluskan kayu untuk dibuat roda kereta.

Kemudian ia merenung,

"Jika air yang tidak memiliki kesadaran dapat diarahkan kemanapun yang seseorang inginkan, jika bambu yang bengkok yang tanpa kesadaran dapat diluruskan, dan jika kayu yang tanpa kesadaran dapat dibuat sesuatu yang berguna, mengapa saya tidak dapat menjinakkan pikiranku, melatih meditasi ketenangan dan pandangan terang."

Kemudian ia memohon izin kepada Y.A. Sariputta untuk kembali ke kamarnya di vihara. Di sana ia bersemangat dan rajin melatih meditasi, menggunakan tubuh jasmani sebagai objek perenungan. Sakka dan para dewa membantu pelaksanaan meditasinya dengan cara menjaga kesunyian suasana vihara dan sekitarnya. Sebelum waktu makan tiba, Samanera Pandita mencapai tingkat kesucian anagami.

Waktu itu Y.A. Sariputta membawakan makanan untuk samanera. Sang Buddha melihat dengan kemampuan batin luar biasa-Nya bahwa Samanera Pandita telah mencapai tingkat kesucian anagami, dan jika ia meneruskan melaksanakan meditasi maka tidak lama lagi mencapai tingkat kesucian arahat.

Kemudian Sang Buddha memutuskan untuk mencegah Sariputta memasuki kamar samanera. Sang Buddha berdiri di muka pintu kamar samanera dan mengajukan beberapa pertanyaan kepada Sariputta Thera.

Ketika percakapan berlangsung di tempat itu, samanera mencapai tingkat kesucian arahat. Jadi, samanera mencapai tingkat kesucian arahat pada hari ke delapan setelah ia menjadi samanera.

Berkenaan dengan hal itu, Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu di vihara,

"Ketika seseorang dengan sungguh-sungguh melaksanakan Dhamma; Sakka dan para dewa akan melindunginya dan menjadi pelindung. Saya sendiri mencegah Sariputta masuk di muka pintu kamar, sehingga Samanera Pandita tidak terganggu. Samanera setelah melihat petani mengairi ladangnya, pembuat anak panah meluruskan panah-panah mereka, dan tukang kayu membuat roda kereta, mengendalikan pikirannya dan melaksanakan Dhamma; ia sekarang telah menjadi seorang arahat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 80 berikut :

Pembuat saluran air mengalirkan air, tukang panah meluruskan anak panah, tukang kayu melengkungkan kayu; orang bijaksana mengendalikan dirinya.

Syair 81

(6) Kisah Lakundaka Bhaddiya Thera

Bhaddiya adalah seorang bhikkhu yang tinggal di Vihara Jetavana. Karena tubuhnya pendek maka ia dikenal dengan sebutan Lakundaka (pendek) oleh para bhikkhu lainnya. Lakundaka Bhaddiya mempunyai sifat yang sangat baik; meskipun bhikkhu-bhikkhu muda mengganggunya dengan memutar hidungnya atau telinganya atau menepuk kepalanya. Sangat sering mereka mengejek dengan mengatakan

"Paman, bagaimana keadaanmu ?"

Apakah kamu bahagia, atau, apakah kamu bosan dengan kehidupan sebagai seorang bhikkhu di sini?" dan lain sebagainya. Lakundaka Bhaddiya tidak pernah membalas dengan kemarahan atau mencaci mereka; bahkan dalam hati kecilnya pun ia tidak marah terhadap mereka.

Ketika berbicara mengenai kesabaran dari Lakundaka Bhaddiya, Sang Buddha bersabda,

"Seorang arahat tidak pernah terlena pengendalian dirinya, ia tidak punya keinginan untuk berkata kasar atau berpikir menyakiti orang lain. Ia laksana batu karang yang tak tergoyahkan, seorang arahat tidak tergoyahkan karena celaan ataupun pujian."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 81 berikut :

Bagaikan batu karang yang tak tergoncangkan oleh badai, demikian pula para bijaksana tidak akan terpengaruh oleh celaan maupun pujian.

Syair 82

(7) Kisah Kanamata

Kanamata adalah umat awam berbakti, murid Sang Buddha. Anaknya yang bernama Kana telah menikah dengan seorang pemuda dari desa lain. Suatu ketika Kana menjenguk ibunya untuk beberapa waktu, suaminya mengirim pesan agar ia segera pulang ke rumah. Ibunya berkata kepadanya untuk menunggu beberapa hari sebab ia ingin membuatkan daging manis (dendeng) untuk suami Kana.

Esoknya Kanamata membuat sejumlah dendeng, tetapi ketika empat bhikkhu berpindapatta di rumahnya, ia mendanakan sejumlah daging kepada mereka. Empat bhikkhu tersebut berkata kepada bhikkhu lainnya tentang persembahan dana makanan dari rumah Kanamata. Kanamata sebagai pengikut dan murid Sang Buddha mempersembahkan dendengnya kepada para bhikkhu yang datang satu per satu. Pada akhirnya tidak ada yang tersisa untuk Kana dan ia tidak dapat pulang ke rumahnya pada hari itu.

Hal yang sama terjadi pada dua hari berikutnya; ibunya membuat sejumlah dendeng, para bhikkhu datang berpindapatta di rumahnya, ia mempersembahkan dendengnya kepada para bhikkhu, sehingga tidak ada yang tersisa untuk dibawa pulang anaknya, dan anaknya tidak dapat pulang ke rumahnya.

Pada hari ketiga, suaminya mengirimkan pesan untuknya. Pesan yang merupakan suatu peringatan keras, jika ia tidak pulang ke rumah esok hari, maka suaminya akan menikah dengan wanita lain.

Tetapi pada esok harinya, Kana tetap tidak dapat pulang ke rumahnya sebab ibunya mempersembahkan semua dendengnya untuk para bhikkhu. Peringatan keras tadi menjadi kenyataan, suami Kana menikah dengan wanita lain.

Kana menjadi tidak senang terhadap para bhikkhu. Ia beranggapan bahwa mereka yang menjadi gara-gara suaminya menikah lagi. Seringkali ia mencaci maki para bhikkhu, sehingga para bhikkhu akhirnya menjauh dari rumah Kanamata.

Mendengar perihal Kana, Sang Buddha pergi ke rumah Kanamata. Di sana Kanamata mempersembahkan sejumlah bubur nasi. Setelah menyantap persembahan itu, Sang Buddha menemui Kana dan bertanya kepadanya,

"Apakah para bhikkhu menerima apa yang diberikan, atau yang tidak diberikan kepada mereka ?"

Kana menjawab bahwa para bhikkhu menerima apa yang diberikan kepada mereka, dan menambahkan bahwa, "Mereka tidak bersalah, saya yang salah."

Jadi ia mengakui kesalahannya dan kemudian memberi hormat kepada Sang Buddha.

Sang Buddha kemudian memberikan khotbah. Setelah mendengarkan khotbah itu, Kana mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Pada perjalanan pulang ke vihara, Sang Buddha bertemu dengan Raja Pasenadi dari Kosala. Beliau mengatakan perihal Kana dan sikapnya yang tidak baik terhadap para bhikkhu. Raja Pasenadi berkata kepada Sang Buddha agar dapat mengajarkan kebenaran (Dhamma) kepadanya. Sang Buddha menjawab,

"Ya, saya telah mengajarkan Dhamma kepadanya, dan saya juga telah membuat ia menjadi kaya dalam kehidupan mendatang."

Kemudian Raja Pasenadi berjanji kepada Sang Buddha untuk membuatnya kaya dalam kehidupan sekarang.

Raja mengirimkan orang-orangnya untuk menjemput Kana dengan tandu. Ketika Kana tiba di istana, raja mengumumkan kepada para menterinya,

"Siapa yang dapat memberi kesenangan hidup kepada anakku Kana, silakan merawatnya."

Salah seorang menteri dengan sukarela mengadopsi Kana sebagai anaknya, memberinya kekayaan dan berkata kepadanya,

"Kamu boleh memberikan dana sebanyak yang kamu suka."

Setiap hari Kana memberikan persembahan dana kepada para bhikkhu di empat pintu kota.

Ketika berkata tentang Kana dan kemurahan hatinya dalam memberikan dana, Sang Buddha bersabda,

"Para bhikkhu, pikiran Kana sebelumnya diselimuti kabut dan lumpur. Sekarang telah menjadi jernih dan tenang oleh kata-kata-Ku."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 82 berikut :

Bagaikan danau yang dalam, airnya jernih dan tenang, demikian pula batin para orang bijaksana menjadi tentram karena mendengarkan Dhamma.

Syair 83

(8) Kisah Lima Ratus Bhikkhu

Atas permintaan seorang brahmana dari Veranja, Sang Buddha pada suatu saat tinggal di Veranja bersama lima ratus orang bhikkhu. Ketika berada di Veranja sang brahmana lalai untuk memperhatikan kebutuhan hidup mereka. Penduduk Veranja yang kemudian menghadapi kelaparan, hanya dapat mempersembahkan sangat sedikit dana pada saat para bhikkhu berpindapatta.

Kendatipun mengalami penderitaan, para bhikkhu tidak berputus asa. Mereka hanya cukup mendapatkan makanan berupa padi-padian yang dipersembahkan para penjual kuda setiap hari. Saat akhir masa vassa tiba, setelah memberitahu sang brahmana, Sang Buddha pulang ke Vihara Jetavana beserta lima ratus bhikkhu. Masyarakat Savatthi menyambut kedatangan mereka dengan bermacam-macam pilihan makanan.

Sekelompok orang yang hidup bersama para bhikkhu, memakan makanan yang tak dimakan oleh para bhikkhu. Mereka makan dengan rakus seperti orang yang benar-benar lapar, dan pergi tidur setelah mereka makan. Setelah bangun tidur mereka bersiul, bernyanyi dan menari, mereka membuat suatu keributan.

Ketika Sang Buddha datang sore hari di tengah-tengah para bhikkhu, para bhikkhu melaporkan hal itu kepada Beliau, perilaku orang-orang yang tidak dapat dikendalikan, dan berkata,

"Orang-orang ini hidup dengan sisa makanan, bersikap sopan dan berperilaku baik ketika kita semua menghadapi penderitaan dan kelaparan di Veranja. Sekarang mereka cukup mendapat makanan yang baik, mereka bersiul, menyanyi, dan menari, serta membuat keributan di antara mereka sendiri. Berbeda dengan para bhikkhu. Para bhikkhu bagaimanapun juga keadaaannya memiliki perilaku yang sama, baik di sini maupun di Veranja."

Kepada mereka Sang Buddha menjawab,

"Itu merupakan sifat alamiah dari orang bodoh, penuh dengan duka cita dan merasa tertekan ketika mereka dalam kesulitan, tetapi penuh dengan suka cita dan merasa gembira ketika sesuatu berjalan lancar. Orang bijaksana bagaimanapun keadaannya dapat bertahan dalam gelombang kehidupan baik naik maupun turun."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 83 berikut :

Orang bajik membuang kemelekatan terhadap segala sesuatu; orang suci tidak membicarakan hal-hal berkaitan dengan nafsu keinginan. Dalam menghadapi kebahagiaan atau kemalangan, orang bijaksana tidak menjadi gembira maupun kecewa.

Syair 84

(9) Kisah Bhikkhu Dhammika

Dhammika tinggal di Savatthi bersama istrinya. Suatu hari, ia berkata kepada istrinya yang sedang hamil bahwa ia berkeinginan untuk menjadi seorang bhikkhu. Istrinya memohon kepadanya untuk menunggu sampai kelahiran anak mereka. Ketika anak tersebut lahir, ia kembali meminta kepada istrinya untuk memperbolehkannya pergi. Sekali lagi istrinya memohon kepadanya untuk menunggu sampai anak tersebut dapat berjalan.

Kemudian Dhammika berkata kepada dirinya sendiri,

"Tidak ada gunanya bagiku meminta persetujuan dari istriku untuk menjadi bhikkhu; saya harus berjuang untuk kebebasanku sendiri !"

Setelah membuat keputusan teguh, ia meninggalkan rumahnya untuk menjadi seorang bhikkhu. Sang Buddha memberikan objek meditasi kepadanya dan ia mempraktekkan meditasi dengan sungguh-sungguh dan rajin, tak lama kemudian ia menjadi seorang arahat.

Beberapa tahun setelah itu, beliau menengok rumahnya dengan maksud untuk mengajarkan Dhamma kepada istri dan anaknya. Anaknya menjadi bhikkhu dan kemudian mencapai tingkat kesucian arahat. Sang istri kemudian berkata,

"Sekarang suami dan anakku telah meninggalkan rumah, saya lebih baik pergi juga."

Dengan dasar pertimbangan kata-kata tersebut ia juga meninggalkan rumah dan menjadi bhikkhuni; dan akhirnya mencapai tingkat kesucian arahat juga.

Dalam pertemuan para bhikkhu, Sang Buddha mengatakan bagaimana Dhammika menjadi seorang bhikkhu dan mencapai tingkat kesucian arahat, bagaimana Dhammika berupaya membuat anak dan istrinya menjadi arahat juga. Kepada mereka Sang Buddha bersabda,

"Para bhikkhu, orang bijaksana tidak menginginkan kekayaan dan kemakmuran yang diperoleh dengan cara tidak benar. Apakah hal itu dilakukan demi dirinya sendiri atau demi orang lain. Ia hanya bekerja untuk tujuan membebaskan dirinya dari roda tumimbal lahir (samsara) dengan cara memahami Dhamma dan hidup sesuai dengan Dhamma."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 84 berikut :

Seseorang yang arif tidak berbuat jahat demi kepentingannya sendiri ataupun orang lain; demikian pula ia tidak menginginkan anak, kekayaan, pangkat atau keberhasilan dengan cara yang tidak benar. Orang seperti itulah yang sebenarnya luhur, bijaksana, dan berbudi.

Syair 85 dan 86

(10) Kisah Pendengar-pendengar Dhamma

Pada suatu kesempatan, sekumpulan orang dari Savatthi membuat persembahan khusus kepada para bhikkhu secara bersama-sama dan mereka meminta para bhikkhu memberikan khotbah Dhamma sepanjang malam di tempat mereka.

Pada saat itu banyak di antara para pendengar tidak dapat duduk sepanjang malam, dan mereka pulang lebih cepat; beberapa orang duduk dengan pemikiran yang mendalam sepanjang malam; tetapi kebanyakan dari mereka pada waktu itu mengantuk dan setengah tidur. Hanya sedikit orang yang mendengarkan dengan penuh perhatian khotbah Dhamma itu.

Pagi hari ketika para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha tentang apa yang terjadi pada malam hari sebelumnya, Beliau menjawab,

"Kebanyakan orang terikat pada dunia ini, hanya sedikit orang yang dapat mencapai pantai seberang (nibbana)."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 85 dan 86 berikut ini :

Di antara umat manusia hanya sedikit yang dapat mencapai pantai seberang; sebagian besar hanya berjalan hilir mudik di tepi sebelah sini.

Mereka yang hidup sesuai dengan Dhamma yang telah diterangkan dengan baik, akan mencapai Pantai Seberang; menyeberangi alam kematian yang sangat sukar diseberangi.

Syair 87, 88, dan 89

(11) Kisah Kunjungan Lima Ratus Bhikkhu

Lima ratus bhikkhu yang menjalani masa vassa di Kosala datang untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha di Vihara Jetavana pada akhir masa vassa. Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 87, 88 dan 89 berikut ini sesuai dengan berbagai perangai mereka :

Meninggalkan rumah dan pergi menempuh kehidupan tanpa rumah, demikian hendaknya orang bijaksana meninggalkan keadaan gelap (kebodohan) dan mengembangkan keadaan terang (kebijaksanaan). Hendaknya ia mencari kebahagiaan pada ketidakmelekatan yang sulit didapat.

Dengan meninggalkan semua kesenangan indria dan kemelekatan, demikian hendaknya orang bijaksana membersihkan dirinya dari noda-noda pikiran.

Mereka yang telah menyempurnakan pikirannya dalam Tujuh Faktor Penerangan, yang tanpa ikatan, yang bergembira dengan batin yang bebas, yang telah bebas dari kekotoran batin, yang bersinar, maka sesungguhnya mereka telah mencapai Nibbana dalam kehidupan sekarang ini juga.


Sumber: http://members.tripod.com/dhammacakka/dhammapada/dpb6.htm


Kembali ke daftar isi bab ini..
Kembali ke daftar Bab di Dhammapada