Minggu, 25 Januari 2009

Memetik, Menebang, Membelah, Membeli & K.O: Cinta & Perkawinan


Cinta dan Perkawinan

Pada suatu hari, Plato bertanya pada gurunya, "Apakah cinta itu? Bagaimana aku mendapatkannya? "

Gurunya menjawab, "Di depan sana, ada sebuah ladang gandung yang sangat luas. Berjalanlah kedepan tanpa berbalik arah, ambilah hanya satu batang. Jika engkau temukan satu batang yang menurutmu terbaik dari semuanya maka engkau telah menemukan arti cinta"

Plato pun masuk ke ladang gandung dan taklama kemudian ia kembali dengan tangan kosong.

Gurunya bertanya, "Mengapa tidak satupun batang gandum engkau bawa? "

Plato menjawab, "Karena aku hanya boleh mengambil satu tanpa boleh berbalik lagi. Jadi, ketika telah kutemukan satu batang yang sangat baik, namun kupikir bisa jadi ada batang yang lebih baik lagi dii depan sana, sehingga batal kupetik. Terus ku melangkah, namun tiap batang yang kulihat tidaklah sebaik yang sebelumnya hingga akhir ladang tidak ada yang dapat kupetik".

Gurunya berkata, "dan begitulah cinta"

***

Di hari yang lainnya, Plato bertanya pada gurunya, "Apakah pernikahan itu? Bagaimana aku mendapatkannya? "

Gurunya menjawab, "Didepan sana ada hutan yang lebat, Berjalanlah kedepan tanpa berbalik arah dan tebanglah hanya satu pohon. Jika engkau temukan pohon yang tertinggi, maka engkau temukan arti pernikahan"

Plato berjalan masuk ke hutan, tidak berapa lama, ia kembali dengan sebatang pohon. Pohon itu tidaklah buruk dan juga tidaklah tinggi. Hanya biasa-biasa saja, tidaklah yang terbaik.

Gurunya bertanya , "Mengapa engkau tebang pohon yang biasa-biasa saja? "

Plato menjawab, "Karena di pengalamanku sebelumnya, Aku berjalan hingga akhir ladang, namun kembali dengan tangan hampa. Kali ini, ku temukan pohon ini dan kurasa ini adalah pohon bagus pertama yang kulihat, jadi kutebang ia dan ku bawa kembali. Tidak lagi aku ingin menyia-nyiakan kesempatan".

Gurunya kemudian menjawab, "Dan begitulah perkawinan"

Sumber: ditemukan di rerimbunan belantara net, semoga sang penulis diberkati.

Berbelanja Suami [dan Istri]

Di New York City,terdapat sebuah toko baru yang menjual suami baru dimana wanita dapat memilih sesuai yang diinginkannya dengan mengikuti instruksi di area masuk:

"Engkau hanya boleh memasuki toko ini hanya satu kali! Ada enam lantai yang masing-masing tertera nilai dari setiap produk dan meningkat nilainya di tiap lantai. Pembeli dapat memilih item apapun di lantai tertentu atau naik ke lantai berikutnya, tapi engkau tidak dapat kembali kebawah kecuali keluar gedung"

Seorang wanita pergilah ketoko untuk mencari suami. Pada lantai pertama, tertulis tanda:

Lantai-1, Para pria di sini memiliki pekerjaan

Minatnya tergoda, namun ia putuskan naik kelantai berikutnya, dan terdapat tanda tertulis:

Lantai-2, Para Pria disini memiliki pekerjaan dan mencintai anak-anak

"Ah, itu baik sekali", pikirnya, tapi ia ingin sesuatu yang lebih. Jadi ia lanjutkan naik. Di tangga ke tiga tertulis tanda:

Lantai-3, Para pria disini punya pekerjaan, mencintai anak-anak dan luarbiasa tampan.

"Wow", Ia berpikir, tapi ia paksakan dirinya untuk melanjutkan. Ia menuju ke lantai 4 dan tertulis tanda:

lantai-4, Para pria disini punya pekerjaan, mencintai anak-anak dan ganteng abis dan ringan tangan dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

"Ah, beruntungnya aku!", ia berseru, "Sulit sekali rasanya untuk menahan diri! ". Namun tetap saja, ia lanjutkan menuju lantai ke 5 dan tertulis tanda:

lantai-5, Para pria disini punya pekerjaan, mencintai anak-anak, ganteng abis, ringan tangan dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan sangat romantis.

Ia sangat tergodanya untuk berhenti di situ, namun akhirya ia tetap lanjutkan ke lantai 6, dimana tertulis tanda:

Lantai-6, Anda adalah pengunjung ke- 999.999.999. Tidak ada pria di lantai ini. Lantai ini dibangun hanya untuk membuktikan bahwa wanita mustahil untuk dipuaskan. Terima kasih untuk berbelanja di toko suami.

***

Seorang wanita yang cerdas dan emosi dengan tulisan ini, menambahkan, Mohon juga di baca:

Tepat di seberang jalan,telah dibuka pula toko "Istri baru".

Lantai-1, berisi para istri yang sangat menyukai Seks
Lantai-2, berisi para istri yang menyukai seks dan punya banyak uang
Lantai-3, 4, 5 dan 6 tidak pernah di kunjungi.

Sumber: Love-marriage

Ketika Cinta Membelah

Suami saya adalah seorang insinyur. Saya mencintai sifatnya yang alami, dan saya menyukai perasaan hangat yang muncul ketika saya bersender di bahunya yang bidang. Tiga tahun dalam masa kenalan dan bercumbu, sampai sekarang, dua tahun dalam masa pernikahan, harus saya akui, saya mulai merasa lelah dengan semua itu.

Alasan saya mencintainya pada waktu dulu, telah berubah menjadi sesuatu yang melelahkan. Saya seorang wanita yang sentimentil dan benar-benar sensitif serta berperasaan halus. Saya merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak kecil yang menginginkan permen. Dan suami saya bertolak belakang dari saya, rasa sensitifnya kurang, dan ketidakmampuannya untuk menciptakan suasana yang romantis di dalam pernikahan kami telah mematahkan harapan saya tentang cinta.

***

Suatu hari, akhirnya saya memutuskan untuk mengatakan keputusan mahaberat saya kepadanya. Saya menginginkan perceraian!

"Mengapa?" Dia bertanya dengan terkejut. "Ada orang ketiga?!"

Saya menggeleng. "Saya lelah. Terlalu banyak alasan yang tak akan pernah kamu pahami," jawab saya.

Dia terdiam dan termenung sepanjang malam dengan rokok yang tidak ada putus-putusnya.

Kekecewaan saya semakin bertambah. Seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang saya bisa harapkan darinya?

Dan akhirnya dia bertanya seolah dapat membaca alam pikiran saya. "Apa yang dapat saya lakukan untuk mengubah pikiranmu?"

Seorang bijak pernah berkata, mengubah kepribadian orang lain sangatlah sulit. Mungkin itu benar. Saya pikir, saya mulai kehilangan kepercayaan dan kesabaran diri bahwa saya bisa mengubah pribadinya menjadi seorang yang romantis seperti obsesi saya selama ini. Dan tidak ada cara lain untuk mengakhiri semuanya itu dengan perceraian!

Di dalam kekecewaan dan putus asa, saya menatap dalam-dalam matanya dan melontarkan tanya.

"Saya punya pertanyaan untukmu. Jika kamu dapat menemukan jawabannya yang ada di dalam hati saya, mungkin saya akan berubah pikiran. Seandainya, katakanlah saya menyukai setangkai bunga yang ada di tebing gunung, dan kita berdua tahu, jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan mati. Apakah kamu akan melakukannya untuk saya?"

Dia berkata, "Saya akan memberikan jawabannya besok."

Hati saya langsung gundah mendengar responnya. Dia seperti laki-laki yang tidak memiliki hati. Dia meninggalkan saya sendiri, tepekur dengan pertanyaan-pertanyaan saya yang serupa mistis.

***

Keesokan paginya, dia tidak ada di rumah, dan saya melihat selembar kertas dengan coret-coretan tangannya, di bawah sebuah gelas kristal kosong, yang bertuliskan:

"Sayang, saya tidak akan mengambil bunga itu untukmu. Tapi izinkan saya untuk menjelaskan alasannya."

Sebaris kalimat pertama tadi menghancurkan hati saya. Saya mencoba untuk kuat melanjutkan membacanya kembali....

"Suatu ketika, saat kamu mengetik di komputer dan tanpa sengaja telah mengacaukan program di PC, dan akhirnya menangis di depan monitor karena semua data kamu hilang, maka saat itu pula saya akan datang membantu kamu. Saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk memperbaiki program komputer itu, dan mendapatkan data kamu yang hilang tersebut."

Saya menyimak dengan hati belah.

"Suatu ketika, saat kamu keluar dan lupa membawa kunci rumah, saat itu saya harus pulang dari kantor untuk sekedar mendobrak pintu rumah dengan cara menendangnya, supaya kamu bisa masuk dan tidak membiarkanmu menunggu saya pulang kantor berjam-jam di luar rumah."

Kalimat ketiga tadi mulai menggugah saya dalam haru.

"Suatu ketika, saat kamu jalan-jalan ke luar kota dan nyasar di tempat baru yang kamu kunjungi itu, maka saat itu saya begitu panik dan nyaris gila mencarimu. Saat menemukanmu, saya seperti menemukan sebuah permata yang tidak dapat saya gambarkan nilainya. Saya memelukmu, dan rasa-rasanya tidak ingin melepaskan kamu saat itu."

Sepasang pelupuk mata saya memanas.

"Suatu ketika, saat kamu selalu pegal-pegal setiap 'kedatangan tamu' pada setiap bulannya, maka saat itu pula atas inisiatif saya sendiri, saya akan memijat kakimu yang pegal meskipun saya sudah mengantuk dan bahkan tertidur."

Bibir saya bergetar.

"Suatu ketika, saat kamu sedang diam dan sendirian di rumah karena kita belum dikaruniai seorang anak, maka saya akan meriuhkan suasana 'keterasinganmu' dengan menjaring dan merangkai cerita supaya kamu tidak kesepian. Saya akan membanyol supaya kamu ceria di dalam senyum atau tawa lucu, meskipun saat itu saya masih lelah dan penat sehabis pulang kerja dari kantor."

Tubuh saya mulai menggemetar.

"Suatu ketika, saat kamu asyik dan lama menatap monitor komputer, maka saat itu saya akan menegurmu untuk beristirahat, dan mengatakan kalau terlalu lama di depan layar monitor tidak baik untuk kesehatan matamu. Dan sejak saat itu pula, saya berikrar untuk harus menjaga kesehatan mata saya sehingga kelak kita tua nanti, saya masih dapat menolong mengguntingkan kukumu dan mencabuti ubanmu. Saya akan memegang tanganmu, menelusuri pantai, menikmati sinar matahari dan pasir yang indah. Menceritakan warna-warna bunga kepadamu yang bersinar seperti wajah cantikmu...."

Kerongkongan saya memerih.

"Sayang, saya yakin ada banyak orang yang mencintaimu lebih dari cara saya mencintaimu. Tapi saya tidak akan mengambil bunga di tebing gunung itu, seperti yang kamu inginkan, kalau toh pada akhirnya bunga itu akan mati layu...."

Airmata saya sudah menggumpal dan sedikit meruap di pinggir pelupuk mata.

"Saya hanya ingin memberimu cinta, cinta yang tak akan pernah layu meski mungkin cinta itu tidak dapat kamu lihat sebagai sebuah keindahan. Keindahan seperti bunga. Keindahan seperti harum melati dan mawar. Tapi demikianlah saya yang apa adanya. Yang hanya memiliki niat sederhana untuk membahagiakan kamu dengan cara saya, cara yang mungkin bagi kamu tidak romantis. Ya, tidak romantis dan begitu menjenuhkan. Tapi saya yakin cinta saya ini akan abadi, dan tidak akan layu seperti keindahan bunga yang sekejap layu lalu mati."

Airmata saya sudah menetes dan jatuh ke atas kertas tulisannya. Saya berusaha untuk menahan tangis, namun tidak bisa. Buncah sesal seperti menohok hati saya telak-telak. Saya memang tak pandai mengartikan cinta yang sejati. Cinta tulus yang telah diberikan suami saya dengan caranya sendiri.

"Sayang, sekarang setelah selesai membaca jawaban saya, kamu berhak memilih dan menentukan jalan hidup kamu. Tak ada paksaan. Namun jika kamu dapat menerima cinta cara saya yang apa adanya, seperti yang telah saya persembahkan kepada kamu selama ini, tolong bukalah pintu rumah kita. Sekarang, saya sedang berdiri di sana dengan susu segar dan roti kesukaanmu...."

Saya segera membuka pintu, dan melihat wajahnya yang dulu sangat saya cintai. Matanya tampak merah dan berkaca-kaca, berdiri dengan sikap tegar sembari memegang nampan berisi segelas susu segar dan beberapa roti iris dalam piring.

Saya tidak kuat lagi, memeluknya dan merebahkan kepala saya di bahunya yang bidang sambil menangis.

From: Yeni Kurniawi, Ketika Cinta Membelah

Komunikasi yang terjaga

Setelah melalui pertengkaran hebat, sepasang suami istri sepakat untuk tidak bicara satu sama lain. Menyapa pun tidak. Meskipun mereka masih tidur satu ranjang, mereka tidur saling membelakangi.

Suatu hari si suami berencana ke luar kota untuk menghadiri meeting tahunan di kantor pusat. Ia harus bangun pagi untuk mengejar penerbangan pertama. Namun si suami ini punya kebiasaan bangun kesiangan. Walau sudah memasang weker, ia tetap saja molor. Biasanya si istri yang membangunkannya.

Si suami pun bingung harus bagaimana supaya ia bisa bangun pagi. mau ngobrol dengan istrinya, ia ingat akan perjanjian untuk tidak saling bicara. Mau bicara duluan juga gengsi. Akhirnya ia mengambil secarik kertas dan menulis :

"Mama, besok pagi bangunkan saya jam 5 tepat. Saya harus mengejar penerbangan pertama besok pagi karena ada pertemuan tahunan di kantor pusat. Terimakasih"

kemudian kertas itu ditempelkan di pintu kulkas. lalu tidurlah si suami.

Keesokan harinya si suami bangun dan melihat jam. Ternyata sudah jam 9 pagi. Tentu saja ia ketinggalan penerbangan. Dengan perasaan kesal yang mendalam terhadap istrinya, ia berjalan keluar kamar. Ia cari istrinya, mau dimarahi. Tapi rumah tampak sepi. Ia berjalan menuju dapur untuk melihat pesan yang sudah ditempelkan di pintu kulkas. Dan ternyata si suami mendapati secarik kertas dari istrinya yg berisi:

"Papa bangun! ini sudah jam 5 kurang lima menit! Cepat bangun atau kau akan ketinggalan pesawat!"

Sumber:
ditemukan di rerimbunan belantara net, semoga sang penulis diberkati.

K.O Di Hotel

Dengan Rp 165.000,- orang kini bisa naik pesawat murah meriah Jakarta – Surabaya. Gara-gara itulah barangkali, Dalijo, 66, jadi kelewat pede. Punya uang Rp 162.500,- saja berani "naik orang" di sebuah hotel Ponorogo. Tapi akibatnya fatal, baru selesai ronde pertama, langsung KO akibat serangan jantung.

Istri memang kebutuhan vital setiap lelaki normal. Dengan istri ada teman bertukar pikiran, berbagi suka dan duka. Karena istri, kerja suami menjadi lebih bersemangat. Dan karena istri pula, seorang lelaki tak perlu kadhemen (kedinginan) di malam hari. Dia merupakan "bed kafer" multiguna, yang menjanjikan kehangatan, keasyikan tersendiri bagi lelaki. "Aja ngenyek karo wong wedok, ditinggal lunga setengah mati," begitu kata Waldjinah si ratu kembang kacang dari Solo.

Nah, dalam urusan perempuan Mbah Dalijo kini boleh dikata paling malang. Sejak 6 tahun lalu istrinya meninggal. Praktis sejak itu dia tak ada yang menangani dalam segala hal. Ada memang sih, sejumlah anak-anaknya. Tapi mereka kan hanya bisa meladeni makan minum, mencucikan pakaian, dan mempersiapkan kebutuhan untuk mandi. Tapi untuk hal yang paling prinsipil dan nyempil, siapa yang nanggung?

Duda dalam usia 60 tahun kala itu, memang sangat menyiksa diri. Soalnya, sebagai lelaki normal Mbah Dalijo masih membutuhkan "sporing balancing" ibaratnya sebuah kendaraaan. Tapi semenjak istri mendahului pergi, kini dia jadi ngaplo (tanpa kegiatan). Padahal pendulumnya masih selalu kontak blip, blip di sepanjang hari. Mbah Dalijo pernah melempar usul pada anak-anak untuk kawin lagi, tapi anak-anak melarang. "Wis tuwa arep ngapa ta mbah (sudah tua mau apa lagi mbah)?" kata anak-anak.

Ah, anak-anak ternyata tak bisa memahami kebutuhan hakiki seorang lelaki. Padahal penyakit rindu wanita sudah makin menggebu. Dari pada si rindu mengkristal jadi kemenyan, lelaki yang tinggal di Jl. KBP Duryat, Mangkjayan, Ponorogo ini beberapa hari lalu dia nekad mencari wanita pelabuhan asmara. Padahal asal tahu saja, uang di kantong tinggal Rp 162.500,- Pikirnya: cukuplah, naik pesawat Jakarta - Surabaya saja hanya Rp 165.000,- apa lagi naik orang!

Kurang jelas, dari mana Mbah Dalijo dapat lawan. Yang jelas, perempuan pelacur bernama Sawitri, 26, itu sudah berhasil dibawa masuk ke hotel Larasati di Jalan Basuki Rahmad. Taripnya berapa juga tak diketahui pasti. Yang pasti dua makhluk berlainan jenis itu langsung "bertarung" antara hidup dan mati. Celakanya, baru saja menyelesaikan ronde pertama, Mbah Dalijo langsung terjengkang di pojok ranjang dengan kondisi masih telanjang. Sawitri pun jadi panik. Digoyang-goyang tubuhnya, Mbah Dalijo tetap saja tak bergerak. Padahal tadi, gerakannya aktif sekali.

Untuk selanjutnya Sawitri lapor ke Satpam hotel, dan kemudian diteruskan ke polisi Polres Ponorogo. Ternyata kakek malang ini memang sudah wasalam, pulang ke rahmatullah dengan cara memalukan. Di kantongnya masih utuh uang Rp 162.500,- di samping sebungkus rokok dan gigi palsu. Diduga keras Mbah Dalijo serangan jantung, akibat tak bisa mengontrol emosinya setelah sekian lama tak pernah berhubungan intim. Kasihan. Pilot saja setelah lama grounded, harus latihan lagi! [JP/Gunarso TS]

Sumber: Artikel Mbah Dalijo, merupakan kisah nyata, diambil dari Pos Kota, Selasa 19 Februari 2008, Jam: 10:19:00

Note:
Akan terus ditambah dengan topik serupa jika saya temukan lagi yang menarik