Tampilkan postingan dengan label Kitab Dhammapada. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kitab Dhammapada. Tampilkan semua postingan

Rabu, 22 Agustus 2007

Bab 7

ARAHAT [arahanta vagga]


(1) Kisah Pertanyaan Jivaka
(2) Kisah Mahakassapa Thera

(3) Kisah Belatthasisa Thera

(4) Kisah Anuruddha Thera

(5) Kisah Mahakaccayana Thera

(6) Kisah Sariputta Thera

(7) Kisah Seorang Samanera dari Kosambi

(8) Kisah Sariputta Thera

(9) Kisah Samanera Revata

(10) Kisah Seorang Wanita

Kembali ke daftar Bab di Dhammapada


Syair 90

(1) Kisah Pertanyaan Jivaka

Devadatta, pada suatu kesempatan, mencoba untuk membunuh Sang Buddha dengan mendorong batu besar dari puncak bukit Gijjhakuta (Puncak Burung Nasar). Batu tersebut jatuh membentur sisi bukit dan sepotong serpihannya melukai ibu jari kaki Sang Buddha.

Kemudian Beliau dibawa ke Vihara Hutan Mangga milik Jivaka. Di sana Jivaka yang dikenal sebagai seorang tabib, mengobati ibu jari kaki Sang Buddha dan membalutnya. Jivaka kemudian pergi ke kota untuk mengobati pasien lainnya, tetapi berjanji untuk kembali dan membuka balutan tersebut pada sore hari.

Karena kesibukannya, Jivaka pulang malam hari, tetapi pintu kota telah ditutup dan ia tidak dapat menemui Sang Buddha. Ia sangat bingung sebab apabila pembalut tersebut tidak dibuka pada waktunya, seluruh badan Sang Buddha akan demam dan Sang Buddha akan sangat menderita.

Pada saat yang sama, Sang Buddha yang telah mengetahui bahwa Jivaka tidak dapat datang pada waktunya berkata kepada Ananda untuk membuka balutan dari ibu jarinya dan ternyata luka tersebut telah sembuh.

Jivaka datang ke vihara pada fajar keesokan harinya dan menanyakan kepada Sang Buddha apakah Beliau merasakan kesakitan pada malam sebelumnya. Sang Buddha menjawab,

"Jivaka! Sejak Saya mencapai Ke-Buddha-an, tidak terdapat kesakitan dan penderitaan lagi bagi-Ku."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 90 berikut :

Orang yang telah menyelesaikan perjalanannya, yang telah terbebas dari segala hal, yang telah menghancurkan semua ikatan; maka dalam dirinya tidak ada lagi demam nafsu.

Syair 91

(2) Kisah Mahakassapa Thera

Pada suatu saat Sang Buddha menjalani masa vassa di Rajagaha, bersama sejumlah bhikkhu. Sekitar dua minggu sebelum akhir masa vassa, Sang Buddha memberitahu para bhikkhu bahwa tidak lama lagi ia akan meninggalkan Rajagaha dan mengatakan kepada mereka untuk mempersiapkan diri untuk keberangkatan tersebut.

Sebagian bhikkhu menjahit dan mewarnai jubah baru mereka dan sebagian lagi mencuci jubah lama. Ketika beberapa bhikkhu melihat Mahakassapa mencuci jubahnya, mereka berpikir,

"Terdapat banyak umat awam di dalam maupun di luar kota Rajagaha yang mencintai dan menghormati Mahakassapa Thera dan secara terus-menerus memenuhi semua kebutuhannya. Apakah mungkin Mahakassapa Thera meninggalkan umat awam di Rajagaha, dan mengikuti Sang Buddha pergi ?"

Pada akhir hari ke lima belas, pada malam sebelum keberangkatan, Sang Buddha mengatakan bahwa di sini akan banyak upacara seperti upacara persembahan dana makanan, pentahbisan samanera, pembakaran jenazah, dan lain sebagainya. Maka tidaklah tepat jika semua bhikkhu meninggalkan Rajagaha. Jadi, Beliau memutuskan sejumlah bhikkhu tetap tinggal di Vihara Veluvana dan orang yang paling cocok adalah Mahakassapa Thera.

Oleh karena itu Mahakassapa Thera dan beberapa bhikkhu muda tetap tinggal di Rajagaha. Kemudian beberapa bhikkhu lainnya berkata,

"Mahakassapa tidak menyertai Sang Buddha, seperti yang kita perkirakan !"

Sang Buddha yang mendengar ucapan mereka, berkata :

"Para bhikkhu ! Apakah kamu bermaksud mengatakan bahwa Mahakassapa Thera melekat kepada murid umat awam di Rajagaha dan pada semua hal yang mereka persembahkan kepadanya ? Kamu semua keliru. Anak-Ku Mahakassapa tinggal di sini karena perintah-Ku, ia tidak terikat kepada segala hal yang ada di sini."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 91 berikut :

Orang yang telah sadar dan meninggalkan kehidupan rumah tangga, tidak lagi terikat pada tempat kediaman. Bagaikan kawanan angsa yang meninggalkan kolam demi kolam, demikianlah mereka meninggalkan tempat kediaman demi tempat kediaman.

Syair 92

(3) Kisah Belatthasisa Thera

Belatthasisa Thera, setelah pergi berpindapatta di suatu desa, berhenti di tepi jalan dan memakan makanannya. Setelah makan, ia meneruskan berpindapatta untuk memperoleh dana makanan lagi. Ketika telah merasa cukup ia kembali ke vihara, mengeringkan nasi dan menyimpannya. Jadi ia tidak perlu berpindapatta setiap hari, sehingga ia dapat bermeditasi Jhana selama dua atau tiga hari.

Begitu selesai meditasi, ia memakan nasi kering yang telah disimpannya, setelah merendamnya terlebih dulu dalam air. Bhikkhu-bhikkhu lain berpikiran buruk terhadap kelakuan thera itu. Mereka melaporkan hal tersebut kepada Sang Buddha.

Sang Buddha berpikir, jika hal itu ditiru oelh bhikkhu-bhikkhu lainnya, ada kemungkinan menjadi disalahgunakan. Oleh karena itu Beliau melarang para bhikkhu untuk menyimpan makanan.

Beliau juga menganjurkan para bhikkhu agar berusaha mempertahankan kesederhanaan dan kemurnian hidupnya dengan tidak memiliki barang-barang selain keperluan bhikkhu. Sedangkan untuk Belatthasisa, ia menyimpan nasi sebelum peraturan ditetapkan, lagipula ia tidak serakah terhadap makanan, tetapi hanya menghemat waktu untuk keperluan bermeditasi. Sang Buddha menetapkan bahwa ia tidak bersalah dan tidak tercela.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 92 berikut :

Mereka yang tidak lagi mengumpulkan harta duniawi, yang sederhana dalam makanan, yang telah mencapai ‘Kebebasan Mutlak’, maka jejak mereka tidak dapat dilacak bagaikan burung-burung di angkasa.

Syair 93

(4) Kisah Anuruddha Thera

Suatu hari Anuruddha Thera mencari beberapa kain bekas di dalam timbunan sampah untuk dibuat jubah, sebab jubah lamanya telah kotor dan koyak. Jalini, istrinya pada kehidupan yang lampau, dan sekarang berada di alam dewa melihatnya.

Mengetahui bahwa Sang Thera sedang mencari berapa kain bekas, ia mengambil tiga lembar kain dari alam dewa dan menaruhnya ke dalam timbunan sampah, serta membuatnya terlihat. Anuruddha Thera menemukan kain tersebut dan membawanya ke vihara.

Ketika beliau sedang membuat jubah, Sang Buddha datang beserta murid-murid utama dan beberapa murid senior Beliau. Mereka menolong menjahit jubah. Ketika itu, Jalini, dalam ujud gadis muda datang ke desa dan memberitahukan kedatangan Sang Buddha beserta murid Beliau dan juga bagaimana mereka menolong Anuruddha Thera.

Ia menganjurkan penduduk desa untuk mengirimkan makanan yang lezat ke vihara dan sebagai akibatnya terjadi kelebihan makanan. Bhikkhu yang lain melihat terlalu banyak makanan tersisa, mencela Anuruddha Thera.

"Anuruddha Thera seharusnya berkata kepada keluarga dan murid-muridnya agar mengirim makanan secukupnya; mungkin ia ingin menunjukkan bahwa ia mempunyai banyak pengikut."

Kepada para bhikkhu itu, Sang Buddha berkata,

"Bhikkhu, janganlah berpikir anak-Ku telah berkata kepada keluarga dan murid-muridnya untuk mengirimkan bubur nasi dan makanan lainnya; seorang arahat tidak membicarakan perihal makanan dan pakaian. Jumlah makanan berlebihan yang dikirimkan ke vihara pagi hari ini berasal dari kemauan makhluk alam lain dan bukan dari manusia."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 93 berikut :

Ia yang telah memusnahkan semua kekotoran batin, yang tidak lagi terikat pada makanan, yang telah menyadari Kebebasan Mutlak, maka jejaknya tidak dapat dilacak, bagaikan burung-burung di angkasa.

Syair 94

(5) Kisah Mahakaccayana Thera

Pada saat bulan purnama, yang juga merupakan akhir masa vassa, Sakka bersama sejumlah besar dewa datang untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha, yang pada saat itu tinggal di Pubbarama, sebuah vihara yang dibangun oleh Visakha. Waktu itu Sang Buddha disertai oleh murid-murid utama dan semua bhikkhu-bhikkhu senior.

Mahakaccayana Thera yang bervassa di Avanti, belum tiba dan tempat duduk untuk beliau masih kosong. Sakka memberi hormat kepada Sang Buddha dengan bunga, dupa, dan wangi-wangian. Pada saat Sakka melihat tempat duduk yang masih kosong, ia mengumumkan agar Mahakaccayana Thera dapat datang segera sehingga ia dapat menyembah kepadanya. Seketika Mahakaccayana Thera datang; Sakka sangat senang dan dengan tidak sabar mempersembahkan bunga, dupa, dan wangi-wangian.

Para bhikkhu terpesona oleh Sakka yang menunjukkan kesetiaannya kepada Mahakaccayana, tetapi beberapa bhikkhu berpikir bahwa Sakka hanya menyukai Mahakaccayana. Kepada mereka Sang Buddha berkata,

"Seseorang yang dapat mengendalikan indrianya dicintai oleh para dewa dan manusia."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 94 berikut :

Ia yang telah menaklukkan dirinya bagaikan seorang kusir mengendalikan kudanya, yang telah bebas dari kesombongan dan kekotoran batin; maka para dewa pun akan mengasihi orang suci seperti ini.

Syair 95

(6) Kisah Sariputta Thera

Pada suatu akhir masa vassa; Sariputta Thera berangkat untuk suatu perjalanan bersama dengan beberapa pengikutnya. Seorang bhikkhu muda pengikutnya, yang memiliki dendam terhadap Sariputta Thera, mendekat kepada Sang Buddha dan memfitnah dengan mengatakan bahwa Sariputta Thera telah mencaci dan memukulnya.

Sang Buddha memanggil Sariputta Thera dan menanyakan apakah hal itu benar ? Sariputta menjawab,

"Bhante, bagaimana mungkin seorang bhikkhu, yang dengan tenang menjaga pikirannya, berangkat dalam suatu perjalanan tanpa kesalahan, telah melakukan kejahatan terhadap bhikkhu pengikutnya ? Saya seperti tanah yang tidak merasa senang ketika bunga-bunga tumbuh, dan tidak juga merasa marah ketika sampah dan kotoran teronggok di atasnya. Saya juga seperti keset, pengemis, kerbau jantan dengan tanduk yang patah; saya juga merasa jijik dengan kekotoran tubuh dan tidak lagi terikat dengan itu."

Ketika Sariputta Thera berbicara, bhikkhu muda itu merasa sangat tertekan dan menderita. Akhirnya ia mengaku bahwa ia berbohong perihal Sariputta. Kemudian Sang Buddha menyarankan kepada Sariputta Thera untuk menerima permohonan maaf bhikkhu muda itu. Jika tidak, akibat yang berat akan menimpa diri bhikkhu muda itu.

Bhikkhu muda mengakui bahwa ia bersalah dan dengan hormat meminta maaf. Sariputta Thera memaafkan bhikkhu muda itu dan beliau juga meminta maaf apabila beliau berbuat salah. Semua yang hadir memuji Sariputta Thera, dan Sang Buddha berkata,

"Para bhikkhu, seorang arahat seperti Sariputta tidak memiliki kemarahan atau keinginan jahat. Seperti tanah dan tugu kota, ia sabar, toleran, teguh; seperti danau yang tak berlumpur, ia tenang dan bersih."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 95 berikut :

Bagaikan tanah, demikian pula orang suci. Tidak pernah marah, teguh pikirannya bagaikan tugu kota (indakhila), bersih tingkah lakunya bagaikan kolam tak berlumpur. Bagi orang suci seperti ini tak ada lagi siklus kehidupan.

Syair 96

(7) Kisah Seorang Samanera dari Kosambi

Suatu ketika, seorang anak berumur tujuh tahun menjadi samanera atas permintaan ayahnya. Sebelum rambut kepalanya dicukur, anak itu diberi sebuah obyek meditasi. Ketika rambut kepala anak itu sedang dicukur, ia memusatkan pikirannya dengan teguh pada obyek meditasi. Sebagai hasil dari meditasinya, dan juga berkat kamma baiknya di waktu lampau; akhirnya ia mencapai tingkat kesucian arahat secepat orang selesai mencukur rambut kepalanya.

Beberapa waktu kemudian, Tissa Thera, disertai samanera muda tersebut, pergi ke Savatthi untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Di tengah perjalanan mereka bermalam di sebuah vihara desa. Tissa Thera tidur, tetapi samanera muda duduk sepanjang malam di samping kasur Tissa Thera. Pada waktu fajar menyingsing, Tissa Thera berpikir bahwa sudah saatnya membangunkan samanera muda. Ia membangunkan samanera dengan kipas daun palemnya, tetapi secara tidak sengaja mata samanera terpukul oleh tangkai kipas dan matanya rusak.

Samanera menutup matanya dengan satu tangan dan pergi melaksanakan tugasnya mempersiapkan air pencuci muka dan mulut Tissa Thera, menyapu lantai vihara dan lain-lain. Ketika samanera muda mempersembahkan air dengan satu tangan kepada Tissa Thera, Tissa Thera mencelanya dan berkata bahwa ia seharusnya mempersembahkan dengan dua tangan.

Kemudian, setelah Tissa Thera mengetahui bagaimana samanera itu rusak matanya, seketika itu ia menyadari bahwa ia telah melakukan kesalahan terhadap seorang manusia yang sungguh-sungguh mulia. Merasa sangat menyesal dan merasa dirinya rendah, ia memohon maaf kepada samanera.

Tetapi samanera berkata bahwa itu bukan kesalahan Tissa Thera juga bukan kesalahannya sendiri tapi merupakan buah/akibat perbuatan (karma) lampau, sehingga Tissa Thera tidak lagi terlalu sedih. Tetapi Tissa Thera tidak dapat mengatasi kekecewaan atas kesalahan yang tak dikehendakinya.

Kemudian mereka meneruskan perjalanan ke Savatthi dan sampai di Vihara Jetavana di mana Sang Buddha menetap. Tissa Thera berkata kepada Sang Buddha bahwa samanera muda yang datang bersamanya adalah seorang yang paling mulia yang pernah ia temui, dan dikaitkan dengan apa yang terjadi dalam perjalanan mereka. Sang Buddha lalu menjawab:

"Anak-Ku, seorang arahat tidak akan marah dengan siapapun. Ia sudah mengendalikan indrianya dan memiliki ketenangan yang sempurna."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 96 berikut :

Orang Suci yang memiliki pengetahuan sejati, yang telah terbebas, damai dan seimbang batinnya, maka ucapan, perbuatan serta pikirannya senantiasa tenang.

Syair 97

(8) Kisah Sariputta Thera

Tiga puluh bhikkhu dari sebuah desa datang ke Vihara Jetavana untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Sang Buddha mengetahui bahwa telah tiba waktunya bagi bhikkhu-bhikkhu tersebut untuk mencapai tingkat kesucian arahat. Beliau mengundang Sariputta dan di hadapan bhikkhu-bhikkhu itu, Beliau bertanya,

"Anakku, Sariputta, apakah kamu dapat menerima kenyataan bahwa dengan cara bermeditasi, seseorang dapat merealisasi nibbana ?"

Sariputta menjawab,

"Bhante, berkaitan dengan perealisasian nibbana dengan meditasi, saya menerima hal itu bukan karena saya percaya kepada-Mu. Pertanyaan itu hanya bagi seseorang yang belum berhasil merealisasi nibbana, yang menerima kenyataan dari orang lain."

Jawaban Sariputta tidak dapat dimengerti secara tepat oleh para bhikkhu. Mereka berpikir,

"Sariputta belum melenyapkan pandangan salah, sampai saat ini, ia belum memiliki keyakinan terhadap Sang Buddha."

Kemudian Sang Buddha menjelaskan kepada mereka makna sebenarnya dari jawaban Sariputta.

"Para bhikkhu, jawaban Sariputta dapat disederhanakan menjadi demikian: Ia menerima bahwa nibbana dapat dicapai dengan meditasi, tetapi ia menerima hal itu berdasarkan hasil pengalamannya sendiri, dan bukan karena saya telah mengatakan hal itu atau orang lain mengatakan hal itu. Sariputta yakin terhadap-Ku. Ia juga yakin terhadap akibat-akibat dari perbuatan baik dan jahat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 97 berikut :

Orang yang telah bebas dari ketahyulan, yang telah mengerti keadaan tak tercipta (nibbana), yang telah memutuskan semua ikatan (tumimbal lahir), yang telah mengakhiri kesempatan (baik dan jahat), yang telah menyingkirkan semua nafsu keinginan, maka sesungguhnya ia adalah orang yang paling mulia.

Syair 98

(9) Kisah Samanera Revata

Revata adalah saudara laki-laki termuda dari murid utama Sariputta. Ia satu-satunya saudara Sariputta yang tidak meninggalkan rumah tangga untuk menempuh kehidupan tanpa rumah. Ayahnya sangat menginginkan agar ia menikah. Revata baru berumur tujuh tahun ketika ayahnya mempersiapkan sebuah pernikahan baginya dengan seorang gadis kecil.

Pada jamuan pernikahan, ia bertemu dengan wanita tua yang berumur 120 tahun. Melihat wanita tua itu, Revata kecil merenung. Ia menyadari bahwa segala sesuatu merupakan subyek dari ketuaan dan kelapukan, sehingga ia berlari meninggalkan rumah dan pergi ke vihara. Di sana terdapat tiga puluh bhikkhu. Sebelumnya, bhikkhu-bhikkhu itu telah memohon kepada Sariputta Thera agar menjadikan saudara beliau menjadi seorang samanera, jika ia datang kepada mereka.

Kemudian Revata menjadi seorang samanera dan Sariputta Thera diberitahu hal itu oleh para bhikkhu.

Samanera Revata menerima sebuah obyek meditasi dari para bhikkhu dan pergi ke hutan akasia, tiga puluh yojana jauhnya dari vihara. Pada akhir masa vassa ia mencapai tingkat kesucian arahat.

Suatu ketika, Sariputta Thera memohon izin kepada Sang Buddha untuk mengunjungi saudaranya, tetapi Sang Buddha menjawab bahwa Beliau sendiri juga akan pergi ke sana. Jadi, Sang Buddha disertai Sariputta Thera, Sivali Thera, dan lima ratus bhikkhu pergi mengunjungi Samanera Revata.

Perjalanan itu sangat jauh, jalannya buruk dan daerah tersebut tidak ditinggali manusia; tetapi para dewa memenuhi setiap kebutuhan Sang Buddha dan para bhikkhu selama di perjalanan. Setiap satu yojana, sebuah vihara dan makanan disediakan, dan perjalanan mereka rata-rata satu yojana per hari.

Revata mengetahui perihal kunjungan Sang Buddha, ia membuat persiapan untuk menyambutnya. Dengan kekuatan batin luar biasanya ia menciptakan vihara khusus untuk Sang Buddha dan lima ratus vihara untuk bhikkhu lainnya, dan membuat mereka merasa nyaman ketika mereka tinggal di sana.

Pada perjalanan pulang, mereka berjalan dengan waktu yang sama seperti sebelumnya,dan sampai di Vihara Pubbarama di sebelah timur kota Savatthi pada akhir bulan. Dari sana mereka pergi ke rumah Visakha, yang mempersembahkan makanan kepada mereka.

Setelah makan, Visakha bertanya kepada Sang Buddha apakah tempat Revata di hutan Akasia menyenangkan. Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 98 berikut :

Apakah di desa atau di dalam hutan, di tempat yang rendah atau di atas bukit, di mana pun Para Suci menetap, maka tempat itu sungguh menyenangkan.

Syair 99

(10) Kisah Seorang Wanita

Seorang bhikkhu setelah menerima sebuah obyek meditasi dari Sang Buddha, mempraktekkan meditasi di sebuah taman tua. Seorang wanita yang tidak dikenal datang ke taman dan melihat bhikkhu itu. Ia mencoba untuk menarik perhatiannya dan merayunya.

Sang bhikkhu menjadi terkejut. Pada saat yang sama; seluruh tubuhnya diliputi berbagai macam perasaan kepuasan yang menyenangkan. Sang Buddha melihatnya dari vihara Beliau, dan dengan kemampuan batin luar biasa, Beliau mengirim seberkas sinar kepadanya dan bhikkhu tersebut menerima pesan yang berbunyi:

"Anak-Ku, tempat di mana orang mencari kesenangan duniawi adalah bukan tempat untuk seorang bhikkhu. Para bhikkhu seharusnya senang tinggal di hutan di mana orang-orang duniawi tidak menemukan kesenangan."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 99 berikut :

Hutan bukan tempat yang menyenangkan bagi orang duniawi, namun di sanalah orang-orang yang telah bebas dari nafsu bergembira, karena mereka tidak lagi mencari kesenangan indria.


Sumber: http://members.tripod.com/dhammacakka/dhammapada/dpb7.htm


Kembali ke daftar isi bab ini..
Kembali ke daftar Bab di Dhammapada

Bab 8

RIBUAN [sahassa vagga]

(1) Kisah Tambadathika
(2) Kisah Bahiyadaruciriya
(3) Kisah Kundalakesi Theri
(4) Kisah Brahmana Anatthapucchaka
(5) Kisah Paman Sariputta Thera
(6) Kisah Keponakan Sariputta Thera
(7) Kisah Teman Sariputta Thera
(8) Kisah Ayuvaddhanakumara
(9) Kisah Samanera Samkicca
(10) Kisah Khanu-Kondanna
(11) Kisah Sappadasa Thera
(12) Kisah Patacara Theri
(13) Kisah Kisagotami Theri
(14) Kisah Bahuputtika Theri

Kembali ke daftar Bab di Dhammapada


Syair 100
(1) Kisah Tambadathika

Tambadathika mengabdi kepada raja sebagai penjagal para pencuri selama lima puluh lima tahun, dan ia baru saja pensiun dari pekerjaannya. Suatu hari, setelah mempersiapkan bubur nasi di rumahnya, ia pergi ke sungai untuk mandi. Ia mempersiapkan bubur nasi itu untuk dimakannya setelah kembali dari sungai.

Pada waktu Tambadathika mengambil bubur nasi, Sariputta Thera yang baru saja bangun dari meditasi Jhana Samapatti, berada di muka pintu rumahnya. Pada saat melihat Sariputta Thera, Tambadathika berpikir,

"Meskipun dalam hidupku saya telah menghukum mati para pencuri, sekarang saya seharusnya mempersembahkan makanan ini kepada bhikkhu itu."

Kemudian ia mengundang Sariputta Thera untuk datang ke rumahnya dan dengan hormat mempersembahkan bubur nasi tersebut.

Setelah bersantap Sariputta Thera mengajarkan Dhamma kepadanya, tapi Tambadathika tidak dapat memperhatikan, sebab ia begitu gelisah mengingat masa lalunya sebagai seorang penjagal.

Ketika Sariputta Thera mengetahui hal ini, ia memutuskan untuk menanyakan dengan bijaksana apakah ia membunuh pencuri atas kehendaknya atau ia diperintahkan untuk melakukan hal itu. Tambadathika menjawab bahwa ia diperintah raja untuk membunuh mereka dan ia tidak berniat untuk membunuh. Kemudian Sariputta Thera bertanya,

"Jika demikian, apakah kamu bersalah atau tidak ?"

Tambadathika menyimpulkan bahwa ia tidak bertanggung jawab atas perbuatan jahat tersebut, ia tidak bersalah.

Oleh karena itu ia menjadi tenang dan meminta kepada Sariputta Thera untuk meneruskan penjelasannya. Dengan mendengarkan Dhamma penuh perhatian, ia hampir mencapai tingkat kesucian sotapatti, ia hanya mencapai anulomaññana. Setelah khotbah Dhamma berakhir, Tambadathika menyertai perjalanan Sariputta Thera sampai jarak tertentu, dan kemudian ia pulang kembali ke rumahnya.

Pada perjalanan pulang seekor sapi (sebenarnya setan yang menyamar sebagai seekor sapi) menyeruduknya sehingga ia meninggal dunia.

Ketika Sang Buddha berada dalam pertemuan bhikkhu pada sore hari, para bhikkhu memberitahu beliau perihal kematian Tambadathika. Ketika ditanyakan di mana Tambadathika dilahirkan kembali, Sang Buddha berkata kepada mereka bahwa meskipun Tambadathika telah melakukan perbuatan jahat sepanjang hidupnya, karena memahami Dhamma setelah mendengarnya dari Sariputta Thera, ia telah mencapai anulomaññana sebelum meninggal dunia. Ia dilahirkan kembali di alam sorga Tusita.

Para bhikkhu sangat heran bagaimana mungkin seseorang yang melakukan perbuatan jahat seperti itu dapat memperoleh pahala demikian besar setelah mendengarkan Dhamma hanya sekali. Kepada mereka, Sang Buddha berkata,

"Daripada suatu penjelasan panjang yang tanpa makna, lebih baik satu kata yang mengandung pengertian dapat menghasilkan manfaat yang lebih besar."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 100 berikut :

Daripada seribu kata yang tak berarti, adalah lebih baik sepatah kata yang bermanfaat, yang dapat memberi kedamaian kepada pendengarnya.

Syair 101
(2) Kisah Bahiyadaruciriya

Sekumpulan pedagang pergi melaut dengan sebuah kapal. Badai mengganas dan kapal mereka hancur di tengah laut. Dari semua penumpang hanya satu orang yang hidup. Orang yang selamat dengan memeluk sebuah potongan kayu itu terdampar di pelabuhan Supparaka.

Karena pakaiannya hilang, ia mengikatkan sepotong kulit kayu di tubuhnya. Dengan memegang sebuah mangkok, ia duduk di tempat di mana orang-orang dapat melihatnya.

Orang-orang yang lewat memberinya nasi dan bubur. Beberapa orang menganggapnya seorang arahat dan memujanya. Beberapa orang lain membawakannya pakaian tetapi ia menolaknya. Ia takut dengan memakai pakaian akan menyebabkan orang-orang hanya memberi sedikit. Di samping itu, beberapa orang telah mengatakan bahwa ia seorang arahat. Maka dengan pikiran salah, ia menganggap dirinya seorang arahat.

Oleh karena ia adalah seorang yang berpandangan salah dan menggunakan sepotong kulit kayu sebagai pakaiannya, maka ia dikenal dengan nama Bahiyadaruciriya.

Suatu ketika, Mahabrahma yang pernah menjadi temannya dalam kehidupan lampau, melihat bahwa ia telah melakukan kekeliruan. Ia berpikir bahwa menjadi tugasnya untuk mengembalikan Bahiya ke jalan yang benar. Mahabrahma datang kepadanya pada malam hari. Ia berkata kepadanya,

"Bahiya, kamu bukan arahat dan lebih dari itu kamu belum memiliki kualitas yang dimiliki seorang arahat."

Bahiya memandang Mahabrahma dengan terkejut. Kemudian ia berkata,

"Ya, saya mengakui bahwa saya bukan seorang arahat, seperti yang telah kamu katakan. Sekarang saya menyadari bahwa saya telah melakukan kesalahan besar. Tetapi adakah di dalam kehidupan sekarang ini seorang arahat?"

Mahabrahma kemudian berkata bahwa sekarang ini di Savatthi ada seorang arahat. Buddha Gotama, yang telah mencapai Penerangan Sempurna dengan kemampuan-Nya sendiri.

Bahiya menyadari demikian besar kesalahannya. Ia merasa sangat menderita dan berlari di sepanjang jalan menuju ke Savatthi. Mahabrahma menolong Bahiya dengan kekuatan batinnya, sehingga jarak sepanjang 120 yojana dapat ditempuh dalam satu malam.

Bahiya bertemu Sang Buddha ketika Beliau sedang menerima dana makanan bersama para bhikkhu. Ia dengan penuh hormat mengikuti-Nya. Kemudian ia memohon kepada Sang Buddha untuk membabarkan Dhamma.

Sang Buddha menjawab bahwa saat menerima dana makanan bukan waktu yang tepat untuk berkhotbah. Sekali lagi, Bahiya memohon,

"Bhante, seseorang tak akan tahu bahaya yang akan menimpa kehidupanmu dan kehidupanku, sehingga babarkanlah kepadaku perihal Dhamma."

Sang Buddha mengetahui bahwa Bahiya telah melakukan perjalanan 120 yojana dalam waktu semalam, dan juga diliputi perasaan gembira yang meluap-luap pada saat bertemu Sang Buddha. Oleh karena itu Sang Buddha tidak segera berbicara mengenai Dhamma kepadanya tetapi menunggu sampai ia tenang dan memungkinkan untuk menerima Dhamma dengan baik.

Bahiya terus-menerus memohon. Sehingga, ketika berdiri di tepi jalan, Sang Buddha berkata kepada Bahiya,

"Bahiya, ketika kamu melihat suatu obyek, hendaknya sadarlah bahwa hal itu hanya obyek yang dilihat;

ketika kamu mendengar suatu suara, sadarlah bahwa hal itu hanya suara;

ketika kamu mencium, atau merasa, atau menyentuh sesuatu, sadarlah bahwa hal itu hanya bau, rasa, sentuhan, dan

ketika kamu berpikir tentang sesuatu, sadarlah bahwa hal itu hanya obyek pikiran."

Setelah mendengar khotbah di atas, Bahiya mencapai tingkat kesucian arahat dan memohon izin Sang Buddha untuk menjadi bhikkhu.

Sang Buddha berkata kepadanya untuk membawa jubah, mangkuk, dan kebutuhan bhikkhu lainnya. Dalam perjalanan untuk mendapatkan barang-barang tersebut, ia diseruduk oleh seekor sapi (sebenarnya raksasa yang berwujud sapi) sehingga ia meninggal dunia.

Ketika Sang Buddha dan para bhikkhu berjalan keluar setelah makan, mereka menemukan Bahiya telah tergeletak meninggal dunia pada tumpukan sampah.

Atas perintah Sang Buddha, para bhikkhu mengkremasikan tubuh Bahiya dan sisa jasmaninya disimpan dalam sebuah stupa.

Setelah kembali ke Vihara Jetavana, Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu bahwa Bahiya telah merealisasi nibbana. Beliau juga berkata kepada mereka berkaitan dengan pencapaian ‘Pandangan Terang Magga’ (Abhiñña) Bahiya adalah yang tercepat dan terbaik.

Para bhikkhu bingung dengan pernyataan yang diucapkan Sang Buddha dan bertanya kepada Beliau mengapa dan kapan Bahiya menjadi seorang arahat.

Sang Buddha menjawab,

"Bahiya telah mencapai tingkat kesucian arahat pada saat ia mendengarkan penjelasan Dhamma yang diberikan kepadanya ketika kita menerima dana makanan."

Para bhikkhu heran bagaimana seseorang mencapai arahat setelah mendengarkan hanya sedikit kalimat Dhamma. Kemudian Sang Buddha berkata kepada mereka bahwa banyaknya kata-kata atau panjangnya khotbah tidaklah menjadi masalah jika hal itu bermanfaat bagi seseorang.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 101 berikut :

Daripada seribu bait syair yang tak berguna, adalah lebih baik sebait syair yang berguna, yang dapat memberi kedamaian kepada pendengarnya.

Syair 102 dan 103
(3) Kisah Kundalakesi Their

Kundalakesi adalah putri orang kaya dari Rajagaha. Ia senang dengan kehidupan menyendiri. Suatu hari ia kebetulan melihat seorang pencuri yang sedang digiring untuk dibunuh dan ia secara tiba-tiba jatuh cinta padanya.

Hal itu disampaikan kepada orang tuanya. Tentu saja orang tuanya menolak. Tetapi Kundalakesi tak mau mundur setapak pun. Akhirnya orang tuanya mengalah dan membayar sejumlah uang untuk kebebasan pencuri tersebut.

Mereka berdua segera dinikahkan. Meskipun Kundalakesi mencintai suaminya dengan sangat, suaminya tetaplah seorang pencuri, yang hanya tertarik kepada harta dan permatanya.

Suatu hari, suaminya membujuk untuk mengambil semua permatanya, dan menuntun Kundalakesi pergi ke sebuah gunung. Katanya,

"Adinda, aku ingin melakukan persembahan kepada makhluk halus penjaga gunung yang telah menolong hidupku ketika akan dibunuh."

Kundalakesi menurut dan pergi mengikuti suaminya. Ketika mereka sampai di tujuan, suaminya berkata,

"Sekarang kita berdua telah sampai di tujuan. Maka engkau akan kubunuh untuk mendapatkan semua permatamu itu !"

Dengan ketakutan Kundalakesi memohon,

"Jangan ! Aku jangan kau bunuh. Ambillah semua hartaku, tetapi selamatkanlah nyawaku !"

"Membiarkanmu hidup ?" ejek suaminya.

"Jangan-jangan nanti engkau malahan melaporkan bahwa permatamu itu kurampas. Tidak bisa ! Kau harus kulenyapkan untuk menghilangkan saksi !"

Dalam keputusasaannya Kundalakesi menyadari bahwa mereka sekarang sedang berada di tepi jurang. Ia berpikir bahwa ia seharusnya berhati-hati dan cerdik. Jika ia mendorong suaminya ke jurang, mungkin merupakan satu kesempatan untuk dapat hidup lebih lama lagi.

Kemudian dengan menghiba ia berkata kepada suaminya,

"Kakanda, kita berkumpul bersama-sama ini hanya tinggal beberapa saat lagi. Bagaimanapun juga, engkau adalah suamiku dan orang yang sangat kucintai. Maka, ijinkanlah aku memberikan penghormatan kepadamu untuk yang terakhir kalinya. Hanya itu saja permintaan terakhirku. Semoga kakanda mau mengabulkan permintaan terakhir isterimu ini."

Setelah berkata seperti itu, Kundalakesi mengitari laki-laki itu dengan penuh hormat, sampai tiga kali.

Pada kali terakhir, ketika ia berada di belakang suaminya, dengan sepenuh kekuatannya ia mendorong suaminya ke jurang, dan jatuh ke tebing batu yang terjal.

Setelah kejadian itu, ia tidak berkeinginan lagi untuk kembali ke rumah. Ia meninggalkan semua permata-permatanya dengan menggantungnya di sebuah pohon, dan pergi, tanpa tahu ke mana ia akan pergi.

Secara kebetulan ia sampai di tempat para pertapa pengembara wanita (paribbajika) dan ia sendiri menjadi seorang pertapa pengembara wanita. Para paribbajika lalu mengajarinya seribu problem pandangan menyesatkan.

Dengan kepandaiannya ia menguasai apa yang diajarkan mereka dalam waktu singkat. Kemudian gurunya berkata kepadanya untuk pergi berkelana dan jika ia menemukan seseorang yang dapat menjawab semua pertanyaannya, jadilah kamu muridnya.

Kundalakesi berkelana ke seluruh Jambudipa, menantang siapa saja untuk berdebat dengannya. Oleh karena itu ia dikenal sebagai "Jambukaparibbajika".

Pada suatu hari, ia tiba di Savatthi. Sebelum memasuki kota untuk menerima dana makanan, ia membuat sebuah gundukan pasir dan menancapkan sebatang ranting eugenia di atasnya. Suatu tanda yang biasa ia lakukan untuk mengundang orang lain dan menerima tantangannya.

Sariputta Thera menerima tantangannya. Kundalakesi menanyakan kepadanya seribu pertanyaan dan Sariputta Thera berhasil menjawab semuanya. Ketika giliran Sariputta Thera bertanya kepadanya, Sariputta Thera hanya bertanya seperti ini:

"Apa yang satu itu ? (Ekam nama kim)."

Kundalakesi lama terdiam tidak dapat menjawab. Kemudian ia berkata kepada Sariputta Thera untuk mengajarinya agar ia dapat menjawab pertanyaannya. Sariputta berkata bahwa ia harus terlebih dahulu menjadi seorang bhikkhuni.

Kundalakesi kemudian menjadi seorang bhikkhuni dengan nama Bhikkhuni Kundalakesi. Dengan tekun ia mempraktekkan apa yang diucapkan oleh Sariputta, dan hanya dalam beberapa hari kemudian, ia menjadi seorang arahat.

Tak lama setelah kejadian tersebut, para bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha :

"Apakah masuk akal Bhikkhuni Kundalakesi menjadi seorang arahat setelah hanya sedikit mendengar Dhamma ?"

Mereka juga menambahkan bahwa wanita tersebut telah berkelahi dan memperoleh kemenangan melawan suaminya, seorang pencuri, sebelum ia menjadi paribbajika.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 102 dan 103 berikut ini :

Daripada seribu bait syair yang tak bermanfaat, adalah lebih baik satu kata Dhamma yang dapat memberi kedamaian kepada pendengarnya.

Walaupun seseorang dapat menaklukkan ribuan musuh dalam ribuan kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri.

Syair 104 dan 105
(4) Kisah Brahmana Anatthapucchaka

Suatu ketika, seorang brahmana bernama Anatthapucchaka mengunjungi Sang Buddha dan berkata,

"Bhante, saya berpikir bahwa Anda hanya mengetahui praktek-praktek yang bermanfaat dan tidak mengetahui praktek-praktek yang tidak bermanfaat."

Sang Buddha menjawab bahwa Beliau juga mengetahui praktek-praktek yang tidak bermanfaat dan merugikan. Kemudian Sang Buddha menyebutkan satu per satu enam praktek yang dapat memboroskan kekayaan, sebagai berikut :
  1. Tidur sampai matahari terbit,
  2. Kebiasaan bermalas-malasan,
  3. Bertindak kejam,
  4. Gemar minum-minuman keras yang menyebabkan mabuk dan lemahnya kesadaran,
  5. Berkeliaran sendiri di jalan pada waktu yang tidak tepat, dan
  6. Perilaku seks yang salah.
Setelah itu Sang Buddha bertanya kepada brahmana tersebut bagaimana ia menghidupi dirinya.

Brahmana itu menjawab bahwa ia menghidupi dirinya dengan berjudi, sebagai contoh : bermain dadu. Selanjutnya Sang Buddha bertanya kepadanya apakah ia menang atau kalah. Ketika sang brahmana menjawab bahwa ia kadangkala menang dan kadangkala kalah, Sang Buddha berkata kepadanya,

"Menang dalam permainan dadu tidak dapat diperbandingkan dengan kemenangan melawan kekotoran batin."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 104 dan 105 berikut ini :

Menaklukkan diri sendiri sesungguhnya lebih baik daripada menaklukkan makhluk lain; orang yang telah menaklukkan dirinya sendiri selalu dapat mengendalikan diri.

Tidak ada Dewa, Mara, Gandhabba, ataupun Brahmana yang dapat mengubah kemenangan dari orang yang telah dapat menaklukkan dirinya sendiri.

Syair 106
(5) Kisah Paman Sariputta Thera

Suatu ketika, Sariputta Thera bertanya kepada pamannya seorang brahmana apakah ia telah melakukan perbuatan-perbuatan baik.

Sang brahmana menjawab bahwa ia telah membuat persembahan senilai seribu kahapana setiap bulan untuk pertapa-pertapa Nigantha, dan berharap untuk dapat terlahir kembali di alam brahma dalam kehidupannya yang akan datang.

Sariputta Thera menjelaskan kepadanya bahwa gurunya telah memberikan harapan yang salah dan mereka sendiri pun tidak mengetahui jalan menuju alam brahma. Kemudian Sariputta Thera membawa pamannya menghadap Sang Buddha, dan memohon kepada Sang Buddha untuk menjelaskan Dhamma, yang dengan pasti akan membawa seseorang ke alam brahma. Sang Buddha berkata,

"Brahmana, persembahan sesendok dana makanan kepada seorang suci akan lebih baik daripada persembahan seribu kahapana kepada orang yang tidak suci."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 106 berikut :

Biarpun bulan demi bulan seseorang mempersembahkan seribu korban selama seratus tahun, namun lebih baik jika ia menghormati orang yang memiliki pengendalian diri, walaupun hanya sesaat saja.

Paman Sariputta Thera mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Syair 107
(6) Kisah Keponakan Sariputta Thera

Pada lain kesempatan, Sariputta Thera bertanya kepada keponakannya, seorang brahmana, apakah ia telah melakukan perbuatan-perbuatan baik. Keponakannya menjawab bahwa ia telah mengorbankan seekor kambing ke dalam api pemujaan setiap bulan, dan ia berharap untuk dapat terlahir kembali di alam brahma pada kehidupannya yang akan datang.

Sariputta Thera menjelaskan kepadanya bahwa gurunya telah memberikan harapan yang salah dan mereka sendiri pun tidak mengetahui jalan menuju alam brahma.

Kemudian Sariputta Thera membawa keponakannya seorang brahmana muda menghadap Sang Buddha. Di sana, Sang Buddha mengajarkan Dhamma yang dapat menuntun seseorang menuju ke alam brahma dan berkata kepada sang brahmana,

"Brahmana muda, memberikan penghormatan kepada orang suci untuk sesaat saja akan jauh lebih baik daripada memberikan pengorbanan untuk api pemujaan selama seratus tahun."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 107 berikut :

Biarpun selama seratus tahun seseorang menyalakan api pemujaan di hutan, namun sesungguhnya lebih baik jika ia, walaupun hanya sesaat saja, menghormati orang yang telah memiliki pengendalian diri.

Keponakan Sariputta Thera mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Syair 108
(7) Kisah Teman Sariputta Thera

Pada kesempatan lain lagi, Sariputta Thera bertanya kepada temannya, seorang brahmana, apakah ia telah melakukan perbuatan-perbuatan baik. Temannya menjawab bahwa ia telah melakukan persembahan pengorbanan dalam skala besar. Ia berharap untuk dapat terlahir kembali di alam brahma dalam kehidupannya yang akan datang.

Sariputta Thera menjelaskan kepadanya bahwa gurunya telah memberikan harapan yang salah dan mereka sendiri pun tidak mengetahui jalan menuju alam brahma.

Kemudian Sariputta Thera membawa temannya menghadap Sang Buddha, yang menunjukkannya jalan menuju ke alam brahma. Kepada teman Sariputta Thera, Sang Buddha berkata,

"Brahmana, memberikan penghormatan kepada orang suci (ariya) untuk sesaat saja akan lebih baik dari pada melakukan persembahan pengorbanan besar dan kecil sepanjang tahun."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 108 berikut :

Dalam dunia ini, pengorbanan dan persembahan apapun yang dilakukan oleh seseorang selama seratus tahun untuk memperoleh pahala dari perbuatannya itu, semuanya tidak berharga seperempat bagian pun daripada penghormatan yang diberikan kepada orang yang hidupnya lurus.

Brahmana teman Sariputta Thera mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Syair 109
(8) Kisah Ayuvaddhanakumara

Vessavaṇa (raja Dewa alam Caturmaharajika) berjanji kepada sesosok Yakka (kata generik untuk mendefinisikan mahluk halus yang berkemampuan) bahwa ia akan melayani sang Yakka selama dua belas tahun jika ia mendapatkan seorang anak lelaki dari seorang brahmana pada akhir hari ketujuh. Suatu waktu dua orang pertapa yang tinggal bersama, mempraktekkan pertapaan yang keras (tapacaranam) selama bertahun-tahun lamanya. Kemudian, satu di antara dua pertapa itu meninggalkan kehidupan bertapa dan menikah. Setelah seorang anak laki-lakinya lahir, keluarga tersebut mengunjungi pertapa tua temannya dan memberi hormat kepadanya. Kepada kedua orang tua anak itu sang pertapa berkata,

"Semoga kalian panjang umur,"

tetapi dia tidak berkata apa-apa kepada si anak.

Kedua orang tua tersebut bingung dan menanyakan kepada pertapa, apakah alasannya ia tidak berkata apa-apa kepada anak itu. Sang pertapa berkata kepada mereka bahwa anak tersebut hanya akan hidup tujuh hari lagi dan ia tidak tahu bagaimana untuk mencegah kematiannya, tetapi Buddha Gotama mungkin tahu bagaimana cara mencegahnya.

Kemudian orang tua tersebut membawa anaknya menghadap Sang Buddha; ketika mereka memberi hormat kepada Sang Buddha, Beliau juga berkata,

"Semoga kalian panjang umur,"

hanya kepada kedua orang tua itu dan tidak kepada anaknya. Ketika mereka bertanya, Sang Buddha berkata ada bahaya kematian akan melanda anak itu dan menasehati kepada orang tua itu agar mereka membangun paviliun di depan pintu masuk rumahnya dan meletakkan anak tersebut pada dipan di dalam paviliun dan menyebabkan beberapa Bhikkhu datang dan membaca Paritta selama 7 hari.

Kemudian beberapa bhikkhu diundang ke sana untuk membaca paritta selama tujuh hari. Pada hari ke tujuh Sang Buddha sendiri datang ke paviliun itu. Para dewa dari seluruh alam semesta juga datang. Pada waktu itu Yakka Avaruddhaka berada di pintu masuk, menunggu kesempatan untuk membawa anak itu pergi.

Tetapi kedatangan para dewa menyebabkan Yakka tersebut hanya dapat menunggu di suatu tempat yang jauhnya 2 yojana dari anak tersebut. Sepanjang malam, pembacaan paritta dilaksanakan tanpa henti, sehingga melindungi anak tersebut. Hari berikutnya, anak tersebut diambil dari dipan dan melakukan penghormatan kepada Sang Buddha. Pada kesempatan itu, Sang Buddha berkata,

"Semoga kamu panjang umur," kepada anak tersebut. Ketika ditanya berapa lama anak tersebut akan hidup, Sang Buddha menjawab bahwa ia akan hidup selama seratus dua puluh tahun. Kemudian anak itu diberi nama Ayuvaddhana.

Ketika anak tersebut remaja, ia pergi berkeliling negeri dengan disertai lima ratus orang pengikut. Suatu hari, mereka datang ke Vihara Jetavana, para bhikkhu mengenalinya, dan bertanya kepada Sang Buddha,

"Dengan melaksanakan apa seseorang bisa berumur panjang ?"

Sang Buddha menjawab,

"Dengan menghormati dan menghargai yang lebih tua, yang memiliki kebijaksanaan serta kesucian, niscaya seseorang akan memperoleh tidak hanya umur panjang, tetapi juga keindahan, kebahagiaan, dan kekuatan."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 109 berikut :

Ia yang selalu menghormati dan menghargai orang yang lebih tua, kelak akan memperoleh empat hal, yaitu : umur panjang, kecantikan, kebahagiaan, dan kekuatan.

Syair 110
(9) Kisah Samanera Samkicca

Pada suatu ketika, tiga puluh bhikkhu setelah menerima pelajaran obyek meditasi yang diberikan Sang Buddha, pergi menuju sebuah desa besar, yang jauhnya 120 yojana dari Savatthi. Pada waktu itu, lima ratus orang perampok tinggal di tengah-tengah hutan dan mereka berkeinginan untuk membuat persembahan dari daging dan darah manusia untuk makhluk halus penjaga hutan.

Kemudian mereka datang ke vihara desa dan meminta salah seorang bhikkhu diserahkan kepada mereka untuk dikorbankan kepada makhluk halus penjaga hutan. Semua bhikkhu, dari yang tertua sampai yang termuda, bersedia secara sukarela untuk pergi. Di antara para bhikkhu tersebut, terdapat juga seorang samanera muda yang bernama Samkicca.

Samanera itu disuruh menyertai perjalanan mereka oleh Sariputta Thera. Samanera ini baru berumur tujuh tahun, tetapi telah mencapai tingkat kesucian arahat. Samkicca berkata bahwa Sariputta Thera, gurunya, mengetahui bahaya yang akan menghadang mereka, dengan sengaja menyuruhnya untuk menyertai perjalanan para bhikkhu, dan ia telah siap menjadi orang yang pergi memenuhi keinginan perampok.

Kemudian Samkicca pergi bersama perampok. Para bhikkhu merasa sangat sedih telah membiarkan samanera muda pergi. Para perampok membuat persiapan untuk upacara pengorbanan. Ketika semuanya sudah siap, pimpinan mereka mendekati samanera, yang sedang duduk, dengan pikiran terpusat pada konsentrasi terserap (jhana). Sang pimpinan perampok mengangkat pedangnya dan menebaskannya kepada samanera muda, tetapi mata pedang tersebut bengkok tanpa memotong daging samanera.

Ia meluruskan mata pedangnya dan menebaskannya lagi, kali ini, pedang tersebut bengkok sampai ke pangkalnya tanpa melukai samanera. Melihat hal yang aneh ini, pemimpin perampok menjatuhkan pedangnya berlutut di kaki samanera dan memohon ampun. Semua perampok itu terheran-heran dan merasa sangat ngeri, mereka menyesali perbuatannya, dan bertekad akan menjadi bhikkhu.

Samanera muda disertai lima ratus pengikutnya berangkat kembali ke vihara desa dan ketigapuluh bhikkhu yang tinggal di vihara merasa lega dan gembira melihatnya. Kemudian Samkicca dan lima ratus pengikutnya meneruskan perjalanan mereka untuk memberikan penghormatan kepada Sariputta Thera. Setelah bertemu Sariputta Thera mereka pergi untuk memberi penghormatan kepada Sang Buddha. Ketika menceritakan apa yang telah terjadi, Sang Buddha berkata,

"Para bhikkhu jika kamu merampok atau mencuri dan melakukan berbagai bentuk perbuatan jahat, hidupmu akan menjadi tidak berguna, meskipun kamu hidup seratus tahun. Menjalani hidup dengan hidup suci meskipun satu hari lebih baik daripada seratus tahun hidup dengan kejahatan."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 110 berikut :

Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi memiliki kelakuan buruk dan tak terkendali, sesungguhnya lebih baik adalah kehidupan sehari dari orang yang memiliki sila dan tekun bersamadhi.

Syair 111
(10) Kisah Khanu-Kondanna

Setelah menerima pelajaran obyek meditasi dari Sang Buddha, Kondanna pergi ke hutan untuk mempraktekkan meditasi dan di sana Kondanna mencapai tingkat kesucian arahat. Dalam perjalanan pulang untuk memberi penghormatan kepada Sang Buddha, Kondanna sangat lelah dan berhenti di perjalanan.

Kondanna duduk di atas lempengan batu besar dan mengkonsentrasikan pikiran dalam jhana. Pada saat itu lima ratus orang perampok setelah merampok sebuah desa besar datang ke tempat Kondanna berada. Mereka mengira bhikkhu itu bagaikan tunggul pohon sehingga mereka menaruh tumpukan barang rampokan di sekitar tubuh beliau. Ketika hari mulai siang mereka menyadari bahwa apa yang mereka kira sebagai tunggul pohon pada kenyataannya adalah makhluk hidup. Kemudian mereka berpikir bahwa makhluk itu merupakan raksasa sehingga mereka lari dengan ketakutan.

Kondanna menyatakan kepada mereka bahwa ia hanya seorang bhikkhu, bukan raksasa, dan berkata kepada mereka agar jangan takut. Perampok-perampok tersebut terpesona oleh kata-katanya dan memohon maaf atas kesalahan yang telah mereka perbuat.

Tak lama kemudian, semua perampok memohon kepada Kondanna agar berkenan menerima mereka dalam pasamuan bhikkhu. Sejak saat itu Kondanna dikenal dengan nama ‘Khanu Kondanna’ (Kondanna tunggul pohon).

Kondanna beserta bhikkhu-bhikkhu baru menemui Sang Buddha dan menyampaikan kepada Beliau apa yang telah terjadi. Kepada mereka Sang Buddha berkata,

"Hidup seratus tahun dengan ketidaktahuan, melakukan hal-hal yang bodoh, adalah tidak bermanfaat; sekarang kamu telah melihat kebenaran dan telah menjadi bijaksana, kehidupanmu sehari sebagai orang yang bijaksana, sangat bermanfaat."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 111 berikut :

Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi tidak bijaksana dan tidak terkendali, sesungguhnya lebih baik adalah kehidupan sehari dari orang yang bijaksana dan tekun bersamadhi.

Syair 112
(11) Kisah Sappadasa Thera

Suatu ketika seorang bhikkhu tidak merasa bahagia dengan kehidupan sebagai bhikkhu. Pada saat itu juga ia merasa tidak tepat dan memalukan untuk kembali hidup sebagai perumah tangga. Kemudian ia berpikir akan lebih baik jika ia meninggal dunia.

Pada suatu kesempatan, ia memasukkan tangannya ke dalam pot di mana terdapat ular di dalamnya, tetapi ular itu tidak menggigit. Hal ini disebabkan pada kehidupan lalu ular tersebut sebagai budak dan sang bhikkhu sebagai tuannya. Karena kejadian ini bhikkhu tersebut dikenal dengan nama Sappadasa Thera. Pada kesempatan lain, Sappadasa Thera mengambil pisau cukur untuk memotong tenggorokannya.

Sebelum melakukan perbuatan itu, ia merenungkan kesucian dari praktek moralnya (sila) sepanjang hidup sebagai bhikkhu, dan seluruh tubuhnya diliputi kegiuran (piti) dan kebahagiaan (sukha). Kemudian ia melepaskan dirinya dari piti dan mengarahkan pikirannya untuk mengembangkan pengetahuan pandangan terang dan tak lama kemudian Sappadasa mencapai tingkat kesucian arahat, dan ia pulang kembali ke vihara.

Setelah tiba di vihara, bhikkhu-bhikkhu lainnya bertanya ke mana ia telah pergi dan mengapa ia membawa pisau. Ketika Sang Thera berkata kepada mereka bahwa ia bermaksud untuk mengakhiri hidupnya, mereka bertanya kepadanya mengapa ia tidak melakukannya. Ia menjawab,

"Saya sebenarnya bermaksud untuk memotong tenggorokanku dengan pisau ini, tetapi saya sekarang telah memotong semua kekotoran batin dengan pisau pengetahuan pandangan terang."

Para bhikkhu tidak mempercayainya, kemudian mereka pergi menemui Sang Buddha dan berkata,

"Bhante, bhikkhu ini menyatakan bahwa ia telah mencapai tingkat kesucian arahat dengan menaruh pisau di tenggorokannya untuk membunuh dirinya sendiri. Apakah mungkin untuk mencapai jalan kesucian arahat (arahatta-magga) dengan cara demikian singkat ?"

Kepada mereka Sang Buddha menjawab,

"Para bhikkhu, ya, itu mungkin, untuk seorang yang bersemangat dan rajin dalam mempraktekkan ketenangan dan mengembangkan pandangan terang, ke-arahat-an akan dicapai dalam waktu singkat. Seperti halnya seorang bhikkhu yang berjalan latihan meditasi, ia dapat mencapai tingkat ke-arahat-an meskipun langkah kakinya belum menyentuh tanah."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 112 berikut :

Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi malas dan tidak bersemangat, maka sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang berjuang dengan penuh semangat.

Syair 113
(12) Kisah Patacara Theri

Patacara merupakan putri seorang kaya dari Savatthi. Ia sangat cantik dan dijaga dengan sangat ketat oleh orang tuanya. Tetapi, suatu hari ia meninggalkan rumahnya dengan kekasih pilihannya, seorang pelayan laki-laki dari keluarganya. Mereka pergi menetap di sebuah desa, kini ia sebagai istri orang miskin.

Tidak berselang lama ia hamil dan pada saat persalinan sudah dekat, ia meminta izin kepada suaminya untuk kembali ke tempat orang tuanya di Savatthi. Tetapi suaminya melarang. Pada suatu hari, ketika suaminya pergi, ia pergi ke rumah orang tuanya.

Suaminya mengikutinya, menangkapnya di perjalanan, dan memohon kepadanya untuk pulang bersama, tetapi ia menolak. Hal itu terjadi pada saat usia kelahiran sudah dekat. Akhirnya ia melahirkan anak laki-laki di semak-semak. Setelah melahirkan anaknya ia kembali ke rumah bersama suaminya.

Sekali lagi hal di atas terjadi, ia hamil lagi, dan pada saat persalinan anaknya sudah dekat, ia pergi ke rumah orang tuanya di Savatthi. Suaminya mengikutinya dan menangkapnya di tengah perjalanan, tetapi saat persalinan datang dengan cepat dan juga hujan turun sangat lebat. Suaminya mencari tempat yang sesuai untuk persalinan dan ketika ia membersihkan sebidang tanah, ia digigit oleh seekor ular berbisa.

Ia meninggal dunia saat itu juga. Patacara menunggu suaminya dan pada saat menunggu itu ia melahirkan anak kedua. Pada pagi hari, ia mencari suaminya, tetapi ia hanya menemukan tubuh suaminya yang sudah kaku. Ia berkata kepada dirinya sendiri bahwa suaminya meninggal dunia karena dirinya, kemudian ia meneruskan perjalanan ke rumah orang tuanya.

Karena hujan yang tak henti-hentinya sepanjang malam, sungai Aciravati menjadi banjir, sehingga tidak memungkinkan baginya untuk menyeberangi sungai bersama kedua anaknya. Dengan meninggalkan anak tertua di tepi sungai sebelah sini. Ia menyeberangi sungai dengan anak laki-laki yang baru berumur sehari.

Ia menaruh bayi itu di tepi sungai, dan menyeberang kembali untuk menjemput anak tertua. Ketika ia berada di tengah sungai, elang besar melayang-layang menuju tempat anak kedua berada. Elang itu mematuknya seperti menggigit sepotong daging. Ia berteriak-teriak untuk menakut-nakuti burung itu, tetapi semua itu sia-sia. Anak bayi itu telah dibawa pergi oleh elang besar.

Pada saat itu anak yang tertua mendengar ibunya berteriak-teriak dari tengah sungai dan anak itu berpikir bahwa ibunya memanggilnya untuk datang kepadanya. Kemudian ia menyeberangi sungai untuk pergi ke tempat ibunya berada. Tetapi anak itu terbawa arus sungai yang sedang banjir. Patacara kehilangan kedua anaknya, dan juga kehilangan suaminya.

Patacara mencucurkan airmata dan meratap dengan keras,

"Seorang anak telah dibawa pergi seekor elang, anak yang lainnya terbawa arus, suamiku juga meninggal dunia digigit ular berbisa !"

Kemudian ia melihat seorang laki-laki dari Savatthi dan dengan sedih menanyakan tentang orang tuanya. Laki-laki itu menjawab badai yang terjadi di Savatthi kemarin malam telah merobohkan rumah orang tuanya dan kedua orang tuanya beserta tiga saudara laki-lakinya meninggal dunia serta telah dikremasikan di atas satu tumpukan kayu.

Mendengar berita yang demikian tragis, Patacara menjadi gila, ia tidak peduli bahwa bajunya telah terlepas dari badannya, dan ia hampir tak berpakaian. Ia berlari-lari di sepanjang jalan, berteriak-teriak tentang kesengsaraannya.

Ketika Sang Buddha memberikan khotbah di Vihara Jetavana, Beliau melihat Patacara di kejauhan. Beliau menghendaki agar Patacara datang ke dalam pertemuan itu. Kerumunan orang mencoba untuk menghentikan Patacara, dengan mengatakan,

"Jangan biarkan wanita gila itu masuk."

Tetapi Sang Buddha berkata kepada mereka agar tidak mencegah wanita itu masuk. Ketika Patacara cukup dekat untuk mendengar khotbah, Beliau berkata kepadanya untuk berhati-hati dan tenang. Kemudian ia menyadari bahwa ia hampir tidak memakai pakaian dan dengan malu ia duduk. Seorang yang hadir memberinya secarik kain, dan ia membungkus dirinya dengan kain itu. Ia kemudian berkata kepada Sang Buddha bagaimana ia telah kehilangan anaknya, suaminya, saudara laki-lakinya dan orang tuanya. Sang Buddha berkata kepadanya,

"Patacara, jangan takut, kamu telah datang kepada seseorang yang dapat melindungimu dan membimbingmu. Sepanjang proses lingkaran kehidupan ini (Samsara), jumlah air mata yang telah kamu kucurkan atas kematian anakmu, suamimu, orang tuamu, dan saudara laki-lakimu sangat banyak, lebih banyak dari air yang ada di empat samudra."

Kemudian Sang Buddha menjelaskan dengan rinci ‘Anamatagga Sutta’, yang menjelaskan perihal kehidupan yang tak terhitung banyaknya. Berangsur-angsur Patacara merasa tenang. Kemudian Sang Buddha menambahkan bahwa ia seharusnya tidak berpikir keras tentang sesuatu yang telah pergi, tetapi seharusnya mensucikan diri dan berjuang untuk merealisasi nibbana. Mendengar nasehat dari Sang Buddha, Patacara mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Kemudian Patacara menjadi seorang bhikkhuni. Pada suatu hari, ia sedang membersihkan kakinya dengan air dari tempayan. Pada saat ia menuangkan air untuk pertama kalinya, air tersebut hanya mengalir pada jarak yang pendek kemudian meresap; kemudian ia menuangkan untuk kedua kalinya. Air tersebut mengalir sedikit lebih jauh. Tetapi air yang dituangkan untuk ketiga kalinya mengalir paling jauh. Dengan melihat aliran dan menghilangnya air yang dituangkan sebanyak tiga kali, ia mengerti dengan jelas tiga tahapan di dalam kehidupan makhluk hidup.

Sang Buddha melihat Patacara melalui kemampuan batin luar biasa-Nya dari Vihara Jetavana, mengirimkan seberkas sinar dan memperlihatkan diri sebagai seorang manusia. Sang Buddha kemudian berkata kepadanya,

"Patacara, kamu sekarang pada jalan yang benar, dan kamu telah tahu pandangan yang benar tentang kelompok kehidupan (khandha). Seseorang yang tidak mengerti corak tidak-kekal, tidak memuaskan, dan tanpa-inti dari khandha adalah tidak bermanfaat, walaupun ia hidup selama seratus tahun."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 113 berikut :

Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi tidak dapat melihat timbul tenggelamnya segala sesuatu yang berkondisi, sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat timbul tenggelamnya segala sesuatu yang berkondisi.

Patacara mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Syair 114
(13) Kisah Kisagotami Theri

Kisagotami adalah putri seorang kaya dari Savatthi, ia dikenal sebagai Kisagotami karena ia mempunyai tubuh yang langsing. Kisagotami menikah dengan seorang pemuda kaya dan memiliki seorang anak laki-laki. Anak tersebut meninggal dunia ketika ia baru saja belajar berjalan dan Kisagotami merasa sangat sedih.

Dengan membawa mayat anaknya ia pergi untuk mencari obat yang dapat menghidupkan kembali anaknya dari setiap orang yang ditemui. Orang-orang mulai berpikir bahwa ia telah menjadi gila. Tetapi seorang bijaksana, yang melihat kondisinya, berpikir bahwa ia harus memberikan pertolongan dan berkata kepadanya,

"Sang Buddha adalah seorang yang harus kamu datangi. Ia memiliki obat yang kamu butuhkan, pergilah kepadaNya !"

Kisagotami kemudian pergi menemui Sang Buddha dan bertanya, obat apakah yang dapat menghidupkan kembali anaknya. Sang Buddha berkata kepadanya untuk mencari segenggam biji lada dari rumah keluarga yang belum pernah terdapat kematian. Dengan membawa anaknya yang telah meninggal dunia di dadanya, Kisagotami pergi dari rumah ke rumah, untuk meminta segenggam biji lada.

Setiap orang ingin menolongnya, tetapi ia tidak pernah menemukan sebuah rumah pun di mana kematian belum pernah terjadi. Kemudian ia menyadari bahwa tidak hanya keluarganya saja yang telah menghadapi kematian, terdapat lebih banyak orang yang meninggal dunia daripada yang hidup. Tak lama setelah menyadari hal ini, sikap terhadap anaknya yang telah meninggal dunia berubah. Ia tidak lagi melekat kepada anaknya.

Ia meninggalkan mayat anaknya di hutan dan kembali kepada Sang Buddha serta memberitahukan bahwa ia tidak dapat menemukan rumah keluarga di mana kematian belum pernah terjadi. Kemudian Sang Buddha berkata,

"Gotami, kamu berpikir bahwa hanya kamu yang kehilangan seorang anak, sekarang kamu menyadari bahwa kematian terjadi pada semua makhluk. Sebelum keinginan mereka terpuaskan, kematian telah menjemputnya."

Mendengar hal ini, Kisagotami benar-benar menyadari ketidakkekalan, ketidakpuasan dan tanpa inti dari kelompok kehidupan (khandha) dan mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Tak lama kemudian, Kisagotami menjadi seorang bhikkhuni. Pada suatu hari, ketika ia sedang menyalakan lampu, ia melihat api menyala kemudian mati. Tiba-tiba ia mengerti dengan jelas timbul dan tenggelamnya kehidupan makhluk. Sang Buddha melalui kemampuan batin luar biasa-Nya, melihat dari Vihara Jetavana, dan mengirimkan seberkas sinar serta memperlihatkan diri sebagai seorang manusia.

Sang Buddha berkata kepada Kisagotami untuk meneruskan meditasi dengan oyek ketidakkekalan dari kehidupan makhluk dan berjuang keras untuk merealisasi nibbana.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 114 berikut :

Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi tidak dapat melihat ‘keadaan tanpa kematian’ (nibbana), sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat ‘keadaan tanpa kematian’.

Kisagotami mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Syair 115
(14) Kisah Bahuputtika Theri

Suatu saat di Savatthi, tinggallah pasangan suami istri yang memiliki tujuh anak laki-laki dan tujuh anak perempuan. Semua anaknya telah menikah dan keluarga anak-anaknya hidup dengan tidak kekurangan. Kemudian sang ayah meninggal dunia dan sang ibu mendapatkan semua kekayaan tanpa membagi sedikitpun kepada anak-anaknya. Anak laki-laki dan anak perempuannya menginginkan memiliki warisan, sehingga mereka berkata kepada ibunya,

"Manfaat apa yang kami dapatkan dari kekayaan kami ? Tidakkah kita dapat membuatnya berlipat ganda ? Tidak dapatkah kita mengurus ibu kita ?"

Mereka mengatakan hal itu berkali-kali kepada ibu mereka, dan si ibu berpikir bahwa anaknya akan mengurus kehidupan si ibu. Akhirnya ia membagi kekayaan tersebut tanpa menyisakan sedikitpun untuk dirinya.

Setelah pembagian kekayaan, ia pertama kali tinggal bersama anak laki-laki tertua, tetapi mantunya menuntut dan berkata,

"Ia telah datang dan tinggal bersama kita, jika ia memberi kita dua bagian dari kekayaan !"

dan juga hal-hal lain. Lalu ia pergi menetap di anak laki-laki kedua. Hal yang sama juga terjadi. Jadi ia pergi dari satu anak laki-laki ke anak laki-laki lainnya, dari satu anak perempuan ke anak perempuan lainnya, tetapi satupun tidak ada yang mau menerimanya untuk waktu yang lama dan tidak memberikan penghormatan kepadanya.

Wanita tua tersebut merasa sakit hati terhadap perlakuan anak-anaknya. Ia meninggalkan keluarganya dan menjadi bhikkhuni. Karena ia dulu ibu dari banyak anak maka ia dikenal dengan nama Bahuputtika. Bahuputtika menyadari bahwa ia menjadi bhikkhuni pada usia tua dan oleh karena itu ia seharusnya tidak menyia-nyiakan waktu. Ia hendak menggunakan sisa hidupnya dengan sepenuhnya, sehingga sepanjang malam ia meditasi sesuai dengan Dhamma yang telah diajarkan Sang Buddha.

Sang Buddha memperhatikan diri wanita tua itu dari Vihara Jetavana. Melalui kemampuan batin luar biasa Beliau, dengan cahaya yang cemerlang, Beliau terlihat duduk di depan wanita itu. Kemudian Sang Buddha berkata,

"Kehidupan seseorang yang tidak pernah mempraktekkan Dhamma ajaran Sang Buddha adalah tidak berguna, meskipun seseorang hidup seratus tahun."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 115 berikut :

Walaupun seseorang hidup seratus tahun tetapi tidak dapat melihat keluhuran Dhamma (Dhammamuttamam), sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat keluhuran Dhamma.


Sumber: http://members.tripod.com/dhammacakka/dhammapada/dpb8.htm

Kembali ke daftar isi bab ini..
Kembali ke daftar Bab di Dhammapada