Jumat, 18 Maret 2016

Terbentuknya Tipitaka dan Perpecahan Buddhisme Menjadi Banyak Aliran


Bahasa dan pengertian manusia tidaklah terbentuk dengan sendirinya, ini membutuhkan pengajaran agar dapat membentuk suatu ingatan berbahasa dan pengertian lainnya. Beberapa percobaan telah dilakukan untuk membuktikan hal ini, dengan mengisolasi sejumlah bayi selama jangka waktu tertentu untuk diketahui kata pertama apa yang diucapkannya:
  1. Dalam catatan Sejarah Herodotus. Ia mencatat raja Mesir, Psamtik 1 (664 SM – 610 SM) mengasingkan 2 bayi selama 2 tahun untuk diketahui apa kata pertama yang diucapkannya
  2. Raja frederik II abad ke-13, melakukan percobaan yang sama untuk diketahui bahasa apa yang keluar dari mulut mereka apakah Ibrani, Yunani, Latin, Arab atau bahasa ibu yang melahirkan mereka, namun percobaannya gagal
  3. Di abad ke 14/15, James IV dari Skotland, mengasingkan 2 bayi yang diasuh oleh orang bisu
  4. Di Abad ke-15/16, Akbar, raja mughal melakukan percobaan, dengan asumsi bahwa kemampuan berbicara muncul dari pendengaran, jadi manusia yang dibesarkan tanpa pernah mendengar suara manusia akan tuli. Hasilnya, anak-anak itu tidak tuli, namun tidak satupun dari mereka yang dapat berbicara jelas [Lihat juga: ini dan ini]
Demikian pula, dengan proses terjadinya suatu ajaran, ini memerlukan peran aktif para pengajar, institusi (organisasi/negara) dan juga pengulangan yang dilakukan secara masif, sistimatis dan intensif. Pelestarian Buddhisme, dilakukan dengan menghafal. Tercatat, dalam inskripsi Bharbut dari abad 3-2 SM, beberapa penghafal super pria/wanita yang digelari: Bhanaka atau Dhammakathika (pengujar Dhamma) atau Petakin (pengujar keranjang) atau Suttantika (pengujar sutta) atau Pancanekayika (pengujar 5 nikaya) [misal: "A History of Indian Literature: Buddhist literature and Jaina literature", Moriz Winternitz, hal.18]. Bahkan sampai sekarang, kegiatan menghafal ini masih dilakukan, Guiness Book of record, tahun 1985, mencatat nama Sayadaw Mingun, seorang Bikkhu dari desa Mingun, Myanmar. Bertempat di Rangoon, Burma pada bulan May 1954, beliau berhasil mengalunkan 16,000 halaman kanon teks Buddhis dan ketika dibandingkan dengan teks tertulis Tipitaka, hasilnya adalah tanpa salah satu huruf-pun. Ia dianugerahi gelar Tipitakadhara Dhammabhandagarika (Pembaca TiPitaka dan penjaga Dhamma). Tercatat 11 Bikkhu saat itu yang berkemampuan sepertinya.

Untuk tahu lebih lanjut tentang pendiri dan ajaran ini, silakan buka "Riwayat Buddha Gotama" dan juga "Ringkasan Ajaran Buddha" (semua terjemahan sutta/vinaya artikel ini, diasumsikan telah diterjemahkan sesuai)

Tulisan ini terbagi menjadi beberapa bagian yang saling berkait satu dan lainnya (Sangat disarankan agar membaca dari awal):
  1. 5 Minggu Pertama dan Terbentuknya Sangha Bhikkhu; Apakah Mahapajapati Gotami bukan Bhikkhuni pertama?; Penahbisan Bhikkhuni Pertama dan Terbentuknya Sangha Bhikkhuni; 8 Garudhamma (dari text Buddhis Utara dan Selatan), Umur Dhamma Sejati 500 tahun dan Brahmacariya Tidak Bertahan Lama

  2. Konsili ke-1, 7 faktor kemajuan bukan kemunduran, cara menyikapi klaim-klaim bahwa itu adalah ajaran sang Buddha atau bukan, Seminggu Pasca Parinibbana Sang Buddha, Rencana 3 bulan pasca Parinibbana Sang Buddha dan Konsili ke-1, Kapan susunan Tipitaka mencapai bentuk seperti sekarang?, Apakah Dhamma itu?, Apakah ada kemungkinan ujaran-ujaran sang Buddha luput tidak terhimpun?, Beberapa pengumpul Tripitaka translasi Sanskrit ke Tionghoa [↓]

  3. Konsili ke-2, 20 alasan penyebab perpecahan dalam Sangha (PENYEBAB PERPECAHAN SANGHA: SELALU karena seorang Bhikkhu BUKAN KARENA: Seorang Bhikkhuni, Samanera, Samaneri ataupun Umat Awam), Perpecahan Buddhisme Pasca Konsili ke-2 dan 18 Aliran, Apa yang disebut Sangha oleh Buddhis Selatan vs Buddhis Utara?, Mahayana — Hinayana — Theravada, Apa Maksud Terminologi Theravada? [↓]

  4. Asoka - Dinasti MAURYA (Versi Buddhis Utara dan Selatan, serta Purana), Konsili ke-3 (Buddhis Utara: Abhidharma Mahāvibhāṣā Śāstra/Taisho no.1545 dan Śāripūtraparipṛcchā sutra/Taisho no.1465. Buddhis Selatan: Dipavamsa; Mahavamsa dan Samantapasadika), Moggaliputta vs Upagupta, Tradisi garis ajaran dan Konsili ke-3, Upagupta VS Mara: Di konsili ke-3 atau Bukan?, Dinasti Maurya atau Dinasti Shunga? Apakah Sonaka = Sambhuta Sanavasin? Majjhantika dan Upagupta, Apakah Kitab Abhidhamma Sabda dari Sang Buddha? [↓]

  5. Konsili ke-4, PENULISAN TIPITAKA, Mahayana di Sri Lanka dan LENYAPNYA SANGHA BHIKKHUNI THERAVADA [↓]

Minggu ke-1,
paṭhamābhisambuddho Di awal Sang Bhagava mencapai Penerangan Sempurna. Sang Bhagava tinggal di Uruvela, tepi sungai Neranjara, di bawah pohon Bodhi (pohon itu adalah pipala, karena mencapai penerangan sempurna di bawah pohon tersebut, maka gelar pohon itu menjadi pohon bodhi), di sana beliau duduk bersila tidak bergerak selama 7 hari, menikmati kebahagian kebebasannya. (sampai hari ke-7). (hari ke-1, minggu itu - merenungkan formula Paticcasamuppada):
    Pada malam waktu pertama:
    ..Di malam waktu pertama, Sang Bhagava memperhatikan sebab musabab yang saling bergantungan dalam urutan maju: "Ini ada, itu ada; karena munculnya ini, maka muncullah itu. Yaitu:

    dengan adanya ketidaktahuan sebagai kondisi, bentuk-bentuk pemikiran/kehendak muncul;
    dengan adanya bentuk-bentuk pemikiran/kehendak sebagai kondisi, kesadaran muncul;
    dengan adanya kesadaran sebagai kondisi, mental dan jasmani muncul;
    dengan adanya mental dan jasmani sebagai kondisi, enam landasan indria sebagai kondisi, kontak terjadi,
    dengan adanya kontak sebagai kondisi, perasaan muncul;
    dengan adanya perasaan sebagai kondisi, nafsu keinginan muncul;
    dengan adanya nafsu keinginan sebagai kondisi, kemelekatan muncul;
    dengan adanya kemelekatan sebagai kondisi, dumadi/keberlangsungan muncul muncul;
    dengan adanya dumadi/keberlangsungan sebagai kondisi, kelahiran muncul;
    dengan adanya kelahiran sebagai kondisi, umur tua dan kematian, duka cita, keluh kesah, rasa sakit, kesedihan dan keputusasaan muncul.
    Inilah asal mula dari seluruh rangkaian penderitaan".

    Menyadari pentingnya hal ini, Beliau mengungkapkan kotbah inspirasi:

    Jika Kebenaran menjadi jelas bagi Brahmana yang giat bermeditasi, maka semua keraguannya lenyap karena mengerti bagaimana tiap faktor yang muncul ada penyebabnya [Udana 1.1, Mahavagga, Khandaka]

    Pada malam waktu ke-2:
    ..Di malam waktu tengah, Sang Bhagava memperhatikan sebab musabab yang saling bergantungan dalam urutan mundur: "Ini tidak ada, itu tidak ada, dari berhentinya ini, maka itu berhenti. Yaitu:

    dari berhentinya ketidaktahuan, bentuk-bentuk pemikiran/kehendak berhenti;
    dari berhentinya bentuk-bentuk pemikiran/kehendak, kesadaran berhenti;
    dari berhentinya kesadaran, mental dan jasmani berhenti;
    dari berhentinya mental dan jasmani, enam landasan indria berhenti;
    dari berhentinya enam landasan indria, kontak berhenti;
    dari berhentinya kontak, perasaan berhenti;
    dari berhentinya perasaan, nafsu keinginan berhenti;
    dari berhentinya nafsu keinginan, kemelekatan berhenti;
    dari berhentinya kemelekatan, dumadi berhenti;
    dari berhentinya dumadi, kelahiran berhenti;
    dari berhentinya kelahiran, usia tua dan kematian, duka cita, keluh kesah, rasa sakit, kesedihan, dan keputusasaan berhenti.
    Ini merupakan berhentinya seluruh rangkaian penderitaan..", menyadari pentingnya hal ini, beliau kembali mengungkapkan kotbah inspirasi seperti di atas [Udana 1.2, Mahavagga, Khandaka]

    Pada malam waktu terakhir:
    ..di malam waktu terakhir, Sang Bhagava memperhatikan sebab musabab yang saling bergantungan dalam urutan maju dan mundur, demikian:

    "Karena ini ada, itu ada; dari timbulnya ini, timbullah itu; karena tidak ada ini, itu tidak ada; dari berhentinya ini, itu berhenti. Yaitu: dengan adanya ketidaktahuan sebagai kondisi, bentuk-bentuk pemikiran/kehendak muncul; dengan adanya kelahiran sebagai kondisi, maka usia tua dan kematian, duka cita, keluh kesah, rasa sakit, kesedihan, dan keputusasaan muncul. Ini merupakan asal mula seluruh rangkaian penderitaan. Tapi dari lenyap dan berhentinya sama sekali ketidaktahuan keseluruhan maka bentuk-bentuk pemikiran/kehendak berhenti; dari berhentinya kelahiran maka usia tua dan kematian, duka cita, keluh kesah, rasa sakit, kesedihan, dan keputusasaan berhenti. Ini merupakan berhentinya seluruh rangkaian penderitaan..", menyadari pentingnya hal ini, beliau kembali mengungkapkan kotbah inspirasi seperti di atas [Udana 1.3, Mahavagga, Khandaka]
Minggu ke-2,
Setelah 7 hari, (hari ke-8) beliau bangkit dari Samadhi-nya, pergi dari pohon Bodhi, ke pohon beringin tempat penggembalaan kambing (ajapālanigrodho). Di sana beliau juga duduk bersila tidak bergerak selama 7 hari, merasakan kebahagiaan kebebasan. (sampai hari ke-15)

Kemudian datang seorang Brahmana tertentu yang menggumamkan 'hum-hum' (huṃhuṅ: Chāndogya Upaniṣad-1.13: 12 suku kata mistik/stobha diucapkan pendeta pembantu/adhvaryu saat doa. Suku kata ke-13nya huṁ, maksudnya “tak terdefinisi”/anirukta, terkait sifat tak terdefinisi dari keilahian yang diajarkan alirannya), Ia mendekati Sang Bhagavā; bertegur sapa, setelah berakhirnya ramah tamah itu, Brahmana itu tetap berdiri di satu sisi dan berkata kepada Sang Bhagava: "Gotama yang baik, bagaimanakah seseorang bisa disebut Brahmana dan apakah hal-hal yang membuat seseorang menjadi Brahmana?". Menyadari pentingnya hal ini, Sang Bhagava mengungkapkan kotbah inspirasi:
    Brahmana adalah seseorang yang telah membuang semua hal buruk, tidak menggumamkan hum-hum, bebas noda, terkendali, sempurna pengetahuannya menjalankan kehidupan brahma (Vedantagū vūsitabrahmacariyo). Ia disebut di jalan Brahma, tiada banding di alam manapun [Udana 1.4, Mahavagga, Khandaka]
Minggu ke-3,
Setelah 7 hari, (hari ke-16), beliau bangkit dari Samadhi-nya, pergi dari pohon beringin tempat pengembalaan kambing ke pohon Putat sungai (mucalindo). Di sana beliau juga duduk bersila tidak bergerak selama 7 hari, merasakan kebahagiaan kebebasan (sampai hari ke-23).

Saat itu walaupun bukan musimnya, terjadi badai yang besar, dan selama 7 hari hujan, berawan hitam, angin yang dingin. Raja-Naga Mucalinda keluar dari tempat tinggalnya, melingkari tubuh Sang Bhagava 7 kali, menegak dengan tudung di kepalanya mengembang di atas kepala Sang Bhagava, (dengan berpikir) agar Sang Bhagava tidak kedinginan, kepanasan, tidak diganggu nyamuk, angin, panas, dan makhluk yang merayap.

Setelah 7 hari, langit cerah dan awan hujan menghilang, Raja-Naga Mucalinda melepaskan llitan tubuhnya dari tubuh Sang Bhagava, mengubah dirinya menjadi seorang pemuda, berdiri di depan Sang Bhagava, dengan anjali (tangan di dahi) menghormat pada beliau. Menyadari pentingnya hal itu, Sang Bhagava mengungkapkan kotbah inspirasi:
    Kebebasan (tidak terikat) adalah kebahagian yang memuaskan (Sukho viveko tuṭṭhassa),
    terlihat bagi yang belajar dhamma (sutadhammassa passato);
    Dunia bahagia tanpa membenci (abyāpajjaṁ sukhaṁ loke)
    menahan diri menyakiti kehidupan (pāṇabhūtesu saṁyamo); tidak melekati duniawi adalah kebahagaian (Sukhā virāgatā loke),
    mengatasi nafsu indriyawi (kāmānaṁ samatikkamo);
    yang membuang pemikiran/menyombongkan diri "inilah aku” (smimānassa yo vinayo),
    itu hembusan terdahsyat dari kebahagiaan (etaṁ ve paramaṁ sukhan”ti.)
    . [Udana 2.1, Mahavagga-Khandaka]
Minggu ke-4,
Setelah 7 hari, (hari ke-24), beliau bangkit dari Samadhi-nya, pergi dari pohon Putat sungai (mucalindo) ke pohon jenis Mangga/jambu mete (rājāyatanaṁ/Buchanania axillaris). Di sana beliau juga duduk bersila tidak bergerak selama 7 hari, merasakan kebahagiaan kebebasan (sampai hari ke-31).

Saat itu, pedagang Tapussa dan Bhallika sedang melakukan perjalanan dari Ukkalā ke daerah itu. Seorang dewa yang dulunya pernah sebagai kerabat mereka berkata, “Tuan-tuan, sang Bhagava, baru saja mencapai penerangan sempurna, Ia ada di bawah pohon sejenis mangga/jambu mete, persembahkan makanan lunak berbentuk bola dari beras-madu (manthena ca madhupiṇḍikāya), ini akan memberikan kalian kebahagiaan dan kesejahteraan untuk waktu yang panjang", Mereka pergi menemui sang Bhagava, dengan memberi hormat berkata “Tuan, terimalah makanan lunak berbentuk bola dari beras-madu, ini akan memberikan kami kebahagiaan dan kesejahteraan untuk waktu yang panjang”. Kemudian, muncul dalam pikiran Sang Buddha, “Para Buddha tidak menerima dengan tangan mereka, dengan apa aku harus menerima makanan lunak berbentuk bola dari beras-madu” (mangkok yang diterima dari Sujata telah dihanyutkan di Sungai Neranjara dan sejak zaman dahulu tidak pernah seorang Buddha menerima makanan dengan kedua tangan-Nya).

Empat raja dewa dari empat penjuru (Dhatarattha dari Timur, Virulhaka dari Selatan, Virupakkha dari Barat, dan Kuvera dari Utara) mengetahui pikiran sang Bhagava, datang dengan 4 mangkuk yang terbuat dari kristal, berkata, "mohon Yang Mulia agar menerimanya dengan ini”. Sang Bhagava menerimanya (Paṭiggahesi bhagavā) dengan mangkok terbuat dari kristal dijadikannya satu (paccagghe selamaye patte) makanan lunak berbentuk bola dari beras-madu diterima dan memakannya, Setelah Tapussa dan Bhallika tahu bahwa Sang Buddha telah selesai makan, mereka bersujud dengan kepala di kaki Sang Buddha, berkata, "Bhante, kami berlindung kepada Sang Bhagava dan Ajaran. terimalah kami sebagai umat awam yang telah berlindung sejak sekarang sampai kami wafat". Melalui dua ucapan ini, mereka menjadi pengikut awam pertama. [Vinaya I]

Minggu ke-5,
Setelah 7 hari, (hari ke-32), beliau bangkit dari Samadhi-nya, pergi dari pohon jenis Mangga/jambu mete (rājāyatanaṁ/Buchanania axillaris) ke ke pohon beringin tempat penggembalaan kambing (ajapālanigrodho). Di sana beliau juga duduk bersila tidak bergerak selama 7 hari, merasakan kebahagiaan kebebasan (sampai hari ke-39) [Mahavagga-Khandha]

Setelah terbangun, muncul dalam pikiran beliau:
    “Dhamma yang Kutemukan ini dalam (gambhīro), sulit dilihat (duddaso), sulit dimengerti (duranubodho), damai (santo) luhur (paṇīto), tidak pikiran dengan spekulasi (atakkāvacaro) dapat dialami para bijak (nipuṇo ­paṇ­ḍita­veda­nīyo). Generasi ini menyenangi keduniawian, bergembira dalam keduniawian, bersukacita dalam keduniawian. Sulit bagi generasi ini untuk melihatnya terkait hubungan sebab dan kemunculan bergantungan (idappac­caya­tā­paṭic­ca­samup­pādo). Dan adalah sulit untuk melihatnya terkait tenangnya segala bentukan (sabba­saṅ­khā­ra­sama­tho), lepasnya segala kemelekatan, hancurnya keinginan, kebosanan, lenyapnya, nibbāna. Namun jika Aku mengajarkan Dhamma ini (ahañceva kho pana dhammaṃ deseyyaṃ) dan pihak lainnya (pare ca me) tidak memahami ini (ājāneyyuṃ), Ia akan melelahkan dan menyusahkanKu"

    Selanjutnya muncul dari sang Bhagava, syair-syair yang belum pernah terdengar sebelumnya:

    Sungguh sulit yang kuperoleh (icchena me adhigataṃ)
    Kini dapat diketahui (halaṃ dāni pakāsituṃ);
    yang terpengaruh nafsu dan kebencian (rāgadosaparetehi)
    tidak dapat menembus dhamma (nāyaṃ dhammo susambudho)

    perlu keterampilan menembus arus (paṭisotagāmiṃ nipuṇaṃ),
    yang dalam, sulit dilihat dan halus (gambhīraṃ duddasaṃ aṇuṃ),
    para budak nafsu yang tak tangkas (rāgarattā na dakkhanti),
    berada dalam kegelapan (tamokhandhena āvuṭā)
Brahmā Sahampati memahami pikiran beliau, berpikir:
    ‘Dunia akan musnah (nassati vata bho loko), dunia akan binasa (vinassati vata bho loko), karena Sang Tathāgata yang sempurna dan tercerahkan sempurna (yatra hi nāma tathāgatassa arahato sammāsambuddhassa), pikirannya condong untuk tidak bertindak (appossukkatāya cittaṃ namati), tidak mewejangkan Dhamma (no dhammadesanāyā)’
Secepat seorang kuat merentangkan tangannya yang tertekuk atau menekuk tangannya yang terentang, Brahmā Sahampati lenyap dari alam Brahmā dan muncul di hadapan beliau, merangkapkan tangan dan memohon:
    Yang Mulia, sudilah Sang Bhagavā mewejangkan Dhamma, sudilah Yang Sempurna mewejangkan Dhamma. Ada makhluk-makhluk dengan sedikit debu di mata mereka akan tersia-sia karena tidak mendengarkan Dhamma. Akan ada di antara mereka yang akan memahami Dhamma’ [SN 6.1; MN 26; MN 85, sebagian di DN 14 dan Vinaya I atau Vinaya IV, Mahavagga]
Hingga kini kenangan kebajikan yang dimohonkan Brahma Sahampati, sehingga membuat Sang Buddha mengajar hingga 45 tahun kemudian sampai malam wafatnya, diperingati dengan syair oleh umat awam kepada bhikkhu, ketika hendak memohon wejangan Dhamma:
    Brahmā ca lokādhipatī sahampatī, Katañjalī anadhivaraṃ ayācatha; “Santīdha sattāpparajakkha-jātikā, Desehi dhammaṃ anukampimaṃ pajaṃ"
    Brahma Sahampati Sang Pemimpin dunia, ber-anjali kepada Sang terberkahi memohon, "Di sini terdapat para mahluk dengan sedikit debu di mata, wejangkanlah dhamma demi belas-kasihan kepada mereka" [Buddhavamsa no.1]
Sang Buddha melihat ke seputar jagad dengan Buddha cakkhu (mata seorang Buddha: melihat mentalitas manusia, makhluk yang menyadari keadaan moral makhluk lain dan bertekad untuk membantu mereka di Jalan menuju Pengetahuan yang Benar) melihat ada yang mampu memahami Dhamma walaupun dibabarkan singkat; Ada yang mampu memahami Dhamma setelah dibimbing dan diberi penjelasan rinci; Ada yang mampu memahami Dhamma karena dibimbing dan mempraktikan Dhamma selama bertahun-tahun; Ada yang tak akan menyadari Dhamma dalam hidup ini namun akan memetik manfaat dalam kehidupan selanjutnya. Maka Buddha lalu berkata:
    "Terbukalah pintu tanpa kematian (apārutā tesaṃ amatassa dvārā), bagi mereka yang mau mendengarkan dengan keyakinan (Ye sotavanto pamuñcantu saddhaṃ); Praktek kekejaman tidak lagi bersinar (Vihiṃsasaññī paguṇaṃ na bhāsiṃ), Dhamma akan dibawakan diantara manusia, O Brahma (Dhammaṃ paṇītaṃ manujesu brahme)"
Brahma Sahampati bergembira, karena sang Buddha meluluskan permohonannya, kemudian pergi menghilang [SN 6.1; MN 26; MN 85, sebagian di DN 14 dan Vinaya I]

Setelah menerima permohonan Brahma Sahampati, beliau merenungkan: ‘Kepada siapakah pertama kali Aku mengajarkan Dhamma? Siapakah yang akan memahami Dhamma ini dengan cepat?’ Āḷāra Kālāma bijaksana, cerdas, dan dapat melihat; ia telah lama memiliki sedikit debu di matanya. Bagaimana jika Aku mengajarkan Dhamma pertama kali kepada Āḷāra Kālāma. Ia akan memahaminya dengan cepat.’ . Para deva mendatangi Sang Buddha mengatakan bahwa Āḷāra Kālāma meninggal 7 hari yang lalu dan dari pengetahuan dan penglihatannya beliau tahu bahwa benar Āḷāra Kālāma meninggal 7 hari yang lalu. Demikian pula ketika beliau berpikir tentang Uddaka Rāmaputta, Para Deva menyampaikan bahwa Uddaka Rāmaputta meninggal kemarin malam dan dari pengetahuan dan penglihatannya, beliau tahu bahwa benar Uddaka Rāmaputta meninggal kemarin malam, Kemudian beliau teringat 5 teman asetiknya: Kondanna, Bhaddiya, Vappa, Mahanama dan Assaji, mengetahui bahwa mereka tinggal di taman rusa Isipatana/Sarnath, dekat Varanasi. Setelah tinggal di Uruvela selama waktu yang dikehendaki, beliau menuju Sarnath [MN 26, Vinaya IV, Mahavagga]



Jarak Bodhgaya/Uruvela - Sarnath menurut map adalah 234 KM, dengan berjalan 18km/hari, maka 13 hari kemudian, beliau di taman rusa Isipatana dan pada Purnama bulan Asalha/Asadha, Dhammacakkappavatana Sutta untuk pertama kalinya dibabarkan kepada 5 Petapa, satu persatu dari mereka mencapai Dhammacakkhu/Sotapanna, satu persatu dari mereka ditahbiskan secara ehibhikkhu (datanglah bhikkhu) hingga genap 5 Bhikkhu, maka terbentuklah sangha Bhikkhu dan dunia saat itu, memiliki 6 arahat, termasuk Sang Buddha. [Kd.1]. Awalnya para bhikkhu ditahbiskan dengan metoda ehibhikkhu, kemudian bertambah dengan penahbisan dengan 3 perlindungan [Kd 1.9] dan salah satu pengecualiannya adalah penahbisan Maha Kassapa, yang dilakukannya dengan cara:
    Membungkukkan kepala di kaki sang Bhagava dan berkata: satthā me, bhante, bhagavā, sāvakohamasmi (Tuan, Sang Bhagava adalah guruku, Aku adalah muridmmu) 2x
    Kemudian, sang Buddha menahbiskan Maha Kassapa dengan 3 nasihat latihan: (1) Aku akan membangkitkan rasa malu dan takut berbuat salah terhadap: para senior, yang baru ditahbiskan, dan yang di tengah-tengah; (2) Kapanpun aku mendengarkan Dhamma yang terkait dengan hal yang bermanfaat, aku akan mendengarkannya, memperhatikannya, mengarahkan pikiran dan berkonsentrasi dengan sungguh-sungguh; (3) Aku tidak akan mengabaikan untuk dengan gembira melakukan ingatan terhadap jasmani [SN 16.11]
Kemudian penahbisan 3 perlindungan dihapuskan, diganti penahbisan dengan 1 tindakan (formal): 1 usulan dan 1 resolusi yang dilakukan 3x [ñatticatutthena kammena upasampādetuṁ] [Kd 1.17], kemudian penahbisan dilakukan Sangha dengan jumlah sekurangnya 10 bhikkhu yang memiliki masa vassa 10 tahun dan kompeten [Kd 1.19] atau untuk Bhikkhuni, Penahbis harus memiliki masa vassa 12 tahun dan kompeten [Pacittiya ke-74, Bhikkhuni], Setelah Bhikkhu ditahbiskan, jika kompeten, Ia dapat bergantung pada Upajjhayanya hanya selama 5 tahun/vassa (contoh pengecualian yaitu YM Sona, mandiri hanya setelah 1 vassa - Ud 5.6), tapi tidak bagi yang tidak kompeten [Kd 1.40]. Samanera: Pria yang belum cukup umur untuk menjadi bhikkhu, Ia ditahbiskan guru Pabbajja untuk menjalankan 10 sila/aturan latihan, setelah cukup umur dapat ditahbiskan penuh (upasampada) untuk menjadi Bhikkhu. Samanera bukan anggota Sangha.

Apakah Mahapajapati Gotami bukan Bhikkhuni pertama?
Lokasi permohonan dan penerimaan Gotami sebagai Bhikkhuni (AN 8.51, Kd 20) adalah sama dengan lokasi Gotami mempersembahkan jubah yang dibuat dengan tangannya sendiri kepada Sang Buddha (MN 142, Sarvastivada MA 180 dan T 84), yaitu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di antara suku Sakya di Taman Pohon Beringin, Kapilavatthu.
    Di MN 142:
    Pada bagian awal, Mahapajapati Gotami datang mempersembahkan jubah yang dibuat dengan tangannya sendiri, Ia hendak memberikan hanya kepada Sang buddha, namun Sang Buddha memberikan arahan "Persembahkanlah kepada Sangha, maka baik Aku maupun Sangha telah dihormati". tetapi ibundanya tidak bergeming, sampai 3x sang Buddha mengulanginya. Kemudian Ananda meminta Sang Buddha menerima jubah tersebut sesuai kehendak Gotami, memuji kualitas Gotami, hubungannya dengan beliau dan berkat beliau Gotami berkeyakinan pada 3 ratna dan menjalankan 5 sila.

    Setelahnya, sampai dengan berakhirnya sutta merupakan pembabaran Sang buddha kepada Ananda terkait penjelasan tentang persembahan, kemudian mulai di kalimat: "Terdapat 7 jenis persembahan yang diberikan kepada Sangha.." terdapat kata Bhikkhuni, padahal di awal, disampaikan bahwa Gotami sebagai umat awam bukan Bhikkhuni, sejak setelah 3x arahan dari sang Buddha sampai akhir narasi, nama Gotami tidak ada lagi dan di akhir narasi diketahui bahwa sutta dibabarkan hanya kepada Ananda.

    Di MA 180:
    mengawalinya dengan Mahapajapati Gotami sebagai umat awam, setelah 3x Sang Buddha menyampaikan arahan sampai akhir narasi, nama Gotami tidak ada lagi, dan di akhir narasi diketahui sutta dibabarkan kepada Ananda dan para bhikkhu.
Merujuk MN 142/MA 180, karena diawal disebutkan bahwa Gotami sebagai umat awam sedangkan ditengah sutta terdapat kata Bhikkhuni, maka beberapa berpendapat bahwa sangha Bhikkhuni ada sebelum Gotami ditahbiskan atau dengan kata lain, Gotami bukan bhikkhuni pertama. Oleh karenanya tidak mengherankan jika sutra T 84 menyebutkan Mahapajapati Gotami sebagai biksuni
    "Pada saat itu ada seorang Bikshuni yang bernama Mahapajapati" (爾時有一苾芻尼名摩訶波闍波提, Ěr shí yǒuyī bì chú nímíng mó hē bō dū bō tí) dan Mahapajapati yang menjalankan 5 sila sebagai ucapan sang Buddha terkait keadaan sebelumnya, di bagian akhir sutra: "Pada saat itu, YM Ananda dan Biksuni Mahapajapati mendengar kata-kata Sang Buddha, bersemangat gembira, berkeyakinan dan mempraktikkannya" (爾時尊者阿難及摩訶波闍波提苾芻尼聞佛說已,歡喜踊躍,信受奉行, Ěr shí zūn zhě ānán jí mó hē bō dū bō tí bì chú ní wén fú shuō yǐ, huānxǐ yǒngyuè, xìn shòu fèngxíng). [T 84]
Narasi MN 142 pastinya bukan kesalahan redaksi, karena frase Bhikkhuni muncul 3x dalam penjelasan tentang Persembahan dan itu merupakan suatu kelumrahan, mengingat para aliran petapa lain, sebelum Buddha Gotama adapun telah mempunyai para petapa wanita sebagai bagian sangha mereka, namun di MN 142, selain pada bagian awal, maka sampai dengan akhir narasi, tidak lagi ada nama Gotami, ini konsisten dengan tidak adanya respon Gotami diakhir pembabaran penjelasan tentang Persembahan (Respon terhadap pembabaran selalu muncul dalam sutta-sutta yang dibabarkan kepada orang-orang tertentu), maka di MN 142, saat sang Buddha memberikan penjelasan tentang Persembahan adalah jelas tanpa kehadiran Gotami, sehingga MN 142 bukan di satu waktu yang sama, tapi sebagai kesatuan rangkaian cerita terpisah pada kurun waktu berbeda, yaitu bagian pertama tentang persembahan jubah oleh Gotami sebagai alasan pembabaran dhamma dan bagian berikutnya sebagai penjelasan tentang Persembahan, atau dengan kata lain, sutta ini dibabarkan belakangan setelah Gotami mempersembahkan jubah. Pun jika Kapilavatthu ini adalah tempat dan waktu yang sama, maka AN 8.51 dan Kd 20 konsisten menyampaikan bahwa setelah sang Buddha meninggalkan Kapilavatthu dan sampai di Vesali, Mahapajapati Gotami (dan 500 perempuan) masihlah umat awam.

Pemberian jubah dilakukan setelah musim vassa/musim hujan (civarakala). Pada musim vassa, para petapa (Buddhis dan non) TIDAK LELUASA BEPERGIAN, agar tanaman yang mulai tumbuh TIDAK RUSAK [Mahavagga 3.1], agar tidak rawan sakit akibat kehujanan. Pada musim hujan ini, para Bhikkhu sulit mendapatkan makanan, sulit mendapatkan potongan kain untuk jubah (cīvara), yang mereka kumpulkan dari kuburan, tempat pembuangan sampah, dll. Juga karena di tempat menetap terdapat pula kelompok bukan dari aliran yang sama atau tidak menjalankan latihan yang sama, maka ketenangan dan hidup harmonis dalam keragaman sulit didapat. Itu sebabnya disebut kathina (arti kathina = "tidak leluasa/kaku, sulit, susah", juga berarti bingkai: kain untuk jubah dibentangkan dan dijepit pada bingkai/kathina untuk dijahit). Esoknya selepas masa vassa, para umat mempersembahkan keperluan para Bhikkhu, utamanya adalah jubah (cīvara). Menurut kitab komentar, sang Buddha bervasa di vihàra Nigrodha, Kapilavatthu di tahun ke-15 (pañcadasamaṁ Kapilavatthumahānagare - Madhuratthavilāsinī/Buddhavaṁsatthakathā), jadi bagian kisah Gotami memberikan jubah (MN 142), mungkin terjadi di tahun ke-15, sedangkan menjadi Bhikkhuni, terjadi di Vesali (ref AN 8.51/Kd 20), mungkin terjadi setelah tahun ke-20, yaitu setelah aturan pertama parajika ditetapkan.

Penahbisan Bhikkhuni Pertama dan Terbentuknya Sangha Bhikkhuni
Kitab komentar menyatakan bahwa di masa Vassa ke-5 (di Vesali), sangha bhikkhuni terbentuk, namun tampaknya hal ini belumlah dapat dilakukan, karena di saat itu Vinaya dan pātimokkha belumlah ada. Bahkan hingga tahun ke-12 kebuddhaan, yaitu di Veranja, Vinaya & pātimokkha juga belum ada karena saat itu dari seluruh bhikkhu yang menjadi muridNya, semuanya telah mencapai kesucian dan yang terendah adalah sotāpanna.
    Di kota Veranja (sebelah Baratnya Kapilavastu dan Koliya), ketika itu tengah dilanda masa paceklik dan kelaparan (dubbhikkhe), kepada Sang Buddha, Sariputta bertanya: "Pada Masa Buddha siapakah kehidupan suci bertahan lama dan masa Buddha siapakah tidak bertahan lama?”. Sang Buddha:

    Pada masa Buddha Vipassī, Sikhī and Vessabhū tidak membabarkan khotbah Dhamma secara terperinci, peraturan latihan bagi para siswa (vinaya) tidak dipermaklumkan dan kumpulan peraturan tidak dirumuskan (pātimokkha, inti peraturan). Setelah Para Buddha, generasi para siswanya parinibbana, ajaran itu lenyap dengan cepat.
    Pada masa Buddha Kakusandha, Konāgamana and Kassapa membabarkan khotbah Mereka secara terperinci, menetapkan Vinaya dan pātimokkha. Setelah Mereka dan para siswa langsung Parinibbana, generasi-generasi berikutnya menjaga ajaran itu hingga bertahan.

    Mendengar itu, YM Sariputta memohon pada sang Buddha agar menetapkan vinaya dan pātimokkha. Sang Buddha: ITU BELUMLAH SAATNYA karena dari puluhan ribu anggota sangha saat itu, hanya 500nya saja yang sotāpanna dan kelak ketika jumlah anggota sangha semakin membesar akan terjadi kecenderungan berpikir, berucap dan berbuat yang menjauh dari jalan kesucian, di saat itulah vinaya dan pātimokkha baru dapat ditetapkan [Suttavibhanga Vin.I.3, 2-4]
Bahkan,
Di paruh pertama ke-Buddhan (20 tahun), vinaya dan pātimokkhapun, belumlah ditetapkan, untuk itu, di MN 21, Sang Buddha menggambarkan tentang masa-masa menyenangkan, "ārādhayiṃsu vata me, bhikkhave, bhikkhū ekaṃ samayaṃ cittaṃ" [Para bhikkhu, pernah terjadi di satu masa di mana para bhikkhu memuaskan pikiranKu]. Buddhaghosa menjelaskan komentarnya di Vinaya, sub bagian parajikakhanda bahwa itu dikatakan terjadi pada 20 tahun pertama ke-Buddhaan:
    "Apaññatte sikkhāpadeti paṭhamapārājikasikkhāpade aṭṭhapite. Bhagavato kira paṭhamabodhiyaṃ vīsati vassāni bhikkhū cittaṃ ārādhayiṃsu, na evarūpaṃ ajjhācāramakaṃsu. Taṃ sandhāyeva idaṃ suttamāha – ‘‘ārādhayiṃsu vata me, bhikkhave, bhikkhū ekaṃ samayaṃ citta’’nti . Atha bhagavā ajjhācāraṃ apassanto pārājikaṃ vā saṅghādisesaṃ vā na paññapesi. Tasmiṃ tasmiṃ pana vatthusmiṃ avasese pañca khuddakāpattikkhandhe eva paññapesi. Tena vuttaṃ – ‘‘apaññatte sikkhāpade’’ti"

    [Aturan latihan belum diumumkan, parajika pertama belum ditetapkan. Demikian dikatakan, 20 tahun/vīsati vassāni pertama masa ke-Buddhaan, para bhikkhu memuaskan pikiran sang Buddha dengan tidak melakukan kesalahan. Dalam sutta dikatakan, 'Para bhikkhu, pernah terjadi suatu masa di mana para bhikkhu memuaskan pikiranKu'. Sang Buddha, tidak melihat adanya kesalahan, tidak mengumumkan pārājika ataupun Sanghadisesa. Ketika muncul kasus, beliau umumkan 5 keadaan pelanggaran kecil, karena itulah beliau katakan, ‘apaññatte sikkhāpade].
Komentar Buddhaghosa, tampaknya memiliki dasar, beberapa hal terjadi mulai dari tahun ke-20:
  1. YM Ananda menjadi Buddhopaṭṭhāka (pembantu tetap Sang Buddha) [Thag 17.3/Ananda].

  2. Parajika ke-1 vinaya terkait kasus Bhikkhu Sudinna (belum sotāpanna) dari desa Kalandaka (dekat Vesali). Setelah masa vassa di Veranja(a)(c) Sang Buddha di Vesali, di sini Sudinna ditahbiskan. Sudinna kemudian tinggal disekitar desa area Vaji (Sebelah Timur Kapilavastu dan Devadaha)(b). Di Vajji ada paceklik dan bencana kelaparan(d) sehingga para bhikkhu sulit mendapatkan dàna makanan, karenanya, Sudinna bermaksud menggantungkan hidup pada sanaknya di Vesali, dengan alasan, "Karena aku mereka dapat mempersembahkan dàna dan melakukan kebajikan. Dan para bhikkhu akan memperoleh keuntungan secara materi, dan aku takkan dipersulit dalam hal makanan”. Di Vesali keluarganya berusaha membuatnya berhenti jadi Bhikku, setelah gagal membujuk dengan harta, Ibunya meminta diberikan keturunan sebagai pewaris agar harta tidak direnggut kaum Licchavi. Suddinna kemudian berhubungan seksual dengan istri lamanya dan lahirlah Bijaka, Ibu anak itu dipanggil Ibu Bijaka (BijakaMata). Berapa lama kemudian(c), Bijaka dan ibunya memutuskan menjadi Bhikkhu dan Bhikkhuni dan akhirnya mereka menjadi Arahat. Sebaliknya Sudinna, dilanda kecemasan dan penyesalan, tubuhnya semakin kurus dan pucat, teman sesama Bhikkhu bertanya apa yang melandanya, Ia akui perbuatannya. Permasalahan ini diteruskan ke sang Buddha yang sedang di Vesali, atas kejadian ini, beliau tetapkan aturan untuk kali pertamanya bahwa mereka yang melakukan percabulan, sudah kalah (parajika), tidak lagi dalam sangha [Suttavibhanga Vin.I.3, 2-4]

    Note:
    (a) Di Veranja adalah masa vassa ke-12. [Komentar Vinaya Parajikakandha].

    (b) Sudinna di area Vaji 8 tahun lamanya [Komentar Vinaya Parajikakandha] atau tahun ke-20 keBuddhaan. Aturan parajika ke-1 yang ditetapkan di Vesali terjadi di tahun ke-21. Vinaya juga menyampaikan di pada masa paceklik di Vajji terjadi Parajika ke-4 (klaim memiliki supranatural agar mudah mendapatkan makanan). Masa Paceklik dan kelaparan dapat terjadi 12 tahun lamanya (jaman raja Vattagamini, Sri Lanka).

    (c) Bhikkhuvibhanga, Vinaya, tidak menyebutkan tahun-nya namun komentar Vinaya katakan Ibu-anak melepas keduniawian 7/8 tahun setelahnya dan mereka menjadi arahat, "Bījakassa kira sattaṭṭhavassakāle tassa mātā bhikkhunīsu so ca bhikkhūsu pabbajitvā kalyāṇamitte upanissāya arahatte patiṭṭhahiṃsu"

    (d) Sutta dan Vinaya menyampaikan terdapat beberapa daerah yang terkena bencana kelaparan (Dubbhikkhe), diantaranya:

    1. Vesali (masuk wilayah Vajji) dilanda kemarau panjang, panenan gagal, terjadi kekurangan makanan, kelaparan, penyakit [kolera, ahivàta roga], kematian terjadi dimana-mana, mayat berserakan di kota. Raja Vesali mengutus 2 pangeran Licchavi menemui sang Buddha yang sedang di Rajagaha dan beliaupun menuju Vesali. Jarak Rajagaha - Sungai Ganga (5 Yojana) - Vesali (3 Yojana) atau sekitar: 89.6 km s.d 115 km (1 yojana = 7-9 mil, 1 mil = 1.6 km). Di sana beliau membabarkan RATANA SUTTA pada YM ANANDA dan meminta YM Ananda berkeliling kota membacakan Ratana Sutta [RAPB, buku ke-2, Cetakan I, Mei 2008. hal 1451 s/d. 1489]

    2. Rajagaha

    3. Nalanda (Buddhaghosa: Jarak 1 Yojana dari Rajagaha. Di SN 42.9, dengan narasi ada bencana kelaparan, Sang Buddha hanya menyebut Sangha Bhikkhu tanpa ada Bhikkhuni. Asibandhakaputta, pengikut Nigaṇṭha Nāṭaputta yang menjadi pengikut Sang Buddha. SN 42.7: Tanpa ada narasi bencana kelaparan, Asibandhakaputta tidak disebut lagi sebagai pengikut Jain dan Sang Buddha menyebutkan kata “bhikkhu dan bhikkhuni”)

    4. Alavi

    5. Savatthi, tempat terjadinya Parajika ke-2 (Kasus pencurian).

    6. Sungai Rohini: Kapilavatthu/Sakya (di baratnya) dan Devadaha/Koliya (di Timurnya). Jarak Kapilavastu - Devadaha: 5 Yojana. Air sungai digunakan keduanya untuk persawahan, karena ketinggian air menurun hingga titik terendah. Para petani kedua kerajaan rapat pembagian air, kesepakatan gagal, meruncing berujung akan terjadi perang Sang Buddha mendamaikannya, setelahnya, 250 pria masing-masing suku, memutuskan menjadi bhikkhu. [Narasi pertengkaran sungai Rohini tercantum di: Jataka no.74; no.475; no.536 dan Dhammapada syair 197-199. Syair Thag 10.1/Kaludayi hanya menyebut nama 2 negara itu dan sungai Rohini tanpa narasi pertengkaran. Sang Buddha bervassa di Jetavana, Sàvatthi [RAPB buku ke-1, Cetakan ke-1, May 2008, hal. 1080]. Jarak Savatthi-Kapilavastu: 6 Yojana (67.2 km - 86.4 km)]

    Tampaknya, paceklik besar yang berakibat bencana kelaparan hampir merata melanda wilayah Barat hingga Timur Jambudwipa diseputaran tahun ke-20 ke-Buddhaan.
Dari kejadian di atas, tampaknya, awal vinaya ditetapkan, di tahun ke-21, satu persatu pelanggaran muncul, satu persatu aturan (Parajika, Sanghadisesa dan lainnya) ditetapkan, setelahnya muncul penahbisan Bhikkhuni pertama, terbentuknya sangha Bhikkhuni, yang menandai mulainya hitungan mundur 500 tahun berakhirnya: Dhamma Sejati dan penghidupan BRAHMA menurut Dhamma-Vinaya

8 Garudhamma, Umur Dhamma Sejati 500 tahun dan Brahmacariya Tidak Bertahan Lama
Pada suatu ketika Sang Bhagavā, sedang menetap di antara penduduk Sakya di Kapilavatthu di vihara Banyan. Kemudian Gotami Pajāpatī yang Agung, menghadap Sang Bhagavā; setelah mendekat, setelah menyapa Sang Bhagavā, ia berdiri dalam jarak selayaknya. Setelah berdiri dalam jarak selayaknya, Gotami Pajāpati yang Agung, berkata pada Sang Bhagavā sebagai berikut:

“Yang Mulia, baik sekali jika perempuan boleh diperbolehkan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam dhamma dan disiplin (dhammavinaye) yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran ini.”

“Hati-hati, Gotami, tentang pelepasan keduniawian perempuan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran ini.” Dan untuk ke-2xnya … Dan untuk ke-3xnya Gotami Pajāpati yang Agung, berkata pada Sang Bhagavā sebagai berikut: “Yang Mulia, baik sekali …”

“Hati-hati, Gotami, tentang pelepasan keduniawian perempuan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran ini.”

Kemudian Gotami, Pajāpati yang Agung, karena berpikir: “Sang Bhagavā tidak memperbolehkan perempuan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam dhamma dan disiplin ini yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran,” berduka, bersedih, dengan wajah basah oleh air mata dan menangis, setelah berpamitan dengan Sang Bhagavā, pergi dengan Beliau di sisi kanannya.

Kemudian Sang Bhagavā setelah menetap di Kapilavatthu selama yang Beliau kehendaki, melakukan perjalanan menuju Vesālī. Secara bertahap, berjalan kaki dalam perjalanan itu, akhirnya Beliau tiba di Vesālī. Sang Bhagavā menetap di sana di Vesālī di Hutan Besar di Aula beratap segitiga. Kemudian Gotami Pajāpati yang Agung, setelah memotong rambutnya, setelah mengenakan jubah kuning, melakukan perjalanan menuju Vesālī bersama dengan beberapa perempuan Sakya, dan akhirnya mereka mendekati Vesālī, Hutan Besar, Aula beratap segitiga. Kemudian Gotami Pajāpati yang Agung, kakinya membengkak, tubuhnya tertutup debu, dengan wajah basah oleh air mata dan menangis, berdiri di luar teras utama.

Yang Mulia Ānanda melihat Gotami Pajāpati yang Agung berdiri di luar teras utama, kakinya membengkak, tubuhnya tertutup debu, dengan wajah basah oleh air mata dan menangis; melihatnya, ia berkata pada Gotami Pajāpati yang Agung sebagai berikut:

“Mengapa engkau, Gotami, berdiri … dan menangis?”

“Karena, Yang Mulia Ānanda, Sang Bhagavā tidak memperbolehkan perempuan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam dhamma dan disiplin ini yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran.”

“Baiklah, Gotami, tunggulah sebentar di sini, hingga aku memohon pada Sang Bhagavā atas pelepasan keduniawian bagi perempuan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam dhamma dan disiplin ini yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran.”

Kemudian Yang Mulia Ānanda menghadap Sang Bhagavā; setelah mendekat, setelah menyapa Sang Bhagavā, ia duduk dalam jarak selayaknya. Setelah duduk dalam jarak selayaknya, Yang Mulia Ānanda berkata pada Sang Bhagavā sebagai berikut:

“Yang Mulia, Gotami, Pajāpati yang Agung, sedang berdiri di luar teras utama, kakinya membengkak, tubuhnya tertutup debu, dengan wajah basah oleh air mata dan menangis, dan mengatakan bahwa Sang Bhagavā tidak memperbolehkan perempuan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam dhamma dan disiplin ini yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran. Baik sekali, Yang Mulia, jika perempuan diperbolehkan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga … oleh Sang Penemu-kebenaran.”

“Hati-hati, Ānanda, tentang pelepasan keduniawian perempuan dari kehidupan rumah tangga … oleh Sang Penemu-kebenaran ini.” Dan untuk ke-2xnya … Dan untuk ke-3xnya Yang Mulia Ānanda berkata pada Sang Bhagavā sebagai berikut: “Baik sekali, Yang Mulia, jika perempuan diperbolehkan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga … yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran.”

“Hati-hati, Ānanda, tentang pelepasan keduniawian perempuan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam `dhamma dan disiplin ini yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran ini.” Kemudian Yang Mulia Ānanda berpikir:

“Sang Bhagavā tidak memperbolehkan pelepasan keduniawian bagi perempuan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran ini. Bagaimana jika aku, dengan cara lain, memohon pada Sang Bhagavā untuk memperbolehkan pelepasan keduniawian bagi perempuan dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran ini.” Kemudian Yang Mulia Ānanda berkata pada Sang Bhagavā sebagai berikut:

“Yang Mulia, apakah para perempuan, setelah meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran ini, mampu mencapai buah pencapaian-arus atau buah yang-kembali-sekali atau buah yang-tidak-kembali atau kesempurnaan?”

“Para perempuan, Ānanda, setelah meninggalkan keduniawian … mampu mencapai … kesempurnaan.”

“Jika, Yang Mulia, setelah meninggalkan keduniawian … mampu mencapai … kesempurnaan – dan, Yang Mulia, Gotami Pajāpati yang Agung, telah sagat banyak membantu: ia adalah bibi Sang Bhagavā, ibu pengasuh, perawat, pemberi susu, karena ketika ibu Sang Bhagavā meninggal dunia ia menyusui Beliau - baik sekali, Yang Mulia, jika para perempuan diperbolehkan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran.”

“Jika, Ānanda, Gotami Pajāpati yang Agung, menerima 8 peraturan penting, maka ia boleh ditahbiskan:
  1. “Seorang bhikkhunī yang telah ditahbiskan (bahkan) selama 1 abad harus menyapa dengan hormat, bangkit dari duduknya, beranjali, memberikan penghormatan selayaknya pada seorang bhikkhu bahkan pada yang baru ditahbiskan pada hari itu. Dan peraturan ini harus dihormati, dihargai, dijunjung, dimuliakan, tidak boleh dilanggar seumur hidupnya"

    [AN 8.51 & SN 16.11; Mahasanghika Vinaya vol.22 no.1425 (mulai hal.471) aturan no.1; Sarvāstivāda Vinaya pac.103 - T23 no.1435 (hal.345) aturan no.1 atau MA 116 aturan no.8; Mahīśāsaka Vinaya, Pāc.179 - T22 no.1421 (hal.185-186) aturan no.8; Dharmagupta: Ssu fen lu Pàyantika Dharma 175 (Part IX, Tabel 13, hal.84-85) atau T24 no.1428 (hal. 9-12) aturan no.8; T1 no.60 (tidak diketahui afiliasi alirannya) aturan no.8; Text Jain Svetambara: Upadeśamālā, (Jaini, ch.6 #18. Yuktiprabodha]

    Beberapa aturan kebhikkhuan muncul setelah aturan ini, diawali permohonan Gotami "Yang Mulia Ānanda, Aku memohon 1 anugerah dari Sang Bhagavā: Baik sekali, Yang Mulia, jika Sang Bhagavā memperbolehkan menyapa, bangkit dari duduk, penghormatan, dan tugas-tugas selayaknya antara para bhikkhu dan bhikkhunī sesuai senioritas". Sang Buddha menolaknya dan mengeluarkan aturan bagi para bhikkhu: "Para bhikkhu, kalian tidak boleh menyapa, bangkit dari duduk untuk memberi penghormatan, dan tugas-tugas selayaknya terhadap para perempuan. Siapa pun yang melakukan (salah satunya), maka ia melakukan pelanggaran perbuatan-salah." (Kd 20)

    Tidak semua bhikkhu patut mendapat hormat para Bhikkhuni, yaitu mereka yang memercikkan air berlumpur, yang membuka penutup tubuh ... paha ... bagian-bagian pribadi mereka kepada para bhikkhuni, yang mengganggu para bhikkhuni, yang bergaul dengan para bhikkhuni dengan tujuan agar tertarik padanya, maka sang Buddha berkata bahwa Para bhikkhu tersebut telah melakukan perbuatan salah dan sebagai hukumannya: "Para bhikkhu, bhikkhu tersebut tidak boleh disapa Saṅgha para bhikkhunī", juga sebaliknya para bhikkhuni yang melakukan perbuatan tersebut kepada para bhikkhu, sang buddha menyatakan ijin penjatuhan hukuman berupa penangguhan pemberian nasihat kepadanya (Kd 20), Sehingga dalam memberikan penghormatan kepada bhikkkhu pun adalah kepada yang berkelakuan sesuai aturan kebhikkhuannya.

  2. “Seorang bhikkhunī tidak boleh retret musim hujan di tempat di mana tidak ada Bhikkhu. Peraturan ini ... seumur hidupnya".

    [Pac.56; Dharmagupta Ssu fen lu Pàyantika Dharma 143; Mahīśāsaka Vinaya T22 no.1421 aturan no.2; Sarvāstivāda Vinaya T23 no.1435 aturan no.4 (tanpa kata musim hujan) atau MA 116 aturan no.3; T1 no.60 aturan no.1 dan 3 (tidak ada kata musim hujan) dan ada sedikit perbedaan]

  3. “Setiap 1/2 bulan seorang bhikkhunī harus mengharapkan 2 hal dari Saṅgha para bhikkhu terkait Uposatha dan kedatangan untuk memberikan nasihat. Peraturan ini ... seumur hidupnya".

    [Pac.58, 59; Dharmagupta Ssu fen lu Pàyantika Dharma 141; Mahīśāsaka Vinaya T22 no.1421 aturan no.1; Sarvāstivāda Vinaya T23 no.1435 aturan no.6 atau MA 116 aturan no.2' T1 no.60 aturan no.2]

  4. “Setelah musim hujan seorang bhikkhunī harus ‘mengikuti undangan berakhirnya musim hujan/pavarana’ di hadapan ke-2 Saṅgha terkait 3 kesalahannya yang berasal dari: apa yang: dilihat, didengar, dicurigai. Peraturan ini ... seumur hidupnya".

    [Pac.57; Dharmagupta Ssu fen lu Pàyantika Dharma 142; Sarvāstivāda Vinaya T23 no.1435 aturan no.5 atau MA 116 aturan no.4; T1 no.60 aturan no.4 (tidak ada kata musim hujan) dan ada sedikit perbedaan]

  5. “Seorang bhikkhunī yang melanggar suatu peraturan penting, harus menjalani mawas diri/mānatta selama 1/2 bulan di hadapan ke-2 Saṅgha. Peraturan ini ... seumur hidupnya".

    [terhadap 17 Peraturan Sanghadisesa: 10 sanghadisesa Bhikkhuni + 7 sanghadisesa Bhikkhu (no.5, 8, 9, 10, 11, 12, 13)]

    [Mahasanghika Vinaya vol.22 T no.1425 aturan no.7 dan no.4 (ada kata selama retret 3 bulan); Mahīśāsaka Vinaya T22 no.1421 aturan no.7; Sarvāstivāda Vinaya T23 no.1435 aturan no.3 atau MA 116 aturan no.7; T1 no.60 aturan no.7]

    Awalnya setelah kemunculan para Bhikkhuni, mereka tidak mengakui telah berbuat (paṭikaronti) pelanggaran-pelanggaran juga tidak melakukan tindakan resmi (tindakan pengecaman dan seterusnya, dan juga 7 tindakan resmi), hal ini diberitahukan kepada sang Buddha, "Para bhikkhu, suatu pelanggaran tidak boleh tidak diakui oleh seorang bhikkhunī. Siapa pun yang tidak mengakuinya, maka ia melakukan pelanggaran perbuatan-salah" tapi mereka tidak tahu bagaimana mengakui pelanggaran ini, hal ini disampaikan kepada kepada Sang Buddha, "Aku mengizinkan kalian, para bhikkhu, untuk menjelaskan kepada para bhikkhunī melalui para bhikkhu, dengan mengatakan: Suatu pelanggaran harus diakui demikian" dan juga menyampaikan "Aku mengizinkan, para bhikkhu, suatu tindakan (resmi) dilakukan bagi para bhikkhunī" dan "Aku mengizinkan, para bhikkhu, tindakan (resmi) bagi para bhikkhunī, dilakukan oleh para bhikkhu". Namun kemudian ketika para bhikkhu di jalan raya, di jalan buntu dan persimpangan jalan, Para bhikkhuni, setelah meletakkan pata, setelah merapikan jubah atasnya di satu bahunya, setelah duduk berlutut, setelah memberi hormat dengan merangkapkan tangan, mengakui suatu pelanggaran, hal ini disalah tafsirkan para umat awam, seolah para Istri para kekasih, setelah melakukan perbuatan hina sepanjang malam kemudian meminta maaf, hal ini diberitahukan kepada sang Buddha, "Para bhikkhu, pengakuan para bhikkhunī tidak boleh diterima oleh para bhikkhu. Aku mengizinkan, para bhikkhu, pelanggaran-pelanggaran para bhikkhunī diterima oleh para bhikkhunī" dan untuk tindakan resmi: "Para bhikkhu, suatu tindakan (resmi) terhadap para bhikkhunī tidak boleh dilakukan oleh para bhikkhu. Siapa pun yang melakukannya, maka ia melakukan pelanggaran perbuatan-salah. Para bhikkhu, Aku mengizinkan para bhikkhunī melakukan tindakan (resmi) terhadap para bhikkhunī" (Kd 20)

    Jadi garudhamma ini mengalami perubahan menjadi hanya dihadapan 1 sangha (bhikkhuni), sehingga makin mempertegas fungsi 8 garudhamma sebagai cara penahbisan bagi dan hanya kepada Gotami, tidak dapat diterapkan kepada orang lain setelahnya.

  6. “Ketika, menjalani masa percobaan, telah berlatih 6 sila selama 2 tahun, maka Ia harus memohon penahbisan dari ke-2 Saṅgha. Peraturan ini ... seumur hidupnya".

    [Bagi yang menahbiskan: Sikhamana yang belum berlatih 6 aturan selama 2 tahun - Pac.63; + belum diizinkan Sangha (1x usul dan 1x dengar pendapat/pungutan suara) - Pac.64; Wanita menikah berusia belum 12 tahun - Pac 65; Telah menikah berusia 12 tahun, belum berlatih 6 aturan selama 2 tahun - Pac 66; + belum diijinkan Sangha - Pac 67; berusia kurang dari 20 tahun - Pac 71, berusia 20 tahun, belum berlatih 6 aturan selama 2 tahun - Pac 72; + + belum diizinkan Sangha - Pac 73]

    [Mahasanghika Vinaya vol.22 T no.1425 aturan no.2; Dharmagupta Ssu fen lu Pàyantika Dharma 124, 126; Mahīśāsaka Vinaya T22 no.1421 aturan no.4; Sarvāstivāda Vinaya T23 no.1435 aturan no.2 (tidak ada kata berlatih peraturan selama 2 tahun) atau MA 116 aturan no.1 tidak ada kata berlatih peraturan selama 2 tahun]

    Gotami tidak perlu berlatih 6 Peraturan, karena telah lama berlatih 5 sila dan mencapai sotapanna [MN 142], pencapaian sotapannanya terjadi ketika Sang Buddha pertama kali datang ke Istana ayahNya dan mengajarkan Mahādhammapāla Jātaka (DhA.i.97), juga karena sejak menerima 8 garudhamma, ini adalah pelepasan keduniawian dan penahbisannya, sehingga tidak lagi perlu menjalani 2 tahun masa percobaan [Kitab komentar Anguttara Nikaya iv. 134]

    Definisi Bhikkhuni: disebut bhikkhuni karena ia [ditahbiskan Sang Buddha dengan prosedur] Ehibhikkhuni [―Datanglah Bhikkhuni!‖]; karena di upasampadā dengan prosedur pernyataan tiga perlindungan; karena diterima secara patut dan pasti dalam persidangan kedua Sanggha [Vinaya III, ITC, 2018, hal.235-234], Jadi selain Gotami dan penahbisan melalui Sikhamana-ditahbiskan 2 sangha, tercatat ada yang ditahbiskan dengan ehi bhikkhuni dan 3 perlindungan, oleh karenanya, kejadian tersebut adalah setelah munculnya Sangha Bhikkhuni, karena tercatat sang buddha tidak lagi enggan menahbiskan mereka seperti terhadap Gotami, jadi tidak ada alasan lain untuk tidak menahbiskan lainnya, setelah kemunculan sangha Bhikkhuni:

      Ketika sang Buddha di Gunung Puncak Hering, bersama para Sangha bhikkhu, Bhaddākuṇḍalakesā berlutut membungkuk/namakhara (nihacca jāṇuṁ vanditvā) dihadapannya beranjali (tangan di depan dahi) (ammukhā añjaliṁ akaṁ;): "Ehi bhadde’ti maṁ avaca" (datanglah Baddha, kataNya), Itulah penahbisanku (sā me āsūpasampadā) [Therigatha 5.9].

      Ubbirī dan Paṭācārā: ..Hari ini aku telah mencabut anak panah, Aku tidak lapar, padam. Kepada Buddha, dhamma dan sangha (Buddhaṁ dhammañca saṅghañca) Aku datang berlindung pada san Petapa (upemi saraṇaṁ munin”ti.) [Thi 3.5, 6.1]

    Ketiga wanita ini juga segera ditahbiskan tanpa perlu berlatih 6 sila selama 2 tahun, sebagai "masa percobaan", jadi "masa percobaan" diberlakukan secara umum bagi mereka, demikian pula yang terjadi dalam penahbisan para Bhikkhu ada tertera "masa percobaan": (cattāro māse parivasati (menjalani 4 bulan) (SnP 3.6, DN 8, 16, SN 12.17, MN 75) terhadap eks pemeluk aliran lain yang hendak menjadi bhikkhu dan tidak semua ex aliran lain yang menjadi bhikkhu menjalaninya, karena sang buddha lebih mengetahui perbedaan individu (api ca mettha puggalavemattatā viditā”ti), contoh terakhir sebelum wafatnya beliau adalah Subhadda, bahkan belum mencapai pencapaian apapun.

    Setelah Gotami ditahbiskan, para perempuan lain belum ditahbiskan dengan 2 cara, karena belum ada aturan penahbisan dengan 2 sangha:

    Gotami: "aturan bagaimanakah, yang harus kujalankan sehubungan dengan para perempuan Sakya ini?"

    Kemudian Sang Bhagavā pada kesempatan ini, setelah membabarkan khotbah, berkata kepada para bhikkhu:"Para bhikkhu, Aku ijinkan para BHIKKHUNI untuk ditahbiskan oleh para bhikkhu (anujānāmi, bhikkhave, bhikkhūhi BHIKKHUNIyo upasampādetun”ti)". kata "Bhikkhuni" menunjukan bahwa Gotami saat itu, telah bertindak sebagai pengusul, upajjhaya, acarya, kammavaca bagi mereka, sehingga dapat disebut dengan kata "Bhikkhuni" bukan "calon bhikkhuni/Samaneri" dan awalnya, para bhikkhuni ini menolak dengan alasan "Nyonya ini tidak ditahbiskan, kita juga tidak ditahbiskan, karena telah ditetapkan oleh Sang Bhagavā bahwa: para bhikkhunī harus ditahbiskan oleh para bhikkhu". Sang Buddha: "pada saat 8 peraturan penting itu diterima Gotami, itu adalah penahbisan baginya", maka para bhikkhunipun menjadi pionir yang ditahbiskan dengan penahbisan melalui 2 cara (bhikkhuni dan bhikkhu) [KD 20]. Sejarah Theravada telah merekam bahwa 8 garudhamma sewaktu ditetapkan berlaku hanya dan bagi Gotami, juga 8 aturan, terbukti bertindak sebagai garis besar arahan bagi Gotami ke depannya, terhadap berbagai permasalahan di kemudian hari, karena belum diatur. Sang Buddha tahu pasti perkembangan apa yang akan terjadi di kebhikkhunian pada kemudian harinya.

  7. “Seorang bhikkhu tidak boleh dicela atau ditegur dalam cara apa pun oleh seorang bhikkhunī. Peraturan ini ... seumur hidupnya".

    (Pac.52; Mahasanghika Vinaya vol.22 T no.1425 aturan no.5; Dharmagupta Ssu fen lu Pàyantika Dharma 145; Mahīśāsaka Vinaya T22 no.1421 aturan no.5; Sarvāstivāda Vinaya T23 no.1435 aturan no.8 atau MA 116 aturan no.6; T1 no.60 aturan no.6 tapi ada sedikit perbedaan)

  8. “Mulai hari ini, seorang bhikkhuni dilarang memberikan nasihat kepada para bhikkhu, namun para bhikkhu boleh memberikan nasihat kepada para bhikkhunī. Peraturan ini harus dihormati, dihargai, dijunjung, dimuliakan, tidak boleh dilanggar seumur hidupnya". [Kata "vacanapatha" diartikan "pemberian nasihat" terkait dhamma-vinaya, kata ini dapat bermakna "tidak berkata kasar"]

    (bagian terakhir yaitu dari bhikkhu ke bhikkhuni sebelum mendapat izin Bhikkhu - Pac 95; Mahasanghika Vinaya vol.22 T no.1425 aturan no.6 tentang dhamma atau vinaya; Mahīśāsaka Vinaya T22 no.1421 aturan no.6; Sarvāstivāda Vinaya T23 no.1435 aturan no.7 atau MA 116 aturan no.5 tentang kotbah; T1 no.60 aturan no.5 tentang kotbah).

    Note:
    8 Garudhamma dari 13 teks translasi Tiongkok ["The Mahaprajapati Bhikkhuni Sutra", trans.Che-ming Yang, 2015, Appendix, kompilasi oleh Shih Fatzang, Kepala Biara Buddha Wanfo, Tainan, Taiwan] (Vinaya Pali tidak saya kutip):

    1. 8 aturan harus dihormati Biksuni (八尊師法) dari:《中阿含經116瞿曇彌經》The Gotami (Sutra, Madhyamagama T.1, P.606b,c.
    2. 8 aturan utama (八重法) dari:《瞿曇彌記果經》The Gotami’s Enligtenment Sutra T.1, P.856c.
    3. 8 aturan harus dihormati (八敬法) dari:《大愛道比丘尼經》The Maha-prajapati Bhikkhuni Sutra T. 24, P. 946b.
    4. 8 aturan utama (八重法) dari: 漢譯《南傳大藏經‧增支部經典五‧增支部八集‧第六瞿曇彌品》The Gotami Section,”The Chinese version of Angttara-nikaya, P.171.
    5. 8 aturan harus dihormati (八敬法) dari: 中本起經瞿曇彌來作比丘尼品第九V.下“Gotami Becoming a Bhiksuni,”Vol.2,Caryanidana T.4 P158c.
    6. 8 aturan harus dihormati (八敬法) dari:《十誦律》Sarvastivada vinaya V.47, T.23, P.345c.
    7. 8 aturan Tidak Boleh Dilanggar (八不可過法) dari:《四分律》Vol.48 of Dharmagupta vinaya,V.48, T.22, P.923ab.
    8. 8 aturan harus dihormati (八敬法) dari:《摩訶僧祇律》The Mahasanghika vinaya, V.30, T.22, P.471b.
    9. 8 aturan harus dihormati (八敬法) dari:《摩訶僧祇律》The Mahasanghika vinaya, V.7, T.22, P.45c.
    10. 8 aturan Tidak Boleh Dilanggar biksuni (八不可過法) dari:《五分律》The Mahisasaka vinaya,V.29, T.22, P.185c.
    11. 8 aturan harus dihormati biksuni (八尊敬法) dari:《根本說一切有部百一羯磨》Studies in Various Karmas of The Mulasarvastivada-vinaya, V.2, T.24, P.464c.
    12. 8 aturan utama biksuni (八尊重法) dari:《根本薩婆多部律攝》 Upholding The Mulasarvastivada-vinaya,V.10, T.24, P.582a.
    13. 8 aturan harus dihormati (八敬法) dari: 行事鈔尼眾別行篇V.下 “Guidelines for Practicing the Nuns Precepts,” A Companion to Vinaya of the Four Categories of the Dharmagupta sect.T40 P.154c.

    Isi 8 Garudhamma:

    1. Meminta aturan kepada biksu: memohon biksu menganugerahkan penahbisan biksuni kepadanya. (aliran: a, b, f, k, l); Harus belajar dhamma dari biksu (aliran :c, e); setelah berlatih 6 sila selama 2 tahun, harus memohon penahbisan ke-2 saṅgha. (aliran: d, g, i, j, m); belajar vinaya selama 2 tahun, memohon penahbisan 2 sangha (aliran: h).
    2. Meminta arahan sangha biksu: Setiap 1/2 bulan para biksuni harus memohon arahan sangha biksu (aliran: a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, k, l, m).
    3. Retret musim panas ditempat yang tidak ada biksu: biksuni dilarang retret musim panas tanpa terdapat biksu (aliran: a, b, d, f, g, h, i, j, k, l, m).
    4. Pravarana kepada 2 sangha: Seusai retret musim panas, biksuni harus memohon arahan dari 2 sangha tentang apa yang mereka lihat, dengar atau ragukan dari kesalahannya (aliran: a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, k, l, m).
    5. Memohon pembabaran tripitaka: Tanpa izin biksu, biksuni tidak boleh bertanya tentang tripitaka, jika biksu izinkan, biksuni dapat bertanya (aliran: a, b, c, e, f).
    6. Tidak mempertanyakan kesalahan biksu: biksuni dilarang mempertanyakan kesalahan biksu, namun biksu dapat mempertanyakan kesalahan biksuni (aliran: a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, k, l, m).
    7. Mengakui pelanggaran dihadapan 2 sangha: biksuni yang melanggar sanghadisesa, harus manatta (mawas diri) selama 1/2 bulan setiap hari dari putusan sangha biksu dan biksuni (aliran: a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, k, l, m).
    8. Memberi hormat kepada biksu junior: biksuni berusia 100 tahun, ketika bertemu biksu yang baru ditahbiskan, harus memberikan hormat (aliran: a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, m); biksuni senior harus memberi hormat biksu junior dengan sopan (aliran: k, l).
    9. Biksu dan biksuni dilarang tinggal dalam biara yang sama (aliran: c, e).
    10. Menahan diri dari mencela atau menegur biksu (aliran: d, g, i, j, k, l, m).
    11. Menahan diri mengambil persembahan umat awam di hadapan para biksu (aliran: h).

    Dapat disimpulkan bahwa 8 Garudhamma terdapat di seluruh vinaya 18 aliran dan terkait dengan penahbisan Gotami.
“Jika, Ānanda, Gotami Pajāpati yang Agung, menerima 8 peraturan penting, maka ia boleh ditahbiskan.”

Kemudian Yang Mulia Ānanda, setelah menghafalkan 8 peraturan penting ini dari Sang Bhagavā, mendatangi Gotami Pajāpati yang Agung; setelah mendekat, ia berkata pada Gotami Pajāpati yang Agung sebagai berikut:

“Jika engkau, Gotami, sudi menerima 8 peraturan penting, maka engkau boleh ditahbiskan: Seorang bhikkhunī yang telah ditahbiskan (bahkan) selama satu abad … Mulai hari ini pemberian nasihat pada para bhikkhu oleh para bhikkhunī adalah terlarang … tidak boleh dilanggar seumur hidupmu. Jika engkau, Gotami, sudi menerima 8 peraturan penting, maka engkau boleh ditahbiskan.”

“Seperti halnya, Yang Mulia Ānanda, seorang perempuan atau laki-laki muda, berusia muda, dan menyukai perhiasan, setelah mencuci (badan dan) kepala(nya), setelah memperoleh kalung bunga teratai atau kalung bunga melati atau kalung bunga tanaman merambat yang harum, setelah memegangnya dengan kedua tangan akan meletakkan di atas kepalanya – demikian pula aku, menghormati, Ānanda, dan menerima ke-8 peraturan penting ini dan takkan pernah melanggarnya seumur hidupku.”

Kemudian Yang Mulia Ānanda menghadap Sang Bhagavā; setelah mendekat, setelah menyapa Sang Bhagavā, ia duduk dalam jarak selayaknya. Setelah duduk dalam jarak selayaknya, Yang Mulia Ānanda berkata pada Sang Bhagavā sebagai berikut: “Yang Mulia, 8 peraturan penting ini diterima Gotami Pajāpati yang Agung.”

“Jika, Ānanda, perempuan tidak memperoleh pelepasan keduniawian kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah dalam dhamma-disiplin yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran, maka cara hidup brahma/cara non duniawi (brahmacariya) Ānanda, akan bertahan lama, dhamma sejati akan bertahan selama 1000 tahun (vassasahassaṃ saddhammo tiṭṭheyya). Tetapi karena, Ānanda, perempuan telah memperoleh pelepasan keduniawian … dhamma-disiplin yang dinyatakan oleh Sang Penemu-kebenaran, Sekarang, Ānanda, cara hidup brahma/cara non duniawi menjadi tidak bertahan lama. Sekarang, Ānanda, DHAMMA SEJATI hanya bertahan 500 tahun (na dāni, ānanda, brahmacariyaṃ ciraṭṭhitikaṃ bhavissati. Pañceva dāni, ānanda, vassasatāni saddhammo ṭhassati)

“Seperti halnya, Ānanda, seseorang, berharap, akan membangun tanggul pada sebuah waduk agar air tidak meluap keluar, demikian pula, Ānanda, 8 peraturan penting bagi para bhikkhunī ini ditetapkan olehKu, berharap, agar tidak dilanggar seumur hidup mereka.” [AN 8.51 dan Vinaya Pitaka, Cullavagga X.1.6/Kd 20]

Note:
  1. Mahapajapati Gotami, berusia 80-an tahun ketika Sidhartha Gautama menjadi Buddha dan menjadi sotāpanna sebelum menjadi Bhikkhuni (Komentar Jataka no.447). Ketika peristiwa sungai Rohini, Mahapajapati Gotami, berusia 100 tahunan, setelah peristiwa itu, 250 pria dari masing-masing suku Sakya dan Koliya menjadi Bhikku. Kehidupan 500 wanita yang ditinggal suaminya menjadi Bhikkhu semakin sulit dengan paceklik tersebut sehingga mereka putuskan juga menjadi petapa dan bersama Mahàpajàpati Gotami berjalan kaki, dari Kapilavastu ke Hutan Mahavana, Vesali. (Kapilavastu – Vesali via kusinara = 43 yojana/481,6 km – 619,2 km atau 50 Yojana/560 km – 720 km) [RAPB, buku ke-1, hal.1128]

    Hanya Mahapajapati Gotami yang ditahbiskan dengan 8 peraturan penting dan tidak lagi kepada yang lainnya. Ketika 500 perempuan Sakya ditahbiskan, tertulis "Para bhikkhu, Aku ijinkan para BHIKKHUNI untuk ditahbiskan oleh para bhikkhu (anujānāmi, bhikkhave, bhikkhūhi BHIKKHUNIyo upasampādetun”ti)", maka posisi MahapajapatiGotami saat itu bertindak sebagai pengusul, upajjhaya, acarya, kammavaca mereka, setelah ditahbiskan Mahapajapati Gotami, mereka disebut "Bhikkhuni", setelahnya, para bhikkhuni ini ditahbiskan para bhikkhu. Jadi ada 2x penahbisan. Permintaan Mahapajapati agar "menyapa, bangkit dari duduk, penghormatan, dan tugas-tugas antara para bhikkhu dan bhikkhuni dilakukan sesuai senioritas" ditolak sang Budddha [Cullavagga]

    Mahapajapati Gotami mencapai arahat setelah arahan Sang Buddha dan 500 Bhikkhuni mencapai arahat setelah kotbah YM Nandaka. Gelar "rattaññūnaṃ" diberikan di Jetavana kepada Annasi Kondanna (Arahat Pria pertama) dan Mahapajapati Gotami (Arahat wanita pertama). Tidak tercatat dianugrahi bersamaan. Annasi Kondanna menjadi arahat di tahun ke-1 keBuddhaan, Pada tahun ke-2, di Rajagaha, Ia meminta ijin menyepi dan 12 tahun kemudian (tahun ke-14) ke Jetavana untuk pamitan hendak parinibbana kepada Sang Buddha. Sang Buddha bervassa di Jetavana pertama kali tahun ke-14 dan saat itu Ia dianugerahi gelar. Kepada Mahapajapatigotami gelar diberikan tampaknya di tahun ke-38. Tak lama setelah kembali ke Vesali, Ia wafat, diusia 120 tahun (tahun ke-40 kebuddhaan) bersamaan dengan wafatnya 500 Bhikkhuni yang ditahbiskannya

  2. Sammasambuddha, pemilik 10 kekuatan/Dasabalā, di antranya "memahami sebagaimana adanya akibat-akibat dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan, di masa: lalu, depan, dan sekarang, dengan kemungkinan dan penyebabnya", bagaimana kecenderungan berbeda dari para makhluk (sattānaṁ nānādhimuttikataṁ) dan jauh-jangkauan indriya para makhluk, para individu (parasattānaṁ parapuggalānaṁ indriyaparopariyattaṁ).

    Sample penglihatan Beliau:
    Petapa telanjang Korakkhattiya akan wafat dalam 7 hari [DN 24]; Sang Buddha menetapkan akan wafat 3 bulan lagi [DN 16]; Bahwa Pāṭaligāma kelak menjadi kota utama, Pāṭaliputta dan Pāṭaliputta kelak akan mengalami bahaya kehancuran api, air dan perselisihan [DN 16); Devadatta selama 1 Kappa di neraka: "Bahkan tidak seorangpun, yang tidak aku lihat detil (Nāhaṁ..aññaṁ ekapuggalampi samanupassāmi), setelah aku kumpulkan segenap pikiran terhadapnya (yo evaṁ mayā sabbaṁ cetaso samannāharitvā), aku nyatakan seperti kepada Devadatta (byākato, yathayidaṁ devadatto), Jika Aku melihat bahkan hanya sebagian kecil dari ujung helai rambut kualitas terang di diri Devadatta, maka Aku tidak akan menyatakan: ‘Devadatta mengarah menuju alam sengsara, mengarah menuju neraka, dan ia akan menetap di sana selama sekappa, tidak dapat ditebus.’ Adalah, Ānanda, hanya ketika Aku tidak melihat kualitas terang bahkan hanya sebagian kecil dari ujung sehelai rambut di diri Devadatta, maka Aku menyatakan hal ini tentangnya.".. “Ānanda, untuk tiga jenis orang sebelumnya, di antara tiga orang (ye te purimā tayo puggalā tesaṁ tiṇṇaṁ puggalānaṁ), satunya tidak akan mengalami kemunduran, satunya akan mengalami kemunduran, dan satunya mengarah menuju alam sengsara, mengarah menuju neraka. Untuk tiga jenis orang berikutnya, di antara tiga orang (yeme pacchimā tayo puggalā imesaṁ tiṇṇaṁ puggalānaṁ), satunya tidak akan mengalami kemunduran, satunya akan mengalami kemunduran, dan satunya pasti mencapai nibbāna.”[AN 6.62]. sehingga, ketika beliau menyatakan setelah tahun ke-500, tidak ada lagi manusia yang siap mencapai kesucian dan juga mampu menjalani sepenuhnya penghidupan BRAHMA dhamma-vinaya dengan ajarannya, bahwa dhamma-sejati berumur hanya 500 tahun pasca penahbisan Bhikkhuni, maka ini telah melalui pemeriksaan menyeluruh dipikiran beliau.

  3. Paralel di Theravada tentang "umur dhamma sejati hanya 500 tahun" selain AN 8.51 dan Culavagga X.1.6, juga di Milianda Panha, Bab 8.7: "Raja Milanda: 'Setelah pentahbisan para wanita, Sang Buddha berkata bahwa ajaran yang murni itu hanya akan bertahan selama 500 tahun...Bhikkhu Nāgasena: 'O, baginda,..Yang satu berhubungan dengan umur ajaran yang murni..Pada saat berkata tentang 500 tahun itu Beliau memberikan batasan kepada agama..'". Perlu diketahui, I.B Horner adalah salah satu dari sedikit sarjana Buddhis modern yang percaya bahwa "umur dhamma sejati hanya 500 tahun" sebagai ucapan sang Buddha ("Women Under Primitive Buddhism", New York: E.P. Dutton & Co., 1930, hal.103-113)

    Paralel "umur dhamma sejati hanya 500 tahun"-nya Theravada, juga muncul di literatur NON-Theravada, yaitu di vinaya Dharmaguptaka (T 1428, 22.923c9), Haimavata (vinaya-matrika/"P'i-ni mu ching" (毘尼母經)/T 1463, 24.818c4/803b16), Mahīśāsaka (T 1421, 22.186a13/14), dan (Mūla-)Sarvāstivāda (T 1451, 24.352a21) (ke-4 ini dalam Mandarin), juga di MA/Madhyamagāma (dianggap berasal dari Sarvāstivāda: "chung a-han ching" (中阿含經)/T 26, 1.607b9 dan 2 teks lain (tidak diketahui afiliasi sektenya: "Ch'ii-T'an-mi chi kuo ching" (瞿曇彌記果經)/T 60, 1.857c29 dan "Chungpen-ch'i ching"/T 196, 4.159b8, namun tidak ada dalam vinaya Mahāsāghika yang dibawakan Fa-hian dari India ["ONCE UPON A FUTURE TIME, Studies in a Buddhist Prophecy of Decline, Jan Nattier, catatan kaki di hal.29-30 dan "Theories on the Foundation of the Nuns' Order – A Critical Evaluation", ANĀLAYO, hal.105-106, 134].

    Di T 60: "若女人不於此法律信樂出家、...遺法當住千歲,今已五百歲減,餘有五百歲" (jika wanita tidak di tahbiskan..warisan ajaran, sekarang umurnya 500 tahun, hanya selama 500 tahun)

    Berikut dari catatan "Theories on the Foundation of the Nuns' Order – A Critical Evaluation", ANĀLAYO, hal.134:

    2 Vinaya Dharmaguptaka, T 1428 di T XXII 923c9: 若女人不於佛法出家者, 佛法 當得久住五百歲, dimana tampaknya yang dimaksudkan adalah ajaran buddha akan bertahan 500 tahun lebih lama jika perempuan tidak menjadi petapa ajaran buddha... Vinaya 'Haimavata' (Indentifikasi aliran oleh Lamotte (1958: 212) adalah benar), Vinaya Mahīśāsaka dan Vinaya (Mūla-)Sarvāstivāda di posisi sama dalam istilah berbeda, menurut mereka karena terbentuknya sangha bhikkhuni umur dharma sejati akan berkurang 500 tahun .., T 1463 di T XXIV 803b16: 汝今為女人求出家, 後當減吾五百歲正法 (jika wanita menjadi biksuni, sekarang praktek dharma harus berkurang 500 tahun) (menggunakan 宋, 元 dan 明 varian 歲 bukan 世); T 1421 di T XXII 186a13: 若不聽女人出家受具足戒, 佛之正法住世千歲, 今聽出家則 減五百年 (Jika wanita tidak menjadi biksuni dan menjalankan penuh sila, Dharma Buddha sejati akan bertahan di dunia selama 1000 tahun.Jika wanita menjadi biksuni, sekarang itu akan berkurang 500 tahun); dan T 1451 di T XXIV 352a21: 若其女人不出家者, 我之教法滿一千年 ... 由出家故減五百年 (jika wanita tidak menjadi biksuni, ajaran akan bertahan selama 1000 tahun... dengan menjadi biksuni Jadi berkurang 5000 tahun)... Vinaya (Mūla-)Sarvāstivāda dalam bahasa tibet menyebutkan bahwa ajaran buddha tidak lagi tidak rusak selama 1000 tahun, tanpa, namun, mengacu pada 500 tahun, Q dul ba phran tshegs kyi gzhi, ne 116b5 (D da 121a6): bud med rnams legs par bshad pa'i chos kyi (D: omits kyi) 'dul ba la rab tu ma byung na ni da yang (D: dung) nga'i bstan pa lo stong tshang bar nyes pa med cing nyams pa med par gnas par 'gyur ro.
    3 MĀ 116 di T I 607b8 menunjukan bahwa jika wanita tidak ditahbiskan, dharma sejati akan bertahan 1000 tahun, sekarang umurnya berkurang 500 tahun, hanya selama 500 tahun, 若女人不得於此正法、律中,至信、捨家、無家、學道者,正法當住千年,今失五百歲,餘有五百年"
Selain Gotami, tidak ada lagi yang menerima penahbisan melalui 8 garudhamma ini. Peraturan-kebhikkhuan dilatih pula oleh para Bhikkhuni selain peraturan yang khusus bagi bhikkhuni [Kd 20.3]. Diantara yang khusus, misalnya: Sikkhamana: wanitta, memohon kepada sangha (bhikkhuni) untuk berlatih 6 sila (5 sila + tidak makan lewat tengah hari) selama 2 tahun, setelahnya dapat memohon kepada sangha untuk dapat ditahbiskan menjadi bhikkhuni, setelah mendapatkan ijin orang tua atau suami (Pacittiya ke-80). Samaneri: wanita yang belum cukup umur untuk menjadi bhikkhuni, Ia ditahbiskan guru pabbajja untuk menjalankan 10 Sila, setelah cukup umur dapat ditahbiskan penuh untuk menjadi Bhikkhuni. Baik Sikkhamana dan Samaneri, untuk menjadi bhikkhuni penahbisannya melalui prosedur penahbisan dihadapan dua sangha (sangha bhikkhuni dan sangha Bhikkhu) [aturan garu-dhamma ke-6, culavagga dan AN 8.51]. Sikkhamana dan Samaneri bukan anggota Sangha.

Jumlah minimum anggota sangha untuk dapat melakukan tindakan formal/resmi:
  1. Sangha dengan 4 bhikkhu, tidak dapat melakukan: penahbisan (upasampadaṁ), undangan (pavāraṇaṁ ) dan rehabilitasi. (abbhānaṁ, dhammena samaggo sabbakammesu kammappatto)

    Bukan tindakan Formal dan tidak boleh dilakukan, jika sangha untuk jumlah 4 bhikkhu, tapi yang ke-4 adalah: [Bhikkhuni, sikkhamana, samanera, samaneri, pelaku pelanggaran berat, pengingkar pelatihan, orang yang diskors karena: tidak menyadari pelanggarannya, tidak melakukan perbaikan atas pelanggarannya, tidak membuang pandangan salah, seorang banci (paṇḍaka), dengan orang yang berada dalam persekutuan secara mencuri/menggelap, dengan orang yang telah menyeberang ke sekte lain, binatang, pembunuh: ibu, ayah, Arahat, penoda bhikkhuni, dengan pemecah belah sangha, orang yang melukai (Tathagata), hermafrodit (ubhatobyañjanaka), dengan orang dari persekutuan lain (nānāsaṁvāsaka), dengan orang yang tinggal di batas kawasan berbeda (nānāsīmāya ṭhita), orang yang melayang karena potensi kekuatan gaib, atau dengan orang yang menjadi target tindakan formal ini]

  2. Sangha dengan 5 bhikkhu, tidak dapat melakukan: penahbisan di kawasan tengah (majjhimesu janapadesu upasampadaṁ) dan rehabilitasi. Pengecualian khusus untuk penahbisan dapat dilakukan 5 bhikkhu, yaitu pada kawasan perbatasan (sabbapaccantimesu janapadesu): sangha 5 Bhikkhu dengan bhikkhu ke-5 adalah ahli vinaya [Kd 5.11], yaitu khusus pada kawasan yang langka terdapat samana (bhikkhu/bhkkhuni), sehingga untuk penahbisan bhikkhuni dihadapan 2 sangha, sangha bhikkhu jumlahnya 5 dan sangha bhikkhuni jumlahnya 5 serta bhikkhu/bhikkhuni yang ke-5 harus ahli vinaya.

    Bukan tindakan Formal dan tidak boleh dilakukan, jika sangha untuk jumlah 5 bhikkhu, tapi yang ke-5 adalah: [Bhikkhuni,..., orang yang menjadi target tindakan formal ini]

  3. Saṅgha dengan jumlah 10 bhikkhu, tidak dapat melakukan: Rehabilitasi.

    Bukan tindakan Formal dan tidak boleh dilakukan, jika sangha untuk jumlah 10 bhikkhu, tapi yang ke-10 adalah: [Bhikkhuni,..., orang yang menjadi target tindakan formal ini]

  4. Saṅgha dengan jumlah 20 bhikkhu dan/atau >20 bhikkhu dapat melakukan seluruh tindakan formal/resmi.

    Bukan tindakan Formal dan tidak boleh dilakukan, jika sangha untuk jumlah 20 bhikkhu, tapi yang ke-20 adalah: [Bhikkhuni,..., orang yang menjadi target tindakan formal ini] [Kd 9] [↑]


Konsili ke-1,
Bagaimana Tipitaka terbentuk?
Di menjelang Parinibbananya, yaitu di Rajagaha, Sang Buddha menyampaikan 7 faktor kemajuan bukan kemunduran (aparihāniyā dhammā), yaitu selama para Bhikkhu:
  1. sering mengadakan pertemuan rutin,
  2. bertemu dalam damai, berpisah dalam damai, dan melakukan tugas-tugas mereka dalam damai,
  3. tidak menetapkan apa yang belum ditetapkan sebelumnya, dan tidak meniadakan apa yang telah ditetapkan, melainkan meneruskan apa yang telah ditetapkan,
  4. menghormati para senior yang lebih dulu ditahbiskan, ayah dan pemimpin dari Sangha/kumpulan Bhikkhu,
  5. tidak menjadi mangsa dari keinginan yang muncul dalam diri mereka dan mengarah menuju kelahiran kembali,
  6. setia menjalani kehidupan dalam kesunyian hutan dan
  7. menjaga ingatan mereka masing-masing (paccattaññeva satiṁ upaṭṭhapessanti) [DN 16/MahaParinibbana sutta]
Selama hal di atas dilakukan maka yang terjadi adalah kemajuan dan bukan kemunduran. Kemudian, ketika di Bhojanegara, beliau menyampaikan cara menyikapi klaim-klaim bahwa itu adalah ajaran sang Buddha atau bukan, yaitu dengan membandingkan klaim-klaim itu dengan sutta-sutta dan vinaya:
  1. Buddha. ..“Di hadapan Sang Bhagavā aku mendengar hal ini; di hadapan Beliau aku mempelajari hal ini: inilah Dhamma/Sutta, inilah Vinaya/Patimokkha/disiplin, inilah Ajaran Sang Guru (ayaṃ dhammo, ayaṃ vinayo, idaṃ satthusāsana)” maka, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya. Kemudian tanpa menerima atau menolak, kata-kata dan frasenya harus dengan baik dipelajari (padabyañjanāni sādhukaṁ uggahetvā), dibandingkan dengan sutta-sutta dan dilihat di vinaya (sutte otāretabbāni, vinaye sandassetabbāni), Jika telah dibandingkan dengan sutta-sutta dan telah dilihat di vinaya, tidak selaras dengan sutta-sutta dan tidak ada di vinaya (na ceva sutte otaranti na vinaye sandissanti), maka “Pasti ini bukan kata-kata Sang Buddha, hal ini telah keliru dipahami bhikkhu ini,” dan kata-katanya harus ditolak. Jika telah dibandingkan dengan sutta-sutta dan telah dilihat di vinaya, selaras dengan sutta-sutta dan ada di vinaya, maka “Pasti ini adalah kata-kata Sang Buddha, hal ini telah dengan benar dipahami bhikkhu ini.” Ini adalah kriteria ke-1.
  2. Sangha. ..“dihadapan sangha itu, Aku mendengar, mempelajari hal ini: inilah Dhamma, inilah disiplin, inilah Ajaran Sang Guru,” maka, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya ... (seperti di atas). Ini adalah kriteria ke-2.’
  3. Para Bhikkhu Senior. ..“di hadapan beberapa bhikkhu senior terpelajar yang menguasai ajaran, ahli dalam Dhamma, vinaya dan kerangka ajaran itu, Aku mendengar, mempelajari hal ini: inilah Dhamma, inilah disiplin, inilah Ajaran Sang Guru,” ... (seperti di atas). Ini adalah kriteria ke-3.’
  4. Seorang Bhikkhu Senior. ..“ di hadapan seorang bhikkhu senior terpelajar yang menguasai ajaran, ahli dalam Dhamma, vinaya dan kerangka ajaran, Aku mendengar, mempelajari hal ini: inilah Dhamma, inilah disiplin, inilah Ajaran Sang Guru,” ... (seperti di atas). Ini adalah kriteria ke-4' [DN 16/MahaParinibbana sutta dan AN 4.180/Maha Padesa Sutta]
Seminggu Pasca Parinibbana Sang Buddha:
Yang Mulia Kassapa Yang Agung sedang melakukan perjalanan dari Pāvā menuju Kusinārā bersama sejumlah besar bhikkhu, sekitar 500 orang. Setelah keluar dari jalan utama, YM Kassapa Yang Agung duduk di bawah pohon. Saat itu seorang Ājīvaka (petapa telanjang) yang tengah memegang sekuntum bunga pohon-koral berjalan dari Kusinārā menuju Pava. YM Kassapa melihatnya dari jauh dan ketika telah mendekat, beliau berkata kepadanya: ‘Sahabat, apakah engkau mengenal guru kami?’ ‘Ya, sahabat, aku mengenal Beliau. Hari ini seminggu Parinibbana/wafatnya Petapa Gotama (ajja sattāhaparinibbuto samaṇo gotamo). Oleh karenanya, Aku menggenggam bunga pohon-koral ini.’ Para bhikkhu yang belum terbebas nafsu, beberapa menjulurkan lengan, meratapi, menjatuhkan diri berguling maju mundur, berkata: "Terlalu cepat Sang Bhagavā, sang Sugato, Parinibbāna, terlalu cepat Sang Mata Dunia menghilang/antaradhāyissatī" Tetapi para bhikkhu yang telah terbebas nafsu, dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui, menahankan-nya (Ye pana te bhikkhū vītarāgā, te satā sampajānā adhivāsenti): ‘Segala yang berkondisi tidak kekal, bagaimana mungkin tidak (aniccā saṅkhārā, taṃ kutettha labbhā'ti)’.

Duduk dalam kumpulan bhikkhu itu, Subhadda, seorang yang menjadi bhikkhu di usia tua, berkata kepada para bhikkhu yang menangis: ‘Cukup, teman-teman, jangan menangis dan meratap. (sumuttā mayaṁ tena Mahāsamaṇena) Kita telah terbebas dari Sang Petapa Agung (upaddutā ca homa) sebagai korban kecamannya: “Ini baik untukmu, ini tidak baik bagimu lakukanlah ini!” (Idāni pana mayaṁ yaṁ icchissāma taṁ karissāma) Sekarang kita dapat lakukan apa yang kita inginkan, (yaṁ na icchissāma taṁ na karissāmā'ti) dan tidak lagi lakukan apa yang tidak kita inginkan’ [DN 16/MahaParinibbana Sutta, Vinaya: Culavagga XI/21 Khanda tentang 500]

Rencana 3 bulan pasca Parinibbana Sang Buddha dan Konsili ke-1 [a]
[Mengetahui bahaya tentang ini, sesampainya di tempat] YM Kassapa [b] kemudian mengajak para Bhikkhu untuk mengumpulkan Dhamma dan Vinaya Sang Buddha. Berikut ringkasan narasi Culavagga XI/21 (Khanda tentang 500):
    Marilah, para Yang Mulia, kita mengulangi dhamma dan disiplin, sebelum APA YANG BUKAN dhamma dan APA YANG BUKAN disiplin menjadi bersinar dan apa yang merupakan Dhamma dan disiplin menjadi tersembunyi, sebelum mereka yang mangatakan APA YANG BUKAN dhamma dan APA YANG BUKAN disiplin menjadi kuat dan mereka yang mengatakan dhamma dan disiplin menjadi lemah

    Kemudian Para Bhikkhu sepuh meminta YM Kassapa untuk memilih para Bhikkhu dan YM Kassapa memilih 500 Arahat namun kurang 1. Para Bhikkhu berkata pada YM Kassapa bahwa YM Ānanda
    [c] walaupun masih dalam tahap berlatih, tidak mungkin mengikuti jalan salah melalui nafsu, kemarahan, kebodohan, ketakutan; dan Iapun telah menguasai banyak dhamma dan disiplin dari sang Buddha oleh karenanya mereka meminta YM Kassapa untuk memilih YM Ānanda juga. YM Kassapa kemudian memilih YM Ānanda.

    Kemudian Para sesepuh berpikir untuk memilih Rājagaha sebagai tempat bervassa/melewati musim hujan, juga sebagai tempat untuk membacakan dhamma - disiplin dan TIDAK ADA BHIKKHU LAIN yang akan bervassa di Rājagaha selama musim hujan ini. YM Kassapa kemudian menyampaikan kepada Sangha agar menyetujui penunjukan 500 bhikkhu ini untuk membacakan dhamma - disiplin selagi menjalani masa musim hujan di Rājagaha, dan agar selama musim vassa itu TIDAK ADA BHIKKHU LAINNYA
    [d] yang bervassa di Rājagaha. Saṅgha menyetujui dengan berdiam diri. Kemudian para bhikkhu sesepuh pergi ke Rājagaha untuk membacakan dhamma-disiplin.

    Di awal masa vassa (paṭhama māsa), di Rājagaha, para Bhikkhu sepuh memperbaiki bagian-bagian tempat yang rusak dan dipertengahan masa vassa (majjhima māsa) mereka membacakan Dhamma dan Disiplin.

    Sehari sebelum pertemuan, YM Ānanda berpikir: “Besok adalah hari pertemuan, tidak selayaknya bagiku, seorang yang masih berlatih, pergi ke pertemuan itu,”. Setelah melewatkan banyak waktu di malam itu dalam ingatan pada jasmani, ketika malam hampir berlalu, ia berpikir akan berbaring, ketika Ia sedang merebahkan tubuh, yaitu ketika kepala BELUM menyentuh alas tidur dan ketika kaki TELAH terangkat dari tanah. Di interval waktu itulah, pikirannya terbebaskan dari kekotoran mental (anupādāya āsavehi cittaṃ vimucci) dan keesokan harinya, YM Ānanda, pergi kepertemuan itu sebagai Arahat.

    Kemudian YM Kassapa memberitahu Sangha bahwa beliau akan menanyai YM Upāli
    [e] tentang disiplin. YM Upāli memberitahukan Saṅgha bahwa Beliau akan menjawab pertanyaan tentang disiplin yang diajukan YM Kassapa yaitu dimulai dengan pelanggaran pertama parajika, latar belakangnya, pelakunya, apa yang ditetapkan, apa yang ditetapkan lebih lanjut, apa yang merupakan pelanggaran dan apa yang bukan merupakan pelanggaran.. parajika ke-2.. Parajika ke-3.. Parajika ke-4..

    Dengan cara yang sama, YM Kassapa terus menerus menanyai YM Upali tentang ke dua disiplin (ubhatovibhaṅge)
    [f] dan YM Upāli pun menjawabnya

    Kemudian YM Kassapa memberitahu Sangha bahwa beliau akan menanyai YM Ānanda tentang dhamma. YM Ānanda memberitahukan Saṅgha bahwa Beliau akan menjawab pertanyaan dhamma yang diajukan YM Kassapa yaitu dimulai dengan Brahmajāla, tempat pembabarannya, kepada siapa dan latar belakangnya..Sāmaññaphala..

    Dengan cara yang sama, YM Kassapa terus menerus menanyai YM Ananda tentang 5 Nikāya (pañcapi nikāye) dan YM Ānanda pun menjawabnya

    Kemudian, di hadapan para bhikkhu sepuh, Ānanda menyampaikan pesan Sang Buddha yaitu setelah beliau wafat, jika Saṅgha menghendaki, peraturan-peraturan latihan yang kecil dan minor boleh dihapuskan. Para bhikkhu sepuh bertanya apakah YM Ananda juga menanyakan pada Sang Buddha mengenai peraturan-peraturan latihan yang kecil dan minor mana yang dimaksudkan? YM Ananda menjawab tidak dan bertanya kembali kepada Sangha, mengenai yang mana yang dimaksudkan sebagai peraturan-peraturan latihan yang kecil dan minor itu? Menanggapi ini, munculah ragam pendapat di antara para sepuh:


    1. Beberapa sesepuh berkata: Kecuali 4 pārājikā (telah kalah karena melanggar kehidupan kesucian), maka selebihnya adalah peraturan-peraturan latihan yang kecil dan minor
    2. Beberapa sesepuh berkata: Kecuali 4 pārājikā + 13 saṃghādisesa (pelanggaran yang keputusannya memerlukan sidang resmi Saṅgha), maka selebihnya adalah peraturan-peraturan latihan yang kecil..
    3. Beberapa sesepuh berkata: Kecuali 4 pārājikā + 13 saṃghādisesa + 2 aniyata (memerlukan pengakuan bhikkhu/ni apakah Ia melanggar/tidak berduaan dengan lawan jenis ditempat sunyi/tertutup), maka selebihnya adalah..
    4. Beberapa sesepuh berkata: Kecuali 4 pārājikā + 13 saṃghādisesa + 2 aniyata + 30 nissaggiya pācittiya (pelanggaran perolehan yang memerlukan pengakuan dan pelepasan benda yang diterimanya),...
    5. Beberapa sesepuh berkata: Kecuali 4 pārājikā + 13 saṃghādisesa + 2 aniyata + 30 nissaggiya pācittiya + 92 pācittiya (pelanggaran moralitas yang memerlukan pengakuan),..
    6. Beberapa sesepuh berkata: Kecuali 4 pārājikā + 13 saṃghādisesa + 2 aniyata + 30 nissaggiya pācittiya + 92 pācittiya + 4 pāṭidesanīya (pelanggaran tentang sikap yang harus diketahui dan diakui kesalahannya), selebihnya adalah peraturan-peraturan latihan yang kecil dan minor

    Kemudian YM Kassapa memberitahukan Saṅgha bahwa terdapat peraturan-peraturan latihan yang berpengaruh pada para perumah tangga dan juga pada petapa yang diketahui oleh perumah tangga: ‘Ini pasti tidak diperbolehkan bagi para petapa, ini pasti diperbolehkan.’ Jika hendak menghapuskan maka akan ada di antara mereka yang berkata: ‘Sewaktu Sang Guru masih berada bersama mereka, mereka berlatih dalam peraturan-peraturan itu, namun ketika Sang Guru telah wafat, mereka tidak lagi berlatih dalam peraturan-peraturan itu"

    Untuk itu Saṅgha tidak boleh menetapkan apa yang belum ditetapkan, juga tidak menghapuskan apa yang telah ditetapkan. Sangha menyetujui dengan berdiam diri.

    (1) Kemudian para bhikkhu sesepuh berkata kepada YM Ānanda sebagai berikut:―Ini, YM Ānanda, adalah pelanggaran perbuatan-salah bagimu, karena engkau tidak menanyakan kepada Sang Bhagavā, dengan mengatakan: ̳Tetapi, manakah, Yang Mulia, peraturan-peraturan latihan yang kecil dan minor itu?‘ Akuilah pelanggaran perbuatan-salah itu. ―Saya, Yang Mulia, karena kurangnya perhatian, tidak menanyakan kepada Sang Bhagavā, dengan mengatakan: ̳Tetapi, manakah, Yang Mulia, peraturan-peraturan latihan yang kecil dan minor itu?‘ Saya tidak melihat hal ini sebagai pelanggaran perbuatan-salah, namun demi keyakinan pada Yang Mulia saya mengakuinya sebagai pelanggaran perbuatan-salah
    [g]

    (2) Ini juga adalah pelanggaran perbuatan-salah bagimu, YM Ānanda, karena engkau menjahit jubah musim hujan Sang Bhagavā setelah menginjaknya. Akuilah pelanggaran perbuatan-salah itu ―Tetapi saya, Yang Mulia, bukan karena tidak hormat, telah menjahit jubah musim hujan Sang Bhagavā setelah menginjaknya. Saya tidak melihat ... tetapi demi keyakinan pada Yang Mulia saya mengakuinya sebagai pelanggaran perbuatan-salah.

    (3) Ini juga adalah pelanggaran perbuatan-salah bagimu, YM Ānanda, karena engkau membiarkan para perempuan memberi penghormatan pertama kali kepada jenazah Sang Bhagavā; karena mereka menangis, jenazah Sang Bhagavā dinodai oleh air mata. Akuilah pelanggaran perbuatan-salah itu.―Tetapi saya, Yang Mulia, dengan berpikir: Jangan biarkan mereka (datang) pada waktu yang tidak tepat,‘ telah membiarkan jenazah Sang Bhagavā pertama kali dihormati oleh semua perempuan. Saya tidak melihat hal ini sebagai pelanggaran perbuatan-salah ... namun demi keyakinan ..

    (4) Ini juga adalah pelanggaran perbuatan-salah bagimu, YM Ānanda, karena engkau (walaupun) isyarat jelas telah diberikan, sebuah tanda yang gamblang telah diberikan, namun engkau tidak memohon pada Sang Bhagavā, dengan mengatakan: ̳Sudilah Yang Mulia hidup hingga umur kehidupan (maksimum), sudilah Sang Pengembara Sempurna menetap hingga usia kehidupan (maksimum) demi kesejahteraan banyak makhluk, demi kebahagiaan banyak makhluk, demi belas kasihan pada dunia, demi kebaikan, kesejahteraan, kebahagiaan para deva dan manusia.‘ Akuilah pelanggaran perbuatan-salah itu.―Tetapi Yang Mulia, karena pikiran saya dikuasai oleh Māra, maka saya tidak memohon pada Sang Bhagavā dengan mengatakan: ̳Sudilah Yang Mulia tinggal ... kebahagiaan para deva dan manusia.‘ Saya tidak melihat ... demi keyakinan ...

    (5) Ini juga adalah pelanggaran perbuatan-salah bagimu, YM Ānanda, karena engkau mengusahakan pelepasan keduniawian para perempuan dalam dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Penemu-Kebenaran. Akuilah pelanggaran perbuatan-salah itu.―Tetapi saya, Yang Mulia, mengusahakan pelepasan keduniawian para perempuan dalam dhamma dan disiplin yang dinyatakan oleh Sang Penemu-Kebenaran, dengan berpikir: Gotami Pajāpati yang Agung ini, adalah bibi Sang Bhagavā, ibu pengasuh, perawat, pemberi susu, karena ketika ibu Sang Bhagavā meninggal dunia ia menyusui Beliau.‘ Saya tidak melihat hal ini sebagai pelanggaran perbuatan-salah, namun demi keyakinan pada Yang Mulia saya mengakuinya sebagai pelanggaran perbuatan-salah...
    [Culavagga XI/21: Pañcasatikakkhandhaka/Khanda tentang 500]

    [Setelah narasi tersebut, selesailah pembacaan Dhamma-Vinaya (selesainya konsili ke-1). Isi dari 'khanda tentang 500' adalah pembacaan sutta-vinaya, tentang tidak adanya aturan minor yang dihapus, tentang pengakuan salah oleh Ananda, tentang YM Purāṇa yang setelah selesai pembacaan dhamma-vinaya, menemui para bhikkhu senior, Ia diminta agar menerima pembacaan dhamma-vinaya oleh sangha, tentang pemberian hukuman brahmadaṇḍa kepada bikkhu Channa dan terakhir adalah tentang bertemunya Ananda dengan rājā Udena. Sampai dengan berakhir narasi 'khanda tentang 500', tidak ada tentang pembacaan Abhidhamma [h]]
    -------------------

    Note:
    [a] Kejadian adanya konsili ke-1, juga ada di teks-teks tradisi Buddhis Utara, misal: Mahavastu dan Dulva vinaya tibet, aliran Sarvastivada, catatan Fa-hien (abad ke-5) dan Xuanzang (abad ke-7), namun untuk jumlah arahatnya berbeda, Xuanzang: 1000 [“Mahavamsa, Geiger, Introduction, hal. liv]. Tempat konsili di Gua Sattapanni, Rajagraha tidak ada Culavagga XI/21, namun disebut dalam Mahavamsa 3.19 dan Dipavamsa 4.14 dan kitab komentar. Lama waktu konsili 7 bulan tidak ada di Culavagga namun di Mhv 3.37 dan Dipv 5.5

    [b] Maha Kassapa berumur 120 tahun saat konsili ke-1 di gua sattapanni [DPPN, dari kitab Komentar/atthakatha: SA.ii.130 (..kassapo pana vīsavassasatāyuko, so mayi parinibbute sattapaṇṇiguhāyaṃ..)]. Tradisi Selatan/Tradisi Pali tidak menceritakan kapan dan bagaimana Mahakassapa wafat, namun tradisi Buddhis Utara, yang bersumber dari fa-hien [Records of Buddhist nations, Fahein- James Legge, ch.33] dan Xuanzang [On Yuan Chwang’s Travels in India, Thomas Watters Vol-II, hal.144-145] menyatakan Mahakassapa bahkan masih hidup hingga kini: Sekitar 30 tahun pasca konsili ke-1, Maha Kassapa menyerahkan mangkuk pindapatta Sang Buddha kepada Ananda sebagai lambang kelanjutan pelestarian Dhamma, setelah memberi hormat pada Stupa Buddha, menuju ke Rajgriha untuk bertemu Raja Ajatsatru, tapi karena Ia sedang tidur dan tidak bisa diganggu, kemudian menuju Kukkutapādagiri. Setibanya, di gunung Kukkutapāda yang puncaknya berbentuk 3 kaki ayam, puncak ini membelah, Ia kemudian duduk bermeditasi di dalamnya hingga datangnya Buddha Metreya dan menyerahkan jubah Buddha Gotama kepada Buddha Metreya. Di tempat ini Ajatsatru yang datang ditemani Ananda, kemudian mendirikan stupa.

    [c] Ananda lahir pada hari yang sama dengan Sidhartha Gautama. Theragata 17.3, berisi pernyataan Ananda dan pernyataan Thera konsili ke-2, terkait parinibbananya Ananda. Tradisi Selatan: Saat Ānanda Thera berusia 120 tahun, Ia menyampaikan akan wafat dalam 7 hari dan didengar para penduduk kedua sisi Sungai Rohiṇī, 7 hari kemudian, dengan duduk bersila melayang di tengah sungai setinggi 7 pohon palem, setelah memberi kotbah dhamma, tubuhnya mengeluarkan api, terbelah dua, jatuh di kedua sisi sungai, untuk masing-masing pihak [DPPN bersumber dari komentar: DhA ii.99 atau Dhammapada Atthakatha, vol.2, ITC, hal 338-340]. Tradisi Buddhis Utara, yang bersumber dari Fa-Hien: Ānanda berjalan dari Magadha ke Vesāli untuk parinibbana, Ajātasattu dan para kepala suku Vesali berserta rombongan mengikuti sampai sungai Rohiṇi. Kedua pihak mencapai tepi sungai. Kemudian Ānanda, yang berada tengah sungai, tubuhnya terbakar terbagi dua untuk masing-masing pihak. Mereka membangun stupa di sana.

    [Tradisi Selatan dan sumber lainnya: Ajatasattu memerintah 32 tahun (8 sebelum parinibbananya Buddha + 24 tahun pasca). Saat Ananda wafat, tidak ada Ajatasattu, hanya para penduduk dua sisi sungai. Tradisi Buddhis Utara: Ajatasattu memerintah lebih dari 38 tahun (8 tahun + 30 tahun Pasca parinibbanannya Buddha), jika merujuk kejadian Maha Kassapa bahkan lebih dari 48 tahun, jika merujuk wafatnya Ananda wafat (40 tahun pasca parinibbananya Buddha)]

    [d] Tradisi Selatan: Upali wafat ketika anak Ajatasattu yaitu Udayin-Bhadda/Udayabhadda memerintah sebagai raja di tahun ke-6nya [Dpv. 5.97] atau tahun ke-30 tahun pasca paranibbananya Buddha.

    [e] Berkumpulnya sangha untuk menetapkan jumlah, tempat dan waktu pengulangan dhamma-vinaya (konsili), mungkin terjadi di bulan Vesakh juga (DN 16: Purnama Vesak adalah wafatnya sang Buddha, 1 minggu kemudian Maha Kassapa datang dan mayat sang Buddha dibakar, selama 1 minggu kemudian peninggalan-peninggalan sang Buddha ditempatkan di aula penobatn suku Malla). Tempat konsili ditetapkan di Rajagaha pada musim hujan (yaitu 3 bulan kemudian, setelah bulan Vesakh adalah bulan vassana/mulai musim hujan), karena diketahui (waktu itu) tidak ada Bhikkhu lain yang bervassa di Rajagaha, namun jika ada bhikkhu lain datang, mereka harus berpartisipasi agar konsili sah. Jika hanya sebagian dari kelompok yang hadir untuk berpartisipasi, konsili menjadi tidak sah karena dilaksanakan oleh suatu kelompok/vagga, yang tidak lengkap. Itulah sebabnya dilakukan pengumuman pengesahan jumlah, tempat dan waktu konsili agar diketahui

    [f] ubhatovibhaṅge atau ubhatovinaye adalah vinaya Bhikkhu dan Bhikkhuni. Dalam Sp 5.325: "Pātimokkhanti dve mātikā (2 kerangka ajaran Patimokkha, yaitu Bhikkhu dan Bhikkhuni)", juga āgatāgamo (menguasa tradisi/5 nikaya) dhammadharo (menguasai ajaran) vinayadharo (menguasai vinaya) mātikādharo (kerangka ajaran" [AN 4.160; AN 5.156].

    [g] Ananda menerapkan prinsip mencegah pertikaian dan perpecahan dalam sangha dalam kasus Kosambi (Mahavagga, x):

    "Mungkin saja seorang Bhikkhu telah melakukan suatu pelanggaran dan Ia tidak menganggapnya sebagai pelanggaran, namun ada bhikkhu lain menganggapnya demikian. Jika dia tahu, 'Para bikkhu ini terpelajar dan menguasai tradisi; ajaran, vinaya, dan kerangka ajaran; mereka berpengetahuan dan kompeten, malu dan takut berbuat salah serta menyukai pelatihan. Mereka tidak mungkin, karena saya atau orang lain, bertindak salah karena pilih kasih, niat jahat, kebingungan, atau ketakutan. Dan jika para pendeta ini mengusirku karena tidak mengakui suatu pelanggaran, mereka tidak akan dapat melakukan undangan bersamaku; mereka tidak dapat melakukan tindakan (formal sangha bersama ku, mereka tidak dapat duduk bersama ku; mereka tidak dapat makan bubur nasib bersamaku; mereka tidak dapat duduk di ruang makan bersamaku; mereka tidak dapat tinggal di bahwa 1 atap bersamaku; kita tidak dapat membungkuk, bangkit berdiri, melakukan anjali, atau penghormatan terhadap satu sama lainnya berdasarkan senioritas. Karena itu, akan ada argumen dan pertikaian dalam Sangha; akan ada perpecahan, keretakan, dan pemisahan dalam Sangha, dan jika ia memahami beratnya perpecahan, ia harus mengakui kesalahannya karena kepercayaannya kepada yang lain"

    [h] Narasi teks vinaya Buddhis Utara, Mūlasarvāstivāda Vinaya (Tibet dan China) dan beberapa versi Aśokāavadāna (W W Rockhill, The Life of the Buddha 1907, hal.60), menuliskan bahwa Ānanda menyampaikan Sutra, Upali menyampaikan Vinaya dan Mahākāśyapa menyampaikan mātṛkā (inilah yang dianggap sebagai Abhidharma, tapi konsili Buddhis Utara pada abad ke-2 M, jelas menyatakan bahwa Abhidharma disusun di saat itu). Di narasi pali Theravada "khanda tentang 500", tidak ada 1x pun ada kata mātikā atau bahkan Abhidhamma.
Setelah selesai konsili ke-1, kitab Buddhisme saat itu BUKANLAH Tipitaka/Tripitaka (3 keranjang) melainkan DvePitaka (2 keranjang): Dhamma/sutta-sutta [sebanyak 5 nikaya/agama. Arti Nikaya = Agama = Kumpulan] dan vinaya, sedangkan kitab Abhidhamma [yang sebanyak 7 kitab] BELUMLAH ADA

Kapan susunan Tipitaka mencapai bentuk seperti sekarang?
Ketika Mahakassapa menanyai Upali tentang kedua vinaya adalah tentang aturan bagi Bhikkhu dan Bhikkhuni, pada akhirnya, bentuk Vinaya Pitaka terbagi menjadi tiga:
  1. Suttavibhanga (Bhikkhuvibhaṅga dan Bhikkhunivibhanga) = pātimokkha (yang harus dilakukan, aturan) dan terdapat 2 pātimokkha, yaitu ovada (nasihat) dan āṇā (intruksi, perintah). Jumlah āṇā pātimokkha: "Sādhikamidaṃ (lebih dari)..diyaḍ­ḍha­sikkhā­pada­sataṃ (150 aturan latihan)" yang dibacakan per 2 minggu [AN 3.84, 86, 87, 88. Milanda 5.2.1 dan 6.2.8]. Dalam Culavagga tentang konsili ke-1 terkait maksud aturan minor, narasi berhenti sampai usulan ke-6, "Beberapa sesepuh berkata: Kecuali 4 pārājikā + 13 saṃghādisesa + 2 aniyata + 30 nissaggiya pācittiya + 92 pācittiya + 4 pāṭidesanīya, selebihnya adalah peraturan-peraturan latihan yang kecil dan minor" (= 145 sikkhāpada), jadi tidak dapat diketahui yang mana disebut sebagai "latihan yang kecil dan minor". Untuk 7 Adhikaraṇasamathā (= 152) + 75 Sekhiya (= 227), keduanya "bukan kelompok pelanggaran".

    Di Theravada, jumlah Patimokkha Bhikkhu = 227 dan Bhikkhuni = 311, dari jumlah tersebut terdapat 181 aturan yang sama bagi Bhikkhu dan Bhikkkhuni (4 pārājikā + 7 saṃghādisesa + 18 nissaggiya pācittiya + 70 pācittiya + 75 Sekhiya + 7 Adhikaraṇasamathā), 46 aturan khusus Bhikkhu dan 130 aturan khusus Bhikkhuni, sehingga memang terdapat "Sādhikamidaṃ diyaḍ­ḍha­sikkhā­pada­sataṃ/lebih dari 150 aturan latihan".
    Bikkhuvibhanga (181 + 46 = 227 sikkhāpada) terbagi dalam: (1) kelompok Pārājika (4 Pārājika + 13 Saṅghādisesa + 2 Aniyata) dan (2) kelompok Pācittiya (30 Nissaggiyā Pācittiya + 92 Pācittiya + 4 Pāṭidesanīya + 75 Sekhiya + 7 Adhikaraṇasamathā).
    Bhikkhunivibhanga (181 + 130 = 311 sikkhāpada) dikelompokan menjadi 8 Pārājika, 17 Saṅghādisesa, 30 Nissaggiyā Pācittiya, 166 Pācittiya, 8 Pāṭidesanīya, 75 Sekhiya, dan 7 Adhikaraṇasamathā.

    Tabulasi jumlah aturan Patimokkha Bhikkhu dari beberapa aliran

    "Buddhism: The early Buddhist schools and doctrinal history; Theravāda doctrine", Paul Williams, Vol 2, Hal.222

    Perbedaan tampak jelas pada Pācittiya (V), hanya Theravada dan Mahasanghika yang jumlahnya 92, juga pada Sekhiya (VII), hanya Theravada yang jumlahnya 75.

    Tabulasi jumlah aturan Patimokkha Bhikkhuni dari 6 aliran:

    Th = Theravada; Dh = Dharmagupta; Mhs = Mahisàsaka;
    Msg = Mahàsanghika; Sar = Sarvastivàda; M.Sar. = Mula-Sarvàstivàda
    "The Bhikkhuni Patimokkha of the Six Schools", Chatsumarn Kabilsingh Ph.D, hal.12

  2. Khandaka (Maha dan Cula Vagga). Mahāvagga berisi aturan dan uraian tentang upacara penahbisan Bhikkhu, upacara uposatha saat purnama dan bulan baru di mana anggota Saṅgha membacakan Patimokkha/aturan disiplin bagi para Bhikkhu, aturan tempat tinggal selama musim hujan/vassa, upacara akhir vassa/pavarana, aturan tentang jubah, peralatan, obat dan makanan, pemberian jubah di hari Kathina, aturan bagi Bhikkhu yang sakit, aturan tentang tidur, aturan tentang bahan jubah, tata cara melaksanakan Saṅghakamma/upacara Saṅgha, dan mengatasi perpecahan Saṅgha. Culavagga berisi 12 bahasan, di awali ragam permasalahan di anggota Saṅgha (Bhikkhu dan Bhikkhunī) tentang tindakan resmi, masa percobaan pelanggaran, akumulasi pelanggaran, cara menyelesaikan pertanyaan resmi, perpecahan dalam Saṅgha, aturan tempat tinggal, penangguhan Pātimokkha, berdirinya sangha bhikkhuni dan aturan penahbisan Mahapajapati Gotami, tentang Konsili ke-1 (lima ratus) dan ke-2 (tujuh ratus).

  3. Parivara (berisi addendum, rangkuman dan petunjuk pembelajaran).
    Di bagian akhir Parivara disebutkan: "bubbācariyamaggañca (Setelah menanyakan ini dan itu), pucchitvā ca tahiṁ tahiṁ (tentang cara para guru sebelumnya); Dīpanāmo mahāpañño (Dīpanāma yang berkebijaksanaan agung), sutadhāriṁ vicakkhaṇo (yang mampu mengingat yang telah didengarnya, orang yang cerdas), Imaṁ vitthārasaṅkhepaṁ (dengan perincian lengkapnya ini) sajjhāmaggena majjhime (untuk jalan tengah pembelajaran), cintayitvā likhāpesi (Setelah memikirkannya dia menuliskannya), sissakānaṁ sukhāvahaṁ (agar para siswanya bahagia)". [Vinaya-Pitaka, Vol.VI, ITC, 2012, hal.737]

    Ragam pendapat, kapan Parivara dibuat,

    I.B Horner: "Rhys Davids dan Oldenberg: 'tidak disebutkan di buku ke-5 dalam pembagian Vinaya-pitaka, Parivara-patha... semacam abstrak dari Vinaya, kompilasi belakangan, mungkin karya seorang Thera Srilanka' (Pasca konsili ke-3), .. di bait-bait akhir Parivara, nama Dipa (atau Dipanama, penulisnya, likhipesi - hal.xii) (hal.ix). Frauwallner: ..sebanding dengan Ekottara di Vinaya Dharmaguptaka melekat pada 2 bagian Vinaya: Suttavibhailga dan Khandhaka. sebagai "kumpulan addenda"...(muncul) lebih lambat dari bagian lainnya (hal.x) .. Vinaya sekte lain tidak memiliki Parivara (xi)...Winternitz: ..mungkin berasal dari era yang sama dengan Abhidhammapitaka. B. M. Barua, yang dikutip Dr. W. Rahula: Parivarapatha, kompilasinya di sekitar awal era Kristen (hal.xii) ["The Book Of The Disciplin (Vinaya-Pitaka), Vol.VI":Translator's Introduction, I.B Horner, 1965].

    Norman K.R: Komentar Vinaya (Pada-bajaniya), penjelasan kata perkatanya mirip dengan Niddesa (di sutta) sehingga berada pada jaman yang sama ["History of Indian Literature", Norman K.R, vol.2, 1983, hal.19]. Norman K.R meyakini bahwa Vinaya dengan bentuk seperti sekarang (3 bagian) telah ada sebelum konsili ke-2 [Ibid, hal. 24]. Parivara Vinaya menyampaikan jalur bhikkhu yang bertanggungjawab menurunkan sutta dan vinaya dari konsili ke-1 hingga di Tambapaṇṇi, Srilanka. Mahinda tiba di Srilanka (32 tahun, 12 tahun sejak ditahbiskan/upasampada: 20 tahun/DipV.5.82 + 12.5 tahun/Mhv 13.1-5) dan tinggal 48 tahun hingga Parinibbana (wafat 80 tahun, 60 tahun sejak ditahbiskan: 40 tahun Raja Devanampiyatissa/Dipv 17.92, Mhv 20.28 + 8 tahun Raja Uttiya/Dipv 17.92-85,Mhv 20.32). Dipavamsa mencatat bahwa dari sebelum era raja Srilanka Vattagamani, Srilanka (abad ke-1 SM), para Bhikkhu secara oral menurunkan 3 teks pitaka dan Aṭṭhakathā [Dipv 13.20].
Vinaya memuat ragam jenis apatti (pelanggaran dengan penjatuhan hukuman), yang terbagi sebagai (1) dapat diperbaiki (Satekiccha), yaitu majjhimapatti/Pelanggaran sedang (sebagian dari Saṃghādisesa dan lahuka/ringan (Thullaccaya, Pācittiya + Nissaggiya, Pāṭidesanīya, Dukkaṭa dan Dubbhāsita), pelanggaran yang dapat diperbaiki disebut Sappatikamma dan (2) Pelanggaran yang tidak dapat diperbaiki (Atekiccha) berupa pelanggaran garukapatti (garuka/berat) (Parajika dan sebagian dari Saṃghādisesa). Tidak termasuk apatti misalnya: hanya berpikir: “Saya akan melakukan ini dan itu” atau gila. Termasuk apatti apabila dilakukan dengan jasmani/perkataan baik itu disertai kehendak/sacittaka maupun tanpa kehendak/acittaka (contoh bhikkhu minum minuman memabukkan, sekalipun sebelumnya tidak tahu minuman itu memabukkan). Pengelompokan sangsi (sebagian keterangan dari Pengantar Vinaya II, ITC, 2012) sebagai berikut:
  1. Parajika (Kalah, bisa sukarela diakui tanpa kehadiran sangha atau terpaksa melalui kehadiran sangha, hasilnya lepas jubah/dikeluarkan dari sangha, tidak dapat menjadi bhikkhu seumur hidupnya. Misal, tanpa kehadiran sangha, Pelaku tahu apa yang dilanggar, sehingga disebut kalah (misal bersaksi tentang keberadaan tertentu. Tapi ia tidak punya kemampuan untuk mengetahui pasti keberadaan tersebut, contoh lain bersetubuh, mencuri, membunuh). Pelanggaran ini termasuk yang tidak bisa diperbaiki atau pelanggaran berat/garukāpatti. Bhikkhu = 4, Bhikkhuni = 8).

  2. Saṃghādisesa (Beberapa menjadi pelanggaran berat/garukāpatti dan beberapa menjadi pelanggaran menengah/majjhimapatti. Setiap keputusan harus dengan pertemuan Formal: Keputusan yang memerlukan kehadiran sangha, hasilnya bisa lepas jubah/dikeluarkan ataupun tidak. Bhikkhu = 13, Bhikkhuni = 17). Dari 13 Saṅghādisesa, 9-nya otomatis menjadi pelanggaran saat melakukan. sedangkan 4-nya menjadi pelanggaran apabila telah 3 kali ditegur, tapi tetap melakukan kesalahan yang sama. Sanksi harus melalui putusan pertemuan formal Saṅgha. Sangsi dapat berupa masa mawas diri/mānatta biasanya berlangsung 6 hari (beberapa kasus, untuk bhikkhuni 15 hari di Saṅgha Bhikkhu + 15 hari di Saṅgha Bhikkhuni, tetapi tanpa ditambah dengan masa percobaan/parivāsa). Dalam mānatta, bhikkhu hilang hak senioritasnya, wajib menjalankan 94 aturan yang membatasi gerak-geriknya, antara lain setiap hari wajib lapor kesalahannya pada setiap bhikkhu yang ada di kawasan; dikucilkan dengan tidak boleh tinggal seatap dengan para bhikkhu untuk merenung dan memperbaiki diri, tetapi harus tetap di tempat yang minimal ada 4 bhikkhu dan diawasi Saṅgha setempat. Setiap gagal menjalankan satu dari 94 batasan adalah pelanggaran dukkata yang wajib diakui. 1 kegagalan di suatu hari, menggagalkan masa mānatta di hari itu, wajib diganti di hari berikutnya hingga harus total 6 hari tanpa kesalahan. Setelah masa mānatta selesai, Ia dapat mengajukan rehabilitasi/abbhāna untuk mengembalikan haknya seperti semula. Upacara rehabilitasi harus dihadiri dan disetujui sekurangnya 20 bhikkhu. Jika kurang, tetap dinyatakan belum bebas pelanggaran. Apabila sebelumnya ada usaha untuk menutupi pelanggarannya, maka sebelum masa mānatta, Ia wajib menjalani masa percobaan/parivāsa selama waktu yang sama dengan lama waktu Ia tutupi kesalahannya. Ia menjalankan masa parivāsa sama spt masa mānatta (dicopot senioritasnya, dikucilkan dibatasi 94 aturan). Setelah selesai parivāsa tanpa kesalahan, baru dapat mengajukan untuk menjalankan masa mānatta selama 6 hari tanpa kegagalan, setelah selesai, Ia dapat memohon rehabilitasi.

    Pertemuan formal juga dilakukan untuk menentukan pelanggaran (a) Thullaccaya/Pelanggaran yang detailnya mirip parajika dan Sanghadisesa namun hasilnya tidak persis sama/tidak sempurna terjadi atau jika sempurna menjadi sebuah pelanggaran. Jenis Thullaccaya TIDAK ADA satupun di 227/311 aturan, oleh karenanya membutuhkan kehadiran Sangha, sample: parajika: membunuh dan mati, thullaccaya: tidak mati. Sanghadisesa: melakukan martubasi dan ejakulasi, Thullaccaya: martubasi namun tidak ejakulasi.

    Selain itu, terdapat pula pelanggaran lain yang lebih ringan dan terkadang memerlukan pertemuan formal, yaitu (b) Dukkaṭa/tindakan salah yang mewajibkan pengakuan untuk perbaikan (mencakup sikap atau putusan salah walaupun belum/tidak menghasilkan akibat konkrit). Jenis pelanggaran ini ditemukan di Saṅghādisesa, Nissaggiyā Pācittiya, Pācittiya dan Pāṭidesanīya. dan (c) Dubbhāsita/perkataan kasar atau ucapan salah, hanya ditemukan di Pācittiya terkait kata-kata menghina.

  3. Aniyata (Bhikkhu = 2 aturan. Belum pasti pelanggaran, butuh pengakuan yang bersangkutan dan hasilnya, untuk aniyata ke-1: dapat berupa pelanggaran Pārājika atau Saṅghādisesa atau Pācittiya. Untuk aniyata ke-2: dapat berupa Saṅghādisesa atau Pācittiya).

  4. Nissaggiya Pācittiya (Pācittiya/Pelanggaran yang membutuhkan penebusan dan melepas barang/nissaggiya. Dari 30 aturan, 18 aturan untuk Bhikkhu/Bhikkhuni. 12 khusus untuk bhikkhu dan 12 khusus untuk bhikkhuni). Pelanggaran terhadap kepemilikan barang yang gagal memenuhi kriteria diperbolehkan, sehingga barang secara simbolis harus dilepaskan kepada Saṅgha/yang mewakilinya disertai pengakuan kesalahan. Umumnya barang yang secara simbolis disita, dikembalikan kepada bhikkhu yang melanggar dengan catatan agar dipenuhi persyaratannya agar diperbolehkan atau agar dihibahkan kepada orang lain. Barang seperti uang tunai, permata/logam berharga tidak dikembalikan.

  5. Pācittiya (Pelanggaran yang membutuhkan pengakuan dan dilakukan didepan sangha. 70 aturan untuk Bhikkhu/Bhikkhuni. Bhikkhu = 70 + 22 = 92, Bhikkhuni = 70 + 96 = 166).

  6. Pāṭidesanīya (Yang harus disadari dan diakui kesalahannya dihadapan Sangha. Bhikkhu = 4, Bhikkhuni = 8).

  7. Sekhiya (Bukan kelompok pelanggaran, tapi petunjuk sehari-hari tentang etika dan tata krama dalam menjalankan kehidupan kebhikkhuan. Bhikkhu/Bhikkhuni = 75).

  8. Adikharanasamathā dhammā (Penyelesaian masalah, bukan kelompok pelanggaran, tapi petunjuk untuk menempatkan diri dan bertindak apabila ada isu tertentu yang ada di dalam Saṅgha. Bhikkhu/Bhikkhuni = 7)
Konsili ke-1 menyebutkan jelas bahwa dhamma/sutta terhimpun dalam 5 Nikaya. Isi Dhamma adalah: khotbah-khotbah/sutta, campuran prosa dan syair/geyya, penjelasan-penjelasan/veyyākaraṇaṃ, syair-syair/gātha, ucapan-ucapan inspiratif/udāna, kutipan-kutipan/itivuttaka, kisah-kisah kelahiran/jātaka, kisah-kisah menakjubkan/abbhutadhamma, dan serial pertanyaan dan jawaban/vedalla (misal: MN 122, AN 4.6, 5.155, 6.51). Para Thera di konsili ini menyusunnya menurut Vagga/Digha/Panjang, Paññāsaka/Majjhima/menengah, Saṁyutta/berkaitan, dan Nipāta/Aṅguttara/bagian lanjutan [Dipv 4.15-15. MiliandaPanha menyebutnya Ekuttara-Nikaya]. YM Nārada (ketika bersama YM Ananda, YM Musīla, YM Saviṭṭha) menyampaikan dirinya belum Arahat [SN 6.68] dan telah Arahat di jaman raja Munda [AN 5.50, wafat 48 tahun pasca Buddha Parinibbana], ini menunjukan bahwa 5 nikaya seperti yang ada saat ini, mencapai bentuk final sebelum konsili ke-2 jaman Kalasoka (100 setelah wafatnya Buddha).

Tentang kitab komentar/aṭṭhakathā (dalam pali), Buddhaghosa menyatakan:
    Atthappakāsanattham aṭṭhakathā ādito vasisatehi Pañcahi yāsaṅgītā ca anusaṅgītā ca pacchā pi. Sīhaladīpam pana ābhatā’tha vasinā Mahā-mahindena,Ṭhapitā Sīhalabhāsāya dīpavāsīnam atthāya
    (Untuk menjelaskan makna, Komentar awalnya dibacakan oleh 500 Guru (para Arahat di Konsili ke-1) dan dilafalkan (di dua Konsili berikutnya). Kemudian dibawa ke Sinhala oleh Mahinda yang agung, guru (Dhamma), dan diterjemahkan ke bahasa Sinhala untuk kepentingan penduduk pulau) [Buddhist Commentarial Literature, L. R. Goonesekere, The Wheel Publication No. 113, Tradition regarding the Aṭṭhakathā]

    Mrs. Rhys Davids: "Karena komentar-komentar terpadu yang lebih tua ini bervariasi baik dalam bentuk maupun metode, jelaslah bahwa komentar-komentar dari berbagai jenis berasal dari masa paling awal.” [Ibid]

    Dalam pengantar Samantapāsādikā, Buddhaghosa menyampaikan metode adopsinya: "Dalam komentar ini, saya mentautkan yang ada dalam Mahā-aṭṭhakathā (Mūla-aṭṭhakathā, ini disebut aṭṭhakathā/komentar) tanpa mengesampingkan makna yang tepat yang ada dalam Mahā-paccariya (aṭṭhakathā), seperti juga dalam Kurundī (aṭṭhakathā) dan komentar-komentar lainnya, termasuk pendapat para tetua...". Ia (Buddhaghosa) membatasi tulisannya hanya pada tradisi Mahāvihāra dan tidak semua materi komentar Sinhala masuk ke komentar Pali...Untuk pendapatnya sendiri, Buddhaghosa berikan catatan ayaṃ pana me attano mati (tetapi ini adalah pendapat saya sendiri), yang menunjukan Buddhaghosa tidak menambahinya dari bahannya sendiri [Ibid, Pali Commentaries]
Tentang Jataka Prosa dan Syair (syair dan aṭṭhakathā-nya):
    Mrs. Rhys Davids: ...sangat mungkin hingga hampir pasti, bahwa semua Kisah Kelahiran itu, yang tidak hanya ditemukan dalam apa yang disebut Kitab Jataka itu sendiri, tetapi juga dirujuk di bagian-bagian lain Pitaka Pali, sekurangnya berusia lebih tua dari konsili Vesali (konsili ke-2) [BUDDHIST BIRTH STORIES, V. FAUSBOLL dan T.W RHYS DAVIDS, Part II, hal.lv-lvi]
Tentang Khuddaka Nikaya,
Buddhaghosa (Abad ke-5 M): Ucapan sang Buddha yang tidak ada di 4 nikaya, ada di Khuddaka Nikaya/KN [Samantapasadika 16.14-15], KN berisi 15 daftar/buku (Khuddakapatha, Dhammapada, Udana, Itivuttaka, Suttanipata, Vimanavatthu, Petavatthu, Theragatha, Therigatha, Jataka, Niddesa, Patisambhidamagga, Apadana, Buddhavamsa dan Cariyapitaka) [SP 18. 12-15], Para pengujar Digha/Digha Bhanaka tidak memasukan daftar 4 buku (Khuddakapatha, Apadana, Buddhavamsa dan Cariyapitaka) ke KN, para Thera konsili ke-1 mengujarkan 12 lainnya (Niddesa terbagi menjadi Maha dan Cula) sebagai bagian Khuddakagantha, sub dari Abhidhamma-pitaka. Para pengujar Majjhima memasukan daftar 3 buku (Cariyapitaka, Apadana dan Buddhavamsa) sebagai daftar dari para pengunjar Digha, masuk dalam Khuddakagantha, sub dari Suttanta-pitaka [Sumangalavilasini 15.22-29]. Tipitaka Burma untuk KN, di samping 15 tersebut, juga 4 buku lagi (Petakopadesa, Nettippakarana, Suttasangaha dan Milindapanha) ["History of Indian Literature" Pali Literature, Norman K.R, vol.2, 1983, hal.30-31]

Oliver Abeynayake: KN terbagi dalam dua strata:
  1. (1) Sutta Nipata, (2) Itivuttaka, (3) Dhammapada, (4-5) Therigatha dan Theragatha, (6) Udana dan (7) Jataka → pada strata awal
  2. (8) Khuddakapatha, (9) Vimanavatthu, (10) Petavatthu, (11) Niddesa, (12) Patisambhida, (13) Apadana, (14) Buddhavamsa dan (15) Cariyapitaka → pada strata belakangan ["A textual and Historical Analysis of the Khuddaka Nikaya", Oliver Abeynayake Ph.D,1984, hal.113]
J.S Walters dan B.M Barua: Cariyapitaka, Buddhavamsa dan Apadana dibuat SETELAH jaman raja Asoka. A.K Warder: Patisambhidamagga dan Buddhavamsa dibuat paling awal pada akhir abad ke-2 SM dan Apadana dibuat paling awal pada abad ke-1 SM ["Journal pali text society", Vol.20, hal.32]. K.R Norman: Di Buddhavamsa 24.6 disebutkan Buddha Konagamana menyampaikan kotbah 7 buah kitab dan kitab komentar Buddhavamsa menyatakan 7 kitab yang dimaksudkan adalah kitab Abhidhamma, jadi Buddhavamsa ada setelah konsili ke-3. ["A History of Indian Literature", K.R Norman, 1983, hal.97]. Di APADANA Thera/Theri terdapat 2 syair yang memuat kata kitab Kathavatthu Abhidhamma:
  1. "Saṃkhittenapi desemi, vitthārena tathevahaṃ; Abhidhammanayaññūhaṃ, kathāvatthuvisuddhiyā; Sabbesaṃ viññāpetvāna, viharāmi anāsavo" (Belajar detail metoda Abhidhamma, menguasai kathavatthu, memahaminya semua, Aku bebas dari kebingungan) (Tha Apadana 7/Puṇṇamantāṇiputtattheraapadāna) dan
  2. "Kusalāhaṃ visuddhīsu, kathāvatthuvisāradā; Abhidhamma-nayaññū ca, vasippattāmhi sāsane" (Aku menguasai baik, kemahiran kathavatthu, metoda Abhidhamma, di sasana ini) (Thi Apadana 18/Khemātherīapadāna)
Paul William: Bechert menyatakan Buddhāpadāna ditulis ke bahasa Pali pada abad ke-1 atau awal abad ke-2 M ["Mahayana Buddhism: The Doctrinal Foundations", Notes, hal.268]. K.R Norman: Bechert menyatakan Buddhāpadāna TIDAK ADA di versi ke-1 kitab Apadana dan baru ada di abad ke-1 atau ke-2 M bersamaan dengan sukhavativyuha-nya Mahayana. ["Journal pali text society" vol.20, hal.31]. Petavathu dan Vimanavathu, dibuat SETELAH abad 3 SM, sample:
    Rājā piṅgalako nāma,
    Suraṭṭhānaṃ adhipati ahu;
    Moriyānaṃ upaṭṭhānaṃ gantvā,
    Suraṭṭhaṃ punarāgamā. [Petavathu 4.3.1]
T. W. Rhys (Thomas William Rhys) Davids Dialogues of the Buddha" di bagian pembuka: "[..] tentang raja Pingalaka. DHAMMAPALA (abad ke-6 M)....raja ini..hidup 200 tahun setelah Sang Buddha. Oleh karenanya, syair ini, juga cerita PETA VATTHU dan VIMANA VATTHU, selambat-lambatnya ada setelah Pingalaka... Buku-buku ini jelas, dari isinya, komposisinya adalah lebih belakangan dari semua yang di 5 Nikaya. Dalam hal 30-31, Mr Rhys menyatakan bahwa raja itu ada di 300 SM.

Apakah Dhamma itu?

Cakupan artinya sangatlah luas, yaitu: ajaran, bentukan, tradisi, cara menjadi kaya, mengelola: perusahaan, hidup, anak, membuat sepatu, meja, atau bahkan juga bendanya: kotak kayu, game online, rokok dan lainnya. Jadi, apapun dapat disebut dhamma namun dalam konteks ini adalah ajaran.

Perumpamaan rakit sering digunakan untuk mengklaim bahwa jika ingin pembebasan, maka sabbe dhamma [SEMUA AJARAN] termasuk AJARAN dari sang BUDDHA [Dhamma] harus dibuang karena itu hanyalah konsep belaka atau dengan kata lain TINGGALKAN SEMUA KONSEP! Klaim ini akan menjadi benar JIKA Ia melekat/menggenggam [gahaṇatthāya] erat Dhamma itu dan BUKAN sebagai sarana untuk mencapai ke-padam-an

Juga, KALAMA SUTTA [AN 3.65/Kesamutti sutta] mengajarkan kita untuk berhati-hati TIDAK SERTA MERTA MENGIKUTI:
  1. Tradisi: lisan/penyampaian berulang [anussavena/itihitihaṃ = tradisi]
  2. Tradisi: turun-temurun [paramparāya]
  3. Tradisi: kabar angin/gossip/kata orang/desas-desus [itikirāya]
  4. Tradisi: kumpulan teks tertulis [piṭakasampadānena]
  5. Penalaran: berdasarkan kesangsian/logika [takkahetu]
  6. Penalaran: berdasarkan makna/tindak-tanduk [nayahetu]
  7. Penalaran: berdasarkan sifatnya atau lewat analogi [kbbi: persamaan/persesuaian 2 hal yang berlainan/ākāraparivitakkena]
  8. Penalaran: berdasarkan spekulasi pandangan yang disetujui/opini yang dianggap beralasan [diṭṭhinijjhānakkhantiyā]
  9. Pembabarnya: tampak meyakinkan [bhabbarūpatāya], atau
  10. Pembabarnya: Petapa yang tidak lain adalah gurunya [samaṇo no garūti]
Perlu disidik agar mengetahui sendiri [attanāva jāneyyātha], apakah dhammā tersebut:
  1. BERMANFAAT/TIDAK? [KUSALA/A-KUSALA];
  2. DICELA/TIDAK? [anavajjā/sāvajjā];
  3. DIPUJI/DIHINDARI para bijaksana? [viññuppasatthā/viññugarahitā];
  4. MENUJU: bahagia sejahtera/penderitaan? [hitāya sukhāya/ahitāya dukkhāya saṃvattantīti]'
yang jika dijalankan, membuat atau TIDAK dirinya: tergairahkan, terbanjiri dan tertaklukkan oleh keserakahan [lobha], kebencian [dosa] dan kekeliruan tahu [moha] melakukan:
  1. penghancuran kehidupan,
  2. pengambilan apa yang tidak diberikan,
  3. perilaku seksual dengan istri orang lain,
  4. pernyataan yang salah, dan
  5. mendorong orang lain ikut melakukan tersebut.
Jika TIDAK menyebabkan hal-hal tersebut, maka agar diikuti. [AN 3.65]

Apakah semua Dhamma?

Ketika berada di Hutan siṃsapā, Kosambi, sang Buddha menyampaikan bahwa daun Siṃsapā yang ada di telapak tanganNya jauh lebih sedikit dari daun yang ada di hutan siṃsapā dan apa yang beliau ajarkan bahkan tidak lebih banyak dari beberapa lembar daun yang ada ditangannya

Perumpamaan daun siṃsapā ini kerap digunakan sebagai dasar argument bahwa bukan hanya ajaran Buddha atau ajaran Theravada saja yang dapat digunakan untuk mencapai kesucian. Argumen ini salah alamat karena dalam sutta tersebut disampaikan juga alasannya, yaitu yang beliau ajarkan HANYALAH Cattari Ariya Saccani [4 kesunyataan mulia], yaitu hal-hal yang berhubungan dengan: (1) Dukkha, (2) asal-muasalnya, (3) lenyapnya dan (4) jalan menuju lenyapnya Dukkha, yaitu: Jalan mulia berunsur 8

Mengapa?

Karena hal-hal tersebut berhubungan dengan tujuan [atthasaṃhitaṃ], prinsip prilaku luhur menuju kesucian [ādibrahmacariyakam], dan membawa pada kejenuhan duniawi [nibbidāya], ketiadaan nafsu [virāgāya], penghentian [nirodhāya], ketenangan [upasamāya], pengetahuan langsung [abhiññā], pencerahan [sambodhāya], pemadaman [nibbānāya]. [SN 56.31/Siṃsapā/Sīsapāvana Sutta]
    "[..]dalam dhamma dan vinaya mana pun, jika tidak terdapat Jalan Mulia Berunsur 8, maka di sana pun takkan terdapat seorang petapa sejati yang telah mencapai tingkat ke-1, ke-2, ke-3 atau ke-4. Tetapi dalam dhamma dan vinaya yang mana pun, jika terdapat Jalan Mulia Berunsur 8, maka di sana pun akan terdapat petapa yang sejati yang telah mencapai tingkat ke-1, ke-2, ke-3 atau ke-4. Kini, dalam dhamma dan vinaya yang kami ajarkan terdapat Jalan Mulia Berunsur 8 itu, maka dengan sendirinya juga terdapat petapa-petapa sejati yang telah mencapai tingkat ke-1, ke-2, ke-3 atau ke-4. Ajaran guru-guru lainnya yang tidak memiliki Jalan Mulia Berunsur 8 adalah kosong dan bukan petapa yang sejati" [DN.16/MahaParinibbana sutta]
Seberapa banyak "daun siṃsapā dhamma" yang dibabarkan sang Buddha?
    Dvāsīti buddhato gaṇhiṃ, dve sahassāni bhikkhuto; Caturāsītisahassāni, ye me dhammā pavattino’ (Aku mendapatkan 82.000nya dari Sang Buddha, 2.000nya dari para bhikkhu; 84.000 ini ajaran-ajaran yang ada padaku [Thag 17.3/Ananda].

    Dhamma ini tertuang dalam: khotbah-khotbah/sutta, campuran prosa dan syair/geyya, penjelasan-penjelasan/veyyākaraṇa, syair-syair/gātha, ucapan-ucapan inspiratif/udāna, kutipan-kutipan/itivutta, kisah-kisah kelahiran/jātaka, kisah-kisah menakjubkan/abbhutadhamma, dan serial pertanyaan dan jawaban/vedalla (misal: MN 122, AN 4.6, 5.155, 6.51)

    Dhammakitti Mahāsāmi (abad ke-14 M), mencatatnya menjadi:
    Dari 84.000: Sutta 21.000; Vinaya 21.000 dan Abhidhamma 42.000 ["A Manual Of Buddhist Historical Tradition (Saddhamma-saṅgaha)", Bimala Churn Law, 1941, Ch.1, hal 33-34]:

    Vinaya-Pitaka
    : Parajika, Pacittiya, Bhikkhuni Vibhanga, Mahavagga dan Culavagga dan Parivara;
    Sutta-Pitaka:
    Digha-Nikaya: 34 Sutta,
    Majjhima-Nikaya: 152 Sutta,
    Samyutta-Nikaya: 7762 sutta,
    Anguttara-Nikaya: 9557 sutta dan
    Khuddhaka-Nikaya: (1) Khuddhakapatha, (2) Dhammapada, (3) Udana (sebagai kategori: 82 sutta, sebagai bagian Khuddhaka-Nikaya: 80 sutta), (4) Itivuttaka (112 sutta), (5) Suttanipata, (6) Vimanavatthu, (7) Petavatthu, (8) Theragatha, (9) Therigatha, (10) Jataka (tertulis 550 kisah, yang ada sekarang 547 kisah), (11) Nidessa, (12) Patisambhida, (13) Apadana, (14) Buddhavamsa dan (15) Cariya Pitaka.
    Sutta dengan syair = geyya, Sutta tanpa syair = veyyākaraṇa, Dhammapada + Thera dan Theri Gatha + Suttanipatta = gatha;
    Abhidhamma-Pitaka: Dhammasangani, Vibhanga, Dhatukatha, Puggala Pannatti, Kathavatthu, Yamaka dan Patthana. [Ibid, hal.30-33].

    Keterangan tentang isi Khuddaka-Nikaya yang tidak disebutkan di atas (hampir seluruhnya dari DPPN, GP Malalasekera):

    Khuddhakapatha: 9 sutta (Tidak disebutkan dalam Milianda Panha)
    Dhammapada: 423 syair (menjadi urutan pertama di Milianda Panha)
    Suttanipata: 5 vagga: 4 vagga pertama = 54 sutta, vagga ke-5 = 16 sutta+3 sutta.
    Vimanavatthu: 85 kisah, Itthivimana (para devi) = 50 kisah + Purisavimana (para deva) = 35 kisah. Petavatthu: 4 vagga, total 51 kisah
    Theragatha: 264 thera, 1288 syair. Therigatha: 73 theri, 524 syair.
    Niddesa: (1) Cula niddesa = komentar dari Khaggavisāna Sutta (sutta ke-3 dari vagga ke-1, Suttanipata) + komentar terhadap 16 sutta Parāyana Vagga (vagga ke-5, Suttanipāta. (2) Maha niddesa = komentar dari Atthaka Vagga (vagga ke-4, Suttanipata)
    Patisambhidāmagga: 3 vagga, masing-masingnya 10 kathā/topik, Bergaya literatur Abhidhamma, ada kemungkinan sebelum pengembangan Abhidhamma Pitaka, dianggap sebagai salah satu risalah Abhidhamma.
    Thera Apadana: 56 Vagga: 1 Buddhavagga = 12 kisah (Para Buddha + Para Pacceka + 10 kisah Thera: Sariputta - Ananda), 54 vagga = 540 kisah Thera, 1 vagga terakhir/Yasavagga = 11 kisah thera: Yasa - Raṭṭhapāla. Theri Apadana: 4 vagga = 40 kisah Theri.
    Buddhavamsa: 28 Buddha, 25 Buddha yang dikisahkan, 3 Buddha pendahulu DIpankara Buddha tidak dikisahkan.
    Cariyāpitaka: Kisah kelahiran Para Buddha sebelumnya yang dikaitkan dengan 10 Parami yang dengannya tercapailah Pencerahan. Setiap cerita disebut Cariyā, jadi terdapat 35 Cariyā, yaitu pada 2 Parami pertama, masing-masingnya 10 cerita (total 20 cariya) dan Parami tersisa, totalnya: 15 cariya
Apakah ada kemungkinan ujaran-ujaran sang Buddha luput tidak terhimpun?

Ananda dan 5 Pangeran (Bhaddiya, Anuruddhà, Bhagu, Kimbila, Devadatta) bersama Upali (tukang cukur para pangeran) menjadi Bhikkhu di hutan Anupiya, yaitu sebelum sang Buddha pergi ke Kosambi untuk kemudian menetap di Ghositārāma (Culavagga, Sanghabheda: Oleh karenanya, ini terjadi sekurangnya di masa vassa ke-8. Lihat: Riwayat Buddha Gotama). Mulai tahun ke-20, Ananda menjadi upatthaka/pendamping Sang Buddha (bhagavantaṃ upaṭṭhahiṃ) selama 25 tahun (Paṇṇavīsativassāni - Thag 17.3) hingga Buddha parinibbana, setelah beliau menyetujui 8 syarat yang diminta Ananda, utamanya pada syarat ke-7 dan ke-8, yang menjamin keutuhan Dhamma:
  1. (labhissāmi yadā me kaṅkhā uppajjati, tasmiṃ khaṇeyeva Bhagavantaṃ upasaṅkamituṃ labhissāmi) dapat mendatangi beliau kapanpun keraguanku muncul
  2. (sace yaṃ bhagavā mama parammukhā dhammaṃ katheti, taṃ āgantvā mayhaṃ kathessati) bersedia menyampaikan kembali dhamma yang telah disampaikannya, ketika Aku tidak hadir - [RAPB buku ke-2, cetakan ke-1, Mei 2008, hal.1642-1644 yang mengutip kitab komentar: (1) Jataka no.456/JunhaJataka atau (2) DN 14/Mahapadana Sutta]
Selain itu, Sang Buddha menyatakan bahwa Ananda adalah siswanya yang paling terpelajar/bahussuta, paling kuat daya ingatnya/Satimantā dan paling luas/gatimanta [AN 1.210-223], inilah mengapa TIDAK ADA kemungkinan kotbah Sang Buddha luput terlewatkan, implementasinya, misal 2 sutta pertama (Dhammacakkappavattana Sutta dan Anatta-lakkhana Sutta) yang dibabarkan kepada 5 petapa di Taman Rusa Isipatana. Saat itu, Ananda belum menjadi bhikkhu dan tidak ada di sana. Pada ke-2 sutta tersebut, ada kalimat, "evam me Sutam" (Demikian yang ku dengar). Kemudian, Itivuttaka, kumpulan 112 Dhamma yang diperoleh Khujjuttara (Seorang pengikut awam wanita yang sangat dipujikan Sang Buddha. SN 17.24, AN 1.258-267, AN 4.176, Ud 7.10. Tampaknya pencapaian kesuciannya setara Nandamātā, Citta dan Hatthaka), Khujjuttara awali dengan kalimat, "vuttañhetaṃ bhagavatā, vuttamarahatāti me sutaṃ" [Ini diucapkan sang Buddha, para arahat dan yang didengar olehku] dan kumpulan dhamma ini adalah bagian dari 5 nikaya. Kekuatan ingatan Ananda akan Dhamma inilah yang juga menjadi alasan mengapa Ananda dijuluki sebagai Bendahara Dhamma
    Note:
    Terdapat satu "sutra", yaitu: Anagatavamsa, yang menyelipkan kalimat, "evam me suttam". Sutra ini bukanlah kanon pali, tidak berasal dari sang Buddha, Ananda atau dari arahat lainnya, bahkan inipun tidak ada di konsili ke-1 s.d 4, Para ahli menemukan bahwa kitab ini berasal dari abad 14 Masehi, yang merupakan produk tambal sulam
Pendapat bahwa saat konsili berlangsung tidak semua arahat datang dan/atau tidak diundang dan atau tertinggal datang dan/atau telat datang kemudian menolak hasil konsili dengan merujuk pada Bhikkhu Purana, yang tinggal di Dakkhinagiri adalah tidak benar.

Wafatnya Sang Buddha adalah peristiwa penting yang mengguncangkan para pengikut dan juga kalangan non Buddhis. Juga, konsili diumumkan akan dilakukan pada 3 bulan setelahnya, di musim Vassa. Jadi, tidak ada kemungkinannya ada Arahat yang tidak terundang, tertinggal, telat datang atau tidak mengetahui ini. Apalagi, keputusan mengadakan konsili, memilih 500 arahat dan pengumpulan dhamma dan Vinaya merupakan keputusan Sangha yang lengkap bukan sangha yang tidak lengkap. Juga, merujuk pada kejadian MAGHAPUJA, ketika Sang Buddha di Rajagaha, 1250 Arahat datang berkumpul di Veluvanarama (hutan pohon bambu) memiliki 4 Faktor yang salah satunya adalah mereka berkumpul tanpa ada 1 pemberitahuan terlebih dulu.

Mereka yang TIDAK ADA di konsili ke-1 saat itu, bukanlah Arahat. Di Di culavagga, khanda 11, disampaikan tentang Bhikkhu Purana, yang tengah melakukan perjalanan setelah musim Vassa, artinya setelah konsili berakhir. Tidak disebutkan apakah beliau telah mencapai kesucian atau tidak. Vinaya mencatat Bhikkhu Purana menyatakan bahwa dhamma-vinaya telah para Thera sampaikan dengan baik, sama dengan yang beliau ingat dan pelajari langsung dari sang Bhagava:
    11. Pada saat itu, Bhikkhu Purâna sedang berkelana melewati bukit selatan bersama sedikitnya 500 Bhikkhu. Dan ketika para Thera Bhikkhu telah selesai mengulang Dhamma dan Vinaya, Ia tinggal di perbukitan selatan selama waktu yang ia anggap cukup dan pergi ke Rajagaha menuju Veluvana ke Kalandaka Nivâpa, di mana para bhikkhu thera berada dan menyampaikan salam, serta duduk di satu sisi. ketika ia telah duduk, para Thera Bhikkhu berkata padanya, "Para sepuh, Teman Purâna, telah menyampaikan Dhamma dan Vinaya [therehi, āvuso purāṇa, dhammo ca vinayo ca saṅgīto]. Apakah anda datang mendekat tekait penyampaian tersebut? [upehi taṃ saṅgītin”ti]"

    'kawan, Para sepuh telah menyampaikan baik dhamma dan vinaya [Susaṅgītāvuso, therehi dhammo ca vinayo ca]. Dan bahkan dengan cara sama seperti aku pelajari langsung dari sang Bhagava [Api ca yatheva mayā bhagavato sammukhā sutaṃ], menerima langsung demikian sama seperti dalam ingatanku' [sammukhā paṭiggahitaṃ, tathevāhaṃ dhāressāmī”ti]
Juga, Sang Buddha telah menyatakan bahwa Dhamma dan vinaya agar TIDAK dalam bentuk Sanskrit/bahasa di Veda [Culavagga, khanda 5]:
    Pada saat itu, dua Bikkhu bersaudara, yaitu Yamelu dan Tekula. Keturunan Brahmana, bersuara merdu dengan pengucapan yang menyenangkan..Mereka bertanya pada Sang Buddha:

    ”Sekarang ini, Guru, Bkhikkhu-Bhikkhu dari berbagai nama, klan, kelompok dan strata sosial telah menempuh kehidupan tanpa keluarga. Mereka dengan “sakāya niruttiyā“ merusak sabda-sabda Buddha (Te sakāya niruttiyā buddhavacanaṃ dūsenti). Marilah, Guru, gunakan 'chandaso' pada sabda-sabda sang Buddha (Handa mayaṃ, bhante, buddhavacanaṃ chandaso āropemā”ti)

    Sang Buddha mencela mereka, "Orang-orang bodoh, bagaimana kalian dapat berkata: 'Marilah, guru, gunakan 'chandaso' pada sabda-sabda Sang Buddha?'. Ini tidaklah membangkitkan keyakinan yang tidak berkeyakinan dan tidak meningkatkan keyakinan yang telah berkeyakinan; bahkan akan membuat yang tidak berkeyakinan tetap tidak berkeyakinan, merusak sebagian dari yang telah berkeyakinan."

    Setelah memberikan teguran, Beliau memberikan wejangan pada para Bhikkhu:

    "Para Bhikkhu, janganlah gunakan 'chandaso' pada sabda-sabda Sang Buddha. Siapapun yang melakukannya telah berbuat salah (āpatti dukkaṭa). Aku ijinkan, para bhikkhu, dengan 'sakāya niruttiyā' menguasai sepenuhnya sabda-sabda sang Buddha"

    Note:
    Âropema = menggunakan; sakāya = sendiri; nirutti = bahasa, pengucapan, dialek. sakāya nirutti = Bahasa sendiri. Menurut Rhys Davids dan Oldenberg: maksudnya (sakāya nirutti) adalah ‘dialek sendiri’. Bimala C. Law: Kata nirutti = bahasa, sementara kata sakāya 'bahasa asal’ atau 'bahasa ibu’ (History of Buddha’s Religion, 1952). Norman: Kebanyakan ahli menyatakan maksudnya adalah 'bahasa Māgadha’. (Pāli and the Language of Early Buddhism, 2002, hal 135-150). Bryan Levman: Kebanyakan ahli berasumsi bahwa Sang Buddha menyampaikan ajaran dalam Māgadhī atau Ardhamāgadhī Lama atau Māgadhī Lama [The language of early Buddhism (JSALL 2016; 3(1): 1–41), hal.2]. Rhys Davids: Sang Buddha sebagai penduduk asli Kosala, berbicara bahasa Kosala [Early Buddhism, 1908, hal.3].

    Di jaman Buddha Gotama, terdapat 16 Kerajaan besar/soḷasannaṃ mahājanapadānaṃ (AN 3.70/AN8.42) dan yang berada di wilayah Tengah (Majjhimadesa):

    1. Aṅgā (Ibukota: Champā, menjadi bagian Magadhā).
    2. Magadhā (Ibukota: Rājagaha/Giribbaja. Raja: Bimbisara dan Ajatasattu).
    3. Kāsī (menjadi bagian Kosalā)
    4. Kosalā (Ibu kota: Savatthi. Raja: Pasenadi dan Viḍūḍabha). Kapilavatthu adalah kerajaan kecil di bawah kekuasaan Kosala [MN 89, AN 126].
    5. Vajjī (terdapat 2 klan. Vesāli Ibukota klan Licchavī dan Mithilā Ibukota klan Videhā. Pasca wafatnya Bimbisara, menjadi bagian Magadha).
    6. Mallā (klan ini terbagi 2, Ibu kota: Pāvā dan Kusinārā. Pasca wafatnya Bimbisara, menjadi bagian Magadha).
    7. Cetī/Cetiya/Cedi (kemungkinan berakhir menjadi bagian Vamsa).
    8. Vaṅgā/Vaṃsa/Vatsa (Ibukota: Kosambi. Raja: Udena).
    9. Kurū (Ibu kotanya dulu: Indapatta, ratu Udena berasal dari Kuru).
    10. Pañcālā (Ibu kota: Kampilla, merupakan bagian Magadha).
    11. Macchā/Matsya (Ibu kota jaman dulu: Virāta).
    12. Sūrasenā (Ibu kota: Madhurā. Raja pasca wafatnya Bimbisara: Avantiputta).
    13. Assakā (Ibu kota: Potana/Potali).
    14. Avantī (Ibu kota: Ujjeni. Raja: Caṇḍa Pajjota, Ia pernah menawan raja Udena dari Vamsa).

    Beberapa kerajaan di atas disebut berpasangan: Kāsi - Kosala, Vajji - Malla, Ceti - Vaṁsa, Kuru - Pañcāla, Maccha - Sūrasena [DN 18] dan terbagi menjadi 4 kerajaan utama, yaitu Magadha, Kosala, Vaṃsa dan Avanti. Sang Buddha dari sejak lahir hingga wafatnya berada di wilayah Tengah.

    Sedangkan di wilayah Utara (Uttarāpaṭha):

    1. Gandhārā (Ibukota: Takkasilā. Raja: Pukkusāti).
    2. Kambojā (Ibukota: Dvāraka)

    Walaupun Siddharta Gautama berasal dari bagian kerajaan kerajaan Kosala, namun sebagian masa kebuddhaan dan area sentral aktivitas Buddhisme setelah wafat Sang Buddha adalah di kerajaan Magadha. Hubungan KOSALA dan MAGADHA erat melalui aliansi perkawinan (misal J.iii.407). Bimbisāra, menikahi saudara perempuan Pasenadi, yaitu Kosaladevī, putri Mahākosala (ayah Pasenadi) dan sebuah desa di Kāsī diberikan sebagai bagian dari mas kawin (J.ii.237; iv.342 f). Bimbisara wafat digantikan Ajātasattu, kedua negara berperang, Ajātasattu kalah, ditangkap hidup-hidup namun kemudian dibebaskan, kekuasaannya dikembalikan dan Pasenadi memberikan putrinya, Vajira, untuk dinikahkan. Kemudian Ajātasattu menaklukan Licchavī/kerajaan Vajji, setelahnya Ia berhasil membangun kekuasaan di Kosala, oleh karenanya Magadha adalah bahasa yang lazim di wilayah tersebut.

    Jadi terdapat dua pengertian tentang sakāya nirutti pada syair Culavagga di atas: (1) Ragam bahasa ibu para Bhikkhu yang berasal dari berbagai nama, klan, kelompok dan strata sosial dalam lingkup 16 kerajaan besar jaman itu. (2) Bahasa Magadha, dialek di area masa kebuddhaan dan pasca wafatnya Sang Buddha.

    Chandaso: Bentuk sanskrit; matra/metrik bahasa di Veda dan BUKAN dalam artian irama/intonasi. Jika maksudnya sekedar irama, maka kata yang lebih tepat ada di AN 5.209, yaitu gāyanti/nyanyian, āyatakena gitasara/lantunan nyanyian yang panjang. Jadi chandaso adalah standarisasi aturan berbahasa yang lazim digunakan para brahmana dalam keagamaan, entah itu dalam bahasa prakrit ataupun sanskrit:

    (1) kata "Chandasi" oleh Panini selalu diartikan dialek yang ada di Veda,
    (2) mereka yang meminta penggunaan ini adalah dari turunan Brahmana,
    (3) Buddhaghosa: "chandaso âropemâ ti Vedam viya sakkata-bhâsâya vâkanâ-maggam âropema" (Chandaso aropema adalah menggunakan bahasa samkrta/sakkata yang digunakan veda) (Samantapāsādikā 306) dan Buddha mempercayakan sabdanya hanya dalam bahasa Māgadhi (VibA 388). Buddhaghosa: sakaya niruttiya ti ettha saka nirutti nama sammāsambuddhena vuttappakaro māghadhako vohāra (Sakaya nirutti adalah bahasa Māgadha yang digunakan Sammsambuddha) (Komentar vinaya 1214)
    (4) Maksud dari Sakāya nirutti telah disampaikan Sang Buddha kepada para Bhikkhu ketika menurunkan aturan, Sakāya nirutti yang digunakan diteruskan dalam konsili ke-1, ke-2, dan ke-3. inilah Sakāya nirutti yang digunakan dalam Dhamma-Vinaya Buddha (yaitu bahasa Magadha atau yang dianggap equivalen dengan bahasa Pali)

    Jaman Asoka, abad ke-3 SM, Dhama-Vinaya yang Mahinda hafalkan berasal dari konsili ke-1 (Upali/Konsili ke-1 - Dasaka - Sonaka - Siggava - Moggaliputtatissa - Mahinda). Setelah konsili ke-3, di jaman Moggaliputtatissa, yang dihafalkannya adalah Tipiṭaka dan kitab komentar. Inilah yang dibawa Mahinda ke Srilanka.

    Pada abad ke-5 M, Karena di Jambudwipa saat itu tidak ada kitab komentar, maka Buddhaghosa, diminta gurunya (Revata) ke Srilanka untuk menterjemahkan kitab komentar yang ada dalam bahasa Sinhalase Prakrit ke bahasa Māgadha (Culavamsa I.37.226-232). Pada abad ke-12, Magadhi adalah bahasa yang dimengerti 2 negara: Burma dan Srilanka. Di Srilanka, Bhikkhu Dhammakitti (pengarang Duthavamsa) dan Vacissara (pengarang Thupavamsa) menuliskan karyanya dalam bahasa Magadha dan raja Srilanka Vijayabāhu II (1186-87 M) menulis surat dengan bahasa Magadha untuk dikirim ke Burma (Cūlavaṃsa II.86.6-7). Di Burma, bhikkhu Aggavaṁsa, mengarang Saddanīti (grammar Pali terlengkap, di mana di bagian ke-3 bukunya berdasarkan tatabahasa pali karya Kaccāyana). Ini artinya Pālibhāsā dan magadhībhāsā adalah sama.

    Francis Mason (“A Pali grammar on the basis of Kachchayano”, tahun 1868, Introduction, hal.i-ii) menyampaikan: “Dr E. Buhler menunjukan sebuah naskah bahwa Panini, “Bapak tatabahasa Sanksrit” mengutip dari Kaccayana, pendahulunya dan banyak meminjam istilah tatabahasa darinya”. Kemudian, di hal. 7, dinyatakan: “bentukan alpabet Pali telah ada selambatnya SEBELUM abad ke-6 SM

    Sang Buddha:
    tidak memaksakan bahasa setempat (Janapadaniruttiṁ nābhiniveseyya), juga tidak mengabaikan ungkapan umum (samaññaṁ nātidhāveyyā’ti).’...
    Bagaimanakah,..pemaksaan bahasa setempat, mengabaikan ungkapan umum? Di sini,., di wilayah berbeda, menyebut benda yang sama sebagai ‘piring’ (pāti), ‘mangkuk’ (patta), ‘wadah’ (vittha), ‘cawan’ (serāva), ‘panci’ (dhāropa), ‘kendi’ (poṇa), atau ‘baskom’ (pisīla). Jadi, apa pun sebutannya di tempat ini dan itu, diucapkan sesuai itu, mengukuhi [ungkapan itu] dengan bersikeras: ‘Hanya ini ucapan yang benar; lainnya salah’,,,
    Bagaimanakah,.., tanpa pemaksaan bahasa setempat, tanpa mengabaikan ungkapan umum? Di sini,.., di wilayah berbeda, menyebut benda yang sama sebagai ‘piring’… atau ‘baskom’. Jadi apapun sebutannya di tempat ini dan itu, tanpa mengukuhi [ungkapan itu] mengucapkannya dengan berpikir: ‘Para mulia ini, tampaknya, sedang berbicara tentang ini.' [MN 139]
Beberapa pengumpul Tripitaka tranlasi Sanskrit ke Tionghoa:
    Fa-Xian/Hien, dari antara dinasti Tsin Timur (317-419 M) dan dinasti Sung dari Dinasti Liu (420-478 M). ["A Record of Buddhistic Kingdoms-Fa-Hien", James Ledge, 1886, Introduction, Hal.3]. Alasan ke India, karena buku vinaya yang ada rusak dan tidak lengkap. Ia pergi ke India (399 M) kembali 15 tahun kemudian [Ibid, Ch.40, hal 115-116]. Di area bukit Nasar ia melafalkan sutra Surangama (Nanjio no. 399, 446) (ch.29, hal.84). Di vihara Mahayana (Pataliputta), Ia temukan salinan Vinaya, Mahasanghika yang sangat lengkap (Najio kolom 400 dan 401, no. 1119 dan 1150, kolom 247 dan 253), transkrip vinaya Sarvastivada [6000/7000 gatha], Samyuktabhidharma-hridaya-(sastra, Nanjio no.1287, berisi 6000/7000 gatha), Sutra [2500 gatha]; 1 bab Parinirvana-vaipulya Sutra [5000 gatha, Nanjio no.120]; dan Mahasanghika Abhidharma. [Ibid, Ch.36, hal.99-100]. Kemudian, dari hasil di Patna/Pataliputra, Ia dapatkan pula salinan Vinaya-pitaka Mahisasaka (Sarvastivada. Katalog Nanjio no.1122), Dirghagama dan Samyuktagama (sutra, Nanjio no.545 dan no.504) dan Samyuktasanchaya Pitaka [divisi ke-4 kanon Nanjio. Dr. Davids: Tidak ada karya dengan nama ini dalam literatur sanskrit dan pali] [Ibid, Ch.40, hal.111] → Tidak ada perincian buku apa saja di dalamnya.

    Xuanzang lahir di Chenliu (600 m), ditahbiskan di usia 20 tahun (tahun ke-5, periode Wude/622 M), ketika belajar, Ia dibingungkan oleh berbagai teori dalam teks-teks Buddhis dalam terjemahan bahasa Mandarin.. ["THE GREAT TANG DYNASTY RECORD OF THE WESTERN REGIONS", (Taisho Volume 51. no.2087), 1996, Translasi Li Rongxi, Pengantar Penterjemah, hal. Xiii] → Sebelum Xuanzang ke India, di China telah banyak buku Buddhisme.

    Posisi Xuanzang sangat penting bagi dunia Buddhis Utara, karena Ia pulang dengan membawa 657 teks buddhis sanskrit. Jumlah ini, jauh melebihi jumlah teks sanskrit yang telah dibawa pulang oleh siapapun pendahulunya yang menuju India untuk memperoleh teks sanskrit Buddhis [Prakata Translator, hal.1] Sepulang dari India, ketika Xuanzang sampai di Khotan, Ia membawa 657 teks sanskrit yang diikat dalam 520 bundel, dibawa 20 kuda beban dan tiba di tahun ke-19 Zhenguan (645 M). [Ibid, hal. xiv], perinciannya: 224 kitab Mahayana; 192 risalah Mahayana (63.3%); 14 kitab teks disiplin dan risalah aliran Sthavira; 15 kitab, teks disiplin, dan risalah Mahāsāṃghika; 15 kitab, teks disiplin, dan risalah aliran Saṃmitīya; 22 kitab, teks disiplin, dan risalah Mahīśāsaka; 17 kitab, teks disiplin, dan risalah Kāśyapīya; 42 kitab, teks disiplin, dan risalah Dharmagupta; 67 kitab, teks disiplin, dan risalah Sarvāstivāda; 36 teks tentang hetuvidyā (logika); dan 13 teks tentang abdavidyā (tata bahasa Sanskerta): seluruhnya 657 teks sanskrit yang dijilid menjadi 520 bundel. [Ibid, Fascicle XII, hal. 348] → Tidak ada perincian buku apa saja dari masing-masing aliran tersebut.

    Dari 657 teks yang dibawanya, Ia terjemahkan dengan bantuan biarawan dan umat awam: 74 teks dalam 1.335 lembar/fasikula seluruhnya, di antaranya Sutra Mahaprajnaparamita, Ia peroleh dalam 3 versi sanskrit (Fascicle X, hal.328) (600 lembar/fasikula) dan Sastra Abhidharma mahavibhasa (200 lembar/fasikula), Sutra Samdhinirmocana (5 lembar), Yogacarabhumi Sastra (100 lembar) karya Asanga, dan Vijnaptimatratasiddhi Sastra (10 lembar). Ia wafat 19 tahun sejak dia kembali [664 M] ["A BIOGRAPHY OF THE TRIPITAKA MASTER OF THE GREAT CI'EN MONASTERY OF THE GREAT TANG DYNASTY" (Taisho, Volume 50, no.2053), terjemahan Li Rongxi, 1995, Pengantar Translator, hal.1-2]. Lainnya dalam 58 lembar/fasikula, yaitu: Mahabodhisattvapitaka Sutra (20 lembar), Buddhabhumi Sutra (1 lembar) Saddvaradharani Sutra (1 lembar), Prakaranaryavaca Sastra (20 lembar dan ahayanabhidharmasarnyuktasamudaya Sastra (16 lembar) [Ibid, fascicle VI, hal.182].

      Note:
      Ketenaran biksu ini, juga membuatnya sebagai tokoh utama novel abad ke-16, yang diduga karangan Wu Cheng'en, tentang Biksu Tong (Tang Sanzang) dengan menunggangi kuda putih, bersama 3 muridnya (Raja Kera, bermuka babi dan rahib) dalam "Perjalanan ke Barat/See Yu Ki"

    Yijing/I-Tsing, (lahir 635 M), alasan ke India untuk mengoreksi kesalahan penyajian aturan Vinaya, dan untuk menyangkal pendapat keliru yang dianut aliran Vinaya-dhara saat itu di Tiongkok. ["A record of the Buddhist religion as practised in India and the Malay archipelago", J. Takakusu, 1896, General Introduction, hal.xix], namun bisa jadi karena tergerak Xuanzang (w. 644) yang mendapatkan keagungan dan kehormatan (Ibid, hal xxvi). Ia berangkat ke India (671 M) kembali 25 tahun kemudian (695 M). Dari India, Ia bawa sekitar 400 teks sanskrit, sejumlah 500.000 sloka [ibid, hal.xvii-xviii, xxxiii]. Selama di India hingga wafatnya (713), Ia hanya menterjemahkan 56 buku, total 230 volume, di antaranya: Dari aliran Mulasarvastivada (171 Vol dan 25 lembar, koleksi kantor India): Vinaya-Sutra (50 Vol), Vinaya (50 vol), Samyukta-Vastu (40 vol), Sanghabhedaka-Vastu (20 vol), Vinaya-Sangraha (14 vol), Ekasatakarman (10 vol), Nidana (5 vol), Vinaya-Nidana-Matrika-Gatha (15 lembar), Samyukta-Vastu-Gatha (10 lembar), Vinaya-Gatha (4 vol) dan Bhikshuni-Vinaya-Sutra (2 vol). Masih dari aliran Mulasarvastivada (26 vol, koleksi perpustakaan Bodleian): Pravragya (-Upasampada) Vastu (4 vol), Varshavasa (1 vol), Pravarana Vastu (1 vol), Karma-Vastu (1 vol), Bhaishagya-Vastu (18 vol) dan Kathinakivara-Vastu (1 vol), total list ini 197 volume dan 15 lembar [Ibid, hal. xxxxvii-xxxviii] → Tidak ada perincian lain terkait buku apa saja dalam 400an teks sanskrit tersebut.
Jadi, kotbah-kotbah yang disampaikan/ditulis dalam sanskrit [kemudian dari hal tersebut, diterjemahkan lagi ke berbagai bahasa, di antaranya Tibet dan Tiongkok] dan mengklaimnya sebagai sabda sang Buddha NAMUN bertentangan dengan Dhamma dan Vinaya konsili ke-1 dan ke-2, maka ITU BUKAN ajaran sang Buddha (lihat AN 8.51 dan Kd 20 tentang batasan 500 tahun dhamma yang sejati/benar dan tidak bertahan lamanya penghidupan brahma/Brahmacariya). Ini menunjukan juga bahwa semua terjemahan sutta dan vinaya yang diterjemahkan dari PALI sekalipun, adalah tiruan dhamma sejati (saddhammappatirūpaka):
    Maha Kassapa:
    "Apa alasan dan bergantung pada kondisi apa ketika dulu sedikit aturan ditetapkan (pubbe appatarāni ceva sikkhāpadāni), banyak bhikkhu (bahutarā ca bhikkhū) yang terus tercerahkan, namun sekarang, banyak aturan ditetapkan, sedikit bhikkhu yang terus tercerahkan (aññāya saṇṭhahantī)?"

    Sang Buddha:
    Ketika para makhluk merosot (sattesu hayamanesu), dhamma sejati memudar, aturan ditetapkan banyak, sedikit bhikkhu yang terus tercerahkan namun itu tidak membuat dhamma sejati lenyap hingga kemudian tiruan dhamma sejati (saddhammappatirūpaka) bermunculan di dunia. Ketika tiruan dhamma sejati bermunculan di dunia maka dhamma sejati akan lenyap.

    Bagaikan, Kassapa, emas takkan lenyap selama tiruan emas tidak muncul di dunia ini, tetapi ketika tiruan emas muncul maka emas sejati lenyap, demikian pula, dhamma sejati takkan lenyap selama tiruan dhamma sejati tidak muncul. Tetapi ketika tiruan dhamma sejati muncul di dunia ini, maka Dhamma sejati lenyap.

    Bukan karena unsur landasan/tanah, Kassapa, yang menyebabkan Dhamma sejati lenyap, juga bukan unsur rekatan/air, juga bukan unsur yang membakar/api, juga bukan unsur tekanan/gerak/angin. Adalah orang yang kosong melompong (mogha purisa) yang bermunculan di sini yang menyebabkan Dhamma sejati melenyap.

    Dhamma sejati tidak lenyap seketika bagaikan kapal tenggelam. Terdapat 5 faktor yang menyebabkan menurunnya Dhamma sejati: Bhikkhu, Bhikkhuni dan umat awam bersikap tidak hormat dan melawan pada: Guru, dhamma, sangha, pelatihan dan samādhi [SN 16.13]
Kesimpulan terkait dhamma-vinaya:
    Dhamma-vinaya, ketika pothujjana:
    melafalkannya, ini tiruan dhamma sejati,
    membabarkannya, ini tiruan dhamma sejati,
    menuliskannya, ini tiruan dhamma sejati,
    menterjemahkannya, ini tiruan dhamma sejati,
    menterjemahkan dari terjemahan, ini juga tiruan dhamma sejati.

    Jadi apakah yang disebut dhamma sejati?

    Ketika seorang pemilik dhamma-cakkhu (mata dhamma) melafalkan, membabarkan dhamma-vinaya, itulah dhamma sejati.
    Ketika pothujjana dengan dhamma-vinaya, mendapatkan dhamma-cakkhu, itulah dhamma sejati
    [↑]


Konsili ke-2,
Diselenggarakan di Vesali pada tahun ke-10 pemerintahan raja Kalasoka [Dipavamsa 4.44,47; Mahavamsa 4.8] karena dasa vatthuni (10 poin/hal, detailnya di bawah) yang dilakukan para Vajjiputtaka/Vatsiputriya.
    Ajatasattu (32 tahun, Sang Buddha wafat di tahun ke-8 pemerintahannya = 24 tahun) + Udayin-Bhadda (16 tahun) + Anuruddha dan Munda (8 tahun) + Nagadasaka (24 tahun) + Shisunaga (18 tahun) + Kalasoka (28 tahun) ["The Cambridge History of India", hal.189 "Mahavamsa: Great Chronicle of Ceylon", Wilhelm Geiger, hal. xlvi] = 24+16+8+24+18+10 = 100 tahun.

    Ketika 100 tahun pertama telah selesai dan abad ke-2 telah dimulai, perpecahan besar terjadi, 12.000 Vajjiputta dari Vesālī berkumpul (di Mahavamsa: 10.000, Mhv 4.55, 5.4) dan menyatakan di Vesali 10 poin/hal [Dipv 5.16-17]
Terdapat 5 teks tradisi Buddhis Utara yang mencatat keberadaan konsili ke-2 di Vesali ini, yaitu:
  1. Mahisāsaka nikāya pancavarga vinaya 30, (T.E.T.22, P.192a-b), 100 tahun setelah parinirvana.
  2. Mahāsanghika vinaya 32, (T.E.T.22, P.493a-b), tanpa tahun.
  3. Dharmagupta vinaya 54, (T.E.T.22, P.96Sc), 100 tahun setelah Parinirvana
  4. Sarvāstivāda Vinaya 60, (T.E.T.23, P.449b-c). 110 tahun setelah parinirvana.
  5. Sudarsana Vibhāsā Vinaya I, (T.E.T.24.P677c), 100 tahun setelah parinirvana

  6. dari 5 ini, 4 Vinaya menuliskan karena dasa vathuni, sedangkan vinaya Mahasanghika hanya menuliskan karena menerima emas dan perak dan tidak 9 lainnya. [Hua-Kang Buddhist Journal, No. 02, (1972), Taipei: The Chung-Hwa Institute of Buddhist Studies, konsili ke-2, catatan kaki no.69 dan 70]
Berikut ringkasan narasi konsili ke-2 di Vesali, dari Culavagga, Khandaka 22 (dituliskan hampir serupa di kitab sejarah Srilanka: Dipavamsa dan Mahavamsa):
    100 tahun setelah Parinibananya Sang Buddha, Vajjiputtaka/Vatsiputriya (para bhikkhu yang adalah orang-orang Vajji dari Vesālī) [a] mengajarkan dan memperbolehkan praktik: garam disimpan dalam tanduk; masih makan setelah 2 jari; Menolak makan yang telah dipersembahkan, pergi ke lain tempat untuk makan yang belum diserahkan; uposatha terpisah dalam satu batas wilayah yang sama; Melakukan tindakan ketika Saṅgha yang tidak lengkap; Melakukan sesuatu berdasarkan kebiasaan; Minum susu yang hampir menjadi dadih; minum yang difermentasikan tetapi belum terfermentasi; menggunakan kain alas duduk tanpa ada batasan dan menerima emas dan perak

    Suatu ketika YM Yasa Kākaṇḍakā (Murid YM Ananda
    [b]) sedang menetap di Vesālī dan pada hari Uposatha, para Vajjiputtaka/Vatsiputriya, meletakan sebuah kendi perunggu berisi air ditengah-tengah para bhikkhu dan berkata kepada para umat awam Vesālī yang datang agar memberikan 1 Kahapana atau 1/2 Pada atau 1 Masaka untuk Sangha karena ada yang harus dilakukan Saṅgha sehubungan dengan barang kebutuhan.

    Mendengar itu, YM Yasa berkata kepada para umat awam agar tidak memberikannya, karena tidak diperbolehkan bagi para petapa, para bhikkhu putera Sakya tidak menyetujuinya, tidak menerima emas dan perak, tidak menggunakannya dan telah meninggalkannya, walaupun telah diberitahu demikian para umat awam Vesālī tetap memberikan koin uang. Sebelum malam berakhir, para bhikkhu membagi rata uang tersebut diantara mereka dan menyisihkan untuk porsi YM Yasa namun beliau berkata tidak memerlukannya dan tidak menyetujuinya.

    Para Vajjiputtaka/Vatsiputriya berkata bahwa YM Yasa telah mencela dan menghina umat awam yang berkeyakinan dan berkepercayaan penuh oleh karenanya dikenakan tindakan resmi Patisaraniya-kamma (Seorang Bhikkhu secara terbuka harus memohon maaf pada umat awam atas tindakannya yang tidak pantas). Karena ada aturan bahwa Bhikkhu yang dihadapkan pada tindakan tersebut harus diberikan utusan pendamping, maka YM Yasa memintanya.

    Bersama Bhikkhu utusan pendampingnya, YM Yasa pergi ke Vesali dan dihadapan para umat awam Vesali, beliau berkata bahwa Vajjiputtaka/Vatsiputriya katakan beliau telah mencela dan menghina umat awam yang berkeyakinan dan berkepercayaan penuh dengan menyampaikan apa yang bukan-dhamma sebagai bukan-dhamma, apa yang merupakan dhamma sebagai dhamma, apa yang bukan-disiplin sebagai bukan-disiplin dan apa yang merupakan disiplin sebagai disiplin yang dilanjutkan dengan penyampaian sabda sang Buddha
    [c]

    1. bahwa emas dan perak MERUPAKAN NODA bagi petapa (AN 4.50)
    2. bahwa samana/petapa TIDAK membolehkan, TIDAK menyetujui, telah melepaskan dan meninggalkan emas-perak, TIDAK ADA alasan untuk membenarkan emas dan perak (SN 42.10)

    Mendengar itu, para umat awam Vesālī berkata bahwa YM Yasa adalah satu-satunya petapa, satu-satunya putera Sakya sedangkan Vajjiputtaka/Vatsiputriya, semuanya bukan petapa, bukan para putera Sakya dan memohon agar YM Yasa berkenan menetap di Vesali agar berkesempatan melayaninya. Setelah YM Yasa meyakinkan para umat awam Vesālī, beliau bersama bhikkhu yang menjadi utusan pendampingnya kembali ke vihara

    Para Vajjiputtaka/Vatsiputriya kemudian bertanya kepada bhikkhu yang menjadi utusan pendamping apakah YM Yasa telah meminta maaf pada para umat awam Vesali. Bhikkhu itu menyatakan bahwa para umat awam sekarang malah menyatakan YM Yasa adalah petapa sedangkan mereka semua bukan.

    Para Vajjiputtaka/Vatsiputriya berkata bahwa YM Yasa tidak ditunjuk mereka untuk memberikan Informasi kepada para perumah tangga, oleh karenanya mereka melakukan ukkhepanīyakamma (mengeluarkan seorang bhikkhu dari sangha)
    [d] kepadaNya dan mereka berkumpul untuk tujuan melaksanakan tindakan tersebut.

    YM Yasa kemudian mengirim utusan mengundang kehadiran bhikkhu sepuh di Pāvā dan wilayah selatan Avantī, untuk penyelesaian perkara (Adhikarana) sebelum apa yang bukan-dhamma bersinar dan apa yang merupakan dhamma tersembunyi, sebelum apa yang bukan-disiplin bersinar dan apa yang merupakan disiplin tersembunyi, sebelum mereka yang mengatakan apa yang bukan dhamma menjadi kuat dan mereka yang mengatakan dhamma menjadi lemah, sebelum mereka yang mengatakan apa yang bukan disiplin menjadi kuat dan mereka yang mengatakan disiplin menjadi lemah.

    Beliau kemudian mengunjungi Bhikkhu sepuh Sambhūta Sāṇavāsī (Murid YM Ananda. Sambutha sāṇavāsī = Sambhuta pemakai jubah dari sāṇa/rami kasar) yang menetap di lereng gunung Ahoganga dan menyampaikan 10 hal yang diajarkan oleh Vajjiputtaka/Vatsiputriya.

    Beliau sepakat bahwa ini memerlukan penyelesaian perkara dan demikian pula dengan 60 Bhikkhu sepuh dari Pava dan 88 Bhikkhu sepuh dari Avanti.

    Kemudian para Bhikkhu sepuh ini bermaksud mengunjungi Bhikkhu sepuh Revata (murid YM Ananda) yang menetap di Soreyya, seorang yang terpelajar, pewaris ajaran, ahli dalam Dhamma, vinaya dan kerangka ajaran, bijaksana, berpengalaman, cerdas; teliti, seksama, menyukai latihan. Mereka berpikir jika dapat memasukkan Yang Mulia Revata ke dalam kelompok, mereka menjadi lebih kuat sehubungan dengan penyelesaian perkara ini.

    Saat itu Bhikkhu sepuh Revata telah meninggalkan Soreyya dan menuju Saṃkassa dan ketika para bhikkhu sepuh tiba di Soreyya dan bertanya dimana YM Revata, mereka menjawab bahwa YM Revata telah menuju Saṃkassa.. Kaṇṇakujja.. Udumbara.. Aggaḷapura.. Kemudian para bhikkhu sepuh tiba di Aggalapura dan bertanya dimana YM Revata, mereka menjawab bahwa YM Revata telah menuju Sahajāti. Kemudian para bhikkhu sesepuh itu bertemu dengan Yang Mulia Revata di Sahajāti.

    Kemudian Bhikkhu Sepuh Sambhūta Sanavasin meminta kepada Bhikkhu sepuh Yasa, putera Kākaṇḍakā untuk mengajukan pertanyaan kepada Bhikkhu sepuh Revata mengenai 10 hal yang diajarkan oleh para Vajjiputtaka/Vatsiputriya apakah diperbolehkan atau tidak. Bhikkhu sepuh Yasa menghadap Bhikkhu sepuh Revata dan menanyakan 10 hal yang diajarkan Vajjputtaka dan Bhikkhu Sepuh Revata mengatakan bahwa 9 Hal yang diajarkan adalah tidak diperbolehkan, sedangkan mengajarkan melakukan praktek dengan alasan itu telah menjadi kebiasaan (atau biasa dilakukan) penahbis/upajjhāya atau guru/ācariya, kadang itu diperbolehkan dan kadang itu tidak diperbolehkan. Setelah mendapatkan jawaban ini Bhikkhu sepuh Yasa mengundang Bhikkhu sepuh Revata untuk hadir menyelesaikan perkara sehubungan dengan ini dan Bhikkhu Sepuh Revata menyanggupinya

    Di lain tempat, Bhikkhu sepuh Sāḷha, ketika sedang bermeditasi, suatu pemikiran muncul dalam pikirannnya mengenai siapa pembabar Dhamma apakah para Bhikkhu dari Timur atau dari Pava, setelah merenungkannya, beliau berkesimpulan bahwa para bhikkhu dari Timur BUKANLAH pembabar dhamma dan para bhikkhu dari Pāvā adalah pembabar dhamma. Seorang Deva dari alam murni Suddhavasa yang muncul di hadapannya mendukung kesimpulannya dan juga memohonnya untuk menegakkan Dhamma, beliau menjawab bahwa dulu maupun sekarang, beliau telah menegakkan Dhamma dan akan menyampaikan pandangannya saat beliau ditunjuk sehubungan dengan penyelesaian masalah.

    Para Vajjiputtaka/Vatsiputriya mendengar bahwa Bhikkhu Yasa, putera Kākaṇḍakā, yang hendak menghadiri pernyelesaian perkara sedang membentuk kelompok dan telah memperoleh kelompok. Kemudian Para Vajjiputtaka/Vatsiputriya berpikir untuk mengumpulkan kelompok agar menjadi lebih kuat sehubungan penyelesaian perkara dan bermasud untuk membujuk Bhikkhu sepuh Revata yang mereka juga kenal pula sebagai seorang terpelajar, pewaris ajaran, ahli dalam Dhamma, vinaya dan kerangka ajaran, bijaksana, berpengalaman, cerdas; teliti, seksama, menyukai latihan agar memihak mereka sehubungan dengan penyelesaian perkara.

    Untuk itu, kemudian Para Vajjiputtaka/Vatsiputriya menuju Sahajati dengan membawa barang-barang kebutuhan para petapa yang berlimpah – mangkuk-mangkuk dan jubah-jubah dan helai-helai kain alas duduk dan kotak jarum dan sabuk pinggang dan saringan-saringan dan kendi-kendi air.

    Dengan barang-barang itu mereka mendatangi bhikkhu sepuh Revata dan memohon atas nama sangha agar beliau sudi menerima persembahan mereka, Namun, Bhikkhu sepuh Revata tidak ingin menerima itu karena telah memiliki cukup. Karena gagal, mereka kemudian pergi menghadap murid dari Bhikkhu sepuh Revata, yaitu Bhikkhu Uttara yang telah 20 tahun (20 masa vassa) menjadi bhikkhu agar sudi menerima persembahan mereka, namun Bhikkhu Uttara juga tidak ingin menerima itu karena telah memiliki cukup, mereka kemudian mendesaknya untuk menerima, karena didesak, bhikkhu Uttara akhirnya mengambil 1 jubah saja dan menanyakan keperluan mereka.

    Para Vajjiputtaka/Vatsiputriya memohon pada Bhikkhu Uttara agar Bhikkhu sepuh Revata di tengah-tengah sangha mengatakan bahwa para bhikkhu dari Timur adalah pembabar-dhamma, para bhikkhu dari Pāvā adalah bukan pembabar-dhamma. Bhikkhu Uttara menyanggupi hal itu dan menyampaikan kepada Bhikkhu sepuh Revata. Setelah mendengar itu, Bhikkhu sepuh Revata berkata bahwa Bhikkhu Uttara sedang membujuknya melakukan yang bukan-dhamma dan mengusir Bhikkhu Uttara. Kemudian Bhikkhu Uttara menyampaikan kepada para Vajjiputtaka/Vatsiputriya bahwa gurunya telah mengusirnya karena menyetujui hal yang bukan Dhamma. Berkenaan dengan Bhikkhu Uttara, Para Vajjiputtaka/Vatsiputriya kemudian memintanya menjadi pembimbing mereka (garunissayaṃ gaṇhāmā)
    [e]

    Kemudian Saṅgha berkumpul untuk penyelesaian Perkara. Agar tidak terjadi para bhikkhu yang memulai pertama kali perkara akan membuka kembali untuk tindakan resmi lainnya lagi, maka YM Revata mengajak sangha untuk menyelesaikan perkara ini di mana perkara ini muncul dan mereka pun pergi ke Vesali

    YM Revata kemudian berkata pada YM Sambhuta bahwa Ia akan mengunjungi Bhikkhu sepuh Sabbakāmi (Murid YM Ananda), yang telah menjalani 120 tahun masa vassa kebhikkhuan, bhikkhu dengan masa Vassa tertua di dunia saat itu dan meminta YM Sambhuta untuk mendatangi beliau juga dan menanyakan pendapat beliau mengenai 10 hal yang diajarkan para Vajjiputtaka/Vatsiputriya

    YM Sambhūta Sanavasin sampai ketempat kediaman YM Sabbakāmin ketika beliau sedang berbincang-bincang dengan YM Revata dan kepada dua bhikkhu sepuh itu, YM Sambhūta Sanavasin bertanya mengenai 10 hal yang diajarkan para Vajjiputtaka/Vatsiputriya dan apakah kesimpulan para beliau mengenai siapakah yang pembabar dhamma, apakah para bhikkhu dari Timur atau para bhikkhu dari Pāvā?”

    Kedua Sepuh itu berkata bahwa mereka telah menyimpulkan bahwa para bhikkhu dari Timur BUKANLAH pembabar dhamma dan para bhikkhu dari Pāvā adalah pembabar dhamma, namun demikian mereka tidak akan mengemukakan pandangan mereka hingga mereka ditunjuk sehubungan dengan penyelesaian perkara ini

    Kemudian Saṅgha berkumpul untuk penyelesaian perkara, setelah mengkonfrontasikan secara langsung KEDUA BELAH PIHAK (Para Vajjiputtaka/Vatsiputriya vs YM Yasa) dihadapan sangha namun tidak mendapat hasil penyelesaian, YM Revata kemudian mengusulkan agar dilakukan penyelesaian permasalahan dengan menyerahkan keputusan kepada orang-orang yang dipilih dan disepakati para pihak, Sangha menyetujuinya dengan berdiam diri. YM Revata kemudian memilih 4 Bhikkhu dari Timur (YM Sabbakāmin; YM Sāḷha/murid YM Ananda; YM Khujjasobhita/murid YM Ananda dan YM Vāsabhagāmika/murid YM Anuruddha) dan 4 bhikkhu dari Barat (YM Revata; YM Sambhūta; YM Yasa (semuanya murid YM Ananda) dan YM Sumana/murid YM Anuruddha
    [f]) dan memberitahukan Sangha mengenai komite yang dibentuknya. Sangha menyetujuinya dengan berdiam diri.

    Murid Sang Buddha lainnya, misalnya Upali (wafat 30 tahun setelah Sang Buddha Parinibbana), dilanjutkan dengan muridnya, Dasaka (50 tahun setelah Upali) dan dilanjutkan muridnya Sonaka (selama 44 tahun setelah Dasaka), maka ketika konsili ini berjalan, Sonaka baru memiliki 40 massa vassa (Mhv 5.104-153 dan Dipv 5.95-99)]

    Sangha kemudian menunjuk Bhikkhu Ajita yang mempunyai 10 masa vassa sebagai pembaca Patimokkha (aturan dan/atau disiplin) dan penentu tempat duduk bagi para Bhikkhu sepuh. Kemudian komite yang terdiri dari para bhikkhu sepuh ini pergi ke Vihara Vālika (vālikārāma: Di Vesali) untuk menyelesaikan perkara.

    YM Revata kemudian memberitahu Sangha bahwa Ia akan menanyai YM Sabbakamim sehubungan dengan Vinaya/Patimokkha. Sangha menyetujuinya dengan berdiam diri. YM Sabbakamin memberitahu sangha bahwa Ia akan menjawab pertanyaan yang diajukan YM Revata. Sangha menyetujuinya dengan berdiam diri. YM Revata kemudian menanyakan 10 hal yang diajarkan oleh para Vajjiputtaka/Vatsiputriya kepada YM Sabbakamin dan jawaban beliau:


    1. Singilona Kappa menyimpan garam dalam tanduk dengan pikiran untuk ditambahkan pada makanan yang tidak/kurang garam. (Melanggar: Pācittiya ke-38: menyimpan makanan yang telah diserahkan lebih dari 1 hari. Versi Mahasanghika Praktimoksa: Pacattika ke-37)

      Ini dilarang di Sāvatthī, dalam Suttavibhaṅga masuk pelanggaran yang menuntut penebusan

    2. Dvangula Kappa: Masih makan saat bayangan yang terkena sinar matahari lewat tengah hari melebihi dua ruas jari (dvangula) (atau beranggapan boleh makan selama matahari yang melewati tengah hari tertutup awan). (Melanggar: Pācittiya ke-37: Makan di waktu yang salah (lewat tengah hari). Versi Mahasanghika Praktimoksa: Pacattika ke-36)

      Ini dilarang Di Rājagaha, dalam Suttavibhaṅga masuk pelanggaran yang menuntut penebusan

    3. Gāmantara Kappa: Telah selesai makan, menolak persembahan berikutnya tapi pergi ke lain tempat untuk makan yang belum dimakan dan/atau yang belum diserahkan kepadanya. (Melanggar: Pācittiya ke-35. Versi Mahasanghika Praktimoksa: Pacattika ke-33)

      Ini dilarang di Sāvatthī, dalam Suttavibhaṅga masuk pelanggaran yang menuntut penebusan

    4. Avāsa Kappa: Sekelompok Bhikkhu tinggal di batas area yang sama namun melakukan uposatha secara terpisah. (Pelanggaran Dukkaṭa: Maha Vagga 2,8,3. Versi Dharmagupta dan Mahisasaka ada padanannya: "Buddhist Sects in India". Nalinaksha Dutt, hal.18)

      Ini dilarang di Rājagaha, dalam apa yang berhubungan dengan Uposatha masuk pelanggaran perbuatan-salah karena di luar disiplin

    5. Anumati Kappa: Mengambil putusan terhadap bhikkhu tertentu ketika sangha tidak lengkap dengan pikiran, “Persetujuan akan didapatkan/dimintakan dari bhikkhu yang datang/tiba". (Pelanggaran Dukkaṭa: Mahavagga IX.3.5. Versi Mahisasaka ada padanannya)

      Ini dilarang dalam materi disiplin tentang hal-hal yang berhubungan dengan para bhikkhu Campa dan masuk pelanggaran perbuatan-salah karena di luar disiplin

    6. Ācīṇṇa Kappa: Melakukan praktek dengan alasan itu telah menjadi kebiasaan (atau biasa dilakukan) oleh penahbis/upajjhāya atau guru/ācariya. (Ini kadang-kadang diperbolehkan dan kadang-kadang tidak diperbolehkan: Lihat di: MahaVagga 1.25-35. Versi Mahisasaka ada padanannya)

    7. Amathita Kappa: Telah selesai makan, menolak persembahan berikutnya, namun minum susu apa pun yang tidak diserahkan yang telah melewati tahap sebagai susu namun belum menjadi dadih (disebut Yoghurt jika berbentuk pasta, dadih jika bertektur lebih padat. Proses fermentasi alami gula susu akan menghasilkan alkohol). (Melanggar: Pācittiya ke-35, juga Pacittiya ke-37, 39. Versi Mahasanghika Praktimoksa: Pacattika ke-36, 39)

      Ini dilarang di Sāvatthī, dalam Suttavibhaṅga masuk pelanggaran yang menuntut penebusan

    8. Jalogiṁ pātuṁ: Minum air tuak yang difermentasikan tetapi belum terfermentasi dan belum sampai pada tahap menjadi minuman keras. (Melanggar: Pācittiya ke-51 (Versi Mahasanghika Praktimoksa: Pacattika ke-76)

      Ini dilarang di Kosambi, dalam Suttavibhaṅga masuk pelanggaran yang menuntut penebusan

    9. Adasakaṁ nisīdanaṁ: Menggunakan kain alas duduk diluar batas yang dibolehkan. (Melanggar: Pācittiya ke-89: ukuran panjang: 2 sugata, lebar: 1.5 sugata dan tinggi: 1 sugata. Versi Mahasanghika Praktimoksa: Pacattika ke-86)

      Ini dilarang di Sāvatthī, dalam Suttavibhaṅga masuk pelanggaran yang menuntut penebusan

    10. Jātarūpa-rajataṁ: Menerima emas, perak dan koin/uang. (Melanggar: Nissaggiya Pācittiya ke-18/19. Versi Mahasanghika Praktimoksa: Nihsarghika Pacattika ke-18)

      Ini dilarang di Rājagaha, dalam Suttavibhaṅga masuk pelanggaran yang menuntut penebusan

    Kepada Sangha, Beliau sampaikan bahwa setelah diselidiki Sangha, 10 hal Ini adalah materi yang bertentangan dengan dhamma, bertentangan dengan disiplin, bukan instruksi Sang Guru. Pertanyaan resmi kemudian ditutup dan YM Sabbakamin juga menawarkan bahwa untuk meyakinkan para bhikkhu, agar menanyainya di tengah-tengah Saṅgha. YM Revatapun menanyai YM Sabbakāmin di tengah-tengah Saṅgha tentang 10 hal ini dan YM Sabbakāmin menjawabnya seperti di atas. 700 Bhikkhu hadir saat pembacaan disiplin
    -----------------------------------

    Note:
    [a] Dalam Culavagga, Khandakka, Sanghabheda, terdapat 500 murid baru yang berasal dari para orang Vajji dari Vesali/Vajjiputtaka/Vatsiputriya, yang bergabung dengan kelompok Sangha pimpinan Devadatta. Setelah sang Buddha mengutus Sariputta dan MahaMoggallana, 500 Vajjiputtaka/Vatsiputriya ini mencapai kesucian tertentu dan kembali. Di pengikut Devadatta, (Maha) Kokalika adalah murid kepala kelompok pria dan Tullananda adalah murid kepala kelompok bhikkhuni, mereka membawa kelompoknya bergabung, sehingga ada kemungkinannya Vajjiputtaka/Vatsiputriya di 100 tahun ini ex sisa kelompok Devadatta, yang berasal dari murid lainnya.

    Hingga setelah masehi, keberadaan pengikut Devadatta masih ada: (1) Fa-xian/Fa-Hien: setelah mengidentifikasi 96 aliran heretik Buddhisme yang tersebar di bagian Tengah India berkata bahwa para pengikut Devadatta memberikan donasi pada 3 Buddha masalalu namun tidak pada Buddha Sakyamuni; (2) Xuanzang: 3 vihara di Bengali Barat di Karnasuvarna adalah milik pengikut Devadatta; dan (3) Yujing/I-Cing: dalam komentarnya di Karmavacana teks Mulasavarstivadin bahwa dimasanya para petapa pengikut Devadatta tersebar di area Barat India dan pernah bertanya langsung pada satu di antara mereka apakah Ia pengikut aliran Devadatta yang dijawab samar yang mengindikasikan kekhawatiran orang akan tidak mau melayaninya lagi jika telak mengaku ("The Sangha of Devadatta: Fiction and History of a Heresy in the Buddhist Tradition", Max Deeg, hal 183-195)]

    [b] Ananda lahir pada hari yang sama dengan Sidhartha Gautama dan wafat diusia 120 tahun [DhA ii.99] sehingga saat kejadian ini, YM Yasa telah memiliki > 60 tahun masa vassa/tahun menjalani kebhikkhuan. Kahapana = koin uang jaman itu yang terbuat dari emas atau perak atau perunggu

    [c] Sang Buddha telah menetapkan Nissaggiya no.18 (juga no.19) (yang muncul sehubungan kasus bhikkhu Upananda yang menerima dan tidak meninggalkan kepingan uang kahapana) bahwa seorang bhikkhu yang menerima uang dengan tangannya sendiri atau membuat orang lain menerima uang untuknya, atau menyetujuinya diletakkan di dekatnya atau disimpan untuknya, dia telah melakukan pelanggaran

    Ia hanya dapat berkata, “Kami tidak menerima uang, kami hanya menerima keperluan bhikkhu yang diperbolehkan dan di saat yang tepat.”. Jika pendana bertanya apa yang seharusnya dia lakukan dengan uang tersebut setelah sang bhikkhu menolaknya, bhikkhu tersebut dapat menjelaskan peraturan Vinaya, tetapi dia tidak boleh memberitahu pendana apa yang harus dilakukannya dengan uang tersebut. Jika pendana bertanya apakah ada kappiya yang mengurus keperluannya, sang bhikkhu dapat memberitahukannya. Kemudian, pendana dapat memberikan uang tersebut kepada sang kappiya dan uang itu tetap milik si pendana bukan milik bhikkhu ataupun kapiyya. Jika kappiya itu tidak menyediakan kebutuhan bhikkhu, bhikkhu dapat memberitahu pendana tentang ini, tetapi dia tidak boleh memaksa kappiya untuk membelikan apa yang diinginkannya (atau hal lain selain tujuan itu). Jika bhikkhu tersebut melakukannya, Ia terkena Nissaggiya pacittiya/pelanggaran yang memerlukan pengakuan dan pelepasan benda yang diterimanya (Lihat juga Pacittiya no. 10)

    MN 55/Jivaka sutta: “Yampi so Tathāgataṃ vā tathāgatasāvakaṃ vā akappiyena āsādeti, iminā pañcamena thānena bahuṃ apuññaṃ pasavati” (Ketika Ia memberikan dengan pengharapan sesuatu yang tidak diperbolehkan kepada Sang Tathāgata atau siswaNya,..Ia mendapatkan banyak keburukan). Walaupun sutta ini tentang memberikan daging yang berasal dari pembunuhan, namun ada poin yang berlaku umum yaitu memberikan sesuatu yang merupakan NODA/tidak patut, itu adalah perbuatan AKUSALA/tidak bermanfaat

    [d] Tindakan ini hanya bisa diambil dalam sangha yang lengkap (misal: Jumlah yang hadir lengkap tidak kurangnya, tidak kurang referensi, ada kehadiran para pihak, ada persetujuan kedua pihak, dll)

    [e] Minta Bhikkhu Uttara dengan masa 20 tahun sebagai pembimbing, mengindikasikan bahwa masa vassa para Vajjiputtaka/Vatsiputriya jauh di bawah 20 tahun

    [f] YM Anuruddha adalah saudara terkecil dari Mahanama, wafat di area Vajji pada usia 115 tahun (DhA ii.413). Tidak diketahui umur awalnya, namun jika beliau ini wafat sebelum YM Ananda, maka masa Vassa YM Vasabhagamika dan YM Sumana, tampaknya jauh diatas 60 tahun.
Setelah selesai konsili ke-2, kitab Buddhisme saat itu MASIH BUKAN Tipitaka/Tripitaka (3 keranjang) melainkan DvePitaka (2 keranjang), yaitu: Dhamma/sutta-sutta dan vinaya, sedangkan kitab Abhidhamma [sebanyak 7 kitab] MASIH BELUMLAH ADA.

Memperhatikan 10 pelanggaran di atas, Vinaya “mahasanghika” mempunyai kesamaan di 7 point sedang 3 point sisanya (no.4 – no.6) tidak ada:
    "agar Mahasanghika dapat bersepakat mengutuk point-poin ini, kita harus tunda pemakaian teks chinese, karena tidak ada lagi padanan sanskrit porsi skandhaka vinaya. Ada ringkasan Biksu-Prakirnaka (Yang adalah padanan Mahasanghika-lokottaravadin untuk vastu yang memuat skandhaka dari berbagai macam vinaya lainnya), namun itu sedikit membantu" ["Mahasamghika Origins: The Beginnings of Buddhist Sectarianism", Janice J. Nattier dan Charles S. Prebish, hal.241-245. Perbish dan Nattier, tidak menuliskan detail padanannya, namun menyimpulkan vinaya Pali dan vinaya Mahasanghika berkesesuaian penuh pada 10 point ini]
Catatan di Culavagga (bagian dari kanon pali kelompok vinaya) berhenti sampai KONSILI ke-2. Tidak ada catatan lanjutan mengenai kejadian sesudahnya, misalnya apa yang kemudian dilakukan oleh Vajjiputtaka/Vatsiputriya, tentang Konsili ke-3 di jaman raja Asoka dan narasi di Culavagga tentang konsili ke-1 dan ke-2, sama sekali tidak memuat kata “tipitaka”/Keranjang, hanya menuliskan dhamma, vinaya saja. Kejadian lanjutan setelah berakhirnya konsili ke-2, tercantum dalam sejarah Srilanka yaitu: Dipavamsa dan Mahavamsa, juga di Kathāvatthu-aṭṭhakathā (Kathavattu dan komentarnya/Atthajatha dibuat oleh Moggaliputta Tissa di abad ke-3 SM. Jarak antara konsili ke-3 dan wafatnya beliau = 8 tahun), Nidānakathā (Dibuat oleh Buddhaghosa, Abad ke-5 M, yang di dalamnya juga Dipavamsa):
    Konsili diadakan 100 tahun setelah Sang Buddha Parinibbana [Mhv 4.8; Dipv 4.47,48] diakhir tahun ke-10 jaman raja Kalasoka [Mhv 5.8]. Jumlah bhikkhu Vajjiputta yang berkumpul dan mengajarkan 10 hal adalah 10.000 [Mhv. 4.55 dan 5.4, Dipv 5.18 menyatakan: 12.000 Vajjiputtaka/Vatsiputriya berkonsili duluan untuk menetapkan 10 aturan yang akan mereka gunakan di Vesali]. Total bhikkhu yang hadir di Konsili ke-2 pimpinan YM Revata adalah 112.000 [Mhv 4.60, tapi di Dipv 5.20: "dvādasa satasahassāni (1.200.000)], kemudian beliau memilih 700 bhikkhu yang semuanya adalah Arahat yang membunyai Abhinna [Mhv 4.61; Dipv 4.52, 5.28]. Konsili dilakukan di Valikarama selama 8 bulan di jaman Raja Kalasoka, mengulang kembali pembacaan Dhamma [Mhv 5.62-63. Dipv 4.29]. Kejadian ini disebut Konsili ke-2 [Mhv 4. 66; Dipv 4.29]

    Setelah berakhir konsili ke-2, 10.000 Vajjiputtaka/Vatsiputriya dikeluarkan dari Sangha dan melakukan konsili sendiri. Jumlah yang besar ini menyebabkan ini disebut Mahāsāṃghika/Mahasanghika (kumpulan dengan jumlah besar) [Mhv 5.4; Dipv 5.31: Dinamakan Mahāsaṅgīti/kumpulan dengan jumlah besar]. Kometar Kathavatthu: 10.000 Vajjiputtaka membentuk aliran yang disebut Mahasanghiha (Introduction, hal.2)

    Mahasanghika/Mahāsaṅgīti kemudian juga menetap doktrin yang bertentangan; mengubah redaksi asli dan membuat redaksi lain; memindahkan sutta dari satu kumpulan ke kumpulan lain; mereka menghancurkan makna dan keyakinan; Di 5 koleksi dan di Vinaya, Biksu yang mengerti ataupun yang tidak tentang kotbah panjang ataupun kotbah tanpa penjelasan berupa makna literal ataupun tersirat menetapkan maksud yang salah sehubungan dengan kotbah-kotbah sang Buddha. Para biksu menghancurkan banyak makna, menolak kalimat-kalimat tunggal mendalam di sutta dan vinaya, membuat Sutta-sutta dan vinaya-vinaya lainnya, menolak teks berikut: Parivara yang merupakan abstrak dari isi, 6 bagian Abhidhamma, Patisambhida, Niddesa, dan beberapa bagian Jataka. Mereka membuat yang baru. Menjauhkan aturan asli tentang kata benda, jenis kelamin, komposisi, dan gaya ungkapan, mereka mengubah semua itu. [Dipv 5.30-38]

    [Note:
    Dipavamsa menyatakan “6 bagian” Abhidhamma DAN BUKAN 7 bagian, ini menunjukan, periode waktu ketika hal ini dicatatkan, adalah di SETELAH konsili ke-3 namun SEBELUM 1 bagian Abhidhamma lainnya rampung. Setelah 7 bagian rampung, MAHINDA membawanya ke Srilanka, seperti disebutkan Parivara Vinaya: MAHINDA (Murid Moggaliputta Tissa, pemimpin Konsili ke-3) pergi dari Jambudipa/India menuju Tambapanni/Pantai Utara Srilanka mengajarkan vinaya, 5 nikaya dan satta ceva pakaraṇe (7 kitab). Beberapa paragraph lanjutannya berisi tradisi urutan pengajar di Srilanka s.d Khema Thera yang mengajarkan tipetako/tipitaka. Sehingga disebut Tipitaka adalah setelah tambahan 7 kitab Abhidhamma]
20 Alasan Landasan Penyebab Perpecahan Dalam Sangha
Terdapat 20 alasan yang menjadi landasan penyebab perpecahan dalam sangha, yaitu ketika Bhikkhu (satu atau beberapa atau sangha) mengajarkan bhikkhu lainnya mengenai apa
  1. yang BUKAN dhamma sebagai dhamma
  2. yang dhamma sebagai BUKAN Dhamma
  3. yang BUKAN vinaya sebagai vinaya
  4. yang vinaya sebagai bukan vinaya
  5. yang TIDAK diucapkan, TIDAK disampaikan Sang Buddha sebagai ucapannya
  6. yang diucapkan, disampaikan Sang Buddha sebagai TIDAK ucapannya
  7. yang TIDAK dipraktekkan Sang Buddha sebagai yang dipraktekkannya
  8. dipraktekkan Sang Buddha sebagai TIDAK dipraktekkannya
  9. yang BUKAN ditetapkan sang buddha sebagai yang ditetapkan
  10. yang ditetapkan sang buddha sebagai BUKAN yang ditetapkannya [List 1-10 di AN 1.140-149, AN 10.37/38]
  11. yang BUKAN pelanggaran sebagai pelanggaran
  12. yang merupakan pelanggaran (āpatti) sebagai BUKAN pelanggaran (anāpatti āpatti)
  13. yang pelanggaran ringan (lāhuka āpatti) sebagai pelanggaran berat (gārukā)
  14. yang pelanggaran berat sebagai pelanggaran ringan
  15. yang pelanggaran besar (duṭṭhulla āpatti) sebagai BUKAN besar (aduṭṭhulla āpatti)
  16. yang BUKAN pelanggaran besar sebagai besar
  17. yang pelanggaran dapat ditebus (sâvesasa āpatti) sebagai pelanggaran yang tidak dapat ditebus (anavasesā āpatti)
  18. yang pelanggaran tidak dapat ditebus sebagai yang dapat ditebus
  19. pelanggaran yang dapat diperbaiki (sappaṭikamma āpatti) sebagai tidak dapat diperbaiki (appaṭikamma āpatti)
  20. yang pelanggaran tidak dapat diperbaiki sebagai yang dapat diperbaiki [List 11-20 di: AN AN 1.150-169, AN 10.43]
Culavagga, Khandakha 7 menyatakan PERPECAHAN SANGHA adalah karena Bhikkhu. Berikut pañca vatthūni (5 poin) yang dimintakan Devadatta dan nyaris menyebabkan perrpecahan sangha di jaman sang Buddha:
    Kemudian Devadatta mendatangi Kokālika, Kaṭamorakatissaka (putera Nyonya Khaṇḍā), dan Samuddadatta: “Yang Mulia, Marilah, kita memecah-belah Saṅgha Petapa Gotama dan merusak kerukunan..Kita menghadap pada petapa Gotama dan meminta 5 poin dengan mengatakan: ‘Yang Mulia, dalam berbagai cara Yang Mulia memuji sedikit keinginan, merasa puas, melenyapkan (keburukan), berhati-hati, berbelas kasih, mengurangi (rintangan-rintangan), mengerahkan kegigihan. Yang Mulia, 5 poin ini berperan besar dalam hal sedikit keinginan,…, mengerahkan kegigihan. Baik sekali, Yang Mulia, jika para bhikkhu, seumur hidup mereka harus:

    1. menjadi penghuni-hutan; siapa pun yang bepergian ke dekat desa, maka ia melakukan pelanggaran.
    2. menjadi penerima dana makanan dengan cara berjalan untuk mengumpulkannya; siapa pun yang menerima suatu undangan, maka ia melakukan pelanggaran.
    3. menjadi pemakai jubah kain buangan; siapa pun yang menerima jubah yang diberikan oleh perumah tangga, maka ia melakukan pelanggaran.
    4. berdiam di bawah pohon; siapa pun yang berada di bawah atap, maka ia melakukan pelanggaran.
    5. tidak boleh makan ikan dan daging, siapa pun yang memakan ikan dan daging, maka ia melakukan pelanggaran’

    Petapa Gotama tidak akan menyetujui hal-hal ini. Maka kemudian kita akan menarik orang-orang melalui ke-5 hal ini.". Kemudian Devadatta bersama dengan teman-temannya menghadap Sang Bhagavā dan menyampaikan hal tersebut. Sang Buddha berkata: ”Cukup, Devadatta, Siapa pun yang menghendaki, Ia:

    1. boleh menjadi penghuni-hutan; boleh menetap di dekat desa;
    2. boleh menerima dana makanan dengan cara berjalan untuk mengumpulkannya; boleh menerima undangan;
    3. boleh menjadi pemakai jubah kain buangan; boleh menerima jubah dari para perumah tangga;
    4. selama 8 bulan (selain masa vassa), Devadatta, Aku mengizinkan para bhikkhu menetap di bawah pohon;
    5. boleh memakan Ikan dan daging asalkan murni dalam 3 hal: TIDAK melihat secara langsung pada saat binatang tersebut dibunuh, TIDAK Mendengar secara langsung suara binatang tersebut pada saat dibunuh dan Mengetahui bahwa hidangan daging itu, TIDAK KHUSUS dibunuh agar dapat diberikan padanya”

    Devadatta merasa gembira, karena Sang Buddha TIDAK menyetujui 5 usulannya itu, kemudian Ia dan teman-temannya, bangkit dari duduk, berpamitan pada Sang Bhagavā menuju Ràjagaha mengajarkan 5 poin tersebut dan berkata pada para penduduk bahwa Sang Guru menolak apa yang menurut mereka adalah permohonan yang sangat beralasan karena 5 poin itu mengarah kepada ketidakmelekatan, dan seterusnya, dan mereka sebaliknya akan hidup dengan mematuhi 5 poin itu. Mereka yang tidak berkeyakinan dan kurang cerdas memuji Devadatta dan mencela Sang Buddha. Mereka yang berkeyakinan dan cerdas mengkritik Devadatta karena berusaha menciptakan perpecahan di dalam Sangha dan melangkahi kekuasaan Guru. Para bhikkhu yang mendengar kata-kata para penduduk itu juga mengkritik Devadatta dan melaporkan hal itu kepada Sang Buddha Buddha.

    Kemudian Sang Buddha bertanya kepada Devadatta: “Benarkah, seperti dikatakan, bahwa engkau, Devadatta, memecah-belah Saṅgha, menghancurkan kerukunan?”. Devadatta: “Benar, Yang Mulia”. Sang Buddha: “Cukup, Devadatta, jangan memecah-belah Saṅgha, karena ini berakibat sangat serius. Siapa pun yang memecah Saṅgha yang bersatu, Ia membentuk keburukan yang bertahan selama 1 kappa; Ia menderita di neraka selama 1 kappa; tetapi siapa pun, Devadatta, yang merukunkan Saṅgha yang terpecah, maka ia membentuk kebajikan luhur, Ia bergembira di alam surga selama 1 kappa. Cukup, Devadatta, jangan memecah-belah Saṅgha, karena ini berakibat sangat serius”

      Aturannya: Dalam sidang resmi sangha disampaikan agar yang bersangkutan berhenti membuat perpecahan dan agar bersatu, jika tetap membangkang, setelah 3x diberitahukan, maka bhikkhu ini melakukan pelanggaran saṅghādisesa. Para bhikkhu yang mendengarnya melakukan perbuatan tersebut tapi tidak menegurnya, maka para bhikkhu yang tidak mengatakan apapun ini, melakukan pelanggaran perilaku salah (āpatti dukkaṭa)

    Pagi harinya, ketika YM Ānanda memasuki Rājagaha untuk menerima dana makanan, Devadatta mendekatinya dan berkata: “Yang Mulia Ānanda, mulai hari ini aku akan menjalankan Uposatha yang berbeda dengan Sang Bhagavā dan berbeda dengan Saṅgha para bhikkhu dan akan menjalankan tindakan resmi untuk kelompok ini”. YM Ananda menyampaikan hal ini kepada Sang Buddha dan setelah memahami persoalan ini, sang Buddha mengucapkan syair ini: “Adalah mudah bagi orang baik melakukan kebaikan, melakukan kebaikan bagi orang jahat adalah sulit. Adalah mudah bagi orang jahat melakukan kejahatan, melakukan kejahatan bagi para mulia adalah sulit”

    Di hari Uposatha itu (hari ke-14/15 setelah bulan baru), Devadatta membagikan kupon suara, dengan mengatakan: “Yang Mulia, Kami, setelah menghadap Petapa Gotama, memohon ke-5 hal ini … Petapa Gotama tidak menyetujui ke-5 hal ini, tetapi kami akan hidup dengan menjalankan ke5 hal ini. Jika ke-5 hal ini sesuai dengan kehendak Yang Mulia, silakan masing-masing mengambil satu kupon suara”. Saat itu sebanyak 500 bhikkhu, yaitu para orang Vajji dari Vesālī, yang baru saja ditahbiskan dan masih belum berpengalaman berpikir: “Ini adalah aturan, ini adalah disiplin, ini adalah instruksi Sang Guru (satthusāsanan”ti),” mereka mengambil kupon suara. Kemudian Devadatta, setelah memecah sangha, bersama 500 bhikkhu ini, menuju Gayāsisa

    [Sang Buddha kemudian mengutus Sāriputta dan Moggallāna ke Gayāsisa untuk mengajarkan Dhamma kepada ke-500 bhikkhu yang dibawa Devadatta tersebut. Mereka mendapat kesempatan memberikan kotbah, kemudian munculah pada diri ke-500 Bhikkhu tersebut suatu penglihatan-dhamma, yang tanpa debu, tanpa noda bahwa “segala sesuatu yang muncul akan lenyap”. 500 Bhikkhu tersebut kemudian diajak untuk menghadap Sang Bhagavā]

    YM Sāriputta berkata kepada Sang Buddha agar para bhikkhu yang terlibat dalam perpecahan tersebut dapat ditahbiskan kembali, namun sang Buddha menyatakan bahwa para Bhikkhu ini tidak terlibat dalam perpecahan sangha.

    Berikut aturan terkait perpecahan sangha:
    YM Upāli kepada Sang Buddha: (1) sejauh apakah perselisihan dalam Saṅgha tetapi BUKAN perpecahan dalam Saṅgha? Dan (2) sejauh apakah perselisihan dalam Saṅgha dan adalah perpecahan dalam Saṅgha?

    Sang Buddha: “Jika, ada 1 orang di satu pihak dan 2 orang di pihak lain dan jika seorang yang ke-4 berkata dan membagikan kupon suara: ‘Ini adalah aturan, ini adalah disiplin, ini adalah instruksi Sang Guru, ambillah (kupon suara) ini, setujuilah ini’ – ini adalah perselisihan dalam Saṅgha tetapi BUKAN perpecahan dalam Saṅgha.

    “Jika, ada 2 orang disatu pihak dan 2 orang di pihak lain, dan jika seorang yang ke-5 berkata … 2 orang disatu pihak vs 3 orang di pihak lain dan jika yang ke-6 berkata … 3 orang vs 3 orang dan jika yang ke-7 berkata … 3 orang vs 4 orang di pihak lain dan jika yang ke-8 berkata dan membagikan kupon suara: ‘Ini adalah aturan...setujuilah ini’ – ini adalah perselisihan dalam Saṅgha tetapi BUKAN perpecahan dalam Saṅgha.

    Jika, 4 orang di satu pihak dan 4 orang di pihak lain dan jika seorang yang ke-9 berkata … ini, adalah perselisihan dalam Saṅgha dan adalah perpecahan dalam Saṅgha.

    Perselisihan dalam Saṅgha dan adalah perpecahan dalam Saṅgha terjadi karena 9 atau lebih dari 9 orang, namun hanya seorang bhikkhu dari komunitas yang sama, menetap di tempat yang sama, yang dapat memecah-belah Saṅgha, bukan karena seorang bhikkhunī bahkan jika ia melakukan tindakan memecah-belah, juga bukan karena seorang yang dalam masa percobaan, seorang samaṇera, seorang samaṇerī, umat awam pria dan/atau wanita, tidak memecah-belah Saṅgha bahkan jika ia melakukan tindakan memecah-belah

    Upali: "sejauh apakah, disebut Saṅgha menjadi terpecah?"

    Sang Buddha: "para bhikkhu menjelaskan..(sehubungan dengan 18 hal) membuat menarik dan memisahkan (teman), mereka menjalankan Uposatha secara terpisah, mereka menjalankan Undangan secara terpisah, mereka menjalankan tindakan (resmi) Saṅgha secara terpisah. Sejauh inilah, Saṅgha menjadi terpecah” [Vinaya, Culavagga, Sanghabheda]

    (Keputusan Devadatta dan 3 rekannya untuk memecah belah sangha, tidak sesuai aturan, disamping jumlah kurang dari 5, tindakan mereka (jika 5 orang atau lebih) harus didahului dengan (1) mengundang sangha, (2) dihadapan sangha, disampaikan terjadi pelanggaran apa (3) dihadapan sangha, jika ada pendapat berbeda, dilakukan pengambilan kupon suara oleh para Bhikkhu (4) dihadapan sangha, disampaikan keputusannya. Namun hal ini tidak dilakukan Devadatta, sehingga pada jaman sang Buddha, yang terjadi baru sebatas perselisihan BUKAN perpecahan, walaupun Devadatta mengaku bahwa Ia memecah belah sangha dan beranggapan telah memecah belah. Kepada Devadatta, Sangha TIDAK PERNAH memberikan tindakan resmi mengeluarkannya dari persekutuan, sehingga sampai dengan akhir hayat, Devadatta tetap merupakan bhikkhu dan anggota bhikkhu sangha sang Buddha)
TIDAK SEMUA PERPECAHAN SANGHA adalah BURUK, misalnya dalam kasus dibawah ini.
    Seorang Bhikkhu yang menjelaskan: apa yang bukan-dhamma sebagai dhamma dan/atau apa yang dhamma sebagai bukan-dhamma … menjelaskan apa yang bukan pelanggaran berat sebagai pelanggaran berat

    jika ia memiliki pandangan bahwa dalam ini terdapat dhamma, jika ia memiliki pandangan bahwa dalam perpecahan terdapat dhamma namun tidak salah menyampaikan pendapat, tidak salah menyampaikan persetujuan, tidak salah menyampaikan kesenangan, tidak salah menyampaikan kehendak, ia berkata dan membagikan kupon suara, dengan mengatakan: ‘Ini adalah aturan, ini adalah disiplin, ini adalah instruksi Sang Guru, ambillah (kupon suara) ini, setujuilah ini’ – bahkan penyebab perpecahan dalam Saṅgha ini, TIDAK MENGALAMI kejatuhan, TIDAK MENUJU neraka, TIDAK MENETAP di sana selama satu kappa, dapat terselamatkan. [Culavagga, Khandakha 7]
Sang Buddha menyatakan terdapat 4 KEUNTUNGAN yang menjadi MOTIF seorang bhikkhu melakukan perpecahan di dalam sangha dan bersenang dengan hal itu, sabda beliau ini sehubungan dengan Bāhiya, murid YM Anuruddha yang masih saja berniat menciptakan perpecahan di dalam sangha:
  1. Seorang bhikkhu jahat tidak bermoral, berkarakter buruk, tidak murni, berperilaku mencurigakan, merahasiakan perbuatannya, bukan seorang petapa walaupun mengaku sebagai petapa, tidak hidup selibat walaupun mengaku hidup selibat, busuk dalam batinnya, jahat, rusak. Ia berpikir: ‘Jika para bhikkhu mengetahui bahwa aku adalah seorang yang tidak bermoral … rusak, dan mereka bersatu, maka mereka akan mengusirku, tetapi jika mereka terpecah dalam kelompok-kelompok maka mereka tidak akan mengusirku.’

  2. seorang bhikkhu jahat berpandangan salah; ia menganut pandangan ekstrim. Ia berpikir: ‘Jika para bhikkhu mengetahui bahwa aku menganut pandangan salah, bahwa aku menganut pandangan ekstrim, dan mereka bersatu, maka mereka akan mengusirku, tetapi jika mereka terpecah dalam kelompok-kelompok maka mereka tidak akan mengusirku.’

  3. seorang bhikkhu jahat berpenghidupan salah; ia mencari penghidupannya melalui penghidupan salah. Ia berpikir: ‘Jika para bhikkhu mengetahui bahwa aku berpenghidupan salah dan mencari penghidupanku melalui penghidupan salah, dan mereka bersatu, maka mereka akan mengusirku, tetapi jika mereka terpecah dalam kelompok-kelompok maka mereka tidak akan mengusirku.’

  4. seorang bhikkhu menginginkan perolehan, kehormatan, dan penghargaan. Ia berpikir: ‘Jika para bhikkhu mengetahui bahwa aku menginginkan perolehan, kehormatan, dan penghargaan, dan mereka bersatu, maka mereka tidak akan menerima, menghormati, menghargai, dan memuliakanku; tetapi jika mereka terpecah dalam kelompok-kelompok maka mereka akan menerima, menghormati, menghargai, dan memuliakanku
Melihat ke-4 keuntungan ini, Ānanda, seorang bhikkhu jahat bersenang dalam perpecahan di dalam Saṅgha [AN 4.243/Sanghabhedaka sutta]

Perpecahan Buddhisme Pasca Konsili ke-2 dan 18 Aliran
Pasca konsili ke-2, selain Vajjiputaka yang dikeluarkan dari sangha Theravada (Thera/Pali = Sthavira/Sanskrit, Theravada = Sthaviravada), berapa kelompok Bhikkhu lainnya juga dikeluarkan dari sangha Theravada. Mereka semua yang telah dikeluarkan dari sangha Theravada membentuk lebih dari 17 persekutuan [Mhv 5.4-13, Dipv 5.39-49]. Seluruh dari 17 persekutuan ini adalah persekutuan umat awam karena mereka semua telah dikeluarkan dari Theravada dan yang disebut sangha oleh Buddhis selatan hanyalah Theravada. Di perjalanan waktu, Theravada + 17 ini disebut 18 aliran/sekte:



  1. Dikeluarkan dari Theravada, sebagian Vajjiputtaka membentuk aliran (1) Mahasanghika/Mahāsaṅgīti [Mhv 5.3-4, Dipv 5.30-31, Komentar Kathavatthu: Indtroduction hal.2].

    Kemudian Mahasanghika/Mahāsaṅgīti pecah menjadi: (2) Gokulika/Kaukkutika/Kukkulika/Kukkutika dan (3) Ekavyoharika/Ekavyavaharika/Ekabboharika (Mhv 5.4 dan Dipv 5.39-40).

    Kemudian Gokulika pecah menjadi: (4) Pannatti/Prajnapati dan (5) Bahulika/Bahussutiya/Bahusrutiya (Mhv 5.5 dan Dipv 5.41).

    Setelah 5 di atas muncul, Mahasanghika pecah lagi menjadi: (6) Cetiya/Caityasaila/Caityaka/Caitika (Mhv 5.5, dan Dipv 5.42-43).

    Dari sejak kemunculan Mahasanghika, termasuk Mahasanghika terdapat 6 aliran (Mhv 5.5-6 dan Komentar Kathavatthu, Introduction hal.2).

  2. Dikeluarkan dari Theravada, sebagian Vajjiputaka yang tidak membentuk aliran Mahasanghika/Mahāsaṅgīti, membentuk aliran (1) Vajjiputtaka/Vatsiputriya/Vasaputriya [Mhv 5.6-7 dan Dipv 5.45] dan beberapa lainnya yang dikeluarkan dari Theravada membentuk aliran (2) Mahimsasaka/Mahīśāsaka (Mhv 5.6-7 dan Dipv 5.45).

    Kemudian Vajjiputtaka pecah menjadi: (3) Dhammuttariya/Dharmottariya; (4) Bhaddayanika/Bhadrayaniya; (5) Chandagarika/Sannagarika/Channagirika dan (6) Sammitiya/Sammatiya (Mhv 5.7 dan Dipv 5.46).

    Kemudian Mahimsasaka pecah menjadi: (7) Sabbatthavada/Sarvastivada dan (8) Dhammaguttika/Dharmaguptaka (Mhv 5.8-9 dan Dipv 5.47).

    Kemudian Sabbatthavada pecah menjadi (9) Kassapiya/Kasyapiya, Kassapiya pecah menjadi: (10) Samkantika/Samkrantika, Samkantika pecah menjadi (11) Suttavada/Sauttrantika [Mhv 5.9-10 dan Dipv 5.48]

  3. sattarasa bhinnavādā eko vādo abhinnako, sabbev’ aṭṭhārasa honti ’bhinnavādena te saha. (17 adalah sekte sesat, satu sekte ortodoks; bersama dengan ortodoks mereka berjumlah 18) [Dipv 5.51. Komentar Kathavatthu, Introduction, hal.3-4: Namun dari 18, hanya Theravada yang bukan pecahan]
    paṭhame vassasate n’ atthi, dutiye vassasatantare bhinnā sattarasa vādā uppannā jinasāsane (Di abad ke-1 (setelah Buddha Parinibbana), tidak ada perpecahan, di abad ke-2 muncul 17 aliran sesat di ajaran Jina/Buddha [Dipv 5.53 dan Mhv 5.11-12: Demikianlah di abad ke-2 (setelah Parinibbana Buddha, muncul 17 aliran dan setelahnya muncul aliran lainnya]

    Note:
    Terkait kata Vibhajjavada/Vibhajyavada. Geiger: Buddha menyatakan dirinya Vibhajjavada [Mhv 5.271-273], "therānaṃ saṃbandhavacanattā theravādo ti, (Theravada karena doktrin kolektif dari para Thera), vibhajjāvadinā munindena desitattā vibhajjavādo ti vuccati (Vibhajjavada karena Raja para Bijak adalah 'Vibhajjavada')" [Mhv Tika]. MN 9 (Aku mengatakan ini setelah menganalisis) dan AN 10.4 (Sang Bhagavā berbicara memuji-mencela setelah menganalisis). Oldenberg/Childer: Vibbhajjavada adalah nama lain Theravada. Taranatha: Vibhajjavada cabang dari Sarvastivada [Mahavamsa, Geiger]

    Di kathavatthu, terdapat beberapa aliran yang tidak disebutkan oleh Buddhis Utara maupun Selatan, misalnya Andhaka yang disebut sangat banyak, yaitu 55x, komentarnya mengatakan: "Kelompok yang menganut pandangan khusus yang muncul kemudian, yaitu Andhaka, yang terdiri dari sub-kelompok Pubbaseliya, Aparaseliya, Rajagirika, dan Siddhatthika" ["Point of Controversy", op-cit, hal.105], sementara aliran Uttarāpathakā (Kaum Utara) disebut 34x ["The Sects of the Buddhists", Rhys Davids. The Journal of the Royal Asiatic Society, 1891, hal.409-422], namun komentar Kathavatthu tidak menyajikan keterangan apapun. Walaupun tidak diketahui runut alirannya, grup Andhaka, Uttarapathaka dan lainnya yang tercantum dalam Kathavatthu (dan komentarnya), juga bukan anggota Sangha Theravada (hanya sebagai umat awam bagi sangha Theravada).

    Dari Komentar Kathavattu: Puggalavadin (orang yang percaya keberadaan entitas pribadi, jiwa, atau esensi abadi dalam manusia), dari 18 aliran, yang termasuk Puggalavadin adalah Sasana para Vajjiputtaka, Sammitiya dan banyak guru lainnya. ("Point of Controversy", hal.8)

    Distribusi bab di Kathavatthu dan sekte-sekte pemiik pandangan tersebut (ibid, hal.xvii-xxvii):

    1. Vajjiputtaka: KV 1.1-2
    2. Sammitiya: KV 1.1-5; 3.7; 7.5; 8.2,7-8,10-11; 10.2,10; 11.1; 14.7; 15.11; 16.7-8; 18.7
    3. Sabhatthivadin: KV 1.2,6-8; 2.9; 11.6
    4. Kassapikas: KV 1.8
    5. Mahasanghika: KV 1.2; 10.2-3,5-11; 11.1-2,5; 12.1-4; 14.1; 15.1-2,6; 16.1-2; 18.9; 21.3-4,6
    6. Andhaka (Pubbaseliya, Aparaseliya, Rajagirika, Siddhatthika): KV 1.9-10; 2.1-2,6-7,9-11; 3.1--8,11-12; 4.8-10; 5.1,3,5-10; 6.1-3,5,7-8; 7.1-10; 8.1-3-5,7-8,10-11; 9.1-2,4,9-12; 10.1; 11.3-4,7-8; 12.7; 13.1,4,7,9-10; 14.2,5-9; 15.9,11; 16.4,8-10; 17.1-3; 18.4-8; 19.2-4,6; 20.3-4,6; 21.4-5,7-8; 22.1-2,8; 23.1,3-4
    7. Gokulika: KV 2.8
    8. Bhadbayanika: KV 2.9
    9. Mahimsasaka: KV 2.11; 3; 4.4; 6.2,6; 8.9; 10.2,10-11; 16.7; 18.6; 19.8; 20.5
    10. Uttarapathaka: KV 3; 4.2-3,6-9; 5.2,4; 6.5-6; 8.1,7; 9.3-4,6-8; 11.6; 12.5-6,8; 13.2-3,5-6,8; 14.3-4,8; 17.11; 18.3-5; 19.1,5,7; 20.1; 21.1,7-8; 22.2-7; 23.2,3,5
    11. Hetuvadin: KV 15.5,7,10; 16.3; 17.4-5; 19.8; 20.2; 23.5
    12. Vetulyaka (Maha-sunnavadin): KV 17.6-10; 18.1; 23.1
    13. Tidak disebutkan sektenya: KV 2.3-4; 3.4,9-10; 4.5; 6.4; 8.6; 10.4, 12.9; 15.3-4,8; 16.6; 21.2

    [List Sekte: Appendix B, Mahavamsa, Geiger, hal.277-283; "Point of Controversy"/Kathavatthu, Shwe Zan Aung & Rhys Davids, 1915., dari Komentar Kathavatthu, Introduction hal.2-3; Mahavamsa dan Dipavamsa ch.5]
Juga aliran-aliran lainnya di Jambudwipa (India jaman dulu): Hemavata/Haimavata, Rajagiriya [dianggap cabang Mahasanghika], Siddhatthaka, Seliya I (PubbaSeliya/Purvasailla, dianggap dekat dengan Caityika), Seliya II (Aparaseliya/Apara/avarasaila, cabang Mahasanghika) [Mhv 5.11-13; Dipv 5.54] dan Vajiriya (= Aparajagiriya/Dipv 5.54)[Mhv 5.13] atau Apararajagirika [Dipv 5.54]. Untuk Sri Lanka: Dhammaruci dan Segaliya [Mhv 5.13] juga Vetulya (terkait Mahayana) [Mhv 36.41, 111] dan menurut komentar Kathavatthu Abhidhamma jumlahnya 27 aliran.

Untuk tradisi Buddhis Utara (Diagram menurut Vasumitra dan Bhavya),
SELURUH VERSI mulai dari sangha terpecah menjadi banyak aliran dan semuanya masih bhikkhu di bawah sangha. Sudut pandang bahwa setelah dikeluarkan dari persekutuan dan masih bhikkhu TIDAK DIMUNGKINKAN dalam tradisi Theravada, karena sejak tidak lagi dalam persekutuan (dilepas jubah), sudah bukan lagi bhikkhu namun umat awam [2 diagram berimpit di bawah dari "Point of Controversy"/Kathavatthu, Shwe Zan Aung & Rhys Davids, 1915: Vasumitra/kiri dan Bhavya/kanan]:



Variasi lain diagram menurut versi Vasumitra [Jan Nattier ("ONCE UPON A FUTURE TIME, Studies in a Buddhist Prophecy of Decline", 1992, hal.31), data diagram Nattier dari pendapat: Edward Conze ("Buddhist Thought in India", 1962, repr. 1970, hal. 119, 195) dan Andre Bareau ("Les sectes bouddhiques du petit vehicule", 1955), tanggal kehidupan Buddha (583-483 BCE) menurut perkiraan mereka]:

Perpecahan sangha dan sekte-sektenya, menurut Buddhis Utara:
  1. Vinitadeva (abad 8 M, Mūlasarvāstivāda): 22 aliran, diawali dengan Sangha terpecah menjadi 4 aliran (tidak ada record setelah konsili ke-2, terpecah menjadi sebanyak ini), yaitu (dikutip dari buku Baruah):
    1. Sthaviravāda: 3 aliran (Jetavaniya, Abhayagirivasin, Mahaviharavasin);
    2. Sammatiya: 3 aliran (Kaurukullaka, Avantaka, Vatsīputrīya);
    3. Sarvastivada: 7 aliran (Mūlasarvāstivāda, Kasyapiya, Mahisasaka, Dharmaguptaka, Bahuśrutīya, Tamrasatiya, Vibhajyavada);
    4. Mahāsāṃghika: 5 aliran (Purvasaila, Aparasaila, Haimavata, Lottaravada, Prajñaptivāda)

  2. Vasumitra ("SamayabhedoParacanaCakra (T 2031)", Sarvāstivādin, terdapat kalimat: "..Buddha menyampaikan gâtha berikut: '..Semua ini akan muncul dari Mahâyâna, Yang tidak mengakui penegasan atau kontradiksi. Sekarang saya katakan bahwa di masa depan akan muncul, banyak tulisan Master Kumârajiva..". Setelah abad ke-5), untuk jumlah, Baruah: 20 aliran, Rhys Davids (tabel I, seluruhnya disebut Hinayana): 21 aliran.

  3. Bhavya I/Bhāvaviveka ("Nikāyabhedavibhaṅgavyakhyāna", Madhyamaka, abad ke-6 M) untuk jumlah, Baruah: 18 aliran, Rhys Davids (tabel I, seluruhnya disebut Hinayana): 25 aliran.
    Bhavya II untuk jumlah, Baruah: 21 aliran, Rhys Davids (tabel I, seluruhnya disebut Hinayana): 22 aliran.
    Bhavya III untuk jumlah, Baruah: 22 aliran, Rhys Davids (tabel I, seluruhnya disebut Hinayana): 18 Aliran.

  4. Yijing/I-Tsing (Dari bukunya Takakusu), 18 aliran, menggunkan kata "nikaya":
    I. Arya-mahasahghika-nikaya: 7 aliran, terbanyak di Magadha (India Tengah), sedikit di India: Barat (Lata dan Sindhu), Utara dan Selatan, di tolak di Srilanka dan belakangan ditranmisikan ke laut Selatan (Sumatera, Java dan lainnya) dan Shensi (Cina Barat)
    2. Arya-sthavira-nikaya: 3 aliran, hampir seluruhnya di India Selatan dan Tengah (Magadha), seluruhnya di Srilanka, sedikit di India Barat (Lata dan Sindhu), hidup berdampingan aliran lain di India Timur dan belakangan ditranmisikan ke laut selatan, tapi tidak di China
    3. Arya-mulasarvastivada-nikaya: 4 aliran (a. Mulasarvastivada, b. Dharmagupta, c. Mahisasaka dan d. Kasyapiya), kebanyakkan berkembang di Magadha, hampir seluruh India Utara, sedikit di India: Barat (Lata dan Sindhu) dan Selatan, hidup berdampingan aliran lain di India Timur. 3 aliran (b, c dan d), hampir tidak ada di India, tapi mempunyai pengikut di Udyana, Kharahar dan Kustana, namun tidak ada di Srilanka, hampir seluruhnya di kepulauan laut Selatan, sedikit di Champa (Cochin China), b ada di China Timur dan di Barat (Shen-si). ke-4 aliran berkembang di China Selatan (Selatan Yang-tse-kiang, Kwang-tung dan Kwang-si)
    4. Arya-sammitiya-nikaya: 4 aliran, berkembang di India Barat (Lata dan Sindhu) dan Tengah (Magadha), sedikit di India selatan, hidup berdampingan aliran lain di India Timur, tidak ada di India Utara dan Srilanka, sedikit di kepulauan laut Selatan, kebanyakan di Champa (Cochin-China) namun tidak ada di China.
["Buddhist Sects and Sectarianism", Bibhuti Baruah, hal 42-45; "Art. I.—Schools of Buddhist Belief", T. W. Rhys Davids, hal.5-7 dan "Art. IX.—The Sects of the Buddhists", T. W. Rhys Davids, hal.409 dan "Buddhist Practices In India", Takakusu, General Introduction, hal. XXIII-XXiV]

Apa yang disebut Sangha oleh Buddhis Selatan vs Buddhis Utara?
  1. Tradisi Buddhis Selatan:
    Sangha = Theravada, selain Theravada, seluruh aliran = umat awam (bukan Sangha)

  2. Tradisi Buddhis Utara:

    1. Vasumitra, dari konsili di Patna (tidak diakui Theravada), diskusi antara Sthavira Naga vs Praccha Bahusrutiya, tentang aliran-aliran, Sangha terbagi 2, yaitu: (1) Sangha Theravada/Sthaviravada dan (2) Sangha Mahasanghika [Prefatory Notes, hal xxxvi]
    2. Bavya: Sangha terbagi 20, 12 Sangha termasuk Sangha Theravada/Sthaviravada dan 8 Sangha termasuk Sangha Mahasanghika [Prefatory Notes, hal xxxvii]
["Point of Controversy"/Kathavatthu, Shwe Zan Aung & Rhys Davids, dari Diagram: Komentar, Vasumitra dan Bhavya]

Mahayana — Hinayana — Theravada:

Asal-Usul Mahayana
  1. Hirakawa: "Munculnya Buddhisme Mahayana sekitar 500 tahun setelah kematian Buddha..Buddhisme Mahayana memasukkan banyak elemen yang tidak ditemukan dalam Buddhisme awal" [hal.3] ... "Milindapanha.. bagian paling awal dari teks tersebut dapat ditentukan dengan membandingkan teks Pali dengan terjemahan Cina, Na-hsien pi-ch 'iu ching (T 1670a). Bagian-bagian yang ditemukan dalam kedua versi tersebut merupakan elemen tertua dari karya tersebut..Buddhisme India selama abad ke-1 dan ke-2 SM. Tidak ada unsur Buddhisme Mahayana yang dimasukkan dalam karya tersebut..." [hal.228-229]..."Istilah 'Mahayana' tidak ada di sebuah prasasti hingga abad ke-2 atau ke-3 M, namun penanggalan teks Mahayana diterjemahkan ke bahasa China membuktikan bahwa teks Mahayana ada di India Utara selama dinasti Kusana" (note: sekitar abad ke-1 M). [hal. 243-244] ["A History of Indian Buddhism From Sakyamuni to Early Mahayana", Akira Hirakawa, Asian Studies at Hawaii, No. 36, 1990]

  2. Baruah: Awal pergerakan Mahayana, berada dikisaran 500 tahun setelah Parinibbana Sang Buddha. ["Buddhist Sects and Sectarianism", Bibhuti Baruah, 3. Mahayana Buddhism, hal.66]

  3. Seishi Karashima: di Sūtra Teratai versi Gandhāri (Saddharma Puṇḍarīka Sūtra) kata Prakrit mahājāna (dalam arti mahājñāna/pengetahuan besar) ketika ditranslasi ke Sanskrit yang secara fonetik ambivalen (punya 2 arti berbeda) menjadi keliru diterjemahkan sebagai mahāyāna ["Who Composed the Mahāyāna Scriptures? ––– The Mahāsāṃghikas and Vaitulya Scriptures", hal. 114-115; "Vehicle (yāna) and Wisdom (jñāna) in the Lotus Sutra ––– the Origin of the Notion of yāna in Mahāyāna Buddhism", hal.163-196]

  4. Paul Williams: "Tidak ada keraguan bahwa setidaknya beberapa sutra Mahāyāna awal berasal dari lingkaran Mahāsāṃghika" ["Mahayana Buddhism: The Doctrinal Foundations", hal.21]

  5. Guang Xing: "Beberapa ahli berpendapat bahwa Prajñāpāramitā mungkin dikembangkan dari Mahāsāṃghika India selatan, area Āndhra, sungai Kṛṣṇa" ["The Concept of the Buddha: Its Evolution from Early Buddhism to the Trikaya Theory", hal.66]

  6. Hendrik Kern (orang pertama) dan AK Warder: Mahāyāna dan sutra-sutranya (misal versi awal Prajñāpāramitā) muncul dari Mahāsāṃghika Nikaya (mulai abad ke-1 SM) ["Histoire du bouddhisme dans l’Inde", H Kern dan "Indian Buddhism", AK Warder, hal. 335]

  7. Untuk kemunculan Mahayana/kendaraan besar, kitab "Tarkajvala” (pemikiran yang berkobar), Bavya (500 M – 578 M) dari aliran Madyamaka, Mahayana, menyampaikan:

    "Para pengumpul ajaran Mahayana adalah para Bodhisatva seperti Samantha Bhadra, Manjushri, Vajrapani, Maitreya dan banyak lagi. Aliran hinayana tidak mengumpulkan itu karena mereka tidak mempelajari kitab Mahayana..Setelah Buddha Parinibbana, para pengikut aliran Hinayana, sangat melekat pada ajaran yang mereka terima. Tidak ada yang mengumpulkan ajaran Mahayana. Ajaran Mahayana tersimpan di alam Naga, kemudian Nagarjuna mengumpulkan ajaran Mahayana dari alam Naga dan menyebarkannya di alam Manusia." ["Jewelled Staircase", Geshe Wangyal, hal. hal.47]

  8. Beberapa meragukan Sutra Prajñaparamita terkait dengan Nagarjuna, misalnya Max Walleser, di tahun 1923: "...pemikiran kesunyataan yang ditetapkan di Sutra Prajñaparamita dibawa untuk dikaitkan dengan nama yang kita bahkan tidak dapat secara positif mengatakan bahwa dia benar-benar ada, yang sekurangnya tetap Ia adalah penulis karya-karya yang dianggap berasal darinya: nama ini adalah Nagarjuna" ["Nagarjuna And The Ratnavali: New Ways To Date an Old Philosopher", Joseph Walser, JIABS, vol.25, hal. 209].

  9. Lamotte pada lampiran 9 "Maha Prajnaparamita Sastra" tentang para penulis pertama Madhyamika. Untuk Aryadeva, Ia mengutip awal komentar Candrakīrti (sekitar 600–650 M) tentang Catuḥśataka: “Āryadeva lahir di Siṃhala (Sri Lanka) putra raja negeri itu. Setelah menjadi putra mahkota, Ia pergi ke Dakṣina, menjadi murid Nāgārjuna” [Kalimat di Xuanzang, abad ke-7 M, di buku ke-4 ch.9: "ada seorang Bodhisattva dari Siṃhala (Chi-sse-tseu — Sri Lanka) yang disebut Deva"], kemudian mengkaitkan nama Aryadeva dengan Thera Deva (Dīpv 22.41,50 dan Mhv 36.29) yang ada saat Vetullavāda, dari Mahāyāna melanda Sri Lanka jaman raja Vohārikatissa (269-291 M), sehingga Nagarjuna berada pada abad ke-3 M, juga menjelaskan bagaimana Vetullavada adalah juga bagian dari Mahayana.
Mahayana — Hinayana
Kata Hinayana hanya terdapat dalam sutra-sutra Mahayana dan di dalamnya berisi bagaimana pandangan umum Mahayana terhadap Hinayana, misalnya:
  1. Gaganagañjaparipṛcchā: Dharmaratnanidhāna, 31.Māra, Mārakarman: "Mencari Hinayana (hīnayānaspṛhaṇatā) adalah pekerjaan para Māra" atau "所謂心向小乘是爲魔業"(曇無讖 Dharmakṣema, 414-426 Masehi, T 397(8) 105c17-18) atau "謂愛樂小乘是爲魔業"(不空 Amoghavajra, 720-774 Masehi, T 404 625c12-13) [Sanskrit: Āryagaganagañjaparipṛccha nāma mahāyanasūtra atau Tibet: The Exalted Discourse of the Great Vehicle entitled The Questions of Bodhisatva Gaganagañja atau lihat "The Sky as a Mahāyāna Symbol of Emptiness and Generous Fullness, A Study and Translation of the Gaganagañjaparipṛcchā". Vol. 1: Introduction, Jaehee Han, hal.42]

  2. Vajracchedika-prajna-paramita Sutra: 'Subhuti, kesimpulannya,...Tathagata menjelaskannya kepada mereka yang diinisiasi ke dalam Mahayana dan Yana Tertinggi. ... Mengapa? Karena, Subhuti, mereka yang menyenangi Hinayana dan menganut pandangan ego, kepribadian, makhluk dan kehidupan, tidak dapat mendengarkan, menerima, menyimpan (dalam pikiran), membaca dan melafalkan sutra ini dan menjelaskannya kepada orang lain. [Kumārajīva, T. 235, Part III, "The Diamond Cutter of Doubts" A Commentary on the Diamond Sutra, Ch'an Master Han Shan, terjemahan: Lu K'wan Yu/Charles Luk, hal.185]

  3. Aṣṭasāhasrikā Prajñāpāramitā, 11. Parivarta, 2: Subhuti, apakah para Bodhisattva yang tampak sangat cerdas yang, setelah memperoleh dan bertemu Mahayana, yang tidak dapat diubah, akan kembali meninggalkannya, berpaling darinya, dan memilih Hinayana? Subhuti: Tidak, Yang Mulia! (239,1) atau "tat kiṃ manyase subhūte api nu paṇḍitajātīyās te bodhisattvāḥ pratibhānti, ye avinivartanīyayānaṃ mahāyānam avāpya samāsādya punar eva tad vivarjya vivartya hīnayānaṃ paryeṣitavyaṃ maṃsyante? subhūtir āha - no hīdaṃ bhagavan" (Vaidya (1960) 118) atau "de nas tshe dang ldan pa rab ’byor gyis lha rnams kyi (6) dbang po brgya byin dang mi mdzad kyi bdag po tshangs pa dang ’dod pa na spyod pa dang gzugs na spyod pa’i lha’i bu de dag la ’di skad ces smras so" (Tib: Kg, brgyad stong, ka 170a5-6)

  4. Vimalakīrtinirdeśasūtra: "Untuk memalingkan orang dari Hīnayāna dan melibatkan mereka dalam Mahāyāna, dia muncul di antara para pendengar dan guru Dharma" [Vimalakīrtinirdeśasūtra, Thurmann, Robert A.F., 1976 atau Kg, ma 182a7-b1 atau Zhīqiān/T.474 atau Kumārajīva/T.475]

  5. Asokadatta-vyakarana Sutra:
    Putri Ajatasatru bernama Asokadatta, berusia 12 tahun ... Dia sedang duduk dengan sepatu emas bertatahkan permata di kakinya di aula ayahnya ketika Ia melihat para Sravaka. Dia tidak berdiri untuk menyambut mereka, tetapi duduk diam, tidak bertukar sapa dengan mereka, memberi hormat, atau meminta mereka untuk duduk.
    Melihatnya tanpa takut hanya duduk diam, Raja Ajatasatru: “Apakah kau tidak tahu bahwa semua orang ini adalah murid utama Sakyamuni Tathagata? Apakah kau tidak tahu bahwa mereka telah mencapai Dharma agung, dan merupakan ladang berkah di dunia?..setelah kau melihat mereka, mengapa kau tidak berdiri untuk menyambut mereka? Mengapa tidak memberi hormat kepada mereka, bertukar sapa dengan mereka, dan mempersilakan mereka duduk?
    Asokadatta: "Pernahkah Yang Mulia melihat atau mendengar bahwa seorang raja universal berdiri untuk menyambut raja-raja kecil ketika dia melihat mereka?". Raja: "Tidak"
    Asokadatta: "Pernahkah Yang Mulia melihat atau mendengar bahwa seekor singa, raja binatang buas, bangkit untuk menyambut serigala ketika melihat mereka?" Raja: "Tidak"
    ... Asokadatta: "Oleh karenanya, Yang Mulia, buat apa seorang Bodhisattva, yang besar dalam kebaikan dan welas asih, yang telah bersumpah mengejar pencerahan tertinggi, harus memberi hormat pada Sravaka dari Hinayana? yang tidak memiliki kebesaran kebaikan maupun kebesaran welas asih? Baginda, buat apa orang yang mengikuti jalan menuju pencerahan tertinggi, yang seperti singa, raja binatang buas, harus memberi hormat pada mereka yang mengikuti Hinayana, yang seperti serigala?" [hal.116]
    ..."Seperti orang yang mencari peruntungan di laut; namun kembali hanya dengan 1 koin saja; demikian persisnya prilaku para Sravaka; Setelah mencapai samudera luas Dharma, Mereka buang harta karun Mahayana, dan hanya membuat aspirasi sempit; untuk mengikuti jalan Hinayana ... [hal.117]

    Kāśyapaparivarta sūtra: Sang Buddha kepada Mahakasyapa:
    ...4 hal yang membuat bodhisatta kehilangan bodhicitta: ..3. mencerca dan merendahkan mereka yang mencari Mahayana, hingga mencemarkan nama baik mereka jauh dan luas; ...
    4 hal yang memungkinkan seorang Bodhisattva mempertahankan bodhicitta-nya dari 1 kehidupan ke kehidupan berikutnya,..sampai ia mencapai Kebuddhaan: ... 3. tidak menyukai doktrin Hlnayana,... [hal. 338]
    4 kesalahan yang mungkin dilakukan seorang Bodhisattva: ... 3. memuji Hinayana di antara mereka yang bergembira dalam Mahayana;...[hal.390]
    Singkatnya, seseorang yang mencapai 32 hal disebut Bodhisattva: ... 25. tidak menyukai Hinayana, tetapi selalu mencari manfaat besar Mahayana; [hal.392]

    ["A Treasury of Mahayana Sutras Selections from the Maharatnakuta Sutra", Translated from the Chinese by The Buddhist Association of the United States, Garma C. C. Chang, General Editor, 1983. Di terjemahkan biksu Kuṣāṇa, Lokakṣema dalam Ratnakuta - di ibu kota China, Luoyang, sekitar 178 - 189 M]
Sutra-sutra tersebut mengagungkan Mahayana dan mengemasnya seolah berasal dari ucapan Buddha, padahal kronologi perpecahan dari Buddhis Utara dan Selatan, seluruhnya menyatakan perpecahan baru terjadi banyak abad setelah Buddha Parinibbana, oleh karenanya, sutra-sutra tersebut bukanlah ucapan Buddha. Sutra-sutra tersebut menggambarkan keberadaan jalan hina atau Hinayana, jalan inferior, buruk atau jahat hasil dari pekerjaan Mara. Disebut Hinayana, adalah juga karena menolak doktrin Mahayana. Oleh karenanya, MAHAYANA-lah sebagai pencipta HINAYANA, sehingga bagi Mahayana, Hinayana bukanlah mitos, sehingga keberadaan Mahayana hadir mendahului keberadaan Hinayana.

Theravada — Hinayana
Hirakawa:
"Ta-chih-tu (T 1509, Mahaprajnaparamitopadesa) utamanya berhadapan langsung dengan Vaibhasika dari aliran Sarvastivada dan Sarvastivada dianggap Hinayana juga dalam banyak teks Mahayana. Sayangnya tidak diketahui apakah terminologi "Hinayana" di teks-teks Mahayana merujuk juga pada Theravada dan Mahasanghika.

Fa-Hien (fo-Kuo chi, T2085, record of Buddhist Lands) membagi area Buddhis indian ke dalam Mahayana, Hinayana dan campuran keduanya. Perbandingan diari perjalanan Fa-Hien dan Xuanzang, jelas mengindikasikan bahwa Fa-Hien menggunakan terminologi Hinayana kepada seluruh aliran dari Nikaya.

Xuanzang menyatakan Sarvastivada, Sammatiya dan Lokottaravada sebagai Hinayana, namun untuk 2 area di mana Ia temukan Theravada dan 3 tempat Ia temukan Mahasanghika, Ia hanya menyebutkan nama aliran tanpa melabelinyai "Hinayana". Perbedaan ini mungkin tidak signifikan, namun untuk 5 area yang terkait Theravada Srilanka, Ia merujuknya sebagai "Mahayana Theravada". Xuanzang merujuk Theravada Srilanka sebagai "Theravada Mahayana". Xuanzang tidak menganggap seluruh aliran Nikaya sebagai Hinayana, tapi Ia menganggap Lokottaravada dari aliran Mahasanghika sebagai Hinayana, terlepas bahwa banyak elemen Mahayana ditemukan dalam biograpi Buddha, Mahavastu, aliran Lokkottaravada.

Yijing (Nan-hai chi-kuei nei-fa chuan, T 2125, A record of Buddhism in India and the Malay Archipelago) mengamati tidak ada perbedaan signifikan dari cara hidup bhikkhu Hinayana dan Mahayana, Yijing mencatat, "Mereka yang menyembah Bodhisattva dan membaca Mahayana Sutra" adalah praktisi Mahayana. Hanya aliran Madhyamika dan Yogacara saja yang konsisten, disebutnya sebagai Mahayana. Hirakawa menyimpulkan "secara umum, terminologi Hinayana lebih sering diaplikasikan kepada aliran Sarvastivada". [A History of Indian Buddhism: From Śākyamuni to Early Mahāyāna, Akira Hirakawa, hal.256-257]

Xuanzang:
Mahinda datang ke Srilanka mengajarkan Buddhisme menurut dharma aliran Sthavira (shang-ts'o-pu) dari sekte Mahayana, setelah Mahinda, 200 tahun berlalu, satu aliran terpecah dua, yaitu Mahavihara yang menentang Mahayana dan menginduk pada Hinayana dan lainnya adalah Abhayagiri, yang mempelajari Hinayana dan Mahayana [Si-Yu-Ki, Buddhist records of The Western World, Xuanzang, ditranslasi Samuel Beal, Buku XI, hal 246-247].

Namun, kategori yang disebutkan Xuanzang sangat beresonansi dengan apa yang disampaikan Rhys Davids, bahwa terminologi Hinayana meliputi 18 aliran, utamanya, jika menolak doktrin Mahayana, oleh karenanya, Theravada dalam konteks ini adalah Hinayana.

Apa Maksud Terminologi Theravada?
Kata Theravada muncul dalam kanon pali, misalnya MN 26, ketika Bodhisatta bertemu Āḷāra Kālāma dan Uddaka Rāmaputta:
    Aku dengan segera mempelajari Dhamma itu. Sejauh hanya mengulangi dan melafalkan ajarannya melalui mulut, Aku dapat mengatakan bahwa dengan pengetahuan (ñāṇavādañca) dan doktrin para sepuh (theravādañca) dan Aku mengakui, ‘Aku mengetahui dan melihat’—dan demikian pula orang-orang lainnya.

    Note:
    Arti Theravada: IB.Horner: "doctrine of the elders/doktrin para sepuh", Bhikkhu Nanamoli dan Bhikkhu Bodhi: "assurance/kepastian". Buddhaghosa di SP 1.131, dalam kata "sabbo theravada" = "seluruh opini para sepuh". Juga komentar Theragatha ganthārambhakathā, "yathā pana sīhanādaṃ pare migagaṇā na sahanti, kuto abhibhave, aññadatthu sīhanādova te abhibhavati evameva aññatitthiyavādā therānaṃ vāde na sahanti, kuto abhibhave, aññadatthu theravādāva te abhibhavanti" (Sebagaimana sekawanan hewan tidak dapat menandingi auman singa, apalagi melawannya, dan sebaliknya auman singa akan mengalahkan mereka, demikian pula pandangan para penganut agama lain tidak dapat menandingi pandangan para sesepuh, apalagi melawannya, dan sebaliknya pandangan para sesepuh akan mengalahkan mereka), sehingga arti Theravada = "doktrin para sepuh"
Doktrin para sepuh yang dimaksudkan adalah ucapan Buddha Gotama dan muridnya yang dihimpun 500 arahat di konsili ke-1, diteruskan melalui hafalan sampai konsili ke-3 jaman raja Asoka, dibawa Mahinda ke Srilanka, diteruskan melalui hafalan dan dilestarikan para Bhikkhu Mahavihara. Inilah Theravada. Menariknya, Xuanzang merujuk Theravada Srilanka sebagai "Theravada Mahayana". Xuanzang tidak menganggap seluruh aliran Nikaya sebagai Hinayana, tapi Ia menganggap Lokottaravada dari aliran Mahasanghika sebagai Hinayana, terlepas bahwa banyak elemen Mahayana ditemukan dalam biograpi Buddha, Mahavastu, aliran Lokkottaravada. [↑]


ASOKA - DINASTI MAURYA
Tradisi Buddhis Utara/Sarvastivada, pada 2 teks Vasumitra (100-200 M), Shibabu-lun [Risalah 18 aliran] dan Buzhiyi-lun [Risalah aliran-aliran]:
  1. menurut translasi Paramaartha (499-569 M): "116 TAHUN setelah wafatnya Bhagawan Buddha ... Terdapat sebuah negara yang besar bernama Paataliputra yang rajanya bernama Asoka memerintah Jambudviipa" [T 49 No. 2033, hal. 20a. juga No. 2032, p. 18a]

  2. menurut tripitaka versi Tiongkok, jaman dinasti Song, Yuan, Ming, dan Qing untuk Buzhiyi-lun: Penobatan Asoka menjadi raja adalah 160 TAHUN setelah wafatnya Buddha [misal: T 49, No. 2033, p. 20, note 7; Qian-long (Qing dynasty) vol. 102, No. 14, p. 468], namun Shibabu-lun pada edisi yang sama: 116 TAHUN.
Menurut Bhavya (abad ke-6), di kanon Tibet, Sde-pa tha-dad-par byed-pa da"n rnam-par b"sad-pa/Nikaayabheda-vibha'nga-vyaakhyaa [risalah perpecahan aliran]: 160 TAHUN di beberapa edisi kanon Tibet dan juga: 116 TAHUN di edisi-edisi lainnya.

Contoh translasi BAREAU untuk versi Narthang (1741-42 M) dan Peking (1724 M): "160 TAHUN (lo-brgya-drug-cu, Edisi Peking Tripitaka Tibet, vol. 127, No. 5640, p. 253, lembar daun 1, baris ke-3) telah berlalu sejak Buddha parinibbana, pada waktu itu, ketika raja bernama Dharmaa’soka memerintah di kota bernama Kusumapura, di sana berkembang pertikaian hebat dalam sangha sebagai konsekuensi kemunculan variasi pokok-pokok kontroversi" [Andre BAREAU, "Trois traites sur les sectes bouddhiques attribues a Vasumitra, Bhavya et Vinitadeva: Deuxieme partie", Journal asiatique 244 (1956), hal. 167-8. Translansi ke Perancis. Cf. BECHERT (1989), hal. 107-8].

Menurut translasi Watanabe untuk versi tripitaka Tibet Derge (1744 M): 116 TAHUN. [Watanabe Zuigan, versi Tripitaka Jepang, Osaki Gakuho, No. 94 (July 1939), hal.71, note 1].

[Diringkas dari: "A Discussion on the Determination of the Date of the Historical Buddha", Choong, Mun-keat (Wei-keat), Journal of Indian History, Vol. LXXVI-LXXVIII, 1997-1999, March, 2004]

Tradisi Buddhis Selatan:
"Genap 218 tahun setelah wafatnya Tathagata (= tahun ke-219), Seorang raja memerintah seluruh Jambudwipa (Tathaagatassa parinibbaanato dvinnam vassasataanam upari athaarasame vasse sakala-Jambudiipe ekarajjaabhisekam paapuni)." [Dipavamsa, VI, pp. 1, 19-20; Mahavamsa, V, p. 21; kitab komentar Vinaya Pali karya Buddhaghosa abad ke 5 M, Samantapasadika, I, pp. 41-42 (cf. Taisho, Tripitaka edisi China (ringkasan T) vol. 24, No. 1462, p. 679c)]. [Diringkas dari: Choong Mun-Keat]
    Pendekatan menurut kronologi raja-raja India dari wafatnya Sang Buddha sampai dengan pemerintahan Asoka [ ("The Cambridge History of India", hal.189 "Mahavamsa: Great Chronicle of Ceylon", Wilhelm Geiger, hal. xlvi):

    Ajatasattu (32 tahun/Mhv 2.31-32, Sang Buddha wafat di tahun ke-8 pemerintahannya/Mhv 2.32 = 24 tahun) + Udayin-Bhadda (16 tahun/Mhv 4.1) + Anuruddha dan Munda (8 tahun/Mhv 4.2-3) + Nagadasaka (24 tahun/Mhv 4.4) + Shisunaga (18 tahun/Mhv 4.6) + Kalasoka (28 tahun/Mhv 4.7) + 10 keturunan Kalasoka (22 tahun/Mhv 5.14) + Nanda dan turunannya/9 Nanda (22 tahun/Mhv 5.15) + Candragupta (24 tahun/Mhv 5.16-18) + Bindusara (28 Tahun/Mhv 5.18) + Asoka dinobatkan (tahun ke-5 setelah Bindusara wafat. Mhv 5.22: setelah berlalu 4 tahun). Total 24 + 16 + 8 + 24 + 18 + 28 + 22 + 22 + 24 + 28 + 5 = 219 tahun

    Pendekatan menurut kronologi raja-raja Srilanka, di mana saat Vijaya mendarat di Srilanka adalah saat Parinibbananya sang Buddha (Mhv 6.47; Dipv 9.21-22) sampai dengan pemerintahan Asoka:

    Vijaya (memerintah 38 tahun/Mhv 7.74 + masa peralihan 1 tahun (Mhv 8.5) + Panduvasudeva (30 tahun/Mhv 9.25) + Abhaya (20 tahun/Mhv 10.52) + masa peralihan 17 tahun (Mhv 10.105) + PanduKabhaya (70 tahun/Mhv 10.106) + Mutasiva (60 tahun/Mhv 11.4, wafatnya di tahun ke-17 Asoka/Dipv 11.13). Total 38 + 1+ 30 + 20 + 17 + 70 + 60 = 236 tahun - tahun ke-17 = 219 tahun

    Raja-raja Srilanka selanjutnya sampai tahun ke-500 wafatnya sang Buddha (Mahavamsa, Geiger, Introduction, hal.xxxvi - xxxvii):

    Devānampiyatissa (40 tahun - Dipv 17.92 dan Mhv 20.38. Ia memerintah di tahun ke-18 Asoka) sampai dengan Raja Elara (Mhv: total 146 tahun). Maka 236 + 146 = 382 tahun.
    Tahun ke-18 Asoka (tahun ke-237 wafatnya asoka) = tahun Devanampiyatissa menjadi raja, Ia dinobatkan 2x (MhV 11.40, 42; Dipv 11.13-14, 39, 17.78), 1 bulan setelah penobatan ke-2 Devanampiyatissa, Mahinda sampai Srilanka (Mhv.13.18, Dipv 11.39-40). Tahun ke-6 Mahinda menjadi Bhikkhu [Mhv 5.209]. Saat Mahinda diutus Moggaliputtatissa, Ia telah 12 tahun menjadi Bhikkhu (Mhv 13.1-2), sehingga tahun ke-6 + 12 = tahun ke-18 Asoka. Mahinda dari sejak di utus sampai ke Srilanka adalah setelah 6 bulan berlalu (Mhv 13.5). Raja Devānampiyatissa memberikan taman Mahameghavana kepada Mahinda (Mhv 15.25-26) yang kemudian menjadi Mahavihara (Mhv 15.214). Mahavihara berdiri pada tahun ke-237 setelah wafatnya sang Buddha.
    Dutthagamani - Maharattaka (Mhv: 57 tahun 1 bulan 11 hari). Total = 382 + (57 tahun 1 bulan 11 hari) = 439 tahun 1 bulan 11 hari.
    Vattagamani/Valagambha - Anula (Mhv 60 tahun 3 bulan). Raja Vattagamani Abhaya (atau Valagambha) memerintah 2x, yang ke-1: 5 bulan (Mhv 33.37), diselingi pemerintahan 5 Damila selama 14 tahun 7 bulan (Mhv 33.56-61), setelahnya Vattagamani memerintah untuk ke-2x. Jadi mulainya pemerintahan ke-2 Vattagamani = 439 tahun 1 bulan 11 hari + (15) = 454 tahun 1 bulan 11 hari. Vattagamani memerintah 12 tahun, jadi berakhir di tahun ke-466 1 bulan 11 hari setelah parinibbananya sang Buddha.
    Di Inskripsi Gal-vihara, Polonnaruva tertulis: "454 tahun berlalu (sejak Parinibbana Buddha) memerintah Raja Valagambha" [Epigraphia Zeylanic, vol.2, 1928, no.41 hal.256-283, baris 4-9].
    Vihara Abhayagiri dibangun Vattagamani pada tahun ke-217, bulan ke-10 hari ke-10 setelah berdirinya MahaVihara [Mhv 33.80-81], sehingga 237 + (217 tahun 10 bulan 10 hari) = 454 tahun 10 bulan 10 hari. Vihara Abhayagiri berdiri 454 tahun 10 bulan 10 hari setelah wafatnya sang Buddha.
    Dari Pemerintahan ke-2 Vattagamani - Anula = 454 tahun 1 bulan 11 hari + (45 tahun 3 bulan) = 499 tahun 4 bulan 11 hari.
Asoka wafat setelah memerintah 37 tahun lamanya (Mhv 20.6, Dipv 5.101), sehingga 256 tahun telah berlalu sejak parinibbananya sang Buddha

Penemuan arkeologi Inskripsi-Inskripsi di atas batu tentang Devanampiya Piyadasi raja Magadha, Asoka:
terdapat sekurangnya 19 inskripsi berupa pilar batu dengan tinggi ± 12 – 15 Meter dan berat: ± 50 ton, 14 inskripsi pada batu yang besar dan beratnya bervariasi [“Asoka Maurya - His attitudes towards reformist sects of Jainas, Ajivikas and Buddhist as reflected in his Dhamma Edict?”, Bipin Shah].
  1. Inskripsi maklumat batu di Maski, tahun 1915, di baris pertama, tertulis "Devanampiya asokasa", dilanjutkan dengan kalimat, "Selama 2.5 tahun Saya sebagai umat awam.....Aku menemui (upagate)...Sangha...jambudwipa". pada Inskripsi Bhabru/Bairat, tertulis kalimat "Piyadasi laja magadhe sangham abhivademanam" (Raja Magadha yang ramah menyampaikan hormat pada Sangha'). Kata “Piyadassi” yang merujuk pada Asoka, tercantum dalam text Dipavamsa 6.1-18. Seluruh rangkaian ini, menegaskan bahwa Inkripsi-inkripsi yang ditemukan dengan memuat kata devanampiya dan piyadasi adalah memang merujuk pada Asoka, sehingga keberadaan Asoka adalah nyata

  2. Maklumat kecil batu I, yang ditemukan di 3 tempat (Brahmagiri, Rupanath dan Sahasram) terdapat tulisan angka "256":

    Brahmagiri: Iyam cha savan(e) sav(a)p(i)te vyuthena 200 50 6
    Rupnath: V(y)uthena savane kate 200 50 6 sata vivasa ta (atau ti)
    Sahasram: Iyam (cha savane v)ivuthena duve sapamnalatisata (atau dve satpancasaratrisate?) vivutha ti 200 50 6

    Tentang arti angka 256 yang tidak berisi petunjuk apakah itu sebagai tahun, hari atau orang:

    Geiger menuliskan bahwa Buhller dan fleet menyatakan sebagai “tahun” (256 tahun berlalu sejak nirwana), F.W Thomas menyatakan sebagai "hari” (256 hari), dengan mengartikan "lati" = "ratri" = malam. Geiger (dan bisa jadi, seluruh para ahli bahasa serupa) menyatakan: Fleet dan Buhler pastinya tahu ada kata “lati” dan mereka temukan bahwa konteknya tidak tepat untuk diterjemahkan demikian (Mahavamsa, Geiger, introduction, xxvii-xxviii. Sample ahli yang juga menolak ide bahwa kata lati = ratri, misal: ”Asoka”, Mookerji Radhakumud, hal. 114-115, cat kaki 3).

    Fleet menyampaikan: Nama-nama ahli-ahli bahasa, selain Buhller yang mengartikan sebagai “256 tahun”, nama para ahli lain yang menterjemahkan sebagai “256 hari” atau “256 orang” atau “256 kali”. Ia memahami bahwa tidak ada kata “tahun” (juga tidak ada kata hari atau orang atau kali) di inkripsi-inkripsi tersebut, namun kemudian, Ia menjadi bersepakat penuh dengan Buhller, dengan alasan bahwa penulisan angkat tahun namun tidak menyebutkan kata “tahun” adalah lazim dilakukan para ahli pali ketika menuliskan tahun karya mereka, Ia mengambil contoh Paññāsāmi (seorang ahli pali dan buddhis dari Burma, tahun 1861), dalam karyanya “Sasanavamsa” atau “Sasanavamsappadipika”, menuliskan tanggal selesai karyanya dengan kalimat, “Dvi-sate cha sahasse cha tevis-adhike gate punnayam Migasirassa nittham gata va sabbaso (Ini telah diselesaikan dalam menghormati purnama bulan Migasira, yang telah berlalu 1223) tanpa menambahkan kata “tahun” namun jelas yang dimaksudkan adalah “1223 tahun” dan bukan hari atau lainnya [“The Date of Buddha's Death, as Determined By a Record of Asoka”, J.F. Fleet, I.C.S.(Retd.), Ph.D., C.I.E. Journal of The Royal Asiatic Society, hal. 1-26, 1904].

    Kata 256 ini menjadi bahan kontroversi menarik karena 219 (tahun penobatan) + 37 (lamanya memerintah ref Mhv 20.6, Dipv 5.101) = 256 tahun berlalu sejak parinibannya sang Buddha

  3. Kemudian, Inskripsi maklumat Asoka pada pilar batu ke-13 (girnar dan kalsi), tertulis, “Yatra Aṃtiyoko nāma Y[o]na-raja paraṃ ca tena Atiyok[e]na cature 4 rajani Turamaye nama Aṃtikini nama Maka nama Alikasudaro nama” (Disana ada Yunani, rajanya bernama Antiochos, lebih jauh lagi ada 4 raja yang bernama Ptolemy, Antigonos, Maga dan Alexander)

    Antiochos II Theos (261 - 246 SM), Ptolemy II Philadelphos (285 - 247 SM), Antigonos Gonatos (278(1)/276(2) SM - 239 SM), Maga (300 - 258/wafat sebelum 250(2)(3) SM) dan Alexander of Epirus (272 - 258/255(2) SM) atau Alexander of Corinth (252 - 244 SM)

    [Sumber: (1)”The Edicts of King Asoka an English rendering“,Ven. S. Dhammika, 1994; (2) “Early Buddhist Transmission and Trade Networks: Mobility and Exchange Within and Beyond the Northwestern Borderlands of South Asia”, Jason Neelis , hal .82, cat kaki no.52; (3) Magas of Cyrene, cat kaki no.7]

    Irisan tahun kehidupan 4 raja tersebut berada pada dikisaran 260 SM s.d 256 SM. Pilar ini dinyatakan buatan tahun 256 SM (catatan kaki no.25), yaitu tahun pemerintahan Asoka ke-12 (“The Past Before Us”, Romila Thapar, hal.390, cat kaki no.14) atau ke-13 (“Early Buddhist Transmission and Trade Networks:..”, Jason Neelis, hal.82, Cat kaki no.52)

    Setelah 37 tahun memerintah (Mhv 20.6, Dipv 5.101), yaitu tahun ke-256 tahun setelah Buddha parinibana, Asoka wafat. Tahun 233/232 SM sebagai tahun wafatnya Asoka, disampaikan oleh ROMILA THAPAR dalam "Aśoka and the Decline of the Mauryas", 1980, hal.51
Purana Hindu:
Bhavishya Purana, DINASTI: Shishunaga - Nanda - Maurya - Shunga

Dinasti Shishunaga:
Dinasti Shishunaga (40 tahun) + Kakavarna (Geiger dan Jacobi menyatakan kakavarna (warna gagak) dan kalasoka (asoka hitam) orang yang sama tapi beda nama: 36/26 tahun) + Ksemadharman (20/36 tahun) Ksemajit/Ksatraujas (40/24 tahun) + Bimbisara (28 tahun) + Ajatashatru (25/27) + Darsaka (22/24 tahun) + Udayin (33 tahun) + Nandiwardana (40 tahun) + Mahanandin/Mahananda (43 tahun) = 328 tahun(1) atau 321 tahun(2)

Mulai Ajatasatru (setelah dikurangi 8 tahun saat wafatnya Buddha) s.d akhir dinasti = 155 tahun(1)/159 tahun(2)

Dinasti Nanda:
Mahapadma Nanda (Visnu Purana: 28 Tahun/Matsya dan Bhavishya Purana: 88 Tahun) + ke-3 anaknya (12 tahun) = 40/100 tahun. (Ada GAP 60 Tahun, Sumber Visnu Purana, lebih dekat ke versi Buddhis/Jain)

Dinasti Maurya:
Chandragupta (24 tahun) + Bindusara (25 tahun) + ASOKA (36 tahun) + Kunala (8 Tahun) + Bandupalita (8 Tahun) + Indrapalita (10 Tahun) + Devavarmana (7 tahun) + Shatadanu (7 Tahun) + Brihadratha (12 tahun) = 137 tahun
Sampai Asoka = 24+24 = 49 Tahun
Ajatasatru - Asoka = 155/159+40/100+ 49 = 244/308 Tahun.
Asoka - Akhir dinasti Maurya = 88 Tahun

Dinasti Shunga:
Pushyamitra, ex-jendralnya Brihadratha (36 tahun) + Agnimitra (8 tahun) +...
    Note:
    (1) "Bhavishya Purana", B.K. Chaturvedi, hal.65
    (2) "History of Ancient India", Rama Shankar Tripathi, hal.113.
    Tentang Darsaka,
    Bhasvishya Purana dan Chaturvedi TIDAK menyebutkan berapa lama pemerintahannya namun Chaturvedi menuliskan mulai dari Ajatasatru s.d berakhirnya dinasti = 163 tahun, sehingga Ia memerintah selama 22 tahun. Rama Shankar juga TIDAK menyebutkan lama pemerintahan Darsaka. Literature belakangan, yang menyebutkan adanya pemerintahan Darsaka adalah di Vasavadattanya-nya Bhasa (abad ke-3 Masehi), namun tidak menyebutkan berapa lama Ia memerintah dan diambil dari purana mana. Jadi angka 24 tahun adalah hasil perkiraan para Pengarangnya. Baik literature Buddhism dan Jain, TIDAK menyatakan Darsaka memerintah setelah Ajatasatu.
Karena di Buddhis dan Jain tidak ada nama Darsaka setelah Ajatasatru dan TIDAK semua Purana memuat nama Darsaka, juga nama dan tahun kehidupannya berasal dari literature belakangan, juga 2 litratur purana (Bhavisya/Matsya vs Vayu) untuk Mahapadma Nanda, berselisih 60 tahun, jika ini dikoreksi 22/24 tahun + 60 tahun = 82/84 tahun, maka jumlah tahun wafatnya Buddha sampai Asoka menjadi raja = 222 tahun /224 tahun. Purana juga menyatakan bahwa Asoka memerintah 36 tahun, maka total jumlah tahun berlalu hingga wafatnya Asoka adalah 258 - 260 tahun.

Angka ini TIDAK JAUH berbeda dengan kronologis tahun versi Buddhis Selatan dan juga versi inkripsi-inkripsi yang ditemukan yang menyatakan kisaran 256 tahun berlalu sejak Parinibbananya sang Buddha.

Penanggalan yang digunakan oleh Asoka, seharusnya adalah kalender lunar bukan luni-solar: "..Semua negara Buddhis menggunakan kalender lunar hingga abad ke-19, ketika digantikan oleh kalender Gregorian Barat..." ["Guide To Buddhism A To Z": CALENDAR], penanggalan lunar 1 tahun terdiri dari 360 hari, telah berlangsung sebelum Buddhisme, jaman Sang Buddha dan pasca jaman Buddha, misalnya:
  1. "...30 hari dan malam membentuk 1 bulan, dan 12 bulan membentuk 1 tahun" (Mahabharata 12.231.12-13)
  2. "Dibentuk dengan 12 jari-jari, oleh lamanya waktu, tidak melemah, roda ini berputar mengelilingi surga, Ketertiban. Di sini, didirikan, bergabung berpasangan, 700 Putra dan 20 berdiri, O Agni". [Rig Veda 1.164.11], sehingga 720/2 = 360 hari dalam 12 bulan.
  3. Buddhisme dalam menghitung vassa/tahun, misalnya: "Tāya rattiyā tiṁsarattiyo māso. (30 hari membentuk 1 bulan), Tena māsena dvādasamāsiyo saṁvaccharo (12 bulan membentuk 1 tahun)" [AN 8.42, DN 21, AN 3.70]
  4. Contoh penggunaan hitungan menurut bulan di Prasasti Kedukan Bukit, Sumatera Selatan (683 M): "..ekādaśī śuklapakşa vulan vaiśākha ḍapunta hiyaṁ nāyik di sāmvau.." (pada hari ke-11 bagian terang bulan waisak hyang dapunta menaiki sampan) .."vulan jyeşţha ḍapunta hiyaṁ maŕlapas dari Miṉāṅkā" (Di bulan jyestha hyang Dapunta berangkat dari Minanka) .. "sukhacitta di pañcamī śuklapakşa vula[n āsāḍha]" (sukacita di hari ke-5 bagian terang bula[n asadha])
Sehingga, tahun lunar ke-256 wafatnya Asoka = 252, 5 tahun luni-solar, maka wafatnya Buddha: 252,5 + 232 SM = 484.5 SM dan umur sang Buddha yang 80 tahun lunar = 78,9 tahun luni-solar, oleh karenanya, Buddha lahir di tahun 563,4 SM. [Detail lainnya di BLOG INI]

Dhamma sejati lenyap pada 500 tahun lunar (pañceva..vassasatāni = 30 hari x 12 x 500 = 180.000 hari atau ±493 tahun 67 hari luni-solar), Mahapajapati Gotami ditahbiskan sekitar tahun ke-21/22 ke-Buddhaan atau 23/24 tahun sebelum Sang Buddha Parinibbana, jadi 256 tahun + 23/24 tahun = 279/280 tahun lunar telah berlalu hingga wafatnya Asoka (atau 275/276 tahun luni-solar) dan berakhirnya Dhamma sejati dan penghidupan BRAHMA sesuai dhamma-vinaya, terjadi dikisaran tahun 15/14 SM (275/276 + 232 SM – 493 tahun).

Konsili ke-3,
Penemuan arkeologi di beberapa inskripsi pilar Saranath-Kosambi-Sanchi jaman Asoka, menyampaikan pernah terjadi perpecahan dalam Sangha dan telah dibuat bersatu dijamannya ("Asoka", D.R. Bhandarkar,R. G. Bhandarkar, hal.91-94; Terjemahan Inskripsi dari "Sects & Sectarianism", Bhikkhu Sujato)
    Sangha bhikkhu dan bhikkhuni telah dibuat bersatu.
    Sepanjang anak-anak dan cucu-cucuku masih hidup, dan sepanjang matahari dan bulan masih bersinar, siapa pun bhikkhu atau bhikkhuni yang memecah belah Sangha akan memakai jubah putih dan tinggal di luar vihara
    Apakah keinginanku?
    Agar kesatuan Sangha akan bertahan lama.


    ’Raja Aśoka,
    Minor Pillar Edict, Sāñchī
Beberapa teks tradisi Buddhis Utara menyatakan alasan perpecahan aliran diakibatkan oleh bhikkhu tertentu yang menyampaikan 5 point (pañca-vastūni/gzhi lnga) dan nama Bhikkhu yang dituduhkan adalah "Mahadeva", misal:
  1. "San louen hiuan yi" karya Ki-tsang (aliran Mahayana, berdasarkan karya Paramartha, juga dari Mahayana), yang merupakan kitab komentar dari "Samayabhedoparacanacakra (T 2031, Vasumitra)": Pemicu menjadi Mahasamghika dan Sthavira karena aktivitas Mahadeva yang menambahkan 5 point (pañca-vastūni) dan MEMASUKAN sutra MAHAYANA ke dalam TRIPITAKA

  2. "Samayabhedoparacanacakra (T 2031, Vasumitra)", Sarvastivada, menyebut keberadaan Mahayana dan Kumarajiva (abad ke-5 M): Bhikkhu yang menyampaikan 5 point (pañca-vastūni): Mahadeva, yang menerima: Aliran Mahasanghika, yang menolak: aliran Stravira, terpecah menjadi 18 aliran, dari Mahisangjika: 7 dan dari Sthavira: 11, total termasuk Mahasanhika dan Sthavira adalah 20. ["Mahasamghika Origins: The Beginnings of Buddhist Sectarianism", hal.247]. Terdapat 3 terjemahan kitab ini, (i) 'Shi-pa' pu' lun, entah oleh Kumarajiva (401-413) atau Paramartha (546-569). (ii) Pu' chi-i-lun, Paramartha dan (iii) I-pu'-tsung-lun, Xuanzang (662) [“Buddhist Sects in India”, Dutt, Introduction].

  3. "Abhidharma Vibhāṣā Śāstra (T 1546, Vasumitra)", Katyāyāniputra (迦旃延子), Sarvastivada: Nama Bhikkhu yang menyampaikan 5 point (pañca-vastūni): Mahadeva, yang menerima: Mahasanghika, yang menolak: Sarvastivadin ["Mahasamghika Origins: The Beginnings of Buddhist Sectarianism", hal.247]. Dalam sastra ini terdapat kata Tripitaka, di Buddhis Utara, Abhidharma sebagai keranjang ke-3, baru muncul setelah konsili di jaman raja Kanishkha abad ke-2 M, sehingga keberadaan Mahadeva, baru ada setelah keberadaan Tripitaka.
Dalam Abhidharma Mahāvibhāṣā Śāstra (T 1545, Vasumitra), terdapat kata Tripitaka, di Buddhis Utara, keberadaan Abhidharma sebagai keranjang ke-3, baru muncul setelah konsili di jaman raja Kanishkha abad ke-2 M, sehingga perpecahan menjadi Sthavira - Mahāsaṅghika versi sastra ini, baru terjadi setelah keberadaan Tripitaka yang dilanjutkan dengan kemunculan Mahadeva, berikut narasinya:
    Di masa lalu, tersebutlah seorang pedagang dari Mathura, yang beristri cantik dan mempunyai anak rupawan bernama Mahadeva. Ayahnya kemudian dalam waktu yang lama, pergi keluar daerah untuk berdagang. Mahadevapun beranjak dewasa. Ia kemudian melakukan inses dengan ibunya, Ketika tahu ayahnya akan datang, karena takut perbuatannya diketahui, Ia membuat rencana dangan Ibunya dan kemudian, Ia bunuh ayahnya. Perbuatannya perlahan terungkap hingga Ibu-Anak pindah ke Pāṭaliputta. Di sana Ia bertemu seorang Arahat, yang dulu, di daerah asalnya, Ia pernah berdana padanya, karena takut perbuatannya terungkap, Ia bunuh bhikkhu itu. Belakangan karena ibunya bersetubuh dengan lelaki lain, Ia bunuh ibunya.

    Hidupnya penuh keresahan, kemudian Ia mendengar bahwa ajaran Buddha mengajarkan Dhamma untuk melenyapkan kesalahan masa lalu. Ia kemudian pergi ke vihara Kukkuṭārāma dan saat itu, seorang bhikkhu yang sedang berlatih meditasi jalan sambil melantunkan syair, “Jika seseorang melakukan kesalahan berat, dengan melakukan kebajikan, Ia membuatnya berakhir, Orang ini menyinari dunia bagaikan bulan yang muncul dari awan”. Ia tertarik dan girang mendengar ini, maka Iapun memohon penahbisan dan Bhikkhu itu menahbiskannya tanpa melakukan pemeriksaan terlebih dahulu akan masa lalunya
    [a] Karena cerdas, tak lama setelah penahbisan, Mahadeva HAFAL SELURUH TRIPITAKA [b] juga trampil dalam berkata-kata, para penduduk Pataliputta menganggapnya pembimbing dan bahkan dianggap Arahat. Karenanya, Raja kerap mengundangnya ke istana untuk berdana dan memohon dhamma. Kemudian, Ia mengajarkan 5 point (pañca-vastūni) kepada para muridnya:

    (1) Ketika Ia mimpi basah, Ia berkata itu terjadi karena gangguan mara yang iri dan bahwa arahat masih memiliki kotoran.
    (2) Arahat masih memiliki ketidaktahuan.
    (3) Arahat dan Pacekka Buddha masih memiliki keragu-raguan.
    (4) Karena muridnya melihat dirinya tidak ingat jalan ketika memasuki kota, Ia berkata Arahat masih belajar dari orang lain dan tidak dapat mengetahui dengan sendirinya.
    (5) Karena telah melakukan sejumlah besar kejahatan, ketika sendirian di tengah malam, kesalahan membebaninya yang membuatnya tertekan dan takut sehingga seringkali berteriak: “Oh (Aho), betapa menderitanya!”. Ketika ditanya muridnya, Ia berkata bahwa Jalan Mulia dapat dimunculkan dengan meneriakan “Aho betapa menderitanya”
    [c]

    Kemudian, para bhikkhu sepuh di Vihara Kukkuṭārāma satu persatu wafat. Pada hari ke-15, tibalah waktu untuk Upasatha. Giliran Mahadeva untuk mengajarkan Sila. Ia kemudian mengajarkan pandangannya. Saat itu di sangha ada beberapa siswa yang sedang dalam latihan dan telah mahir yang sangat terpelajar, kokoh dalam sila dan seorang yang mencapai Jhana. Ketika mereka mendengar ajaran itu tanpa kecuali mereka waspada dan berkeberatan, mereka mengeritik bahwa hanya seorang bodoh yang membuat statement itu dengan berkata "Ini tidak ditemukan dalam TRIPITAKA" dan kemudian terjadi debat berkepanjangan yang memunculkan kelompok-kelompok hingga berita ini menyebar ke kota, sampai kementrian negara dan tidak kunjung berhenti, Raja mendengar tentang ini kemudian datang dan ikut mendengarkan perdebatan dan menjadi ragu mana yang Ia percayai.

    Raja kemudian bertanya bagaimana menyelesaikannya, Mahadeva berkata bahwa dalam vinaya dikatakan untuk menyelesaikan masalah, seharusnya bergantung pada apa yang dikatakan mayoritas. Raja memerintahkan kedua kelompok Sangha untuk berdiri terpisah
    [d] Kelompok yang tidak setuju adalah kelompok orang mulia, walau tua, jumlahnya sedikit sedangkan kelompok yang setuju adalah kelompok Mahadeva, muda, dan berjumlah banyak. Karenanya mereka Mayoritas. Yang lebih sedikit disebut Sthavira dan yang lebih banyak disebut Mahāsaṅghika, Para orang mulia kemudian meninggalkan vihara Kukkuṭārāma menuju Kashmir dan tinggal di sana. Raja kemudian membangun vihara di Kashmir.. ["Sects and Sectarianism, Bab.5", Jurnal Buddhis Hua-Kang 02 September (hal . 25-65), 1972, Taipei: The Chung-Hwa Institute of Buddhist Studies, "STUDI TENTANG I - PU - TSUNG - LUN - LUN​", Tao - Wei Liang, Juga lihat di: di sini, di sini, di sini dan di sini]

    Note:
    [a] Prosedur STANDAR penahbisan bhikkhu yang telah berjalan RATUSAN TAHUN sebelum konsili ke-3 (dan masih BERJALAN RATUSAN TAHUN kemudian) adalah:

    1. Kehadiran MINIMUM 10 bhikkhu [dengan pengecualian di daerah yang kekurangan Bhikkhu, misalnya pada kasus YM Soma di Avanti boleh 4 bhikkhu + 1 Vinayadhara] dan harus mempunyai masa vassa MINIMUM 10 tahun, terpelajar dan Kompeten untuk menahbiskan
    2. UPAJJHAYA HARUS menyelidiki calon Bhikkhu, yaitu: harus manusia, tidak pernah membunuh: Ibu, ayah, Arahat, melecehkan Bhikkhuni dan banyak lagi yang jika SALAH SATUNYA SAJA atau malah BEBERAPA dari hal itu dilakukan, maka jika Ia belum ditahbiskan maka ia TIDAK BOLEH ditahbiskan, jika IA SUDAH DITAHBISKAN, maka Ia HARUS DIKELUARKAN dari persekutuan.
    3. Setelah ditahbiskan, Ia pun harus tinggal 5 tahun untuk mendapat bimbingan dari Upajjhaya/Achariyanya [Mahavagga, Khandaka ke-1, penahbisan]

    Jadi, bagaimana mungkin dari 10 Bhikkhu yang menahbiskan ini, TIDAK 1 PUN yang menanyakan pertanyaan standar berupa asal-usul calonnya? Sutra juga telah menghinformasikan bahwa di tempat lamanya perbuatan kejinya telah menyebar, maka BAGAIMANA MUNGKIN dari seluruh bhikkhu di Vihara itu TIDAK 1 PUN yang mendengar masa lalunya disebelum, disaat atau disesudah penahbisan bahkan hingga bertahun-tahun kemudian?

    Untuk itu, ada beberapa kemungkinan tentang ini:

    (1) Kisah ini bohong dan/atau
    (2) Mahadeva tidak pernah membunuh ayah, ibu, arahat tersebut dan/atau
    (3) Para bhikkhu di Vihara itu bukanlah bhikkhu karena TIDAK TAHU prosedur standar dalam menahbiskan dan/atau
    (4) Pengarang kisah ini memakai kacamata aturan vinaya alirannya sendiri sebagai dasar mengarang dan menganggap dimasa lalupun terjadi seperti itu.

    [b] Sebelum Abhidhamma/Abhidharma muncul, kitab Buddhisme hanya 2 keranjang (dvepitaka), yaitu Dhamma/Sutta dan Vinaya sebagaimana kerap disebutkan dalam sutta dan vinaya Buddhis Selatan. Kemunculan keranjang ke-3 agar dapat disebut Tipitaka/tripitaka, Untuk Buddhis Selatan, baru terjadi setelah munculnya Abhidhamma pasca konsili ke-3 jaman raja Dhammasoka abad ke-3 SM dan untuk Buddhis Utara, baru terjadi setelah munculnya Abhidharma pasca konsili jaman raja Kanishkha abad ke-2 M. Jadi teks-teks Buddhis Utara dan Selatan yang menyebutkan kata TIPITAKA/TRIPITAKA, teks tersebut, baru dibuat paling cepat setelah KONSILI, oleh karenanya, keberadaan Mahadeva dalam sastra ini, paling cepat terjadi setelah Tripitaka memasyarakat baik di kalangan Buddhis Utara pada abad ke-2 Masehi dan perpecahaan Sthavira-Mahasanghika baru dapat terjadi hanya setelah kemunculan Mahadeva, yang sekurangnya di akhir periode abad ke-2 M

    [c] Theravada memuat bahasan klaim pandangan tentang arahat di KathaVatthu, KV 2.1 s.d KV 2.6. Kathavatthu adalah 1 bagian/kitab Abhidhamma berupa detail point kontroversi saat pembersihan para bhikkhu berpandangan salah di MENJELANG Konsili ke-3. Di Katavatthu, terdapat 2 variasi klaim pandangan untuk topik kata "aho", yaitu: klaim saat memasuki jhana (KV 2.5) dan "aho betapa menderitanya" untuk klaim saat memasuki sang jalan (KV 2.6). Karena Mahadeva dikatakan HAFAL TRIPITAKA, maka 5 poin yang Ia sampaikan di kisah ini, bisa jadi bukanlah ide orsinilnya, namun berasal dari daftar yang telah ada.

    [d] Dari 7 cara penyelesaian perkaran (Adhikarana) di Vinaya, salah satunya melalui suara terbanyak/Yebhuyyasika (lihat di MN 104 untuk aplikasinya) yaitu dengan metoda membisikan di telinga, secara rahasia atau terbuka. Apapun itu, SELALU:

    1. TIDAK DIMUNGKINKAN adanya campur tangan umat awam dalam pelaksanaan urusan kebhikkhuan dan TIDAK DIMUNGKINKAN menyerahkan keputusan penyelesaian perkara kepada umat awam. Penyelenggara kupon suara tetap HARUS Bhikkhu dengan 5 kualitas, yaitu: TIDAK memihak, TIDAK melalui kebencian, kebodohan, ketakutan dan tahu apa yang diambil/tidak. Bhikkhu itu harus diminta kesediannya terlebih dahulu dan kemudian Sangha pun harus diberitahu oleh seorang Bhikkhu lainnya yang berkompeten dan berpengalaman mengenai kesediannya
    2. HARUS MEMENUHI 10 SYARAT SAH, diantaranya: JUMLAH Yang menganut dhamma HARUS lebih banyak dan/atau HARUS PASTI bahwa jika dilakukan maka SANGHA TIDAK AKAN TERPECAH atau TIDAK MUNGKIN TERPECAH dan harus diselenggarakan oleh SANGHA YANG LENGKAP bukan SANGHA YANG TIDAK LENGKAP

    Jadi bagaimana mungkin seorang ahli Tripitaka dan juga kumpulan para bhikkhu terpelajar paham dhamma dan vinaya yang ada dalam kisah ini TIDAK TAHU cara MENYELESAIKAN perkara yang NYATA-NYATA ada di 220 aturan+7 aturan penyelesaian masalah dan juga di MN 104/Samagama?
Menariknya,
teks-teks tradisi Buddhis Utara sendiri, TIDAK KONSISTEN untuk menetapkan nama Mahadeva sebagai pihak yang bertanggung jawab. TERDAPAT BANYAK VARIASI NAMA LAINNYA yang terkait dengan 5 point (pañca-vastūni), misalnya, Nāga (atau Mahāraṭṭha dalam terjemahan Paramārtha), Pratyantika, Bahuśruta, Mahābhadra dan Bhadra (yang kemudian 5 poin ini diadopsi oleh Nāga dan Sāramati/Sthiramati) [“Sects and Schims”, Bhikkhu sujato, Bab 4.1]. Mari kita ambil sebagai sample nama Bhadra dalam 2 teks tradisi Buddhis Utara:
  1. "Nikayabheda vibhanga vyakhyana" karya Bhavya, dari Aliran Sammitiya: Nama Bhikkhu yang menyampaikan 5 point: Bhadra
  2. Dari Tarkajvala: “137 tahun setelah wafatnya Yang sempurna, Di masa Raja Nanda dan Mahāpadma diselenggarakan pertemuan para Arya di kota Pataliputra yaitu YM Mahakasyapa, Mahāloma (SPU tchen-po), Mahātyaga (gtang-ha tchen-po), Uttara (bla-ma) & (Di buku: ini dan ini ada tambahan nama YM Revata) lainnya. Ketika mereka berkumpul, Mara mengambil bentuk Biksu Badra memamerkan mukjizat menentang mereka dan menyampaikan 5 poin yang menyebabkan perpecahan dalam Sangha. Para Sthavira yang bernama Naga, Sthiramati dan Bahuśrutīya mengadopsi pandangan itu dan mengajarkannya (Di buku lainnya nama bahusrutiya/Bahusastra tidak ada dan kalimatnya menjadi: Para Sthavira yang bahusastra (sangat terpelajar) bernama Naga dan Sthiramati). Mereka katakan itu ajaran Buddha. Kemudian sangha terpecah menjadi dua aliran Sthavira dan Mahāsāṃghika. Selama 63 tahun terjadi pertengkaran.
Teks-teks dari tradisi Buddhis Utara sendiri mengalami perpecahan ketika mencoba menyampaikan siapakah bhikkhu x, sang penyampai 5 point.

Moggaliputta vs Upagupta, Tradisi garis ajaran dan Konsili ke-3
  1. Tradisi Buddhis Utara [Divyavadana, Asokavadana, Abad ke-4 M], tentang Perpecahan di aliran Buddha:

    Narasi dari “Śāripūtraparipṛcchā sutra” (T no.1465, buatan anonim) yang meminjam figure sang Buddha yang seolah meramalkan masa depan Buddisme. Di Sutra ini, jumlah aliran adalah 22, sementara Fa-Hien di bab 36 jelas menyatakan frase 18 sekte (tidak menyebutkan rinciannya) (Ch.36, hal.99) tidak menyatakan 22 sekte. Frase '18 sekte' adalah tentang perpecahan dan nama sekte yang hanya muncul pada tradisi Buddhis Selatan. Fa-Hien pergi ke India di tahun 399 M dan kembali di 15 tahun kemudian, yaitu 414 M (Ch.40, hal 115-116) ["A Record of Buddhistic Kingdoms-Fa-Hien", James Ledge, 1886], Di bab 36, Fa-Hien juga menemukan sainan lengkap vinaya Mahasanghika, jadi sutra Sutra Śāripūtraparipṛcchā, tidak dikenal Fa-Hien, selama pengembaraannya di India. Pengelana lainnya, yaitu Xuanzang juga sama, selama 19 tahun mengembara ke India dan kembali di tahun 645 M, Ia hanya menyatakan 18 sekte (Fascicle II, hal.49) tidak menyatakan 22 sekte dan menyebutkan keberadaan Lokottaravada (Fascicle I, hal.31) ["THE GREAT TANG DYNASTY RECORD OF THE WESTERN REGIONS", (Taisho Volume 51. no.2087), 1996], oleh karenanya, sutra ini baru ada sekurangnya mulai abad ke-7 M. Demikian pula dengan pengelana lainnya, yaitu Yijing/I-Tsing yang mengembara ke India dan tempat lainnya, selama 25 tahun (671-695), konsisten mengatakan 18 sekte, tidak menyatakan 22 sekte. ["A record of the Buddhist religion as practised in India and the Malay archipelago", J. Takakusu, 1896, General Introduction, hal.xxiii-xxv, yang diringkas Takakusu dari 'introductionnya Yijing' hal.7-14], oleh karenanya, sutra ini baru ada sekurangnya mulai abad ke-7/8 M:

    Setelah Aku memasuki Parinibbana, Mahākassapa..meneruskan kepada Ānanda. Ānanda → Majjhantika → Śāṇavāsin → Upagupta. [a]

    Setelah Upagupta terdapat raja Maurya Aśoka.. Cucunya bernama Puṣyamitra. Ia naik tahta...[b]

    [berikutnya diceritakan Puṣyamitra menghancurkan dan menindas Buddhisme, seperti yang diterjemahkan Lamotte, “History of Indian Buddhism”, hal.389-390. Yaitu 500 Arahat diperintahkan Sang Buddha untuk tidak memasuki Nibbana, tetapi berdiam di alam manusia untuk melindungi Dharma. Ketika Puṣyamitra hendak membakar teks Sutta-Vinaya, Maitreya menyelamatkannya dan menyembunyikannya di surga Tusita] [c]

    Sifat raja berikutnya sangat baik [d]. Boddhisattva Maitreya.. menciptakan 300 orang pemuda yang turun ke alam manusia untuk mencari jalan Buddha. Mengikuti ajaran Dhamma 500 Arahat, Para pria dan wanita di negeri raja ini berbondong-bondong memohon penahbisan. Demikianlah para bhikkhu dan bhikkhuni kembali ada dan berkembang. Para Arahat pergi ke alam surga dan membawa Sutta dan Vinaya kembali ke alam manusia [e]

    Pada saat itu, ada seorang bhikkhu bernama “Bahuśruta”, memohon pendapat pada para arahat dan raja, bermaksud untuk membangun sebuah paviliun untuk Sutta-Vinaya-Ku, dengan membuat sebuah pusat pendidikan bagi mereka yang bermasalah

    Pada saat itu ada seorang bhikkhu sepuh yang menginginkan kemashyuran, selalu ingin mempertahankan pandangannya sendiri. Ia mengubah, menambah dan memperluas Vinaya-ku, suatu yang dikembangkan Kassapa yang disebut “Mahāsaṅghikavinaya”. Ia mengambil dari luar dan mencampurkanya dengan yang ada, para pemula menjadi tertipu. Mereka membentuk kelompok berbeda, masing-masing membahas apa yang benar dan salah


    Pada saaat itu, ada seorang bhikkhu yang memohon putusan raja. Raja mengumpulkan dua kelompok itu, menyiapkan potongan kayu berwarna hitam dan putih untuk voting dan mengumumkan kepada mereka: ‘Jika kalian menyukai Vinaya lama, ambillah kayu hitam. Jika kalian menyukai Vinaya baru, ambillah kayu putih’. Yang mengambil kayu hitam berjumlah 10.000, hanya 100 yang mengambil kayu putih. Raja menganggap bahwa itu semuanya kata-kata Sang Buddha, tetapi karena berbeda dalam hal yang disenangi mereka seharusnya tidak berbagi tempat tinggal yang sama. [f] Mayoritas yang melatih diri dengan (vinaya) lama karenanya disebut (1)‘Mahāsaṅghika’. Minoritas yang melatih diri dengan (Vinaya) baru adalah para Sesepuh, sehingga mereka disebut ‘Sthavira’. Juga, Sthavira dibentuk, aliran (2) Sthavira [g]

    300 tahun setelah wafat-Ku, dari perselisihan ini muncul:

      (3) Sarvāstivāda dan (4) Vātsīputrīya [Puggalavādin]
      Dari Vātsīputrīya muncul aliran (5) Dharmottarīya, aliran (6) Bhadrayānika, aliran (7) Saṁmitīya, dan aliran (8) Ṣaṇṇagarika.
      Dari aliran Sarvāstivādin memunculkan aliran (9) Mahīśāsaka, Mù qián luó yōu pó tí shě (目揵羅優婆提舍) [h] memunculkan aliran (10) Dharmaguptaka, aliran (11) Suvarṣaka, dan aliran Sthavira. Lagi muncul aliran (12) Kaśyapīya dan (13) Sautrantika.

    Dalam 400 tahun muncul aliran (14) Saṁkrāntika.

    Dari aliran Mahāsaṅghika, 200 tahun setelah Nibbana-Ku [i], karena pendapat lain muncul aliran (15) Vyavahāra, (16) Lokuttara, (17) Kukkulika, (18) Bahuśrutaka, dan (19) Prajñaptivādin

    Dalam 300 tahun, karena perbedaan dalam pengajaran, dari 5 aliran ini muncul: aliran (20) Mahādeva, aliran (21) Caitaka, aliran (22) Uttara [śaila]

    Demikianlah terdapat banyak [aliran] setelah suatu periode kemunduran yang panjang. Jika tidak seperti ini, akan terdapat hanya 5 aliran, yang masing-masing berkembang.[j] ["Sects and Sectarianism", Bhikkhu Sujato, bab.4.3]
    -----------

    Note:
    [a] Tradisi garis leluhur ajaran di teks-teks Sanskrit Buddhis Utara sendiri TIDAK KONSISTEN, walaupun sama-sama mulai dengan kalimat "100 tahun setelah Parinibbana sang Buddha", misalnya teks aliran Sarvastivadin:

    "mama varṣaśataparinirvṛtasya mādhyandino nāma bhikṣur bhaviṣyaty ānandasya bhikṣoḥ sārdhaṃvihārī..mādhyandino nāmnā ānandasya bhikṣoḥ sārdhaṃvihārī sa upaguptaṃ pravrājayiṣyati" [mūlasarvāstivāda vinaya, khandhaka, Bhaiṣajyavastu] atau di "A-yu-wang-Chuan"/Asokarajavadana, terjemahan SanghaBadra, 506 M menyatakan: Majjhantika/mādhyandina yang menahbiskan Upagupta ["Buddhist Sects in India", Dutt, hal.127].

    Di sini: Ananda → Madhyandino → Upagupta

    Sementara teks lainnya:
    "eṣa ānanda rurumuṇḍo nāma parvataḥ atra varṣaśataparinirvṛtasya tathāgatasya śāṇakavāsī nāma bhikṣurbhaviṣyati so ’tra rurumuṇḍaparvate vihāraṃ pratiṣṭhāpayiṣyati, upaguptaṃ ca pravrājayiṣyati" [Divyavadana no.26/pāṃśupradānāvadānam].

    Di sini: Ananda → Sanakavasin → Upagupta

    Sementara,
    Tradisi garis penahbis yang seharusnya adalah:
    Belatthasisa (dari kelompok Uruvela Kassapa) → Ananda → 6 Thera Konsili ke-2. Pembimbing/Achariya Ananda adalah Sang Buddha sedangkan upajjhayanya Ananda BUKANLAH Mahakassapa melainkan Belatthasisa.

    Jadi Ananda bukanlah penerus Mahakasyapa

    [b] Konon, Upagupta adalah kepala sangha di Mathura pada jaman Asoka. ["Buddhist Sects and Sectarianism", Bibhuti Baruah, hal.51] dan Konon dikatakan bahwa Ia adalah pendiri Sarvastivada ["Buddhism: A Modern Perspective", Charles Prebish, hal.42-43] serta konon juga, Asoka menjadi Buddhis adalah karena biksu Balapandita/Samudra dan kemudian biksu Upagupta menjadi gurunya. Semua legenda tentang Upagupta hanya ada dalam tradisi Buddhis Utara dan berasal dari kitab-kitab yang muncul JAUH SETELAH konsili ke-3.

    Upagupta VS Mara: Di konsili ke-3 atau Bukan?
    Kitab lokadipani/lokappannatti (karya Saddhammaghosa, abad ke-11 Masehi) yang beredar di Burma, Laos dan Thailand yang diterjemahkan oleh Phra Dhammadhiraja mahamuni (Abad ke-20) membuat legenda itu TERKAIT dengan pelaksanaan konsili ke-3 namun hasil penelitian John Strong menyatakan sebaliknya bahwa legenda itu TIDAK TERKAIT dengan konsili ke-3.

    Episode di legenda itu adalah tentang sebuah festival megah yang akan diselenggarakan Raja Asoka sehubungan dengan temuan relik-relik Buddha di dalam stupa-stupa yang dulu dibangun Raja Ajatasatru. Relik-relik itu dijaga sekawanan robot mekanik galak buatan Roma yang akan menyerang siapapun yang mencoba masuk. Oleh karenanya Raja Asoka harus menemukan mekanik ahli yang dapat melumpuhkannya dan untuk mengantisipasi gangguan Mara saat berlangsungnya festival relik, Raja Asoka memohon petunjuk sangha, kemudian seorang samanera sakti menganjurkan Raja agar meminta bantuan Kisanaga Upagupta ["The Legend and Cult of Upagupta: Sanskrit Buddhism in North India and Southeast Asia", John Strong, Ch 9. Lokapannati].

    Informasi John Strong dalam episode UPAGUPTA vs MARA di Lokapannatti ADALAH SELARAS dengan legenda-legenda lain tradisi Buddhis Utara tentang Upagupta untuk episode yang sama.

    Dinasti Maurya atau Dinasti Shunga?
    Pushyamitra BUKAN cucu Asoka namun senapati raja terakhir dinasti Maurya, Brhihadrata, setelah membunuhnya, Pushyamitra mendirikan dinasti Shunga, setelah memerintah 36 tahun, Ia digantikan Agnimitra.

    Pushyamitras-tu senanir-udhritya Sa Brihadratham-Karishyati Sa Vai rajyam- Shattrims'ati sama nripah (Pushyamitra, Panglima Tertinggi, akan mencabut Brihadratha dan memerintah selama 36 tahun - Matsya Purana)
    Tatah Pushyamitrah Senapatih Svaminam hatva rajyam Karishyati (Senapati Pushyamitra akan memerintah setelah membunuh tuannya - Vishnu Purana) [Dari: "HISTORY OF MAGADHA FROM c. 187 B.C. TO A.D. 300", Ray, Murari Mohan, ch.2]

    Jarak Asoka - akhir dinasti Maurya = 37 + 52 = 89 tahun (Jadi, dari wafatnya Sang Buddha hingga mulainya Pushyamitra = 218 + 89 = 307 tahun). Kronologi raja Srilanka dari Devanampiyatissa [memerintah 40 tahun, sejak tahun ke-18 Asoka (Mhv 20.28. Dipv 17.82) = 40 + 19 (37 tahun Asoka -18) = 59 tahun + 30 tahun kemudian (Raja Uttiya - Suratissa (Mhv 20.57-21.3, Dipv 17.93-18.46) = 89 Tahun. Jadi, raja Sri Lanka yang sejaman Pushyamitra: raja Sena, Guttika, Asela dan Elara.

    [c] Klaim penindasan Pushyamitra terhadap Buddhisme berupa penghancuran vihara-vihara dan membunuhi para bhikkhu hanya muncul di tradisi Buddhis Utara (contoh lain di Divyavadana: Ashokavadana) tapi tidak ada di tradisi Buddhis Selatan. Oleh karenanya, di hal. 392, E. Lamotte menyatakan: "Untuk menghakimi lewat teks, Pushyamitra harus dibebaskan karena kurangnya bukti. Namun demikian, seperti yang dikemukakan H. Kern..ada kemungkinan di beberapa daerah, telah terjadi penjarahan vihara, dengan izin diam-diam dari gubernur"

    [d] Setelah Pushyamitra memerintah 36 tahun, raja berikutnya adalah Agnimitra (memerintah 8 tahun). Jadi kronologi perpecahan di Sutra ini, harusnya terjadi pada jaman dinasti kerajaan 'Hindu' Shunga: 307 tahun + 36 tahun = 343 tahun setelah wafatnya Buddha Gotama.

    [e] Dalam pandangan Mahayana, Nibbana dan Parinibbana adalah semacam alam, sementara pada aliran Buddhis Selatan, seorang disebut Arahat adalah karena telah padam (nibanna), ketika arahat ini wafat disebut parinibbana. Jadi, yang diajarkan sang Buddha adalah untuk mengakhiri dukkha/nibanna bukan mencapai alam nibanna, maka bagaimana mungkin sang Buddha malah memberikan perintah agar mereka yang telah padam untuk tidak padam?

    Tidak ada bukti bahwa Sutta dan Vinaya hingga akhir masa Pusyamitra telah DITULISKAN, maka apa yang harus dibakar?, sekurangnya di jaman kedatangan Fa-Hien ke India, ia sebutkan tradisi secara oral masih dilakukan, juga, karena masih ada 500 Arahat, apa perlunya mengambil sutta dan vinaya di surga? Bukankah mereka ini juga dapat menahbiskan dan mengajarkan ke 300 manusia ciptaan agar dapat juga mencapai arahat?

    [f] Penyelesaian masalah kebhikkhuan melalui voting/yebhuyyasika TIDAK DAPAT dilakukan dengan campur tangan umat awam sebagai wasit pemutus karena ini adalah kasus kebhikkhuan BUKAN kasus umat awam yang pura-pura menjadi Bhikkhu, lucunya hasil campur tangan raja Agnimitra, malah menghasilkan perpecahan dalam sangha. Agnimitra adalah raja dari dinasti 'Hindu' Shunga, bukan raja beragama Buddha, tidak ada keperluan baginya untuk mengikuti apa kata Buddha. Juga per sutra ini, perpecahan baru terjadi pada jaman raja 'Hindu' Agnimira, penerus dari Pushyamitra.

    Contoh aplikasi pendapat mayoritas yang diajarkan MN 104/Samagama:

    "Dan bagaimanakah terjadinya pendapat mayoritas? Jika para bhikkhu itu tidak dapat menyelesaikan perkara itu di dalam tempat kediaman itu, maka mereka harus mendatangi tempat kediaman di mana terdapat lebih banyak bhikkhu. Di sana, mereka semuanya harus berkumpul bersama dalam kerukunan. Kemudian, setelah berkumpul, tuntunan Dhamma harus ditetapkan. Begitu tuntunan Dhamma telah ditetapkan, perkara itu harus diselesaikan sedemikian sesuai dengan tuntunan Dhamma itu. Demikianlah pendapat mayoritas. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan penghapusan perkara melalui pendapat mayoritas"

    Juga dalam vinaya tradisi Buddhis Selatan ditegaskan bahwa penyelesaian perkara melalui suara mayoritas HANYA BOLEH digunakan jika tidak membuat perpecahan dalam sangha.

    [g] Penomoran tidak ada dalam sutranya, dilakukan untuk mempermudah menghitung jumlah sekte. Kata "Sthavira" vs "Mahasanghika". Pemakaian kata “Sthavira/Thera (= tua/sepuh dalam masa vassa)” dan “Mahasanghika (= kelompok yang besar jumlahnya baik itu sepuh ataupun tidak)" hanyalah penamaan untuk membedakan dan tidak ada hubungannya dengan perbedaan pandangan-pandangan aliran. Di perkembangan selanjutnya, ini kemudian menjadi pembeda aliran, yaitu mereka yang belatih vinaya dan sutta dari konsili ke-1 dan 3 disebut aliran para sepuh atau Sthavira/Theravada.

    [h] Frase '目揵羅優婆提舍 (Mù qián luó yōu pó tí shě)' menjadi objek spekulasi. B.Sujato secara sfesifik memutuskan translasinya sebagai "Moggaliputtatissa" dan sebagai pemanis, Ia sisipkan 2 arti lain dalam kurung "[atau Moggali-upatissa; atau Moggala-upadeśa]". Tentu saja ada tujuan khusus dari hal ini, yaitu agar ketua konsili ke-3, Buddhis Selatan, "Moggaliputtatissa" tampil sebagai aktor atas kemuculan: Dharmaguptaka, Suvarṣaka, Sthavira. Padahal, frase, "目揵羅 (Mù qián luó)", bukan hanya dapat berarti "moggali atau moggala" juga dapat sebagai "Mokṣa/pembebasan", untuk "優婆提舍 (yōu pó tí shě)" karena ada "you" bukan "pu", maka tidak dapat menjadi "Puttatissa" (Tissa putra dari)" namun "Upatissa atau Upadesa", sehingga "目揵羅優婆提舍 (Mù qián luó yōu pó tí shě)" = "moggalupatissa" atau "moksupadesa/jalan pembebasan", merujuk semacam gelar ketika seseorang ditahbiskan dan "Moggalupatissa" tidak sama dengan "Moggaliputtatissa".

    [i] Perpecahan Mahāsaṅghika yang dikatakan terjadi 200 tahun setelah wafatnya Sang Buddha ini membingungkan, karena menempatkan keberadaan Agnimitra (Penerus Pushyamitra) dikurun waktu 200 tahun setelah wafatnya sang Buddha dan ini tidak sesuai fakta sejarah. Di samping itu, Oleh karena narasi sutra menyebutkan frase 'raja baru' yaitu pasca Pushyamitra, dan perpecahan terjadi di jamannya, maka selama 343 tahun setelah wafatnya Buddha Gotama, tidak ada perpecahan.

    [j] Sang Buddha yang membolehkan Buddhisme pecah menjadi 5 aliran untuk hidup rukun dalam perbedaan adalah membingungkan, karena TIDAK PERNAH sang Buddha menyetujui adanya SANGHABEDHA (perpecahan dalam sangha) dan menyatakan bahwa sangha harus tetap dalam satu kesatuan.

  2. Tradisi Selatan [Dipavamsa/Abad ke-4 M; Mahavamsa dan Samantapasadika/bad ke-5 M]:
    Hubungan antara konsili ke-2 dan konsili ke-3
    Para Thera di konsili ke-2, melihat setelah berlalu 118 tahun, kekisruhan Buddhisme akan terjadi dan seorang anak dari keluarga Bramana Moggali (Moggaliputta) akan menyelesaikannya, maka Siggava dan Candavajji diinstruksikan untuk menemukan dan mendidik anak itu [Mhv 5.95-103].

    Tradisi jalur Vinaya di konsili ke-3:
    Upali (30 tahun) → Dasaka (50 tahun) → Sonaka (44 tahun) → Siggava (55 tahun) dan CandaVajji → Moggaliputta Tissa (68 Tahun) [Mhv 5.104-153 dan Dipv 5.95-99]

    Upali menahbiskan Dasaka. Upali wafat 30 tahun setelah sang Buddha wafat, yaitu di tahun ke-6 pemerintahan UdayaBhadda (Sang Buddha wafat di tahun ke-8 pemerintahan Ajjatasattu + 24 tahun lagi sebelum UdayaBhadda) [Dipavamsa 4.38].
    Saat masa vassa Dasaka 40 tahun [Dipv 5.78] (Upasampada Dasaka tahun ke-16 Vijaya (dari 37 tahun) + tahun ke-20 Pangluvasudeva, Dipv 4.41; 5.77-78), Ia menahbiskan Sonaka.
    Saat masa vassa Sonaka 40 tahun Ia menahbiskan Siggava dan Candavajji. Saat itu adalah 100 tahun Nibannanya Sang Buddha dan 10 tahun pemerintahan Kalasoka (Dipv 4.44-46; 5.78-80).

    Apakah Sonaka = Sambhuta Sanavasin?
    Ketika Sang Buddha telah wafat selama 100 tahun maka Ananda telah wafat selama 60 tahun, Sehingga ketika konsili ke-2 berjalan, Sambhuta Sanavasin sudah bervassa > dari 60 tahun, sementara Sonaka baru 40 tahun (Ia pertama kali bertemu Dasaka saat berusia 15 tahun). Jadi Sonaka TIDAK PERNAH bertemu Ananda dan SONAKA bukanlah Sambhuta.

    Karena 700 yang dipilih Revata di konsili ke-2 adalah Bhikkhu Arahat dan mereka menugaskan murid Sonaka yaitu Siggava dan Candavajji untuk kelak menerima dan mendidik Moggaliputta, Maka Sonaka jelas ikut terlibat dalam Konsili ke-2.

    Kemudian,
    Tradisi Selatan TIDAK MENYEBUTKAN adanya Upagupta di jaman Asoka atau lebih tepatnya TIDAK ADA Upagupta di Jaman Asoka [Buddhist Saints in India: A Study in Buddhist Values and Orientations, Reginald A. Ray, hal.119]. Oleh karenanya, TIDAK ADA PULA PERTEMUAN Upagupta dengan ASOKA dan TIDAK ADA PULA episode UPAGUPTA vs MARA.

    ASOKA dan KONSILI KE-3:
    Catatan Buddhis Utara (sumber China) tentang konsili ke-3 jaman Asoka dibawah pimpinan Moggaliputta Tissa, yang berkesesuaian dengan Mahavamsa dan Dipavamsa, disampaikan "JOURNAL THE ROYAL ASIATIC SOCIETY: ART. X.—Pali Elements in Chinese Buddhism: a Translation of Buddhaghosa's Samanta-pasadika, a Commentary on the Vinaya, found in the Chinese Tripitaka. By J. TAKAKUSU, B.A"

      "Shan-chien-p'i-p'o-sha-lu" (Sudarsana-vibhasa-vinaya) [Nanjio no. 1125] / "I-ch'i-shan-chien-lU-p'i-p'o-sha" [(J.A. 1849, pp. 353-445),Nos. 55, 55°], translator oleh Se'ng-ch'ieh-po-t'o-lo (Samgha-bhadra), samana disnati Ts'i (479-502), tahun translasi 489 M [hal.422-423]

      Text China, Bk. i, fol. 21; Pali (Oldenberg,Vinaya, vol. iii), p. 299.:
      Sekitar 4 tahun pasca wafatnya raja Pin-t'ou-sha-lo (Bindusara), A-yuk (Asoka) membunuh seluruh saudaranya, hanya menyisakan saudara dari ibu yang sama. Setelah 4 tahun, Ia mengangkat diri menjadi raja. ini adalah 218 tahun sejak wafatnya Buddha dimana Raja Asoka menjadi penguasa tunggal di tanah Jambudipa (Yen-fu-li)
      Pali: Te sabbe Asoko attana saddhim ekamatikam Tissakumaram thapetva ghatesi. Gahatento cattari vassani anabhisitto 'va rajjam karetva cattunnam vassanam accayena tathagatessa parinibbanato dvinnam vassasatanam upari attharasame vasse sakala - Jambudipe ekarajjabhisekam papuni [hal.426-427].

      Text China Bk. ii, fol. 1; Pali, p. 306.:
      Mo-shen-t'o (Mahinda) menerima Upasampada saat genap berusia 20 tahun, Upajjhaya-nya Ti-shu, anak dari Mu-chien-lien (Moggaliputta Tissa), Acariya-nya Mo-ho-t'i-p'o (Mahadeva) dan Mo-shan-t'i (Majjhantika). Se'ng-ch'ieh-mi-to (Samghamitta) ditahbiskan menjadi pabbajja diusia 18 tahun dengan Upajjhaya T'ang-mo-po-lo (Dhamma-pali) dan Acariya-nya A-yu-po-lo (Ayupali). [hal.427]

      Text China. Bk. ii, fol. 9; Pali, p. 312:
      . Menjelang konsili agung di Po-ch'a-li-fu (Pataliputta), Asoka memanggil beberapa Bhikkhu dan menanyai mereka satu persatu ... Asoka, sekarang melihat agama telah murni, mengajak para Bhikkhu: Marilah yang mulia, melaksanakan Uposatha (Suddhani bhante dani sasanam, Karotu bhikkhusamgho uposathan ti). Kemudian Moggaliputta Tissa memimpin majelis dengan 1000 Bhikkhu terpilih dan kemudian membantah seluruh doktrin sesat dan penganut pandangan salah" [hal.427-428] ...

    Mahavamsa dan Dipavamsa:
    Mulai tahun ke-3 pemerintahan Asoka,
    Asoka menjadi Buddhis (berlindung pada Tiratana dan memohon sila) setelah bertemu dan mendengar dhamma dari samanera/Calon bhikkhu bernama Nigrodha (ponakannya, anak dari Sumana/Susima) [Mhv 5.72]. Sejak itu, setiap hari, Asoka berdana pada makin banyak Bhikkhu, hingga nantinya berjumlah puluhan ribu [Mhv 5.73], Ia bertemu Moggaliputta Tissa di VIhara dan menyatakan akan membangun 84.000 Vihara di kerajaannya [Mhv.5.78]

    Di tahun ke-4,
    Saudara tirinya (Tissa) dan mantunya (Agnibrahma) menjadi Bhikkhu. [Mhv 5.171-172]

    Di tahun ke-6 (219 + 6 = 225 tahun setelah Buddha Parinibbana) [Mhv 5.209],
    Pembangunan 84.000 Vihara sepatutnya tuntas dalam 3 tahun dan juga Asokaarama, selesai lebih cepat (Mhv 5.173-176). Pada hari ke-7 diadakan Festifal perayaan di seluruh tempat di mana Vihara-vihara itu dibangun. Di hari perayaan, namanya berubah dari Candasoka menjadi Dharmasoka [Mhv 5.176-189] juga 2 anaknya yaitu: Mahinda (Pria, 20 tahun) menjadi Bhikkhu dan Sanghamitta (Wanita, 18 tahun) menjadi Bhikkhuni (wanita yang pernah bersuami walaupun berusia kurang dari 20 tahun, dapat ditahbiskan. Mungkin setelah suaminya, Agnibrahma, menjadi Bhikkhu, Ia bersiap menjadi Bhikkhuni dengan melakukan 6 sila selama 2 tahun, sehingga di hari itu, dapat ditahbiskan). [Mhv 5.200-211; "Asoka", Mookerji Radhakumud, hal.110].

    Ketika Mahinda ditahbiskan: (1) Mahadeva sebagai guru/ācariya (ada 4 jenis ācariya: a. pabbajja-acariya/Guru penahbis ketika menjadi samanera dan yang memberi 10 sila; b. upasampada-acariya/Guru penahbis sebagai Bhikkhu/kamavacariya: pembaca usul dan keputusan saat upasampada; c. Dhamma-acariya/Guru pemberi dhamma; d. nissaya-acariya/Guru bagi bhikkhu baru bergantung selama maksimal 5 tahun); (2) Majjhantika sebagai guru Kammavaca-nya; (3) Moggaliputta Tissa sebagai Upajjhaya-nya (yang melantiknya menjadi Bhikkhu dan pemberi sila kebhikkhuan), saat diupasampada itu, Mahinda menjadi Arahat [Mhv 5.206-207]

    Ketika Sanghamitta ditahbiskan (Mhv 208-209]: [Setelah 2 tahun menjalankan 6 Sila], pertama, ditahbhiskan dihadapan sangha bhikkhuni: (1) Bhikkhuni Ayupala sebagai acariya-nya dan (2) Bhikkhuni Dhammapala sebagai upajjhaya-nya, setelahnya, ditahbiskan dihadapan Sangha Bhikkhu atau langsung ditahbiskan dihadapan dua sangha. [prosedur ini disebut ubhatosaṃghe-upasampadā/Pentahbisan dihadapan dua sangha: AN 8.51 dan Culavagga X di aturan ke-6 aṭṭha garudhamma]. Ia juga menjadi arahat saat itu juga (Mhv 5.208-209]

    Pentahbisan dengan natticatuttha-kammavaca (4 permakluman: 1x usulan/natti + 3x pernyataan permohonan, sample: ..Upajjhaya: "Sekarang saatnya engkau, xxxx, memohon pada sangha untuk mentahbiskanmu". xxxx: "Yang mulia para bhante Saya memohon penahbisan, Saya mohon welas kasih para bhante untuk mengangkatku"-3x..). Jika untuk Bhikkhu dilakukan 1x dihadapan sangha Bhikkhu, namun untuk Bhikkhuni jadi 2x, yaitu pertama dihadapan sangha bhikkhuni dan kemudian dihadapan sangha Bhikkhu.

    Di tahun ke-8,
    Di satu waktu, di arama kerajaan, seorang Bhikkhu Arahat bernama Tissa kakinya digigit binatang beracun, Ia tidak ingin meminta obat ketika waktunya makan pagi, karenanya lukanye menjadi parah dan mengakibatkan kematian, Ia kemudian bersiap untuk Parinibbana dengan mengambil objek panas, tubuhnya melayang di udara, api keluar dari dalam tubuhnya membakar kulit dan dagingnya namun tidak tulangnya, Asoka mengetahui kejadian ini mengumpulkan relik tubuhnya untuk diberi penghormatan. dan kemudian memastikan tersedia juga cukup obat-obatan. Kemudian Adiknya yang juga Arahat (Sumitta) Parinibbananya bahkan dengan meditasi jalan. Karena ini, maka begitu banyaknya orang yang kemudian pindah doktrin keyakinan yang mengakibatnya sangat melimpahnya perolehan untuk Sangha [Mhv V.212-227].

    Setelah tahun ke-8 sampai tahun ke-17,
    Karena makin banyak yang pindah doktrin maka perolehan dan penghormatan yang diterima para petapa doktrin heretik menjadi jauh berkurang, Demi perolehan dan penghormatan, mereka berjubah kuning, menjadi bhikhhu penggelap, tinggal bersama para Bhikkhu di vihara-vihara seluruh negeri, menyampaikan doktrin-doktrin mereka sebagai ajaran Buddha dan mebawa tradisi mereka sebagaimana yang mereka inginkan [Mhv 5.228-230].

    Bhikkhu Moggaliputta Tisa, memperhatikan perkembangan ini, Ia kemudian menyerahkan kumpulan bhikkhu yang bersamanya kepada Mahinda, dan Ia menuju Ahoganga (area atas sungai Gangga, ini tidak sama dengan urumunda yang terletak di Mathura) menyepi 7 tahun lamanya. [Mhv 5.231-233]

    Karena begitu banyaknya para heretik dan kekisruhannya, para bhikkhu tak dapat mengendalikan mereka dengan aturan, akibatnya, para bikkhu seluruh negeri yang menjalankan vinaya tidak mau atau TIDAK DAPAT melakukan pemurnian diri (menyelanggarakan pembacaan Patimokkha di hari Uposatha) bersama para biksu pencuri/penggelap ini.hal ini berlangsung 7 tahun lamanya. [Mhv 5.234]

    [Note:
    Mengapa tidak bisa melakukan Uposatha bersama dengan para heretik?
    Karena saat Uposatha dibacakanlah Patimokkha, jadi, jangankan sedang berada bersama para non bhikkhu ini, bahkan jika bersama kumpulan para bhikkhu yang di kumpulan itu ada bhikkhu yang tidak murni (melakukan pelanggaan) maka bhikkhu itu TIDAK BOLEH mendengarkan pembacaan Patimokkha, karena di kumpulan itu banyak umat awam yang menyamar jadi bhikkhu, maka tidak bisa dilakukan pembacaan Patimokkha:

    "Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Sekarang, Aku, para bhikkhu, untuk seterusnya tidak akan melaksanakan Uposatha, Aku tidak akan membacakan Pātimokkha; sekarang kalian sendiri, para bhikkhu, yang harus melaksanakan Uposatha, harus membacakan Pātimokkha. Tidaklah mungkin, para bhikkhu, tidaklah selayaknya bahwa Sang Penemu-kebenaran harus melaksanakan Uposatha, harus membacakan Pāṭimokkha bersama dengan kelompok yang tidak sepenuhnya murni.

    Juga, para bhikkhu, Pātimokkha tidak boleh didengarkan oleh seseorang yang melakukan pelanggaran. Siapa pun yang mendengarkannya, maka ia melakukan pelanggaran perbuatan-salah, aku mengizinkan kalian, para bhikkhu, untuk menangguhkan Pātimokkha bagi ia yang, setelah melakukan pelanggaran, mendengarkan Pātimokkha.

    Dan beginilah, para bhikkhu, penangguhan itu: Pada hari Uposatha, apakah tanggal 14 atau 15, jika orang itu hadir maka hal ini harus diucapkan di tengah-tengah Saṅgha: ‘Yang Mulia, Mohon Saṅgha mendengarkan saya. orang itu melakukan pelanggaran; saya menangguhkan Pāṭimokkha baginya, Pātimokkha tidak boleh dibacakan jika ia hadir’ – (demikianlah) Pātimokkha ditangguhkan" [KD 19/Culavagga bab 9, AN 8.20 dan Ud 5.5]

    Juga aturan mengenai alasan-alasan untuk menangguhkan pelaksanaan Uposatha lihat di Mahavagga, Khandhaka 2

    Theyyasaṃvāsako, bhikkhave, anupasampanno na upasampādetabbo, upasampanno nāsetabboti. Titthiyapakkantako, bhikkhave, anupasampanno na upasampādetabbo, upasampanno nāsetabbo (Para bhikkhu, Orang yang berada dipersekutuan dengan cara gelap tidak dengan penahbisan, tidak boleh ditahbiskan; jika ditahbiskan, ia harus dikeluarkan. Seorang yang pindah ke lain aliran tidak ditahbiskan, tidak boleh ditahbiskan; jika ditahbiskan, ia harus dikeluarkan) (Syarat ditahbiskan: Mahavagga, Theyyasaṃvāsakavatthu)
    mereka yang tanpa upajjhaya, grup sebagai upajjhaya, sangha sebagai upajjhaya, Theyyasamvasako sebagai upajjhaya dan Tittiyapkkhantako sebagai upajjhaya tidak boleh ditahbiskan, yang menahbiskan mereka melakukan pelanggaran perbuatan salah/dukkhata (Syarat Upasampada (tahbiskan): Mahavagga, Anupajjhāya-kādivatthu)
    Pacittiya no. 68/69: Tidak melakukan Uposatha Sanghakamma bersama: penggelap (theyya) atau mereka yang menyampaikan kotbah bertentangan dengan Dhamma Sang Buddha dan walaupun bhikkhu lain melarangnya berbuat demikian tetapi ia tetap tidak memperdulikannya]

    Tahun ke-17 Asoka (Konsili ke-3), berlangsung selama 9 Bulan (Mhv 5.278-281),
    Ketika Raja Asoka tahu, beliau memerintahkan menterinya mendatangi para Bhikkhu agar melakukan pemurnian diri. Sang Menteri kemudian menemui Para Bhikkhu pemegang teguh vinaya menyampaikan pesan raja, namun mereka TETAP MENOLAK melakukan pemurnian diri bersama para bhikkhu palsu. Jengkel dengan jawaban ini, Sang Menteri menghunus pedangnya dan memenggal kepala para Bhikkhu yang menolak beruposatha, satu demi satu, hingga kemudian Tissa, bergegas menghampirinya yang membuat Menteri ini tidak berani meneruskannya dan kembali pada raja memberikan laporan. Mengetahui ini, Asoka diliputi penyesalan dengan pikiran apakah dirinya ikut bertanggung jawab atau tidak atas hal ini [Mhv 5.235-244]

    Raja kemudian mengundang Moggaliputta Tissa untuk kembali dari gunung Ahoganga. Undangan raja 2x ditolaknya dan yang ke-3x, diterimanya, Ia menuju Pataliputra dengan perahu dan menetap 7 hari lamanya. Moggaliputta kemudian meminta Raja mengundang para bhikkhu di Asokarama Pataliputta dan duduk disebelah Moggaliputta Tisa, Pertanyaan diajukan Moggaliputta kepada mereka dan 60.000 yang teridentifikasi berpandangan salah, diusir raja dari kumpulan dan raja bertanya doktrin apa yang diajarkan Sang Buddha, Moggaliputta tissa mengatakan doktrin analisis dan logika. Setelah itu barulah Uposatha diselenggarakan.[Mhv 245-274]

    [Note:
    Dalam kasus Devadatta dan kelompoknya, Sang Buddha TIDAK PERNAH menyatakan Devadatta dan kelompoknya TIDAK LAGI di persekutuan. Karena aturan itu, ditetapkan sang Buddha SETELAH KEMUNCULAN kasus Devadatta, oleh karenanya, seluruh bhikkhu yang ditahbiskan kelompok devadatta TETAP SAJA bhikkhu dan saat mereka kembali pada sangha pimpinan sang Buddha, mereka TIDAK PERLU ditahbisan ke-2 kalinya

    Pengujian pandangan akan menentukan jati diri mereka apakah mereka mengikuti tradisi yang disampaikan sang Buddha (konsili ke-1 dan 2) atau tidak, untuk itu ada 2 kategori kelompok umat awam yang menyamar sebagai bhikkhu di sangha saat itu, yaitu:

    1. Garis tradisi leluhur Vajjiputtaka/Vatsiputriya eks konsili ke-2 yang sejak konsili ke-2 tidak lagi tunduk pada aturan vinaya konsili ke-1 dan 2 sehingga mereka yang memisahkan diri ini dan turunan alirannya, BUKAN LAGI BHIKKHU sangha Sang Buddha, Walaupun mereka tetap berjubah dan/atau berjubah dengan penahbisan tradisi Vajjiputtaka/Vatsiputriya grup dan kemudian apakah mereka tetap dengan pandangan dan tradisi kaumnya atau bahkan ikut tradisi dhamma sang Buddha konsili ke-1 dan 2 NAMUN tidak ditahbihkan ulang, maka walaupun berjubah, bertindak seperti bhikkhu dan malah menggunakan aturan kebhikkhuan yang bahkan sama, mereka TETAP SAJA BUKAN bhikkhu

    2. Yang berinisiatif sendiri untuk berjubah atau yang tidak ditahbiskan secara benar dengan aturan vinaya adalah bukan bhikkhu

    Kedua tipe di atas ini masuk kategori umat awam dan BUKAN BHIKKHU, oleh karenanya aturan vinaya untuk mengeluarkan mereka dari sangha tidak diperlukan. Mereka ini masuk kategori penipuan yang untung saja, mereka ini, tidak dipenjarakan Raja.]

    Kemudian, Moggaliputtatissa, dari ribuan Bhikkhu yang telah dimurnikan ini, memilih 1000 Bhikkhu arahat untuk melakukan pertemuan. Inilah yang kemudian disebut sebagai KONSILI KE-3. Pertemuan ini diselenggarakan selama 9 bulan [Mhv 275-281] mengulang pembacaan Dhamma dan vinaya, membuat notulen konsili, menyusun ringkasan dhamma, analisis mendalam tentang berbagai topik dhamma, juga point-point kontroversi atas doktrin berbagai aliran dan sanggahannya sebanyak 7 bagian/kitab, yang disebut kitab Abhidhamma.

    Tahun ke-18 Asoka: Mahinda di Srilanka, Mahavihara berdiri di Mahameghavana dan Pohon Bodhi di tanam di Mahameghavana,
    Untuk menyebarkan Buddhisme, Moggaliputta Tisa mengutus beberapa thera ke berbagai negara [Mhv 12.1-3], yaitu: Majjhantika → Gandhara dan Kashmir [Mhv 12.3], Mathura terletak di Utara Kashmir. Mahadeva → Mahisamandala [Mhv 12.4]. Rakkhita → Vanavasa dan Dharnmarakkhita (Yunani: Aparantaka) [Mhv 12.4-5]. Mahadhammarakkhita → Maharattha [Mhv 12.5]; Maharakkhita → Yona/Yunani [Mhv 12.5-6]. Majjhimato → Himalaya/hemavata [Mhv 12.6]; Sona dan Uttara → Suvannabhumi [Mhv 12.6-7]. Mahinda, Itthiya, Uttiya, Sambala dan Bhaddasala → Srilanka (Mhv 12.7-8 dan Dipv 12.38-39, juga samanera Sumana, anak dari Samghamitta dan Aggibrahma - Mhv 5.169-170, Mhv 13.4. Juga Bhikkhuni Samghamitta + 11 Bhikkhuni - Mhv 19.5). Saat Mahinda diutus, beliau telah 12 tahun menjadi Bhikkhu (Mhv 13.1-2), sehingga tahun ke-6 + 12 = tahun ke-18 Asoka. Mahinda dari sejak di utus sampai ke Srilanka adalah setelah 6 bulan berlalu (Mhv 13.5) dan raja Srilanka saat Ia tiba di sana adalah Devanampiyatissa.

    Tahun ke-18 Asoka = tahun Devanampiyatissa menjadi raja, mengalami 2x penobatan jadi raja (MhV 11.40, 42; Dipv 11.13-14, 39, 17.78), 1 bulan setelah penobatan ke-2 Devanampiyatissa, Mahinda sampai Srilanka (Mhv.13.18, Dipv 11.39-40). Raja memberikan taman Mahameghavana kepada Mahinda (Mhv 15.25-26) yang kemudian menjadi Mahavihara (Mhv 15.214). Di Meghavana Pohon Bodhi bodhgaya yang dibawa Samghamitta di tanam (Mhv 25.34-35, Mhv 20.1)

    Di Kashmir, Majjhantika menaklukan Naga dan menyebarkan Buddhism (Mhv 12.9-28)

    [Note:
    Beberapa arti dan definisi dari Naga:

    1. Nama suku yang tersebar di beberapa wilayah, missal: Kashmir, Assam, Sri Lanka, dll. (A Social History of India, S. N. Sadasivan, hal.327-329) atau kumpulan orang yang menyembah mahluk supranatural Naga ("RELIGION AND PHILOSOPHY", Dr. Sunil Chandra Ray)
    2. orang yang memiliki kekuatan dan daya tahan luar biasa. Misal: Sang Buddha disebut: nāga karena kekuatan-Nya; singa (sīha) karena tanpa-ketakutan; berdarah murni (ājāniya) karena pemahaman-Nya akan apa yang telah Ia pelajari (byattaparicayaṭṭhena), atau karena Ia mengetahui apa yang benar dan apa yang salah; sapi pemimpin (nisabha) karena Ia tanpa tandingan; binatang pembawa beban (dhorayha) karena Ia membawa beban; jinak (danta) karena ia bebas dari perilaku menyimpang) [SN 1.38/Pecahan batu]. Para Bhikkhu arahat juga disebut Naga (SN 1.37)
    3. Pemikiran dan tindakannya yang luar biasa (Udana 4.4 dan 4.5. SN 1.37, 38)
    4. Karena UKURANNYA luar biasa (AN 6.43/Naga sutta)
    5. Mahluk supranatural yang berbentuk kobra besar, kadang berkepalanya satu, kadang banyak. Beberapa berkemampuan berubah bentuk menjadi Manusia. (Mahavagga I.63)].

    Majjhantika dan Upagupta
    Berkenaan mereka berdua, terdapat beberapa kesamaan yang ada antara tradisi Buddhis Utara dan Selatan:

    1. Majjhantika TIDAK DISEBUTKAN KEBERADAANYA di konsili ke-2.
    2. Upagupta TIDAK DISEBUTKAN KEBERADAANNYA baik di Konsili ke-2 maupun di konsili ke-3
    3. Kedua Tradisi sama-sama menyebutkan bahwa Majjhantika pergi ke Gandhara dan Kashmir, menaklukan Naga dan menyebarkan Buddhism di sana
    4. Mathura terletak di Utara Kashmir

    Menurut Tradisi Selatan, di SEBELUM KONSILI ke-3, Aliran-aliran yang berpandangan salah, termasuk Sarvastivada, telah dibersihkan dan Kathavatthu memuat rincian pandangan ajaran aliran yang TELAH TERTOLAK ketika diuji melalui DHAMMA dan VINAYA dan bukan melalui voting, sehingga JIKA BENAR memang ada Upagupta dan JIKA BENAR Ia yang menciptakan aliran Sarvastivadin dan juga JIKA BENAR Ia adalah murid Majjhantika, maka benang merah yang MUNGKIN adalah ketika Majjhantika ke Kashmir dan karena Mathura ada di utara Kashmir, maka di situlah Upagupta menjadi murid Majjhantika, sehingga sangat mungkin bahwa legenda tentang Upagupta baru muncul di setelah berakhirnya konsili ke-3.

    Tahun ke-26 Asoka dan Bukti keberadaan Moggaliputta Tissa
    Setelah tahun ke-26 Asoka berakhir, Moggaliputta Tissa parinibbana (Dipv 5.102) di tahun ke-80 sejak beliau di upasampada/tahbiskan (Dipv 5.107). Walaupun Moggaliputta Tissa TIDAK ADA disebutkan dalam teks-teks tradisi Buddhis Utara dan HANYA ADA di teks-teks tradisi Selatan, namun NAMANYA dan kegiatannya ditemukan dalam penemuan arkeologi dari Inskripsi pada relik peti pada stupa no.2 di Sanchi dan Sonari tertulis: Sapurisasa Mogaliputasa (Orang suci Moggaliputta), juga untuk nama Majjhima, Kassapagotta dan Dundhubhisara (Yang dikirim ke Himalaya). [Journal of the Royal Asiatic Society of Great Britain & Ireland, Vol.13, hal.110-111]
Sehingga diakhir konsili ke-3, yaitu di tahun ke-236/237 sejak Buddha parinibbana, resmilah Buddhisme mempunyai Tipitaka/Tripitaka (3 keranjang), yaitu: Dhamma/sutta-sutta, Vinaya dan Abhidhamma.

Apakah Kitab Abhidhamma Sabda dari Sang Buddha?
Abhidhamma (yang 7 kitab) hanya terdapat di 2 aliran saja, yaitu: Theravāda (dalam bahasa Pali) dan Sarvāstivāda (Mahayana, hanya ada dalam bahasa Tionghoa, tidak ada dalam Prakrit dan Sanskrit). Walaupun sama-sama 7 kitab namun penamaannya dan juga isinya berbeda. J. Takakusu menyatakan: “Membandingkan dua set Abhidhamma, sejauh yang bisa saya akses, saya tidak menemukan point apapun, baik dalam bentuk atau materi yang bisa membawa kita untuk berpikir bahwa keduanya sama..” ("The Abhidharma Literature, Pāli and Chinese", J. Takakusu, hal.160-162). [Abhidharma lain yang hanya 5 kitab: "Śāriputra Abhidharma Śāstra" (tampaknya setelah masehi, dari aliran Dharmagupta), lainnya lagi yang juga tidak 7 kitab: "Tattvasiddhi" oleh Harivarman (abad ke-3/4 M, asal aliran tidak jelas: Suttavada, Bahussutiya, Dharmaguptaka atau lainnya)]

Kitab komentar menyatakan: Sang Buddha, di tahun ke-7 ke-Buddha-an, pergi ke Tavamtisa mengajarkan Abhidhamma kepada IbuNya (Nama devanya: Santusita, namun di Thag.vss.533f, ThagA.i.502, nama devanya: Māyādevaputta). Saat pembabaran itu, IbundaNya mencapai sotāpanna [Kitab komentar untuk: Jataka no.483 dan Dhammapada no. 181].

Kejadian ke Tavamtisa diawali peristiwa pertunjukan kesaktian dihadapan umat awam yang dilakukan YM Pindola Bhâradvadja pada hari ke-7, setelah 6 hari lamanya, 6 guru terkemuka [Purana Kassapa, Makkhali Gosala, Ajita Kesakambali, Pakudha Kaccayana, Sanjaya Belatthiputta, Nigantha-Nataputta] gagal memberi bukti kepada seorang pedagang kaya Rajagaha yang tidak percaya arahat sejati ada karena dibingungkan begitu banyaknya yang mengaku sebagai Arahat, untuk itu, Ia membuat mangkuk dari cendana dan menggantungkannya di atas rangkaian bambu setinggi 60 lengan dan mengumumkan, "Arahanta sejati boleh mengambil mangkuk ini dengan cara terbang ke angkasa".

Kejadian YM Pindola menghebohkan penduduk Rajagaha sehingga mereka mengekoriNya. Kegaduhan ini diketahui sang Buddha. YM Ananda menerangkan sebab terjadinya kegaduhan dan Sang Buddha menetapkan larangan, "Para bhikkhu…seorang bhikkhu tidak memperlihatkan kesaktiannya di hadapan umat awam; dan ini adalah pelanggaran, 'Dukkata âpatti'/Pelanggaran minor".

Pertunjukan kesaktian dari YM Pindola Bharadvaja, tercantum dalam vinaya: [Theravada Pali V.5.8; Dharmaguptaka ch 51 1916: 235-238 (96-99); Mahīśāsaka ch 26 1916: 238-243 (99-103); Sarvâstivāda ch 37 1916: 243-246 (103-105); Mūla,sarvâstivāda Divy 256.25-257.21], Kitab komentar: [AA 1:196-199; SA 393; DhA 14.2.2/3:199-201; ThaA 2:4-6; UA 252; J 4:263; SnA 570; ApA 197. S] dan hanya kitab komentar yang mencantumkan tahun kejadiannya, yaitu di tahun ke-6 masa Vassa .

Larangan tersebut menggembirakan para pengikut 6 Guru lainnya. Raja Bimbisara bertanya pada sang Buddha tentang pelarangan itu dan sang Buddha menyampaikan bahwa 4 bulan kemudian di Savatthi, beliau akan mempertunjukan keajaiban. [RAPB buku ke-1, hal 1187]. Jarak Rajagaha – Savatthi = 45 Yojana (504 km s.d 648 km).

Kemudian di Savatthi,
Beberapa dari sangha Bhikkhu dan bikkhuni, diantaranya Samaneri Cirra yang berumur 7 tahun dan Bhikkhuni Uppavalavanna memohon ijin untuk menggantikan beliau menunjukan kesaktian, namun tidak diperkenankan. Sang Buddha kemudian mempertunjukan kesaktiannya dan setelah itu ke alam Tavatimsa. Salah satu dari 6 guru, yaitu Purana Kassapa, bunuh diri terjun ke sungai karena malu akan kegagalannya di Rajagaha.

Apa yang dapat kita gali dari informasi di atas?
Di atas disampaikan bahwa YM Ananda memberitahukan kehebohan yang terjadi di Rajagaha kepada Sang Buddha. Sutta menginformasikan bahwa YM Ananda menjadi Buddhopaṭṭhāka (pembantu tetap Sang Buddha) justru mulai di tahun ke-20: "Paṇṇavīsati-vassāni (Selama 25 tahun); bhagavantaṃ upaṭṭhahiṃ (menjadi pendamping Sang Bhagava); Mettena kāya.. vacī.. manokammena (dengan cinta kasih melalui perbuatan, perkataan dan pikiran), chāyāva anapāyinī (bagai bayangan yang tak lepas)" [Thag 17.3/Ananda]. Jadi seharusnya terjadi di atas tahun ke-20.

Di atas ada Samaneri dan Bhikkhuni. Ini seharusnya terjadi di atas tahun ke-20.

Sutta Di DN2/Sāmaññaphala Sutta:
Raja Ajjatasattu pernah berkonsultasi dan kemudian disarankan juga untuk berkonsultasi lagi dengan 6 guru terkemuka, yang salah satunya adalah Purana Kassapa.

Raja Bimbisara wafat ketika Sang Buddha berusia 72 tahun (Sang Buddha wafat di tahun ke-8 masa pemerintahan Ajjatasattu). Dalam waktu 4 bulan, setelah pertunjukan Pindola Bhavadraja, Raja Magadha telah berganti dari Bimbisara menjadi Ajjatasattu. Ketika Purana Kassapa bunuh diri ini terjadi beberapa bulan setelah Ajjatasattu menjadi Raja

Oleh karenanya, perjalanan ke Tavatimsa, yang konon untuk urusan mengajar Abhidhamma, seharusnya terjadi di tahun ke-37

Sementara itu,
hasil konsili ke-1 dan ke-2, sama sekali tidak memuat adanya Abhidhamma sebagai ajaran yang khusus terpisah (atau kelak sebagai 7 kitab yang menjadi 1/3 tipitaka) dan 7 kitab Abhidhamma baru ada di tahun ke-3 SM, setelah konsili ke-3.

Mereka yang Pro: bahwa "Abhidhamma merupakan sabda sang Buddha", memberikan bukti, misal [Juga ini atau ini]:
  1. Vinaya Pitaka, Mahâvibhanga, Dabbamalaputta Thera-vatthu, "...YE TE BHIKKHÛ ABHIDHAMMIKÂ TESAM EKAJJHAM SENÂSANAM PAÑÑÂPETI TE AÑÑAMAÑÑAM ABHIDHAMMAM SÂKACCHISANTÎTI..." → Kalimat yang mengandung kata “Abhi” TIDAK ADA di mahavibhanga, namun ada kalimat yang MIRIP dengan itu, yaitu di Mahavibhanga dan culavagga: "Ye te bhikkhū dhammakathikā tesaṃ ekajjhaṃ senāsanaṃ paññapeti – te aññamaññaṃ dhammaṃ sākacchissantīti" (Para bhikkhu ahli dhamma tergabungkan dalam satu kelompok mengatur tempat duduk dengan berpikir agar mereka dapat saling berbincang dhamma). Tampak jelas BUKAN "abhidhammika dan abhidhamma" namun "Dhammakathika dan dhamma"

  2. "..abhisamācārikāya sikkhāya sikkhāpetuṃ ādibrahmacariyikāya sikkhāya vinetuṃ abhidhamme vinetuṃ abhivinaye vinetuṃ.." (..membimbing latihan bentukan prilaku yang lebih dalam mendisiplinkan dengan latihan awal bentukan kehidupan suci mendisiplinkan dengan dhamma yang lebih dalam mendisiplinkan dengan disiplin yang lebih dalam) [Vinaya: Mahavagga Bodhikatha: Upasampādetabbapañcaka dan juga Parivara pali, bab 17:Upalipancaka]. Jika kata abhisamācārikāya dan abhivinaya di sini bukan sebagai ajaran/kitab tersendiri, maka begitu pula dengan abhidhamma.

  3. Vinaya Pitaka, Bhikkhuni Vibhanga, yaitu pada paragraph YANG BUKAN ucapan sang Buddha namun pada bagian bawah, yaitu bagian kalimat komentar kata-perkatanya atau penjelasan lanjutan kata-perkatanya:

    "Pañhaṃ puccheyyāti suttante okāsaṃ kārāpetvā vinayaṃ vā abhidhammaṃ vā pucchati, āpatti pācittiyassa. Vinaye okāsaṃ kārāpetvā suttantaṃ vā abhidhammaṃ vā pucchati, āpatti pācittiyassa. Abhidhamme okāsaṃ kārāpetvā suttantaṃ vā vinayaṃ vā pucchati, āpatti pācittiyassa" (Bertanya tentang Sutta tetapi malah berbalik bertanya Vinaya atau Abhidhamma; melanggar Pâcittiya. Bertanya tentang Vinaya tetapi malah berbalik bertanya Sutta atau Abhidhamma; melanggar Pâcittiya. Bertanya tentang Abhidhamma tetapi malah berbalik bertanya Sutta atau Vinaya; melangar Pâcittiya) [Pacittiya no.95]

    "Sabbasattuttamo sīho, piṭake tīṇi desayi; Suttantamabhidhammañca, vinayañca mahāguṇaṃ" (Yang terbaik dari segala mahluk, sang Singa, mengajarkan 3 pitaka: Suttanta, Abhidhamma, dan Vinaya—yang sangat berguna). [Vinaya: Parivara Pali, Samuṭṭhānasīsasaṅkhepa (ringkasan), bab ke-3]

    Thanissaro Bhikkhu:
    “Catatan Horner di Book of Disipline, kalimat komentar dalam aturan ini adalah 1 dari sedikit tempat di vinaya yang tampaknya merujuk pada abhidhamma sebagai sebuah teks (kitab) - ini mengindikasikan bahwa entah aturan atau kalimat komentarnya yang merupakan formulasi belakangan”.

    Tampaknya Horner benar, karena Parivara Vinaya, buku paling akhir yang muncul dalam Vinaya, sebagai penjelasan Vinaya, menyampaikan: MAHINDA (Murid Moggaliputta Tissa, pemimpin Konsili ke-3, abad ke-3 SM) dan beberapa bhikkhu lainnya (Iṭṭiya, Sambala, Bhaddanāma) pergi dari India menuju Srilanka mengajarkan: Vinaya, 5 nikaya dan “satta ceva pakaraṇe (7 kitab)”. Beberapa paragraph lanjutannya berisi tradisi urutan pengajar di Srilanka s.d Khema Thera yang mengajarkan tipetako/tipitaka (tiga keranjang). Kemudian pada bab ke-3nya (Samuṭṭhānasīsasaṅkhepa/ringkasan), kata satta ceva pakaraṇe (7 kitab) yang muncul di bab awal berubah menjadi kata “Abhidhamma”. Inilah Tipitaka yaitu setelah adanya tambahan 7 kitab Abhidhamma

  4. "Tena kho pana samayena sambahulā therā bhikkhū pacchābhattaṃ piṇḍapātapaṭikkantā maṇḍalamāḷe sannisinnā sannipatitā abhidhammakathaṃ kathenti. Tatra sudaṃ āyasmā citto hatthisāriputto therānaṃ bhikkhūnaṃ abhidhammakathaṃ kathentānaṃ antarantarā kathaṃ opāteti" (Pada saat itu, setelah makan dana makanan, sejumlah bhikkhu senior berkumpul duduk bersama di paviliun terlibat diskusi lebih dalam tentang Dhamma. Selagi para bhikkhu senior berdiskusi lebih dalam tentang Dhamma, YM Citta Hatthisāriputta berulang-ulang menyela pembicaraan mereka) [AN 6.60/Hatthisāriputta]. Maksud sutta ini BUKANLAH sedang mendiskusikan suatu ajaran khusus yang disebut dengan nama abhidhamma, namun mendiskusikan lebih dalam tentang Dhamma.

    Sample lain klaim:
    "..Idamassa javasmiṃ vadāmi. Abhidhamme kho pana abhivinaye pañhaṃ puṭṭho.." (..Ini, Aku katakan, adalah kecepatannya. Tetapi ketika ditanyai pertanyaan Dhamma yang lebih dalam dan disiplin yang lebih dalam..) [AN 3.141-142, AN 9.22]. Maksud sutta ini BUKANLAH bertanya tentang suatu ajaran khusus yang disebut abhidhamma dan abhivinaya, namun tentang pertanyaan yang lebih mendalam lagi mengenai dhamma dan vinaya.

    "..Puna caparaṃ, bhikkhave, bhikkhu dhammakāmo hoti piyasamudāhāro, abhidhamme abhivinaye uḷārapāmojjo.." (..Kemudian, Para Bhikkhu, seorang bhikkhu pencinta Dhamma dengan kata-taka yang menyenangkan sangat bergembira dengan dhamma yang lebih dalam dan disiplin yang lebih dalam..) [AN 10.17, 18, 50, 98; AN 11.14; DN 33, 34]. Maksud sutta ini BUKANLAH menggemari suatu ajaran khusus yang disebut abhidhamma dan abhivinaya, namun menggemari dhamma dan vinaya yang lebih mendalam lagi

    "Āraññikenāvuso, bhikkhunā abhidhamme abhivinaye yogo karaṇīyo. Santāvuso, āraññikaṃ bhikkhuṃ abhidhamme abhivinaye pañhaṃ pucchitāro. Sace, āvuso, āraññiko bhikkhu abhidhamme abhivinaye pañhaṃ puṭṭho na sampāyati, tassa bhavanti vattāro. ‘Kiṃ panimassāyasmato āraññikassa ekassāraññe serivihārena yo ayamāyasmā abhidhamme abhivinaye pañhaṃ puṭṭho na sampāyatī’ti—tassa bhavanti vattāro. Tasmā āraññikena bhikkhunā abhidhamme abhivinaye yogo karaṇīyo" (Seorang bhikkhu penghuni hutan harus menekuni Dhamma yang lebih dalam dan Disiplin yang lebih dalam. Ada di antara mereka yang mengajukan pertanyaan kepada bhikkhu penghuni hutan tentang Dhamma yang lebih dalam dan Disiplin yang lebih dalam. Jika, ketika ditanya demikian, ia tidak mampu menjawab, maka akan ada di antara mereka yang mengatakan tentangnya: ‘Apakah yang telah diperoleh Yang Mulia penghuni hutan ini dengan menetap sendirian di dalam hutan, melakukan apa yang ia sukai, karena ketika ditanya tentang Dhamma yang lebih dalam dan Disiplin yang lebih dalam ia tidak mampu menjawab?’ Karena akan ada di antara mereka yang mengatakan hal ini tentangnya, maka seorang bhikkhu penghuni hutan harus menekuni Dhamma yang lebih dalam dan Disiplin yang lebih dalam) [MN 69/Gullisani Sutta].

    Jika sutta-sutta di atas ini dianggap sebagai bukti adanya ajaran yang khusus diturunkan dengan nama abhidhamma, tentunya harus juga ada ajaran yang khusus diturunkan dengan nama abhivinaya, bukan?. Faktanya, tidak ada ajaran yang khusus diturunkan dengan nama abhivinaya, konsekuensinya, juga tidak ada ajaran yang khusus diturunkan dengan nama abhidhamma.

    Abhidhamma seperti apa yang sang Buddha maksudkan?
    ”…hal-hal ini yang telah Kuajarkan kepada kalian setelah mengetahuinya secara langsung, yaitu:

    4 landasan ingatan
    4 jenis usaha benar
    4 landasan kekuatan mental
    5 indriya/kemampuan
    5 Bala/kekuatan
    7 faktor pencerahan
    8 jalan Mulia [Total sejumlah 37 item ini juga tercantum di DN 16/Mahaparinibbana sutta sebagai 37 hal sisi pencerahan/Sattatiṁsā Bodhipakkhiya dhammā]

    dalam hal-hal ini kalian semuanya harus berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa perselisihan. Tesañca vo, bhikkhave, samaggānaṃ sammodamānānaṃ avivadamānānaṃ sikkhataṃ siyaṃsu dve bhikkhū abhidhamme nānāvādā... (Sewaktu kalian berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa perselisihan, dua bhikkhu mungkin membuat pernyataan berbeda sehubungan dengan Dhamma yang lebih dalam…)” [MN 103/Kinti Sutta]

    Jadi, Abhidhamma yang asli, yang merupakan ajaran sang Buddha ternyata adalah 37 hal sisi pencerahan/Sattatiṁsā Bodhipakkhiya dhammā!

  5. "Kusalāhaṃ visuddhīsu, kathāvatthuvisāradā; Abhidhamma-nayaññū ca, vasippattāmhi sāsane" (Aku menguasai baik, kemahiran kathavatthu, metoda Abhidhamma, di sasana ini) [KN, Thi Apadana 18/Khemātherīapadāna]. J.S Walters dan B.M Barua: “..Apadana dibuat SETELAH jaman raja Asoka”. A.K Warder: “..Apadana dibuat paling awal pada abad ke-1 SM” ["Journal pali text society", Vol.20, hal.32]
Meminjam logika cara berpikir yang sama, apakah karena kata “asoka” muncul di sutta dan vinaya, maka raja Asoka telah ada di jaman Buddha? atau disebut keberadaannya oleh Sang Buddha? Tentu tidak, bukan?

Bantahan mereka yang kontra, misalnya dari I.B Horner: Kata "ABHIDHAMMA" muncul tidak lebih dari 10x, [3x di vinaya pitaka], Frase tersebut dimaksudkan dalam konteks materi dan cara, dan BUKAN dalam konteks kumpulan kitab, misalnya di vinaya terdapat kata sutta, gatha (syair) dan abhidhamma sekaligus:
    [Berkenaan dengan bhikkhu yang melakukan pelanggaran karena meremehkan pembelajaran vinaya:] "Anāpatti—na vivaṇṇetukāmo, ‘iṅgha tvaṃ suttantegāthāyoabhidhammaṃ vā pariyāpuṇassu, pacchā vinayaṃ pariyāpuṇissasī..’" (Bukanlah pelanggaran, jika, tidak dimaksudkan untuk merendahkan, dia berkata, ‘dengar, apakah Anda mahir sutta, syair (Gatha) atau dhamma yang lebih dalam dan setelahnya mahir disiplin..’) [vinaya, Vol. III p.42 atau Mahavagga, Pacittiyakanda, sahadhammikavagga untuk Pacittiya no.72]".
Keberadaan kata syair (gatha) di situ, merupakan bukti yang lebih dari cukup untuk menunjukan bahwa "abhidhamma" BUKANLAH ajaran yang terpisah sendiri, karena "gatha" tidak berarti gatha Pitaka maka "abhidhamma" tidaklah berarti Abhidhamma Pitaka.

Klaim bahwa Abhiddhama diturunkan via YM Sariputta
YM Sariputta disebut sang Buddha sebagai “Yang terunggul dalam intuisi kebijaksanaan”, di beberapa sutta, kita temukan beberapa diskusi logika analisis, misal di Mahaghosinga sutta [YM Moggalana dan YM Sariputta] juga Mahavedalla sutta [YM Kotthita dan YM Sariputta] mereka berdiskusi lebih dalam lagi tentang Dhamma. Pembicaraan Dhamma yang dalam lagi ini adalah bagian dari Dhamma itu sendiri.
    YM Sariputta:
    2 minggu setelah ditahbiskan, Aku memahami analisa: [atthapaṭisambhidā/pengertian secara luas dan mendalam; dhammapaṭisambhidā/hubungan kondisi dan sebab; niruttipaṭisambhidā/Tata bahasa asal-usul interpretasi pengucapan dialek dan ekspresi; paṭibhānapaṭisambhidā/Penerangan, intelektual dan kefasihan penyampaian] dan dengan rincian ciri dan kekhasannya (sacchikatā odhiso byañjanaso) Itu saya nyatakan, terangkan, perlihatkan dan tunjukan dalam dalam berbagai cara (AN 4.173/Vibhatti sutta).
Pengakuan YM Sariputta ini adalah tentang apa yang dicapainya, tidak pernah disebutkan di manapun dalam sutta dan vinaya bahwa beliau mendapatkan suatu ajaran khusus yang disebut dengan nama Abhiddhama. Hanya kitab-kitab komentar buatan abad-abad belakanganlah yang memuat perluasan imaginasi bahwa Abhidhamma diturunkan via Sariputta yang dikaitkan dengan perjalanan fiksi sang Buddha ke Tavatimsa untuk mengajar Abhiddhama kepada IbuNya. Klaim kitab-kitab komentar ini, seharusnya mengundang beberapa pertanyaan lanjutan, misalnya
  1. Mengapa IbuNya tidak ke alam manussa saja untuk mendapatkan pengajaran, karena toh, sutta dan vinaya juga menyampaikan bahwa para devapun kerap berkunjung ke alam manussa untuk mendengarkan dhamma Sang Buddha dan para Arahat lainnya?
  2. Mengapa selama 3 bulan (90 hari) musim vassa alam manussa yang setara dengan 3.6 detik di Tavatimsa itu, Sang Buddha perlu turun (atau membuat proyeksi image-Nya) ke alam manussa untuk berpindapatta setiap harinya? Mengapa sang Buddha tidak kuat untuk tidak makan untuk sekedar hanya 3.6 detik saja? Atau mengapa para deva menjadi begitu pelitnya tidak menyuguhkan sesuatu jika memang waktunya pindapatta? Atau tidakkah nimittabuddha/bentukan Buddha palsu (untuk mengajar) membuat sang Buddha menjadi pelanggar sila ke-4, karena diriNya tidak menyampaikannya sendiri? Bagaimana mungkin kitab komentar (Dhammapada: Buddha vagga dan Abhidhamma: Ganthārambhakathā) sudah mengatakan ada 7 kitab (sattapakaraṇika, sattappakaraṇa = 7 kitab) Abhidhamma yang diajarkan Sang Buddha (dan Sariputta) padahal Kathāvatthu (salah satu dari 7 kitab) sendiri baru muncul di abad ke-3 SM, pasca perpecahan aliran?
[Lihat juga: "Abhidhamma Abhivinaya in the first two of the Pāli Canon", I.B. Horner, The Indian Historical Quarterly, Vol.17:3, Sep.1941 dan "What did the Buddha mean by the word 'abhidhamma'?", Bhikkhu Varado] Pojokan Wirajhana: Ringkasan Ajaran Buddha [↑]


Konsili ke-4,
Buddhisme di India mengalami kemerosotan tajam pasca runtuhnya dinasti Maurya oleh Pushyamitra (185-149 SM), pendiri dinasti Shunga (185 -75 SM):
  1. Perpecahan di internal Buddhisme dan pengubahan kotbah ke dalam sanskrit (sebuah bahasa bagi kalangan eksklusif) menyumbang makin banyaknya doktrin membingungkan bagi pemeluknya, misalnya di Manjushri Mula Kalpa dan juga sejarahwan Taranatha dalam Rgya- gar-chhos-hbyung (Sejarah agama di India), tahun 1608, bab 10 yang menyatakan bahwa Panini, teman raja Nanda, mencapai Sravakabodhi dan ramalan Manjusri Mula Tantra bahwa Panini adalah Avalokitesvara [juga lihat: "Buddhist sects in India, Dutt, hal.7]

  2. Kita mungkin bisa abaikan narasi Divyavadana di Asokhavadana tentang kekejaman Pushyamitra terhadap Buddhism (juga dari sejarahwan Taranatha dan di Śāripūtraparipṛcchā sutra), yang beberapa pakar tampak skeptis tentang itu. Namun, penekanan panjang dinasti Buddhis Maurya terhadap Brahmanisme dan bagaimana caranya menduduki tahta, memberikan cukup alasan bagi Pushyamitra untuk menekan bangkitnya dinasti sebelumnya. akibatnya para pendukung Buddhism lebih condong pada raja yang pro-Buddhis, misalnya Raja Bactria/Yunani Menander I/Milanda (165/155-130 SM) yang menguasai India Utara dan pemeluk Buddhism. Awalnya Pushyamitra tidak dengan kekerasan, namun seiring adanya ancaman teritorial, tindakan represif di area Shuga yang tidak pro Shunga mungkin saja terjadi. Arah politik raja berikut dinasti ini, tampaknya berubah, mencoba meraih simpati melalui perbaikan beberapa situs Buddhis yang telah dirusak sebelumnya. [Lihat: "DECLINE AND FALL OF BUDDHISM, (A tragedy in Ancient India), Ch.2].
Abad ke-3 SM, pasca konsili ke-3, Mahinda (bersama: Iṭṭhiya, Uttiya, Bhaddasāla, dan Sambala dan lainnya) di kirim ke Srilanka. Mahinda saat itu telah 12 tahun menjadi Bhikkhu dan mencapai Srilanka 6 bulan kemudian (Mhv 13.1-5, yaitu 219 + 6 + 12.5 = 237.5 tahun setelah Buddha parinibbana). Ia tiba di Sri Lanka, bertemu Raja Devānampiyatissa (247-207 SM) pada Purnama bulan Jettha dan membuat Raja berlindung pada Ti-ratana. Keesokan harinya, atas permintaan raja, Mahinda menuju Anurādhapura dan Ia bermalam di taman Mahāmeghavana, esoknya taman itu diberikan raja atas nama Sangha dan menjadi bagian dari berdirinya vihara Mahavihara (Mhv, Geiger, Introduction hal. 34-35. Sat itu adalah tahun berdirinya Mahavihara). Mahinda tinggal di taman itu selama 26 hari. Di Taman yang sama, yaitu pada hari ke-2nya Mahinda, ratu Anula dan 500 perempuan, setelah mencapai buah ke-2 kesucian, memohon penahbisan, namun ditolak karena aturan vinaya tidak mengijinkannya untuk langsung menahbiskan wanita (Mhv 15.18-20; Dipv 15.74-76), Ia usulkan agar penahbisan dilakukan dulu oleh Sanghamita (adik perempuan Mahinda), raja Devānampiyatissa kemudian mengutus mentri Arittha pergi ke India (Mhv 12.21-23; Dipv 15.77-95). Sambil menunggu Sanghamita tiba, Anula dan 500 perempuan melakukan 10 sila (Mhv 18.9-12; Dipv 15.84-85). Sanghamitta dan 10 bhikkhuni (atau 11 bhikkhuni - Mhv 19.5, yaitu: Uttarā, Hemā, Pasādapālā, Aggimittā, Dāsikā, Pheggu, Pabbatā, Mattā, Mallā dan Dhammadāsiyā - Dipv 15.78/18.12) tiba di Srilanka dengan membawa pohon Bodhi dan menahbiskan mereka menjadi Bhikkhuni Theravada (Mhv 18; Dipv 16.3-39) [Menurut vinaya penahbisan bhikkhuni, penahbisan dapat dilakukan setelah 2 tahun menjalankan 6 sila]. Pada jaman raja Uttiya (penerus Devānampiyatissa), yaitu di tahun ke-8-nya, Mahinda wafat [Dipv 17.94] dan di tahun ke-9-nya, Sanghamitta wafat [Mhv 20.48-49]. Di tahun wafatnya Sanghamitta, murid Mahinda, yaitu Arittha, bersama 5 thera yang dulu datang bersama Mahinda, 12 Theri yang dulu datang bersama Sanghamitta, beserta ribuan bhikkhu dan bhikkhuni, meresitalkan vinaya dan lainnya [Mhv 20.54-56], Kejadian ini dicatat Saṅgītiyavaṁsa (kitab sejarah Buddhis Thailand, abad ke-18), sebagai konsili ke-4, namun negara Buddhis Selatan lainnya termasuk Srilanka, tidak menganggapnya sebagai konsili. 

Ketika Vattagamani (Abad ke-1 SM), baru 5 bulan menjadi raja, terjadilah 3 peristiwa yang membuatnya kehilangan tahta dan mengungsi, yaitu pemberontakan Brahmana Tissa (Beminitiye), pendudukan oleh 7 kelompok suku Tamil/Damila [Mhv 33.37-61] dan bencana kelaparan besar selama 12 tahun. Setelah kalah dari 7 Damila, raja bersama keluarganya melarikan diri, saat itu Petapa Jain berteriak bahwa raja melarikan diri. Hal ini membuat raja bersumpah akan mendirikan Vihara di sana. Dalam perjalanan Raja ditolong Bikkhu Mahatissa dari Vihara Kupikkala yang memberikannya makanan dan lewat pembantunya, seorang umat awam bernama Tanasiva, Ia diberikan tempat tinggal. Setelah 14 tahun dan 10 bulan kemudian, Vattagamini berhasil merebut kembali tahtanya kemudian menepati sumpahnya dengan menghancurkan kuil Jainisme dan mendirikan Vihara Abhayagiri pada tahun ke-217 bulan ke-10 hari ke-10 setelah berdirinya Mahavihara [Mhv 33.80-81 atau 454 tahun 10 bulan 10 hari sejak parinibbananya Sang Buddha]. Vihara ini kemudian diberikan kepada Mahatissa [Mhv 33.80-83].

Mahatissa kemudian diundang raja untuk tinggal di Anuradhapura (MahaVihara) dan tampak memiliki pengaruh besar terhadap kalangan kelas penguasa [History of BUDDHISM IN CEYLON, WALPOLA RAHULA, B.A.PhD, hal 83-84]. Karena sering mengunjungi keluarga kalangan awam, Sangha Mahavihara mendakwa Mahatissa telah melakukan pelanggaran kulasamsattha yang berakibat Ia dikeluarkan dari persekutuan/Sangha (pabbājaniyakamma). Muridnya, Bahalamassu Tissa (Tissa si Janggut lebat) mengajukan keberatan dan didakwa melakukan ukkepaniya (berpihak pada ketidakmurnian). Akhirnya mereka dengan sekumpulan biksu memisahkan diri dari Mahavihara menuju Abhayagiri-vihara dan membentuk aliran terpisah, tidak lagi datang ke Mahavihara: Demikianlah para biksu Abhayagiri memisahkan diri dari Theravada [Mhv 33.95-97]. Para biksu Abhayagiri menjadi semakin kuat sejak kedatangan beberapa biksu dari Pallarārāma, India Selatan, yang mengikuti tradisi Vajjiputtaka/Vatsiputriya (ex konsili ke-2). Guru mereka adalah Dhammaruci, dan ketika mereka bergabung dengan para biksu Abhayagiri, MahāTissa sendiri mengambil nama Dhammaruci dan para pengikutnya dikenal sebagai Dhammarucika [Inkripsi Kalyani, Dhammaceti, Burma tahun 1476 M, hal 39, juga ini].

Inilah perpecahan pertama Buddhisme di Sri lanka, seperti sabda Buddha tentang 20 landasan perpecahan sangha dan 4 MOTIF KEUNTUNGAN yang penyebabnya SELALU seorang bhikkhu, yang berasal dari komunitas yang sama, menetap di tempat yang sama

PENULISAN TIPITAKA
Sutta/Vinaya menyajikan informasi bahwa di sebelum jaman Buddha Gotama-pun, angka, aksara dan tulisan telah ada dan telah luas digunakan, misalnya:
  1. DN 1, 2,3, 4, 5, 6, 7, 8, 10, 13: "..akkharika..” (bermain menerka huruf yang ditulis di udara atau punggung seseorang)
  2. AN 3.65/Kalama Sutta: "..Marilah, para penduduk Kālāma,..., jangan karena kumpulan teks tertulis (mā piṭakasampadānena), .."
  3. Udana 3.39/Sippa Sutta: “..beberapa bhikkhu: “Keahlian naik gajah adalah yang utama”;.. berkuda.. berkereta.. Memanah.. Bermain pedang, .. Berkomunikasi lewat gerak.. Menghitung angka.. menulis (lekhā).. puisi.. berdebat.. Ilmu politik adalah keahlian utama”
  4. Vinaya, Mahakhanda: "Sekarang, seorang tertentu, setelah mencuri, setelah melarikan diri, Ia ditahbiskan dalam kehidupan suci. Di pengumuman kerajaan, tertulis, "Dimanapun orang ini terlihat, Ia dihukum mati" Orang melihatnya dan berkata, "Ini dia pencuri dalam tulisan itu. Mari kita hukum mati dia".. Menyebarlah desas desus, "..mengapa mereka menahbiskan pencuri yang ada dalam tulisan itu?".. Sang Buddha, berkata, "Para Bhikkhu, seorang pencuri dalam pengumuman tertulis, tidak boleh ditahbiskan, siapapun yang menahbiskannya melakukan pelanggaran dukkata"
  5. Vinaya, Parajika ke-3: "..memuji melalui tulisan: Ia menulis (lekhaṃ), "Siapapun yang mati, akan mendapatkan kekayaan, kemashyuran dan menuju surga". Pelanggaran Dukkata untuk setiap huruf (akkhara) yang ditulisnya. Setelah melihat tulisannya, orang menjadi berpikir, "Aku ingin Mati", Ia menyakiti dirinya, maka pelanggaran Thullaccaya terjadi, jika Ia mati, maka pelanggaran parajika terjadi"
  6. Vinaya, Pacittiya no.49: "..Bukan pelanggaran jika (bhikkhuni) belajar menulis.." (Anāpatti—lekhaṃ pariyāpuṇāti)
  7. Vinaya, Pacittiya no.65: “..Jika Upāli belajar menulis (lekha)...jika Upāli belajar menulis, jari-jarinya akan sakit.."
  8. Juga dalam kehidupan lampau Sang Buddha, di kitab komentar jataka, misal:

    no.159: "..Raja sangat gusar..Dia memerintahkan agar sebuah pesan ditulis di atas papan emas: 'Di antara pegunungan Himalaya terdapat sebuah bukit emas di Gunung Daṇḍaka..'"
    no. 181: "..kemudian menggores sebuah pesan di panahnya dengan tulisan: 'Saya, Asadisa, telah kembali. Saya bertekad untuk membunuh kalian semua dengan satu panah yang akan saya tembakkan kepada kalian. Bagi mereka yang masih mau hidup, silakan pergi.'"
    no.214: "...Maka, dia menulis bait berikut di atas daun: 'Apakah yang dapat minum ketika sungai banjir;…Teka-teki saya dibaca dengan benar..'"
    no.276: "..Kemudian raja berkata, “..kembalikan kepada rajanya. Tulislah di atas sebuah papan emas norma Kuru yang dijalankannya dan bawalah itu ke sini.”
Di Srilanka, Perang dan bencana kelaparan, membuat Tipitaka yang sejak jaman Mahinda diturunkan dengan cara dihafal/Mukhapathena, terancam punah akibat ribuan Bhikkhu wafat kelaparan atau mengungsi ke kawasan Malaya dan ke India. Dikatakan pula bahwa Mahāniddesa hanya dikenal oleh satu bhikkhu dan itupun oleh yang tidak bermoral [Buddhist Commentarial Literature, L. R. Goonesekere, The Wheel Publication No. 113, 2008, Political]. Mahāpitaka meminta Mahārakkhita, untuk belajar Mahāniddesa dari Bhikkhu tersebut, Mahārakkhita awalnya enggan karena Bhikkhu tersebut tidak bermoral, tapi akhirnya setuju karena Mahāpitaka juga ikut belajar bersamanya. di hari terakhir pelajaran, Ia temukan seorang wanita bersembunyi di bawah dipan Bhikkhu tak bermoral tersebut. Akhirnya, saat itu, terdapat 495 bhikkhu yang hafal kanon tipitaka dan di tahun ke-450 sejak Buddha parinibbana, yaitu tahun ke-6 pemerintahan Vaṭṭagāmaṇī, 500 bhikkhu di bawah pimpinan Mahārakkhita yang berpikir, "Di masa depan, makhluk-mahluk yang lemah dalam ingatan, kebijaksanaan dan konsentrasi, tidak akan dapat mengingat (teks kanonik) secara lisan" ["The history of Buddha's religion" (sasanavamsa, Paññāsāmi, 1861), Bimala Churn Law, Sri Satguru Publications, 1986, hal.24-26], menuliskan 3 Pitaka dan kitab komentar di atas daun palem, berlokasi jauh dari jangkauan raja Vattagamani, yang pro aliran Dhammaruci, di bawah perlidungan kepala desa Alulena, di Matula ('alu' ≠ 'abu' tapi 'aloka'/terang; lena = 'gua') (± 61 km dari Aluvihara, atau ± 140 km dari Anuradhapura) [juga Mhv 33.100-103. Dipv 20.19-21]. Pertemuan ini diakui Buddhis Selatan sebagai Konsili ke-4
    Note:
    Geiger: Tahun Parinibbana Sang Buddha (yaitu tahun 544 SM) yang digunakan di Srilanka, Burma/Myanmar dan Siam/Thailand dianggap kurang tepat, menurutnya tahun 483 SM [Mahavamsa, Geiger, Introduction, hal. xxiv-xxxvii] atau dari perhitungan kita, tahun 484 SM. Pemerintahan Vaṭṭagāmaṇī yang ke-2 adalah 454-466 tahun setelah Buddha parinibbana atau 477-490 tahun setelah pembentukan sangha Bhikkhuni (23/24 tahun sebelum parinibannanya sang Buddha). Konsili ke-4, menurut Sasanavamsa terjadi mulai tahun ke-6nya Vattagamani atau 483/484 tahun sejak berdirinya sangha Bhikkhuni (30/29 SM). Tidak diketahui lama konsili tersebut (Mahavamsa dan Dipavamsa hanya mencatat: Konsili ke-1: 7 bulan, ke-2: 8 bulan, ke-3: 9 bulan), tidak diketahui apakah penulisan dilakukan segera ataukah tidak pasca konsili ataukah sebelum konsili, serta lama waktu penulisan Tipitaka.  Sebagai perbandingan, Konsili ke-5 di Mandalay, Burma (1871 M) pembacaan berlangsung 5 bulan 3 hari SETELAH selesainya pengerjaan 729 lempeng batu marmer berisi tulisan TIPITAKA Burma (7 tahun 5 bulan 20 hari, 14 Oktober 1860 - 4 Mei 1868). Konsili ke-6 di Yangon, Burma (Mei 1954 - Mei 1956), selama 2 tahun menyesuaikan Tipitaka berbagai negara Buddhis terkait sedikit perbedaan dari masing-masingnya, kemudian disusun menjadi 52 risalah dalam 40 Volume. 
Sutta menyampaikan sekurangnya 3 alasan mengapa ajaran sang Buddha (juga ajaran para Brahmana Hinduisme dan Jainisme) TIDAK DITULISKAN namun DIHAFALKAN:
  1. Pertama, karena hafalan dan kemampuan mengingat berkorelasi dengan 5 rintangan (1. hasrat indriya/kamacchanda, 2). itikad buruk/memusuhi/byapada, 3. malas-lamban/thina-midha, 4. kegelisahan-kecemasan/uddhacca-kukkucca dan 5.keraguan/vicikiccha), misalnya kepada Brahmana Saṅgārava yang menanyakan alasan mengapa himne-himne yang telah dilafalkan dalam waktu yang lama tidak teringat dalam pikiran dan mengapa himne-himne yang tidak pernah dilafalkan dalam waktu yang lama dapat teringat dalam pikiran [AN 5.193 dan SN 46.55], sehingga seseorang yang sulit mengingat dan/atau lupa terhadap hafalannya mencermikan bahwa dirinya masih dikuasai 5 rintangan.

  2. Kedua, merupakan bagian dari metoda penemuan kebenaran (saccānubodho/saccamanubujjhati): ...(Setelah menyelidiki penuh seorang Guru sehingga menjadi berkeyakinan); Ia mengunjunginya dan memberikan penghormatan; setelah memberikan penghormatan, memasang telinganya (sotaṁ odahati), dengan telinga mendengarkan Dhammanya (ohitasoto dhammaṁ suṇāti); setelah mendengar Dhamma, menghafalkannya (sutvā dhammaṁ dhāreti), meneliti makna ajaran yang telah dihafalkannya (dhatānaṁ dhammānaṁ atthaṁ upaparikkhati); ketika meneliti makna, memperoleh penerimaan atas ajaran melalui perenungan; ketika memperoleh penerimaan melalui perenungan atas ajaran, kemauan muncul; ketika kemauan muncul, ia mengerahkan tekadnya; setelah mengerahkan tekadnya, ia menyelidiki; setelah menyelidiki, ia berusaha; karena berusaha sungguh-sungguh, ia dengan tubuhnya mencapai kebenaran tertinggi dan melihat dengan menembusnya dengan kebijaksanaan [MN 95], sehingga penghormatan terhadap guru adalah ketika mendengarkan, seseorang tidak melakukan kegiatan lain, kecuali memperhatikan ajarannya dengan seksama.

  3. Ketiga, "..seorang siswa seharusnya TIDAK MENDEKATI Sang Guru demi: khotbah-khotbah, syair-syair, dan penjelasan-penjelasan (suttaṁ geyyaṁ veyyākaraṇaṁ). Mengapakah? Telah sejak lama, Ananda, engkau telah mempelajari, menghafalkan, melafalkan, memeriksanya dengan pikiran, dan memahaminya secara teori (dhammā: sutā, dhātā, vacasā, paricitā manasānupekkhitā, diṭṭhiyā suppaṭividdhā). TETAPI pembicaraan-pembicaraan terkait manfaat bebas halangan kemajuan pikiran (cetovinīvaraṇasappāyā), tidak terputusnya kebosanan (ekantanibbidāya), tanpa nafsu (virāgāya) , berhentinya (nirodhāya), damai (upasamāya), pemahaman sepenuhnya (abhiññāya sambodhāya), mengarah kepada Nibbāna (nibbānāya saṁvattati), yaitu, pembicaraan tentang keinginan yang sedikit, tentang kepuasan, kesendirian, keterasingan dari masyarakat, pembangkitan kegigihan, moralitas, konsentrasi, kebijaksanaan, kebebasan, pengetahuan dan penglihatan kebebasan: demi pembicaraan demikian maka seorang siswa seharusnya mendekati Sang Guru bahkan jika ia disuruh pergi sekalipun. [MN 122].
Bahkan dari sebelum jaman sang Buddha-pun telah banyak makhluk-mahluk yang lemah dalam ingatan, kebijaksanaan dan konsentrasi, oleh karenanya, alasan di masa Mahārakkhita, ajaran Buddha sampai dituliskan, adalah karena telah terjadi kelangkaan bhikkhu penghafal dhamma.

Sidang Agung ke-5 [1871 M] dan ke-6 [1954-56 M] terjadi jauh setelah 500 tahun sejak ditahbiskannya Bhikkhuni pertama
    Note:
    Tradisi Buddhis Utara juga mempunyai konsili ke-4, diselenggarakan aliran Sarvāstivāda jaman dinasti Khushan-Gandhara, Raja Kanishkha, 127 M - 151 M. Lokasinya di Kashmir. dikatakan 500 bhikkhu pimpinan Vasumitra (Penduduk asli Gandara) berkumpul melakukan editorial kitab-kitab sanskrit dan merumuskan 7 kitab Abhidhamma oleh 7 pengarang berbeda (Vasumitra: Prakarana-Pada, Sariputra: Dharma-Skanda, Maudgalyayana: Prajnapti, Devasarman: Vijnana-kaya, Purna: dhatu-kaya, Katyayana/katyayaniputra: Jnana-Prasthana dan Mahakausthila: Sangiti-Paryaya). Konsili ini tidak pernah ada di literatur Theravada.

    Dutt: Ada 4 Vasumitra, yaitu: Vasumitra yang memimpin konsili Kanishkha di Khushan, Vasumitra aliran Sautrantika; Vasumitra, muncul 1000 tahun setelah Buddha parinibbana dan Vasumitra aliran Sarvastivada, yang darinya Xuanzang belajar doktrin Sarvastivada [“Buddhist Sects in India”, Nalinaksha Dutt, Introduction]

    Dinasti Kushan-Gandhara: Setelah bangsa Yuezhi kalah dari bangsa Xiongnu (220 SM dan 177 SM), mereka pecah menjadi Yuezhi Besar dan kecil. Yuezhi besar menuju lembah Lli dan mengusir bangsa Saka/Scythian. Bangsa Saka kemudian menetap di Kashmir dan sebagiannya bercampur ke dalam populasi Yuezhi. Michael Witzel ("Possible Iranian Origins for the Śākyas and Aspects of Buddhism", 2012) dan Christopher I. Beckwith ("Greek Buddha: Pyrrho's Encounter with Early Buddhism in Central Asia", hal 1-21) menduga ada keterkaitan antara bangsa Saka dan Sakya-nya Sidartha Gautama. Kemudian setelah Yuezhi diusir bangsa Wusun, mereka ke selatan (Sogdia) dan menetap di Baktria/Yunani. Sekitar tahun 75 M, satu dari lima suku Yuezhi Besar di Baktria, yaitu Kushana di bawah pimpinan Kujula Kadphises (Leluhur raja Kanishkha) mendirikan dinasti Kushan-Gandhara, yang wilayahnya meliputi Gandhara, Kashmir, Afganistan dan India Barat laut.
MAHAYANA di SRI LANKA
Dalam "History of Buddhism in Ceylon", Walpola Rahula (hal. 89) menuliskan:
    Kedatangan Vaitulya ke Sri Lanka pada jaman raja Vohârika-Tissa (269 -291 M) Nikâyasangraha (Sejarah Srilanka belakangan, ed. Simon de Silva dan lainnya, 1907, hlm. 11) mengatakan bahwa para biksu Abhayagiri, yang dikenal sebagai Dhammarucika, menerimanya dan menyatakan Vaitulyapitaka disusun para brāhmana sesat yang disebut Vaitulya yang telah mengenakan pakaian para bhikkhu untuk merusak ajaran Buddha di masa Asoka; dan bahwa para bhikkhu Theriya-nikāya, setelah membandingkannya dengan dhamma dan vinaya, menolaknya dan menyatakannya sebagai ajaran palsu. Referensi ke brāhmana di sini menunjukkan bahwa Vaitulya-pitaka yang dibawa ke Sri Lanka disusun dalam bahasa Sanskrit, dan kita tahu bahwa sutra Mahāyâna semuanya dalam bahasa Sanskrit. ["The Conflict of Change in Buddhism: the Hīnayānist Reaction", Tola Fernando, Dragonetti Carmen, 1996, hal 251]
Raja Voharika Tissa menekan Vetulya dan membuat para herestik ini di bawah pengawasan menterinya, Kapila (Mhv 36.41). aliran Dhamarucika Abhayagiri Vihara menjadi sangat kuat di jaman Raja Mahasena [334-361 M] yang saat itu hampir membuat musnah Mahavihara.

LENYAPNYA SANGHA BHIKKHUNI THERAVADA
Pada jaman Raja Gothābhaya (302-315 M), seorang Biksu aliran Vetullavāda dari Cola bernama Sanghamitta yang berdiam di Vihara Abhayagiri, menjadi sakit hati terhadap Para Bhikkhu Mahavihara setelah terjadinya pembersihan sangha dari doktrin Vettula. Sanghamitta adalah salah satu dari 60 biksu yang terusir (Mhv 36.109-113). Setelah dipercaya dalam persekutuan di vihara Thūpārāma, Sanghamitta menang debat melawan biksu Gothābhaya (paman raja Gothābhaya) sehingga menjadi kesayangan raja dan dipercaya mengasuh pendidikan pangeran Jetthatissa dan Mahāsena, namun Sanghamitta lebih menyukai Mahasena (Mhv 36.114-117). Ketika Gothābhaya wafat dan Jetthatisa menjadi raja (323-333 M), karena takut pada raja ini, Sanghamita kembali ke Cola, ketika Jetthatisa wafat dan Mahasena menjadi raja (334-361 M), Sanghamita kembali ke Sri Lanka (Mhv 36.122-123) dan melakukan upacara penahbisan Mahasena sebagai raja.

Sanghamitta menyatakan kepada Mahasena bahwa para Bhikkhu Mahavihara tidak mengajarkan dhamma benar, Vetulla-lah yang mengajarkan dhamma benar, akibatnya Mahasena memberikan maklumat bahwa siapapun yang berdana pada para bhikkhu Mahavihara akan dihukum. Mahavira kemudian terkucil, kosong dari para bhikkhu selama 9 tahun [Mhv 37.1-8] juga terbakar, hancur, dijarah Sanghamitta dan Menteri Sona, di mana semua yang berharga pindah ke Abhayagiri [Mhv 37.9-18], kejadian ini memicu pemberontakan menteri Meghavannabhaya, setelah raja dan mentri ini bertemu, raja menyadari kekeliruannya dan menyatakan akan membangun lagi Mahavihara. Raja kemudian membangun banyak vihara, diantaranya adalah Jetavana, tapi karena bujukan biksu Tissa dari vihara Dakkhinārā (dulunya para biksu Abhayagiri berdiam di sini), Jetavana dibangun dalam batasan area Mahavihara [Mhv 37.33-39] dan Mahasena juga membangun 2 vihara Biksuni yaitu Abhaya dan Uttara [Mhv 37.43]. Sanghamitta dan Mentri Sona terbunuh ketika berusaha menghancurkan vihara Thūpārāma. Pembunuhan ini atas perintah istri raja yang marah terhadap perbuatan mereka kepada Mahavihara [Mhv 37.26-28].

Raja Mahasena wafat sebelum selesainya vihara Jetavana, Ia digantikan anaknya, Sirimeghavanna (362-409 M). Raja baru ini kemudian mengumpulkan para bhikkhu Mahavihara [Cula Vamsa I.37.53-55] juga menyelesaikan pembangunan vihara Jetavana [Cula Vamsa I.37.65]. Vihara Jetavana mengikuti paham Sagaliya [Cula Vamsa I.78.22]. Setelah Jetavana ada, secara bertahap para bhikkhu Mahavihara kembali ke Mahavihara [Mhv 37.36-40].

Dr. H Goonatilake: Dua vihara Biksuni Abhaya dan Uttara lebih mungkin berafiliasi dan terkait Abhayagiri daripada Mahavihara (hal.8). Di jaman Raja Mahanama (409/410/412 - 431/434 M), biksu pengelana Tiongkok dan translator tripitaka, Fa-Hsien (429 M) tinggal 2 tahun di vihara Abhayagiri mencatat seorang pedagang Tiongkok mempersembahkan dana di Abhayagiri, beberapa Bhikṣuṇī berangkat ke Tiongkok dengan kapalnya (hal.9). Raja Mahanama pernah bersurat ke raja China dengan hadiah berupa model relik gigi yang tersimpan di vihara Abhayagiri. ["The Unbroken Lineage of the Sri Lankan Bhikkhuni Sangha from 3rd Century B.C.E. to the Present". Dr. H Goonatilake].

Biksuni pertama Tiongkok, Hui-kuo (sekitar 364-433 M, "Catatan Lengkap Biografi Bhikṣuṇī", vol.2, Cf. Tsai 36-38, biography no.14) merupakan anggota aliran Biksu Kashmir Gunavarman. Penahbisan Hui-kuo, Seng-kuo, dan lainnya terjadi di Nanking oleh bhikṣu Sanghavarman dan bhikṣuṇī senior Devasarā ["Buddhist Nuns’ Ordination in the Mūlasarvāstivāda Vinaya Tradition: Two Possible Approaches", Bhikṣuṇī Jampa Tsedroen, Journal of Buddhist Ethics, Vol.23, 2016].

Valentina Stache-Rosen: Gunavarman (367 - 431 M) dalam Chiao "Lives Eminent Monks" (T 2059 Kao Seng Chuan) dikatakan mahir 9 bagian kitab suci Buddha, 4 Agama (padanan di pali untuk kata nikaya), 10.000 kata-kata sutra, aturan dan meditasi (hal.8), Di usia 30 tahun pergi ke Sri Lanka dan kemudian ke Jawa (hal.9), Ia sangat mungkin berasal dari aliran Sarvastivada dan kemudian akrab dengan sutra Mahayana (hal.27). Fa-Hsien menyatakan vihara Abhayagiri di abad ke-3 M mengadopsi paham Vetulyapada, yang menurut Senarath Paranavithana, ini adalah Mahayana, sehingga lebih mungkin bagi Biksu seperti Gunavarman lebih diterima di Abhayagiri daripada di Mahavihara (hal.28). Gunavarman wafat sebelum penahbisan Biksuni, namun sempat meninggalkan wasiat dalam 36 sloka dan memesan agar wasiatnya diserahkan pada biksu yang datang dari India atau kepada biksu negeri ini untuk penahbisan (hal.24-25), ketika Sanghavarman ke Nanking, Ia menjadi penahbis Biksuni (hal.23) [GUNAVARMAN (367-431), "A Comparative Analysis of the Biographies found in the Chinese Tripitaka", Valentina Stache-Rosen].

Dapat disimpulkan bahwa jalur sangha biksuni Tiongkok yang didatangkan dari Sri Lanka ini adalah dari aliran Mahayana bukan Theravada.

Sekitar tahun 993 M, raja Rajaraja (985-1014 M) kerajaan Hindu, Cola, mulai menginvasi Anuradhapura/Sri Lanka dan baru sepenuhnya tertaklukan di tahun 1017 M jaman raja Cola, Rajendra 1 (1012-1044 M), Penaklukan kerajaan Cola mengaakibatkan sangha Bhikkhu dan Bhikkhuni Theravada Sri Lanka menjadi lenyap [Culavamsa I.55.19-22]. Sekitar tahun 1070 M, Raja Sri Lanka, Vijayabahu I (1059-1114 M) setelah mengusir kerajaan Cola, kemudian menghidupkan lagi sangha Theravada Sri Lanka melalui jalur dari Burma [Culavamsa I.60.4-8; Prasasti lempengan Vēḷaikkārar dari Vijayabahu I, Polonnaruwa. Juga, "Buddhist Connections in the Indian Ocean: Changes in Monastic Mobility, 1000-1500", Anne M. Blackburn]. Untuk mengapa Burma saat itu tidak mengirim Bhikkhuni, Alexander Berzin menyampaikan: Karena raja pendiri dinasti Pagan, Burma yaitu Anawrahta Minsaw (1014 – 1077) tidak meyakini kemurnian silsilah penahbisan para bikhuni area Mon, walaupun Bhikkhu area Mon (Shin Arahan) jugalah yang mengubah Anawrahta dari penganut aliran Buddhis Ari menjadi Theravada, akibatnya, Anawrahta tidak mengirim satu pun bikkhuni untuk membangun kembali sangha bikkhuni Theravada di Sri Lanka, Bukti prasasti terakhir keberadaan biara biksuni di Burma adalah pada tahun 1287 M, yaitu ketika Pagan jatuh karena invasi Mongol. Kemudian Sri Lanka (1215-1236) mengalami lagi penyerbuan, kali ini oleh Magha, raja kerajaan Kalinga (India Timur), setelah kekalahan Kalinga, Sangha Srilanka juga melemah dan di tahun 1236 M, sangha Theravada dari Kanchipuram (Tamilnadu, India Selatan, kerajaan Cola) diundang ke Sri Lanka, untuk menghidupkan Sangha Theravada, namun tidak terdapat Bhikkhuni Tamil yang datang, ini menunjukan sangha bikkkhuni Theravada India Selatan, juga sudah lenyap. Bukti tertulis terakhir keberadaan sangha bikkhuni di India Utara, termasuk Benggala, berasal dari akhir abad ke-12 M namun tidak jelas dari aliran mana garis silsilah bikkkhuni tersebut. Untuk Thailand, adalah Raja Ramkhamhaeng dari Kerajaan Sukhothai (akhir abad ke-13) yang memprakarsai pendirian sangha Theravada dan mengambil silsilah dari Sri Lanka, namun karena sangha bikkkhuni Theravada Sri lanka tidak ada, maka silsilah penahbisan bikkhuni Theravada Thailand juga tidak ada, juga karena di awal abad ke-14, Sangha Theravada didirikan di Kamboja yang mengambil silsilah dari Thailand dan di Laos yang mengambil silsilah dari Kamboja, oleh karenanya, silsilah sangha bikkhuni Theravada di Kamboja dan Laos juga tidak ada, Oleh karena tidak ada lagi silsilah sangha bhikkhun Theravada di India dan 4 negara Buddhis aliran Theravada yaitu Burma, Siam/Thailand, Kamboja atau Laos, maka sangha bhikkhuni Theravada, telah lenyap selamanya.

Upaya menghidupkan sangha bhikkhuni tidak mungkin lagi dapat dilakukan karena syarat pentahbisan bhikkhuni memerlukan keberadaan bhikkhuni (sebagai upajjhaya, acariya, kammavaca + beberapa lagi) yang semuanya HARUS dari kalangan yang sama (Theravada), setelah itu, mereka pun akan ditahbiskan lagi dihadapan sangha Bhikkhu (Theravada).

Di jaman ini sudah terjadi upaya paksa untuk menghidupkan kembali sangha bhikkhuni Theravada, di antara dalih yang digunakan misalnya:
  1. Masih ada jalur bhikkhuni Sri Lanka yang menuju Tiongkok, padahal mereka ini bukan aliran Theravada, tapi aliran Mahayana. Penahbisan lintas aliran adalah tidak sah.
  2. Ide penahbisan dengan athagarudhamma lagi seperti kepada Mahapajapati Gotami, padahal jenis penahbisan ini hanya khusus diberikan sang Buddha kepada beliau dan tidak pernah lagi dilakukan beliau kepada orang lainnya.
  3. Bahwa penahbisan 500 orang pengiring Gotami tidak dilakukan secara 2 sisi, karena sang Buddha berkata "Para bhikkhu, Aku ijinkan para BHIKKHUNI untuk ditahbiskan oleh para bhikkhu (anujānāmi, bhikkhave, bhikkhūhi BHIKKHUNIyo upasampādetun”ti)". Padahal pada kalimatnya saja jelas ada kata "Bhikkhuni", artinya Gotami saat itu, telah bertindak sebagai pengusul, upajjhaya, acarya, kammavaca mereka, sehingga mereka disebut dengan kata "Bhikkhuni" bukan "calon bhikkhuni/Samaneri". Setelahnya, para bhikkhuni ini, ditahbiskan lagi dihadapan para bhikkhu. Jadi ini adalah metode penahbisan 2 sisi juga.
Upaya-upaya tentunya pernah juga terpikir oleh mereka yang ada di abad ke-11 (yang juga paham bahasa pali, sutta dan vinaya), namun ketika melihat kenyataan bahwa sangha bhikkhuni di 4 negara Theravada ternyata sudah tidak ada lagi, tidaklah mereka paksakan. [Pojokan Wirajhana: Ringkasan Ajaran Buddha [↑]]

6 komentar:

  1. baca sambil ngopi......acud nya

    BalasHapus
  2. Bagus Pak, terima kasih, sangat menambah pengetahuan, jadi semakin jelas.

    BalasHapus
  3. Anda cerdas dan teliti pak wira. Senang dapat membaca artikel anda. Tks namaste

    BalasHapus
  4. Pak Wira, tolong dgn jelas sertakan bukti2 bahwa misionaris2 yg menyebarkan aliran Buddha sehingga raja2 Jawa menjadi pemeluk agm Buddha

    BalasHapus