Jumat, 18 Maret 2016

Terbentuknya Tipitaka dan Perpecahan Buddhisme Menjadi Banyak Aliran


Bahasa dan pengertian manusia tidaklah terbentuk dengan sendirinya, ini membutuhkan pengajaran agar dapat membentuk suatu ingatan berbahasa dan pengertian lainnya. Beberapa percobaan telah dilakukan untuk membuktikan hal ini, dengan mengisolasi sejumlah bayi selama jangka waktu tertentu untuk diketahui kata pertama apa yang diucapkannya:
  1. Dalam catatan Sejarah Herodotus. Ia mencatat raja Mesir, Psamtik 1 (664 SM – 610 SM) mengasingkan 2 bayi selama 2 tahun untuk diketahui apa kata pertama yang diucapkannya
  2. Raja frederik II abad ke-13, melakukan percobaan yang sama untuk diketahui bahasa apa yang keluar dari mulut mereka apakah Ibrani, Yunani, Latin, Arab atau bahasa ibu yang melahirkan mereka, namun percobaannya gagal
  3. Di abad ke 14/15, James IV dari Skotland, mengasingkan 2 bayi yang diasuh oleh orang bisu
  4. Di Abad ke-15/16, Akbar, raja mughal melakukan percobaan, dengan asumsi bahwa kemampuan berbicara muncul dari pendengaran, jadi manusia yang dibesarkan tanpa pernah mendengar suara manusia akan tuli. Hasilnya, anak-anak itu tidak tuli, namun tidak satupun dari mereka yang dapat berbicara jelas [Lihat juga: ini dan ini]
Demikian pula, dengan proses terjadinya suatu ajaran, ini memerlukan peran aktif para pengajar, institusi (organisasi/negara) dan juga pengulangan yang dilakukan secara masif, sistimatis dan intensif. Pelestarian Buddhisme, dilakukan dengan menghafal. Tercatat, dalam inskripsi Bharbut dari abad 3-2 SM, beberapa penghafal super pria/wanita yang digelari: Bhanaka atau Dhammakathika (pengujar Dhamma) atau Petakin (pengujar keranjang) atau Suttantika (pengujar sutta) atau Pancanekayika (pengujar 5 nikaya) [misal: "A History of Indian Literature: Buddhist literature and Jaina literature", Moriz Winternitz, hal.18]. Bahkan sampai sekarang, kegiatan menghafal ini masih dilakukan, Guiness Book of record, tahun 1985, mencatat nama Sayadaw Mingun, seorang Bikkhu dari desa Mingun, Myanmar. Bertempat di Rangoon, Burma pada bulan May 1954, beliau berhasil mengalunkan 16,000 halaman kanon teks Buddhist dan ketika dibandingkan dengan teks tertulis Tipitaka, hasilnya adalah tanpa salah satu huruf-pun. Ia dianugerahi gelar Tipitakadhara Dhammabhandagarika (Pembaca TiPitaka dan penjaga Dhamma). Tercatat 11 Bikkhu saat itu yang berkemampuan sepertinya.

Untuk tahu lebih lanjut tentang pendiri dan ajaran ini, silakan buka "Riwayat Buddha Gotama" dan juga "Ringkasan Ajaran Buddha" (semua terjemahan sutta/vinaya artikel ini, diasumsikan telah diterjemahkan sesuai)

Bagaimana Tipitaka terbentuk?

Konsili ke-1,
Di menjelang Parinibbananya, yaitu di Rajagaha, Sang Buddha menyampaikan 7 faktor kemajuan bukan kemunduran (aparihāniyā dhammā), yaitu selama para Bhikkhu:
  1. sering mengadakan pertemuan rutin,
  2. bertemu dalam damai, berpisah dalam damai, dan melakukan tugas-tugas mereka dalam damai,
  3. tidak menetapkan apa yang belum ditetapkan sebelumnya, dan tidak meniadakan apa yang telah ditetapkan, melainkan meneruskan apa yang telah ditetapkan,
  4. menghormati para senior yang lebih dulu ditahbiskan, ayah dan pemimpin dari Sangha/kumpulan Bhikkhu,
  5. tidak menjadi mangsa dari keinginan yang muncul dalam diri mereka dan mengarah menuju kelahiran kembali,
  6. setia menjalani kehidupan dalam kesunyian hutan dan
  7. menjaga ingatan mereka masing-masing (paccattaññeva satiṁ upaṭṭhapessanti) [DN 16/MahaParinibbana sutta]
Selama hal di atas dilakukan maka yang terjadi adalah kemajuan dan bukan kemunduran. Kemudian, ketika di Bhojanegara, beliau menyampaikan cara menyikapi klaim-klaim bahwa itu adalah ajaran sang Buddha atau bukan, yaitu dengan membandingkan klaim-klaim itu dengan sutta-sutta dan vinaya:
  1. Buddha. ..“Di hadapan Sang Bhagavā aku mendengar hal ini; di hadapan Beliau aku mempelajari hal ini: inilah Dhamma/Sutta, inilah Vinaya/Patimokha/disiplin, inilah Ajaran Sang Guru (ayaṃ dhammo, ayaṃ vinayo, idaṃ satthusāsana)” maka, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya. Kemudian tanpa menerima atau menolak, kata-kata dan frasenya harus dengan baik dipelajari (padabyañjanāni sādhukaṁ uggahetvā), dibandingkan dengan sutta-sutta dan dilihat di vinaya (sutte otāretabbāni, vinaye sandassetabbāni), Jika telah dibandingkan dengan sutta-sutta dan telah dilihat di vinaya, tidak selaras dengan sutta-sutta dan tidak ada di vinaya (na ceva sutte otaranti na vinaye sandissanti), maka “Pasti ini bukan kata-kata Sang Buddha, hal ini telah keliru dipahami bhikkhu ini,” dan kata-katanya harus ditolak. Jika telah dibandingkan dengan sutta-sutta dan telah dilihat di vinaya, selaras dengan sutta-sutta dan ada di vinaya, maka “Pasti ini adalah kata-kata Sang Buddha, hal ini telah dengan benar dipahami bhikkhu ini.” Ini adalah kriteria ke-1.
  2. Sangha. ..“dihadapan sangha itu, Aku mendengar, mempelajari hal ini: inilah Dhamma, inilah disiplin, inilah Ajaran Sang Guru,” maka, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya ... (seperti di atas). Ini adalah kriteria ke-2.’
  3. Para Bhikkhu Senior. ..“di hadapan beberapa bhikkhu senior terpelajar yang menguasai ajaran, ahli dalam Dhamma, vinaya dan kerangka ajaran itu, Aku mendengar, mempelajari hal ini: inilah Dhamma, inilah disiplin, inilah Ajaran Sang Guru,” ... (seperti di atas). Ini adalah kriteria ke-3.’
  4. Seorang Bhikkhu Senior. ..“ di hadapan seorang bhikkhu senior terpelajar yang menguasai ajaran, ahli dalam Dhamma, vinaya dan kerangka ajaran, Aku mendengar, mempelajari hal ini: inilah Dhamma, inilah disiplin, inilah Ajaran Sang Guru,” ... (seperti di atas). Ini adalah kriteria ke-4' [DN 16/MahaParinibbana sutta dan AN 4.180/Maha Padesa Sutta]
Seminggu Pasca Parinibbana Sang Buddha:
Yang Mulia Kassapa Yang Agung sedang melakukan perjalanan dari Pāvā menuju Kusinārā bersama sejumlah besar bhikkhu, sekitar 500 orang. Setelah keluar dari jalan utama, YM Kassapa Yang Agung duduk di bawah pohon. Saat itu seorang Ājīvaka (petapa telanjang) yang tengah memegang sekuntum bunga pohon-koral berjalan dari Kusinārā menuju Pava. YM Kassapa melihatnya dari jauh dan ketika telah mendekat, beliau berkata kepadanya: ‘Sahabat, apakah engkau mengenal guru kami?’ ‘Ya, sahabat, aku mengenal Beliau. Hari ini seminggu Parinibbana/wafatnya Petapa Gotama (ajja sattāhaparinibbuto samaṇo gotamo). Oleh karenanya, Aku menggenggam bunga pohon-koral ini.’ Para bhikkhu yang belum terbebas nafsu, beberapa menjulurkan lengan, meratapi, menjatuhkan diri berguling maju mundur, berkata: "Terlalu cepat Sang Bhagavā, sang Sugato, Parinibbāna, terlalu cepat Sang Mata Dunia menghilang/antaradhāyissatī" Tetapi para bhikkhu yang telah terbebas nafsu, dalam ingatan yang sepenuhnya mengetahui, menahankan-nya (Ye pana te bhikkhū vītarāgā, te satā sampajānā adhivāsenti): ‘Segala yang berkondisi tidak kekal, bagaimana mungkin tidak (aniccā saṅkhārā, taṃ kutettha labbhā'ti)’.

Duduk dalam kumpulan bhikkhu itu, Subhadda, seorang yang menjadi bhikkhu di usia tua, berkata kepada para bhikkhu yang menangis: ‘Cukup, teman-teman, jangan menangis dan meratap. (sumuttā mayaṁ tena Mahāsamaṇena) Kita telah terbebas dari Sang Petapa Agung (upaddutā ca homa) sebagai korban kecamannya: “Ini baik untukmu, ini tidak baik bagimu lakukanlah ini!” (Idāni pana mayaṁ yaṁ icchissāma taṁ karissāma) Sekarang kita dapat lakukan apa yang kita inginkan, (yaṁ na icchissāma taṁ na karissāmā'ti) dan tidak lagi lakukan apa yang tidak kita inginkan’ [DN 16/MahaParinibbana Sutta, Vinaya: Cullavaga XI]

Rencana 3 bulan pasca Parinibbana Sang Buddha
[Mengetahui bahaya tentang ini, sesampainya di tempat] YM Kassapa kemudian mengajak para Bhikkhu untuk mengumpulkan Dhamma dan Vinaya Sang Buddha. Berikut narasi Cullavagga XI:
    Marilah, para Yang Mulia, kita mengulangi dhamma dan disiplin, sebelum APA YANG BUKAN dhamma dan APA YANG BUKAN disiplin menjadi bersinar dan apa yang merupakan Dhamma dan disiplin menjadi tersembunyi, sebelum mereka yang mangatakan APA YANG BUKAN dhamma dan APA YANG BUKAN disiplin menjadi kuat dan mereka yang mengatakan dhamma dan disiplin menjadi lemah

    Kemudian Para Bhikkhu sepuh meminta YM Kassapa untuk memilih para Bhikkhu dan YM Kassapa memilih 500 Arahat namun kurang 1. Para Bhikkhu berkata pada YM Kassapa bahwa YM Ānanda walaupun masih dalam tahap berlatih, tidak mungkin mengikuti jalan salah melalui nafsu, kemarahan, kebodohan, ketakutan; dan Iapun telah menguasai banyak dhamma dan disiplin dari sang Buddha oleh karenanya mereka meminta YM Kassapa untuk memilih YM Ānanda juga. YM Kassapa kemudian memilih YM Ānanda.

    Kemudian Para sesepuh berpikir untuk memilih Rājagaha sebagai tempat bervassa/melewati musim hujan, juga sebagai tempat untuk membacakan dhamma dan disiplin dan bahwa TIDAK ADA BHIKKHU LAIN yang akan bervassa di Rājagaha selama musim hujan ini.

    YM Kassapa kemudian menyampaikan kepada Sangha agar menyetujui penunjukan 500 bhikkhu ini untuk membacakan dhamma dan disiplin selagi menjalani masa musim hujan di Rājagaha, dan agar selama musim vassa itu TIDAK ADA BHIKKHU LAINNYA yang bervassa di Rājagaha. Saṅgha menyetujui dengan berdiam diri.

    Kemudian di awal masa vassa (paṭhama māsa), di Rājagaha, para Bhikkhu sepuh memperbaiki bagian-bagian yang rusak dan dipertengahan masa vassa (majjhima māsa) mereka membacakan Dhamma dan Disiplin.

    Sehari sebelum pertemuan, YM Ānanda berpikir: “Besok adalah hari pertemuan, tidak selayaknya bagiku, seorang yang masih berlatih, pergi ke pertemuan itu,”. Setelah melewatkan banyak waktu di malam itu dalam ingatan pada jasmani, ketika malam hampir berlalu, ia berpikir akan berbaring, ketika Ia sedang merebahkan tubuh, yaitu ketika kepala BELUM menyentuh alas tidur dan ketika kaki TELAH terangkat dari tanah. Di interval waktu itulah, pikirannya terbebaskan dari kekotoran mental (anupādāya āsavehi cittaṃ vimucci) dan keesokan harinya, YM Ānanda, pergi kepertemuan itu sebagai Arahat.

    Kemudian YM Kassapa memberitahu Sangha bahwa beliau akan menanyai YM Upāli tentang disiplin. YM Upāli memberitahukan Saṅgha bahwa Beliau akan menjawab pertanyaan tentang disiplin yang diajukan YM Kassapa yaitu dimulai dengan pelanggaran pertama parajika, latar belakangnya, pelakunya, apa yang ditetapkan, apa yang ditetapkan lebih lanjut, apa yang merupakan pelanggaran dan apa yang bukan merupakan pelanggaran.. parajika ke-2.. Parajika ke-3.. Parajika ke-4..

    Dengan cara yang sama, YM Kassapa terus menerus menanyai YM Upali tentang ke dua disiplin dan YM Upāli pun menjawabnya

    Kemudian YM Kassapa memberitahu Sangha bahwa beliau akan menanyai YM Ānanda tentang dhamma. YM Ānanda memberitahukan Saṅgha bahwa Beliau akan menjawab pertanyaan dhamma yang diajukan YM Kassapa yaitu dimulai dengan Brahmajāla, tempat pembabarannya, kepada siapa dan latar belakangnya..Sāmaññaphala..

    Dengan cara yang sama, YM Kassapa terus menerus menanyai YM Ananda tentang 5 Nikāya (pañcapi nikāye) dan YM Ānanda pun menjawabnya

    Kemudian, di hadapan para bhikkhu sepuh, Ānanda menyampaikan pesan Sang Buddha yaitu setelah beliau wafat, jika Saṅgha menghendaki, peraturan-peraturan latihan yang kecil dan minor boleh dihapuskan. Para bhikkhu sepuh bertanya apakah YM Ananda juga menanyakan pada Sang Buddha mengenai peraturan-peraturan latihan yang kecil dan minor mana yang dimaksudkan? YM Ananda menjawab tidak dan bertanya kembali kepada Sangha, mengenai yang mana yang dimaksudkan sebagai peraturan-peraturan latihan yang kecil dan minor itu? Menanggapi ini, munculah ragam pendapat di antara para sepuh:

    1. Beberapa sesepuh berkata: Kecuali 4 pārājikā (telah kalah karena melanggar kehidupan kesucian), maka selebihnya adalah peraturan-peraturan latihan yang kecil dan minor
    2. Beberapa sesepuh berkata: Kecuali 4 pārājikā + 13 saṃghādisesa (pelanggaran yang keputusannya memerlukan sidang resmi Saṅgha), maka selebihnya adalah peraturan-peraturan latihan yang kecil..
    3. Beberapa sesepuh berkata: Kecuali 4 pārājikā + 13 saṃghādisesa + 2 aniyata (memerlukan pengakuan bhikkhu/ni apakah Ia melanggar/tidak berduaan dengan lawan jenis ditempat sunyi/tertutup), maka selebihnya adalah..
    4. Beberapa sesepuh berkata: Kecuali 4 pārājikā + 13 saṃghādisesa + 2 aniyata + 30 nissaggiya pācittiya (pelanggaran perolehan yang memerlukan pengakuan dan pelepasan benda yang diterimanya),...
    5. Beberapa sesepuh berkata: Kecuali 4 pārājikā + 13 saṃghādisesa + 2 aniyata + 30 nissaggiya pācittiya + 92 pācittiya (pelanggaran moralitas yang memerlukan pengakuan),..
    6. Beberapa sesepuh berkata: Kecuali 4 pārājikā + 13 saṃghādisesa + 2 aniyata + 30 nissaggiya pācittiya + 92 pācittiya + 4 pāṭidesanīya (pelanggaran tentang sikap yang harus diketahui dan diakui kesalahannya), selebihnya adalah peraturan-peraturan latihan yang kecil dan minor

    Kemudian YM Kassapa memberitahukan Saṅgha bahwa terdapat peraturan-peraturan latihan yang berpengaruh pada para perumah tangga dan juga pada petapa yang diketahui oleh perumah tangga: ‘Ini pasti tidak diperbolehkan bagi para petapa, ini pasti diperbolehkan.’ Jika hendak menghapuskan maka akan ada di antara mereka yang berkata: ‘Sewaktu Sang Guru masih berada bersama mereka, mereka berlatih dalam peraturan-peraturan itu, namun ketika Sang Guru telah wafat, mereka tidak lagi berlatih dalam peraturan-peraturan itu"

    Untuk itu Saṅgha tidak boleh menetapkan apa yang belum ditetapkan, juga tidak menghapuskan apa yang telah ditetapkan. Sangha menyetujui dengan berdiam diri.
    [Cullavagga XI]

    Note:
    Kejadian adanya konsili ke-1, juga ada di teks-teks tradisi Utara, misal: Mahavastu dan Dulva vinaya tibet, aliran Sarvastivada, catatan Fa-hien (abad ke-5) dan Xuanzang (abad ke-7), namun untuk jumlah arahatnya berbeda, Xuanzang: 1000 [“Mahavamsa, Geiger, Introduction, hal. liv]. Tempat konsili di Gua Sattapanni, Rajagraha tidak ada Cullavagga XI, namun disebut dalam Mahavamsa 3.19 dan Dipavamsa 4.14 dan kitab komentar. Lama waktu konsili 7 bulan tidak ada di Cullavagga namun di Mhv 3.37 dan Dipv 5.5

    Maha Kassapa berumur 120 tahun saat konsili ke-1 di gua sattapanni [DPPN, dari kitab Komentar/atthakatha: SA.ii.130 (..kassapo pana vīsavassasatāyuko, so mayi parinibbute sattapaṇṇiguhāyaṃ..)]. Tradisi Selatan/Tradisi Pali tidak menceritakan kapan dan bagaimana Mahakassapa wafat, namun tradisi Utara, yang bersumber dari fa-hien [Records of Buddhist nations, Fahein- James Legge, ch.33] dan Xuanzang [On Yuan Chwang’s Travels in India, Thomas Watters Vol-II, hal.144-145] menyatakan Mahakassapa bahkan masih hidup hingga kini: Sekitar 30 tahun pasca konsili ke-1, Maha Kassapa menyerahkan mangkuk pindapatta Sang Buddha kepada Ananda sebagai lambang kelanjutan pelestarian Dhamma, setelah memberi hormat pada Stupa Buddha, menuju ke Rajgriha untuk bertemu Raja Ajatsatru, tapi karena Ia sedang tidur dan tidak bisa diganggu, kemudian menuju Kukkutapādagiri. Setibanya, di gunung Kukkutapāda yang puncaknya berbentuk 3 kaki ayam, puncak ini membelah, Ia kemudian duduk bermeditasi di dalamnya hingga datangnya Buddha Metreya dan menyerahkan jubah Buddha Gotama kepada Buddha Metreya. Di tempat ini Ajatsatru yang datang ditemani Ananda, kemudian mendirikan stupa.

    Tradisi Selatan: Upali wafat ketika anak Ajatasattu yaitu Udayin-Bhadda/Udayabhadda memerintah sebagai raja di tahun ke-6nya [Dpv. 5.97] atau tahun ke-30 tahun pasca paranibbananya Buddha.

    Ananda lahir pada hari yang sama dengan Sidhartha Gautama. Theragata 17.3, berisi pernyataan Ananda dan pernyataan Thera konsili ke-2, terkait parinibbananya Ananda. Tradisi Selatan: Saat Ānanda Thera berusia 120 tahun, Ia menyampaikan akan wafat dalam 7 hari dan didengar para penduduk kedua sisi Sungai Rohiṇī, 7 hari kemudian, dengan duduk bersila melayang di tengah sungai setinggi 7 pohon palem, setelah memberi kotbah dhamma, tubuhnya mengeluarkan api, terbelah dua, jatuh di kedua sisi sungai, untuk masing-masing pihak [DPPN bersumber dari komentar: DhA ii.99 atau Dhammapada Atthakatha, vol.2, ITC, hal 338-340]. Tradisi Utara, yang bersumber dari Fa-Hien: Ānanda berjalan dari Magadha ke Vesāli untuk parinibbana, Ajātasattu dan para kepala suku Vesali berserta rombongan mengikuti sampai sungai Rohiṇi. Kedua pihak mencapai tepi sungai. Kemudian Ānanda, yang berada tengah sungai, tubuhnya terbakar terbagi dua untuk masing-masing pihak. Mereka membangun stupa di sana.

    [Tradisi Selatan dan sumber lainnya: Ajatasattu memerintah 32 tahun (8 sebelum parinibbananya Buddha + 24 tahun pasca). Saat Ananda wafat, tidak ada Ajatasattu, hanya para penduduk dua sisi sungai. Tradisi Utara: Ajatsatru memerintah lebih dari 38 tahun (8 tahun + 30 tahun Pasca parinibbanannya Buddha), jika merujuk kejadian Maha Kassapa bahkan lebih dari 48 tahun, jika merujuk wafatnya Ananda wafat (40 tahun pasca parinibbananya Buddha)]
Setelah selesai konsili ke-1, kitab Buddhisme saat itu BUKANLAH Tipitaka/Tripitaka (3 keranjang) melainkan DvePitaka (2 keranjang): Dhamma/sutta-sutta [sebanyak 5 nikaya/agama. Arti Nikaya = Agama = Kumpulan] dan vinaya, sedangkan kitab Abhidhamma [yang sebanyak 7 kitab] BELUMLAH ADA

Kapan susunan Tipitaka mencapai bentuk seperti sekarang?
Ketika Mahakassapa menanyai Upali tentang kedua vinaya adalah tentang Bhikkhu dan Bhikkhuni. Vinaya Pitaka terbagi tiga:
  1. Suttavibhanga (Maha/Bhikkhuvibhanga dan Bhikkhunivibhanga),
  2. Khandaka (Maha dan Culla Vagga) dan
  3. Parivara.
Suttavibhanga adalah pātimokkha (yang harus dilakukan, aturan) dan terdapat 2 pātimokkha, yaitu ovada (nasihat) dan āṇā (intruksi, perintah). Jumlah āṇā pātimokkha: "Sādhikamidaṃ (lebih dari)..diyaḍ­ḍha­sikkhā­pada­sataṃ (150 aturan latihan)" yang dibacakan per 2 minggu [AN 3.384, 386, 387, 388. Milanda 5.2.1 dan 6.2.8], jumlah tepat untuk Patimokha/Vinaya Bhikkhu 227 aturan dan Bhikkhuni 311 aturan:

(1) Parajika (Kalah, bisa sukarela diakui tanpa kehadiran sangha atau terpaksa melalui kehadiran sangha, hasilnya lepas jubah/dikeluarkan, tidak dapat menjadi bhikkhu seumur hidupnya. Ini disebut pelanggaran yang tidak bisa diperbaiki. Bhikkhu = 4, Bhikkhuni = 8),
(2) Saṃghādisesa (Pertemuan Formal: Keputusan yang memerlukan kehadiran sangha, hasilnya bisa lepas jubah/dikeluarkan ataupun tidak. Bhikkhu = 13, Bhikkhuni = 17. Disamping itu, pertemuan formal dilakukan juga untuk menentukan Thullaccaya/Pelanggaran yang detail itemnya hampir seperti parajika dan Sanghadisesa namun hasilnya tidak persis sama/tidak sempurna terjadi atau jika sempurna menjadi sebuah pelanggaran. Detail jenis Thullaccaya TIDAK ADA satupun di 227/311 aturan, oleh karenanya membutuhkan kehadiran Sangha, sample: parajika: membunuh dan mati, thullaccaya: tidak mati. Sanghadisesa: melakukan martubasi dan ejakulasi, Thullaccaya: martubasi namun tidak ejakulasi. Juga item selanjutnya di bawah ini juga terkadang memerlukan pertemuan formal, yang lebih ringan berupa dukkaṭa/tindakan salah dan dubbhāsita/ucapan salah.
(3) Aniyata (Belum pasti pelanggaran, butuh pengakuan yang bersangkutan: Bhikkhu = 2),
(4) Nissaggiya Pācittiya (Pācittiya/Pelanggaran yang membutuhkan penebusan dan melepas barang/nissaggiya. Bhikkhu/Bhikkhuni = 30),
(5) Pācittiya (Pelanggaran yang membutuhkan penebusan. Bhikkhu = 92, Bhikkhuni = 166, yaitu 96+70 dari bhikkhu),
(6) Pāṭidesanīya (Yang harus disadari dan diakui kesalahannya. Bhikkhu = 4, Bhikkhuni = 8),
(7) Sekhiya (Latihan: Bhikkhu/Bhikkhuni = 75),
(8) Adikharanasamathā dhammā (Penyelesaian masalah: Bhikkhu/Bhikkhuni = 7)

Jenis pelanggaran terbagi sebagai Lahuka/ringan (Thullaccaya, Pācittiya + Nissaggiya, Pāṭidesanīya, Dukkaṭa dan Dubbhāsita. ) dan sebagai Garuka/berat (Parajika dan Saṃghādisesa). Pelanggaran yang dapat diperbaiki disebut Sappatikamma (yaitu SELAIN Parajika).

Komentar Vinaya Pada-bajaniya, dengan penjelasan kata perkata mirip dengan Niddesa (di sutta) sehingga berada pada jaman yang sama ["History of Indian Literature", Norman K.R, vol.2, 1983, hal.19]. Norman K.R meyakini bahwa Vinaya dengan bentuk seperti sekarang (3 bagian) telah ada sebelum konsili ke-2 [Ibid, hal. 24]. Parivara Vinaya menyampaikan jalur bhikkhu yang bertanggungjawab menurunkan sutta dan vinaya dari konsili ke-1 hingga di Tambapaṇṇi, Srilanka. Mahinda tiba di Srilanka (32 tahun, 12 tahun sejak ditahbiskan/upasampada: 20 tahun/DipV.5.82 + 12.5 tahun/Mhv 13.1-5) dan tinggal 48 tahun hingga Parinibbana (wafat 80 tahun, 60 tahun sejak ditahbiskan: 40 tahun Raja Devanampiyatissa/Dipv 17.92, Mhv 20.28 + 8 tahun Raja Uttiya/Dipv 17.92-85,Mhv 20.32). Dipavamsa mencatat bahwa dari sebelum era raja Srilanka Vattagamani, Srilanka (abad ke-1 SM), para Bhikkhu secara oral menurunkan 3 teks pitaka dan Aṭṭhakathā [Dipv 13.20].

Konsili ke-1 menyebutkan jelas bahwa dhamma/sutta terhimpun dalam 5 Nikaya. Isi Dhamma adalah: khotbah-khotbah/sutta, campuran prosa dan syair/geyya, penjelasan-penjelasan/veyyākaraṇaṃ, syair-syair/gātha, ucapan-ucapan inspiratif/udāna, kutipan-kutipan/itivutta, kisah-kisah kelahiran/jātaka, kisah-kisah menakjubkan/abbhutadhamma, dan serial pertanyaan dan jawaban/vedalla (misal: MN 122, AN 4.6, 5.155, 6.51). Para Thera di konsili ini menyusunnya menurut Vagga/Digha/Panjang, Paññāsaka/Majjhima/menengah, Saṁyutta/berkaitan, dan Nipāta/Aṅguttara/bagian lanjutan [Dipv 4.15-15. MiliandaPanha menyebutnya Ekuttara-Nikaya]. YM Nārada ketika bersama YM Ananda, YM Musīla, YM Saviṭṭha menyampaikan dirinya belum Arahat [SN 6.68] dan telah Arahat di jaman raja Munda [AN 5.50, wafat 48 tahun pasca Buddha Parinibbana], ini menunjukan bahwa 5 nikaya seperti yang ada saat ini, mencapai bentuk final sebelum konsili ke-2 jaman Kalasoka (100 setelah wafatnya Buddha).

Tentang kitab komentar/aṭṭhakathā (dalam pali), Buddhaghosa menyatakan:
    Atthappakāsanattham aṭṭhakathā ādito vasisatehi Pañcahi yāsaṅgītā ca anusaṅgītā ca pacchā pi. Sīhaladīpam pana ābhatā’tha vasinā Mahā-mahindena,Ṭhapitā Sīhalabhāsāya dīpavāsīnam atthāya
    (Untuk menjelaskan makna, Komentar awalnya dibacakan oleh 500 Guru (para Arahat di Konsili ke-1) dan dilafalkan (di dua Konsili berikutnya). Kemudian dibawa ke Sinhala oleh Mahinda yang agung, guru (Dhamma), dan diterjemahkan ke bahasa Sinhala untuk kepentingan penduduk pulau) [Buddhist Commentarial Literature, L. R. Goonesekere, The Wheel Publication No. 113, Tradition regarding the Aṭṭhakathā]

    Mrs. Rhys Davids: "Karena komentar-komentar terpadu yang lebih tua ini bervariasi baik dalam bentuk maupun metode, jelaslah bahwa komentar-komentar dari berbagai jenis berasal dari masa paling awal.” [Ibid]

    Dalam pengantar Samantapāsādikā, Buddhaghosa menyampaikan metode adopsinya: "Dalam komentar ini, saya mentautkan yang ada dalam Mahā-aṭṭhakathā (Mūla-aṭṭhakathā, ini disebut aṭṭhakathā/komentar) tanpa mengesampingkan makna yang tepat yang ada dalam Mahā-paccariya (aṭṭhakathā), seperti juga dalam Kurundī (aṭṭhakathā) dan komentar-komentar lainnya, termasuk pendapat para tetua...". Ia (Buddhaghosa) membatasi tulisannya hanya pada tradisi Mahāvihāra dan tidak semua materi komentar Sinhala masuk ke komentar Pali...Untuk pendapatnya sendiri, Buddhaghosa berikan catatan ayaṃ pana me attano mati (tetapi ini adalah pendapat saya sendiri), yang menunjukan Buddhaghosa tidak menambahinya dari bahannya sendiri [Ibid, Pali Commentaries]
Tentang Jataka Prosa dan Syair (syair dan aṭṭhakathā-nya):
    Mrs. Rhys Davids: ...sangat mungkin hingga hampir pasti, bahwa semua Kisah Kelahiran itu, yang tidak hanya ditemukan dalam apa yang disebut Kitab Jataka itu sendiri, tetapi juga dirujuk di bagian-bagian lain Pitaka Pali, sekurangnya berusia lebih tua dari konsili Vesali (konsili ke-2) [BUDDHIST BIRTH STORIES, V. FAUSBOLL dan T.W RHYS DAVIDS, Part II, hal.lv-lvi]
Tentang Khuddaka Nikaya,
Buddhaghosa (Abad ke-5 M): Ucapan sang Buddha yang tidak ada di 4 nikaya, ada di Khuddaka Nikaya/KN [Samantapasadika 16.14-15], KN berisi 15 daftar/buku (Khuddakapatha, Dhammapada, Udana, Itivuttaka, Suttanipata, Vimanavatthu, Petavatthu, Theragatha, Therigatha, Jataka, Niddesa, Patisambhidamagga, Apadana, Buddhavamsa dan Cariyapitaka) [SP 18. 12-15], Para pengujar Digha/Digha Bhanaka tidak memasukan daftar 4 buku (Khuddakapatha, Apadana, Buddhavamsa dan Cariyapitaka) ke KN, para Thera konsili ke-1 mengujarkan 12 lainnya (Niddesa terbagi menjadi Maha dan Cula) sebagai bagian Khuddakagantha, sub dari Abhidhamma-pitaka. Para pengujar Majjhima memasukan daftar 3 buku (Cariyapitaka, Apadana dan Buddhavamsa) sebagai daftar dari para pengunjar Digha, masuk dalam Khuddakagantha, sub dari Suttanta-pitaka [Sumangalavilasini 15.22-29]. Tipitaka Burma untuk KN, di samping 15 tersebut, juga 4 buku lagi (Petakopadesa, Nettippakarana, Suttasangaha dan Milindapanha) ["History of Indian Literature" Pali Literature, Norman K.R, vol.2, 1983, hal.30-31]

Oliver Abeynayake: KN terbagi dalam dua strata:
  1. (1) Sutta Nipata, (2) Itivuttaka, (3) Dhammapada, (4-5) Therigatha dan Theragatha, (6) Udana dan (7) Jataka → pada strata awal
  2. (8) Khuddakapatha, (9) Vimanavatthu, (10) Petavatthu, (11) Niddesa, (12) Patisambhida, (13) Apadana, (14) Buddhavamsa dan (15) Cariyapitaka → pada strata belakangan ["A textual and Historical Analysis of the Khuddaka Nikaya", Oliver Abeynayake Ph.D,1984, hal.113]
J.S Walters dan B.M Barua: Cariyapitaka, Buddhavamsa dan Apadana dibuat SETELAH jaman raja Asoka. A.K Warder: Patisambhidamagga dan Buddhavamsa dibuat paling awal pada akhir abad ke-2 SM dan Apadana dibuat paling awal pada abad ke-1 SM ["Journal pali text society", Vol.20, hal.32]. K.R Norman: Di Buddhavamsa 24.6 disebutkan Buddha Konagamana menyampaikan kotbah 7 buah kitab dan kitab komentar Buddhavamsa menyatakan 7 kitab yang dimaksudkan adalah kitab Abhidhamma, jadi Buddhavamsa ada setelah konsili ke-3. ["A History of Indian Literature", K.R Norman, 1983, hal.97]. Di APADANA Thera/Theri terdapat 2 syair yang memuat kata kitab Kathavatthu Abhidhamma:
  1. "Saṃkhittenapi desemi, vitthārena tathevahaṃ; Abhidhammanayaññūhaṃ, kathāvatthuvisuddhiyā; Sabbesaṃ viññāpetvāna, viharāmi anāsavo" (Belajar detail metoda Abhidhamma, menguasai kathavatthu, memahaminya semua, Aku bebas dari kebingungan) (Tha Apadana 7/Puṇṇamantāṇiputtattheraapadāna) dan
  2. "Kusalāhaṃ visuddhīsu, kathāvatthuvisāradā; Abhidhamma-nayaññū ca, vasippattāmhi sāsane" (Aku menguasai baik, kemahiran kathavatthu, metoda Abhidhamma, di sasana ini) (Thi Apadana 18/Khemātherīapadāna)
Paul William: Bechert menyatakan Buddhāpadāna ditulis ke bahasa Pali pada abad ke-1 atau awal abad ke-2 M ["Mahayana Buddhism: The Doctrinal Foundations", Notes, hal.268]. K.R Norman: Bechert menyatakan Buddhāpadāna TIDAK ADA di versi ke-1 kitab Apadana dan baru ada di abad ke-1 atau ke-2 M bersamaan dengan sukhavativyuha-nya Mahayana. ["Journal pali text society" vol.20, hal.31]. Petavathu dan Vimanavathu, dibuat SETELAH abad 3 SM, sample:
    Rājā piṅgalako nāma,
    Suraṭṭhānaṃ adhipati ahu;
    Moriyānaṃ upaṭṭhānaṃ gantvā,
    Suraṭṭhaṃ punarāgamā. [Petavathu 4.3.1]
T. W. Rhys (Thomas William Rhys) Davids Dialogues of the Buddha" di bagian pembuka: "[..] tentang raja Pingalaka. DHAMMAPALA (abad ke-6 M)....raja ini..hidup 200 tahun setelah Sang Buddha. Oleh karenanya, syair ini, juga cerita PETA VATTHU dan VIMANA VATTHU, selambat-lambatnya ada setelah Pingalaka... Buku-buku ini jelas, dari isinya, komposisinya adalah lebih belakangan dari semua yang di 5 Nikaya. Dalam hal 30-31, Mr Rhys menyatakan bahwa raja itu ada di 300 SM.

Apakah Dhamma itu?

Cakupan artinya sangatlah luas, yaitu: ajaran, bentukan, tradisi, cara menjadi kaya, mengelola: perusahaan, hidup, anak, membuat sepatu, meja, atau bahkan juga bendanya: kotak kayu, game online, rokok dan lainnya. Jadi, apapun dapat disebut dhamma namun dalam konteks ini adalah ajaran.

Perumpamaan rakit sering digunakan untuk mengklaim bahwa jika ingin pembebasan, maka sabbe dhamma [SEMUA AJARAN] termasuk AJARAN dari sang BUDDHA [Dhamma] harus dibuang karena itu hanyalah konsep belaka atau dengan kata lain TINGGALKAN SEMUA KONSEP! Klaim ini akan menjadi benar JIKA Ia melekat/menggenggam [gahaṇatthāya] erat Dhamma itu dan BUKAN sebagai sarana untuk mencapai ke-padam-an

Juga, KALAMA SUTTA [AN 3.65/Kesamutti sutta] mengajarkan kita untuk berhati-hati TIDAK SERTA MERTA MENGIKUTI:
  1. Tradisi: lisan/penyampaian berulang [anussavena/itihitihaṃ = tradisi]
  2. Tradisi: turun-temurun [paramparāya]
  3. Tradisi: kabar angin/gossip/kata orang/desas-desus [itikirāya]
  4. Tradisi: kumpulan teks tertulis [piṭakasampadānena]
  5. Penalaran: berdasarkan kesangsian/logika [takkahetu]
  6. Penalaran: berdasarkan makna/tindak-tanduk [nayahetu]
  7. Penalaran: berdasarkan sifatnya atau lewat analogi [kbbi: persamaan/persesuaian 2 hal yang berlainan/ākāraparivitakkena]
  8. Penalaran: berdasarkan spekulasi pandangan yang disetujui/opini yang dianggap beralasan [diṭṭhinijjhānakkhantiyā]
  9. Pembabarnya: tampak meyakinkan [bhabbarūpatāya], atau
  10. Pembabarnya: Petapa yang tidak lain adalah gurunya [samaṇo no garūti]
Perlu disidik agar mengetahui sendiri [attanāva jāneyyātha], apakah dhammā tersebut:
  1. BERMANFAAT/TIDAK? [KUSALA/A-KUSALA];
  2. DICELA/TIDAK? [anavajjā/sāvajjā];
  3. DIPUJI/DIHINDARI para bijaksana? [viññuppasatthā/viññugarahitā];
  4. MENUJU: bahagia sejahtera/penderitaan? [hitāya sukhāya/ahitāya dukkhāya saṃvattantīti]'
yang jika dijalankan, membuat atau TIDAK dirinya: tergairahkan, terbanjiri dan tertaklukkan oleh keserakahan [lobha], kebencian [dosa] dan kekeliruan tahu [moha] melakukan:
  1. penghancuran kehidupan,
  2. pengambilan apa yang tidak diberikan,
  3. perilaku seksual dengan istri orang lain,
  4. pernyataan yang salah, dan
  5. mendorong orang lain ikut melakukan tersebut.
Jika TIDAK menyebabkan hal-hal tersebut, maka agar diikuti. [AN 3.65]

Apakah semua Dhamma?

Ketika berada di Hutan siṃsapā, Kosambi, sang Buddha menyampaikan bahwa daun Siṃsapā yang ada di telapak tanganNya jauh lebih sedikit dari daun yang ada di hutan siṃsapā dan apa yang beliau ajarkan bahkan tidak lebih banyak dari beberapa lembar daun yang ada ditangannya

Perumpamaan daun siṃsapā ini kerap digunakan sebagai dasar argument bahwa bukan hanya ajaran Buddha atau ajaran Theravada saja yang dapat digunakan untuk mencapai kesucian. Argumen ini salah alamat karena dalam sutta tersebut disampaikan juga alasannya, yaitu yang beliau ajarkan HANYALAH Cattari Ariya Saccani [4 kesunyataan mulia], yaitu hal-hal yang berhubungan dengan: (1) Dukkha, (2) asal-muasalnya, (3) lenyapnya dan (4) jalan menuju lenyapnya Dukkha, yaitu: Jalan mulia berunsur 8

Mengapa?

Karena hal-hal tersebut berhubungan dengan tujuan [atthasaṃhitaṃ], prinsip prilaku luhur menuju kesucian [ādibrahmacariyakam], dan membawa pada kejenuhan duniawi [nibbidāya], ketiadaan nafsu [virāgāya], penghentian [nirodhāya], ketenangan [upasamāya], pengetahuan langsung [abhiññā], pencerahan [sambodhāya], pemadaman [nibbānāya]. [SN 56.31/Siṃsapā/Sīsapāvana Sutta]
    "[..]dalam dhamma dan vinaya mana pun, jika tidak terdapat Jalan Mulia Berunsur 8, maka di sana pun takkan terdapat seorang petapa sejati yang telah mencapai tingkat ke-1, ke-2, ke-3 atau ke-4. Tetapi dalam dhamma dan vinaya yang mana pun, jika terdapat Jalan Mulia Berunsur 8, maka di sana pun akan terdapat petapa yang sejati yang telah mencapai tingkat ke-1, ke-2, ke-3 atau ke-4. Kini, dalam dhamma dan vinaya yang kami ajarkan terdapat Jalan Mulia Berunsur 8 itu, maka dengan sendirinya juga terdapat petapa-petapa sejati yang telah mencapai tingkat ke-1, ke-2, ke-3 atau ke-4. Ajaran guru-guru lainnya yang tidak memiliki Jalan Mulia Berunsur 8 adalah kosong dan bukan petapa yang sejati" [DN.16/MahaParinibbana sutta]
Seberapa banyak "daun siṃsapā dhamma" yang dibabarkan sang Buddha?
    Dvāsīti buddhato gaṇhiṃ, dve sahassāni bhikkhuto; Caturāsītisahassāni, ye me dhammā pavattino’ (Aku mendapatkan 82.000nya dari Sang Buddha, 2.000nya dari para bhikkhu; 84.000 ini ajaran-ajaran yang ada padaku [Thag 17.3/Ananda]

    Dhammakitti Mahāsāmi (abad ke-14 M), mencatatnya menjadi: Dari 84.000: Sutta 21.000; Vinaya 21.000 dan Abhidhamma 42.000 ["Saddhammasaṅgaha", Bimala Churn Law, Ch.1, hal 33-34], yaitu: Vinaya-Pitaka: Parajika, Pacittiya, Bhikkhuni Vibhanga, Mahavagga dan Culavagga dan Parivara; Sutta-Pitaka: Digha-Nikaya: 34 Sutta, Majjhima-Nikaya: 152 Sutta, Samyutta-Nikaya: 7762 sutta, Anguttara-Nikaya: 9557 sutta dan Khuddhaka-Nikaya: Khuddhaka patha, Dhammapada, Udana, Itivuttaka, Suttanipata, Vimana dan Petavathu, Thera dan Theri Gatha, Jataka, Nidessa, Patisambhida, Apadana, Buddhavamsa dan Cariya Pitaka; Abhidhamma-Pitaka: Dhammasangani, Vibhanga, Dhatukatha, Puggala Pannatti, Kathavatthu, Yamaka dan Patthana [Ibid, hal.30-32]
Apakah ada kemungkinan ujaran-ujaran sang Buddha luput tidak terhimpun?

Ananda dan 5 Pangeran (Bhaddiya, Anuruddhà, Bhagu, Kimbila, Devadatta) bersama Upali (tukang cukur para pangeran) menjadi Bhikkhu di hutan Anupiya, yaitu sebelum sang Buddha pergi ke Kosambi untuk kemudian menetap di Ghositārāma (Cullavagga, Sanghabheda: Oleh karenanya, ini terjadi sekurangnya di masa vassa ke-8. Lihat: Riwayat Buddha Gotama). Mulai tahun ke-20, Ananda menjadi upatthaka/pendamping Sang Buddha (bhagavantaṃ upaṭṭhahiṃ) selama 25 tahun (Paṇṇavīsativassāni - Thag 17.3) hingga Buddha parinibbana, setelah beliau menyetujui 8 syarat yang diminta Ananda, utamanya pada syarat ke-7 dan ke-8, yang menjamin keutuhan Dhamma:
  1. (labhissāmi yadā me kaṅkhā uppajjati, tasmiṃ khaṇeyeva Bhagavantaṃ upasaṅkamituṃ labhissāmi) dapat mendatangi beliau kapanpun keraguanku muncul
  2. (sace yaṃ bhagavā mama parammukhā dhammaṃ katheti, taṃ āgantvā mayhaṃ kathessati) bersedia menyampaikan kembali dhamma yang telah disampaikannya, ketika Aku tidak hadir - [RAPB buku ke-2, cetakan ke-1, Mei 2008, hal.1642-1644 yang mengutip kitab komentar: (1) Jataka no.456/JunhaJataka atau (2) DN 14/Mahapadana Sutta]
Selain itu, Sang Buddha menyatakan bahwa Ananda adalah siswanya yang paling terpelajar/bahussuta, paling kuat daya ingatnya/Satimantā dan paling luas/gatimanta [AN 1.210-223], inilah mengapa TIDAK ADA kemungkinan kotbah Sang Buddha luput terlewatkan, implementasinya, misal 2 sutta pertama (Dhammacakkappavattana Sutta dan Anatta-lakkhana Sutta) yang dibabarkan kepada 5 petapa di Taman Rusa Isipatana. Saat itu, Ananda belum menjadi bhikkhu dan tidak ada di sana. Pada ke-2 sutta tersebut, ada kalimat, "evam me Sutam" (Demikian yang ku dengar). Kemudian, Itivuttaka, kumpulan 112 Dhamma yang diperoleh Khujjuttara (Seorang pengikut awam wanita yang sangat dipujikan Sang Buddha. SN 17.24, AN 1.258-267, AN 4.176, Ud 7.10. Tampaknya pencapaian kesuciannya setara Nandamātā, Citta dan Hatthaka), Khujjuttara awali dengan kalimat, "vuttañhetaṃ bhagavatā, vuttamarahatāti me sutaṃ" [Ini diucapkan sang Buddha, para arahat dan yang didengar olehku] dan kumpulan dhamma ini adalah bagian dari 5 nikaya. Kekuatan ingatan Ananda akan Dhamma inilah yang juga menjadi alasan mengapa Ananda dijuluki sebagai Bendahara Dhamma
    Note:
    Terdapat satu "sutra", yaitu: Anagatavamsa, yang menyelipkan kalimat, "evam me suttam". Sutra ini bukanlah kanon pali, tidak berasal dari sang Buddha, Ananda atau dari arahat lainnya, bahkan inipun tidak ada di konsili ke-1 s.d 4, Para ahli menemukan bahwa kitab ini berasal dari abad 14 Masehi, yang merupakan produk tambal sulam
Pendapat bahwa saat konsili berlangsung tidak semua arahat datang dan/atau tidak diundang dan atau tertinggal datang dan/atau telat datang kemudian menolak hasil konsili dengan merujuk pada Bhikkhu Purana, yang tinggal di Dakkhinagiri adalah tidak benar.

Wafatnya Sang Buddha adalah peristiwa penting yang mengguncangkan para pengikut dan juga kalangan non Buddhis. Juga, konsili diumumkan akan dilakukan pada 3 bulan setelahnya, di musim Vassa. Jadi, tidak ada kemungkinannya ada Arahat yang tidak terundang, tertinggal, telat datang atau tidak mengetahui ini. Apalagi, keputusan mengadakan konsili, memilih 500 arahat dan pengumpulan dhamma dan Vinaya merupakan keputusan Sangha yang lengkap bukan sangha yang tidak lengkap. Juga, merujuk pada kejadian MAGHAPUJA, ketika Sang Buddha di Rajagaha, 1250 Arahat datang berkumpul di Veluvanarama (hutan pohon bambu) memiliki 4 Faktor yang salah satunya adalah mereka berkumpul tanpa ada 1 pemberitahuan terlebih dulu.

Mereka yang TIDAK ADA di konsili ke-1 saat itu, bukanlah Arahat. Di Di cullavaga, khanda 11, disampaikan tentang Bhikkhu Purana, yang tengah melakukan perjalanan setelah musim Vassa, artinya setelah konsili berakhir. Tidak disebutkan apakah beliau telah mencapai kesucian atau tidak. Vinaya mencatat Bhikkhu Purana menyatakan bahwa dhamma-vinaya telah para Thera sampaikan dengan baik, sama dengan yang beliau ingat dan pelajari langsung dari sang Bhagava:
    11. Pada saat itu, Bhikkhu Purâna sedang berkelana melewati bukit selatan bersama sedikitnya 500 Bhikkhu. Dan ketika para Thera Bhikkhu telah selesai mengulang Dhamma dan Vinaya, Ia tinggal di perbukitan selatan selama waktu yang ia anggap cukup dan pergi ke Rajagaha menuju Veluvana ke Kalandaka Nivâpa, di mana para bhikkhu thera berada dan menyampaikan salam, serta duduk di satu sisi. ketika ia telah duduk, para Thera Bhikkhu berkata padanya, "Para sepuh, Teman Purâna, telah menyampaikan Dhamma dan Vinaya [therehi, āvuso purāṇa, dhammo ca vinayo ca saṅgīto]. Apakah anda datang mendekat tekait penyampaian tersebut? [upehi taṃ saṅgītin”ti]"

    'kawan, Para sepuh telah menyampaikan baik dhamma dan vinaya [Susaṅgītāvuso, therehi dhammo ca vinayo ca]. Dan bahkan dengan cara sama seperti aku pelajari langsung dari sang Bhagava [Api ca yatheva mayā bhagavato sammukhā sutaṃ], menerima langsung demikian sama seperti dalam ingatanku' [sammukhā paṭiggahitaṃ, tathevāhaṃ dhāressāmī”ti]
Juga, Sang Buddha telah menyatakan bahwa Dhamma dan vinaya agar TIDAK DISAMPAIKAN dalam bahasa Sanskrit Veda [Cullavaga, khanda 5]:
    Pada saat itu, dua Bikkhu bersaudara, yaitu Yamelu dan Tekula. Keturunan Brahmana, bersuara merdu dengan pengucapan yang menyenangkan..Mereka bertanya pada Sang Buddha:

    ”Sekarang ini, Guru, Bkhikkhu-Bhikkhu dari berbagai nama, klan, kelompok dan strata sosial telah menempuh kehidupan tanpa keluarga. Mereka dengan “sakāya niruttiyā“ merusak sabda-sabda Buddha (Te sakāya niruttiyā buddhavacanaṃ dūsenti). Marilah, Guru, gunakan 'chandaso' pada sabda-sabda sang Buddha (Handa mayaṃ, bhante, buddhavacanaṃ chandaso āropemā”ti)

    Sang Buddha mencela mereka, "Orang-orang bodoh, bagaimana kalian dapat berkata: 'Marilah, guru, gunakan 'chandaso' pada sabda-sabda Sang Buddha?'. Ini tidaklah membangkitkan keyakinan yang tidak berkeyakinan dan tidak meningkatkan keyakinan yang telah berkeyakinan; bahkan akan membuat yang tidak berkeyakinan tetap tidak berkeyakinan, merusak sebagian dari yang telah berkeyakinan."

    Setelah memberikan teguran, Beliau memberikan wejangan pada para Bhikkhu:

    "Para Bhikkhu, janganlah gunakan 'chandaso' pada sabda-sabda Sang Buddha. Siapapun yang melakukannya telah berbuat salah (āpatti dukkaṭa). Aku ijinkan, para bhikkhu, dengan 'sakāya niruttiyā' menguasai sepenuhnya sabda-sabda sang Buddha"

    Note:
    Âropema = menggunakan; sakāya = sendiri; nirutti = bahasa, pengucapan, dialek. sakāya nirutti = Bahasa sendiri. Menurut Rhys Davids dan Oldenberg: maksudnya (sakāya nirutti) adalah ‘dialek sendiri’. Bimala C. Law: Kata nirutti = bahasa, sementara kata sakāya 'bahasa asal’ atau 'bahasa ibu’ (History of Buddha’s Religion, 1952). Norman: Kebanyakan ahli menyatakan maksudnya adalah 'bahasa Māgadha’. (Pāli and the Language of Early Buddhism, 2002, hal 135-150)

    Di jaman Buddha Gotama, terdapat 16 Kerajaan besar/soḷasannaṃ mahājanapadānaṃ (AN 3.70/AN8.42: aṅgā, magadhā, kāsī, kosalā, vajjī, mallā, cetī, vaṅgā/vaṃsa, kurū, pañcālā, macchā, sūrasenā, assakā, avantī, gandhārā dan kambojā). Kapilavatthu adalah kerajaan kecil di bawah kekuasaan kerajaan Kosala [MN 89, AN 126]. Walaupun Siddharta Gautama berasal dari bagian kerajaan kerajaan Kosala (Pasenadi - Viḍūḍabha sebagai raja), namun sebagian masa kebuddhaan dan area sentral aktivitas Buddhisme setelah wafat Sang Buddha adalah di kerajaan Magadha (Bimbisara - Ajatasattu sebagai raja). Hubungan KOSALA dan MAGADHA erat melalui aliansi perkawinan (misal J.iii.407). Sebelumnya kerajaan Kāsī berada di bawah kekuasaan Kosala. Bimbisāra, raja Magadha, menikahi saudara perempuan Pasenadi, yaitu Kosaladevī, putri Mahākosala (ayah Pasenadi) dan sebuah desa di Kāsī diberikan sebagai bagian dari mas kawin (J.ii.237; iv.342 f). Bimbisara wafat digantikan Ajātasattu, kedua negara berperang, Ajātasattu kalah, ditangkap hidup-hidup namun kemudian dibebaskan, kekuasaannya dikembalikan dan Pasenadi memberikan putrinya, Vajira, untuk dinikahkan. Kemudian Ajātasattu menaklukan Licchavī/kerajaan Vajji, setelahnya Ia juga berhasil membangun kekuasaan di Kosala, oleh karenanya bahasa Magadha menjadi bahasa yang lazim di antara beberapa negara tersebut.

    Jadi terdapat dua pengertian tentang sakāya nirutti pada syair Cullavaga di atas, pengertian pertama merujuk pada ragam bahasa ibu/dialek asli para Bkhikkhu yang berasal dari berbagai nama, klan, kelompok dan strata sosial dalam lingkup 16 kerajaan besar jaman itu. Pengertian ke-2 adalah bahasa Magadha, dialek yang digunakan pada area tempat sebagian besar masa kebuddhaan dan pasca wafatnya Sang Buddha.

    Chandaso: sanskrit atau bentuk awal sanskrit; matra/ukuran metrik bahasa seperti di Veda dan BUKAN dalam artian irama/intonasi. Jika maksudnya sekedar irama, maka kata yang lebih tepat ada di AN 5.209, yaitu gāyanti/nyanyian, āyatakena gitasara/lantunan nyanyian yang panjang. Jadi chandaso adalah standarisasi aturan berbahasa yang lazim digunakan para brahmana dalam keagamaan, entah itu dalam bahasa prakrit ataupun sanskrit:

    (1) kata "Chandasi" oleh Panini selalu diartikan dialek yang ada di Veda,
    (2) mereka yang meminta penggunaan ini adalah dari turunan Brahmana,
    (3) Buddhaghosa: "chandaso âropemâ ti Vedam viya sakkata-bhâsâya vâkanâ-maggam âropema" (Chandaso aropema adalah menggunakan bahasa samkrta/sakkata yang digunakan veda) (Samantapāsādikā 306) dan Buddha mempercayakan sabdanya hanya dalam bahasa Māgadhi (VibA 388). Buddhaghosa: sakaya niruttiya ti ettha saka nirutti nama sammāsambuddhena vuttappakaro māghadhako vohāra (Sakaya nirutti adalah bahasa Māgadha yang digunakan Sammsambuddha) (Komentar vinaya 1214)
    (4) Maksud dari Sakāya nirutti telah disampaikan Sang Buddha kepada para Bhikkhu ketika menurunkan aturan, Sakāya nirutti yang digunakan diteruskan dalam konsili ke-1, ke-2, dan ke-3. inilah Sakāya nirutti yang digunakan dalam Dhamma-Vinaya Buddha (yaitu bahasa Magadha atau yang dianggap equivalen dengan bahasa Pali)

    Jaman Asoka, abad ke-3 SM, Dhama-Vinaya yang Mahinda hafalkan berasal dari konsili ke-1 (Upali/Konsili ke-1 - Dasaka - Sonaka - Siggava - Moggaliputtatissa - Mahinda). Setelah konsili ke-3, di jaman Moggaliputtatissa, yang dihafalkannya adalah Tipiṭaka dan kitab komentar. Inilah yang dibawa Mahinda ke Srilanka.

    Pada abad ke-5 M, Karena di Jambudwipa saat itu tidak ada kitab komentar, maka Buddhaghosa, diminta gurunya (Revata) ke Srilanka untuk menterjemahkan kitab komentar yang ada dalam bahasa Sinhalase Prakrit ke bahasa Māgadha (Culavamsa I.37.226-232). Pada abad ke-12, Magadhi adalah bahasa yang dimengerti 2 negara: Burma dan Srilanka. Di Srilanka, Bhikkhu Dhammakitti (pengarang Duthavamsa) dan Vacissara (pengarang Thupavamsa) menuliskan karyanya dalam bahasa Magadha dan raja Srilanka Vijayabāhu II (1186-87 M) menulis surat dengan bahasa Magadha untuk dikirim ke Burma (Cūlavaṃsa II.86.6-7). Di Burma, bhikkhu Aggavaṁsa, mengarang Saddanīti (grammar Pali terlengkap, di mana di bagian ke-3 bukunya berdasarkan tatabahasa pali karya Kaccāyana). Ini artinya Pālibhāsā dan magadhībhāsā adalah sama.

    Francis Mason (“A Pali grammar on the basis of Kachchayano”, tahun 1868, Introduction, hal.i-ii) menyampaikan: “Dr E. Buhler menunjukan sebuah naskah bahwa Panini, “Bapak tatabahasa Sanksrit” mengutip dari Kaccayana, pendahulunya dan banyak meminjam istilah tatabahasa darinya”. Kemudian, di hal. 7, dinyatakan: “bentukan alpabhet Pali telah ada selambatnya SEBELUM abad ke-6 SM
Tripitaka tranlasi Sanskrit ke Tiong hoa:
    Xuanzang lahir di Chenliu (600 m), ditahbiskan di usia 20 tahun (tahun ke-5, periode Wude/622 M), ketika belajar, Ia dibingungkan oleh berbagai teori dalam teks-teks Buddhis dalam terjemahan bahasa Mandarin.. ["THE GREAT TANG DYNASTY RECORD OF THE WESTERN REGIONS", (Taisho Volume 51. no.2087), 1996, Translasi Li Rongxi, Pengantar Penterjemah, hal. Xiii] → Sebelum Xuanzang ke India, di China telah banyak buku Buddhisme.

    Posisi Xuanzang sangat penting bagi dunia Buddhis (aliran utara), karena Ia pulang dengan membawa 657 teks buddhis sanskrit. Jumlah ini, jauh melebihi jumlah teks sanskrit yang telah dibawa pulang oleh siapapun pendahulunya yang menuju India untuk memperoleh teks sanskrit Buddhis [Prakata Translator, hal.1] Sepulang dari India, ketika Xuanzang sampai di Khotan, Ia membawa 657 teks sanskrit yang diikat dalam 520 bundel, dibawa 20 kuda beban dan tiba di tahun ke-19 Zhenguan (645 M). [Ibid, hal. xiv], perinciannya: 224 kitab Mahayana; 192 risalah Mahayana (63.3%); 14 kitab teks disiplin dan risalah aliran Sthavira; 15 kitab, teks disiplin, dan risalah Mahāsāṃghika; 15 kitab, teks disiplin, dan risalah aliran Saṃmitīya; 22 kitab, teks disiplin, dan risalah Mahīśāsaka; 17 kitab, teks disiplin, dan risalah Kāśyapīya; 42 kitab, teks disiplin, dan risalah Dharmagupta; 67 kitab, teks disiplin, dan risalah Sarvāstivāda; 36 teks tentang hetuvidyā (logika); dan 13 teks tentang abdavidyā (tata bahasa Sanskerta): seluruhnya 657 teks sanskrit yang dijilid menjadi 520 bundel. [Ibid, Fascicle XII, hal. 348] → Tidak ada perincian buku apa saja dari masing-masing aliran tersebut.

    Dari 657 teks yang dibawanya, Ia terjemahkan dengan bantuan biarawan dan umat awam: 74 teks dalam 1.335 lembar/fasikula seluruhnya, di antaranya Sutra Mahaprajnaparamita, Ia peroleh dalam 3 versi sanskrit (Fascicle X, hal.328) (600 lembar/fasikula) dan Sastra Abhidharmamahavibhasa (200 lembar/fasikula), Sutra Samdhinirmocana (5 lembar), Yogacarabhumi Sastra (100 lembar) karya Asanga, dan Vijnaptimatratasiddhi Sastra (10 lembar). Ia wafat 19 tahun sejak dia kembali [664 M] ["A BIOGRAPHY OF THE TRIPITAKA MASTER OF THE GREAT CI'EN MONASTERY OF THE GREAT TANG DYNASTY" (Taisho, Volume 50, no.2053), terjemahan Li Rongxi, 1995, Pengantar Translator, hal.1-2]. Lainnya dalam 58 lembar/fasikula, yaitu: Mahabodhisattvapitaka Sutra (20 lembar), Buddhabhumi Sutra (1 lembar) Saddvaradharani Sutra (1 lembar), Prakaranaryavaca Sastra (20 lembar dan ahayanabhidharmasarnyuktasamudaya Sastra (16 lembar) [Ibid, fascicle VI, hal.182], Yogacarabhumi Sastra (100 lembar) [ibid, hal.188]

      Note:
      Ketenaran biksu ini, juga membuatnya sebagai tokoh utama novel abad ke-16, yang diduga karangan Wu Cheng'en, tentang Biksu Tong (Tang Sanzang) dengan menunggangi kuda putih, bersama 3 muridnya (Raja Kera, bermuka babi dan rahib) dalam "Perjalanan ke Barat/See Yu Ki"

    Fa-Xian/Hien, dari antara dinasti Tsin Timur (317-419 M) dan dinasti Sung dari Dinasti Liu (420-478 M). ["A Record of Buddhistic Kingdoms-Fa-Hien", James Ledge, 1886, Introduction, Hal.3]. Alasan ke India, karena buku vinaya yang ada rusak dan tidak lengkap. Ia pergi ke India (399 M) kembali 15 tahun kemudian [Ibid, Ch.40, hal 115-116]. Di vihara Mahayana (Pataliputta), Ia temukan salinan Vinaya, Mahasanghika., transkrip aturan Sarvastivada [6000/7000 gatha], Samyuktabhidharma-hridaya-(sastra) [6000/7000 gatha], Sutra [2500 gatha]; 1 bab Parinirvana-vaipulya Sutra [5000 gatha]; dan Mahasanghika Abhidharma. [Ibid, Ch.36, hal.99-100], selain ini, Ia dapatkan pula salinan Vinaya-pitaka Mahisasaka (Sarvastivada. Katalog Nanjio no.1122), Dirghagama dan Samyuktagama (sutra) [Nanjio no.545 dan no.504] dan Samyuktasanchaya Pitaka [divisi ke-4 kanon Nanjio. Dr. Davids: Tidak ada karya dengan nama ini dalam literatur sanskrit dan pali] [Ibid, Ch.40, hal.111] → Tidak ada perincian buku apa saja di dalamnya.

    Yijing/I-Tsing, (lahir 635 M), alasan ke India untuk mengoreksi kesalahan penyajian aturan Vinaya, dan untuk menyangkal pendapat keliru yang dianut aliran Vinaya-dhara saat itu di Tiongkok. ["A record of the Buddhist religion as practised in India and the Malay archipelago", J. Takakusu, 1896, General Indtroduction, hal.xix], namun bisa jadi karena tergerak Xuanzang (w. 644) yang mendapatkan keagungan dan kehormatan (Ibid, hal xxvi). Ia berangkat ke India (671 M) kembali 25 tahun kemudian (695 M). Dari India, Ia bawa sekitar 400 teks sanskrit, sejumlah 500.000 sloka [ibid, hal.xvii-xviii, xxxiii]. Selama di India hingga wafatnya (713), Ia hanya menterjemahkan 56 buku, total 230 volume, di antaranya: Dari aliran Mulasarvastivada (171 Vol dan 25 lembar, koleksi kantor India): Vinaya-Sutra (50 Vol), Vinaya (50 vol), Samyukta-Vastu (40 vol), Sanghabhedaka-Vastu (20 vol), Vinaya-Sangraha (14 vol), Ekasatakarman (10 vol), Nidana (5 vol), Vinaya-Nidana-Matrika-Gatha (15 lembar), Samyukta-Vastu-Gatha (10 lembar), Vinaya-Gatha (4 vol) dan Bhikshuni-Vinaya-Sutra (2 vol). Masih dari aliran Mulasarvastivada (26 vol, koleksi perpustakaan Bodleian): Pravragya (-Upasampada) Vastu (4 vol), Varshavasa (1 vol), Pravarana Vastu (1 vol), Karma-Vastu (1 vol), Bhaishagya-Vastu (18 vol) dan Kathinakivara-Vastu (1 vol), total list ini 197 volume dan 15 lembar [Ibid, hal. xxxxvii-xxxviii] → Tidak ada perincian lain terkait buku apa saja dalam 400an teks sanskrit tersebut.
Jadi, kotbah-kotbah yang disampaikan/ditulis dalam sanskrit [kemudian dari hal tersebut, diterjemahkan lagi ke berbagai bahasa, di antaranya Tibet dan Tiongkok] dan mengklaimnya sebagai sabda sang Buddha NAMUN bertentangan dengan Dhamma dan Vinaya konsili ke-1 dan ke-2, maka ITU BUKAN ajaran sang Buddha. Ini menunjukan juga bahwa semua terjemahan sutta dan vinaya yang diterjemahkan dari PALI sekalipun, adalah juga dhamma tiruan.

Lama setelah Konsili ke-1, Aliran-aliran dalam Buddhisme pun bermunculan.


Konsili ke-2,
Diselenggarakan di Vesali pada tahun ke-10 pemerintahan raja Kalasoka [Dipavamsa 4.44,47; Mahavamsa 4.8] karena dasa vatthuni (10 poin/hal, detailnya di bawah) yang dilakukan para Vajjiputtaka/Vatsiputriya.
    Ajatasattu (32 tahun, Sang Buddha wafat di tahun ke-8 pemerintahannya = 24 tahun) + Udayin-Bhadda (16 tahun) + Anuruddha dan Munda (8 tahun) + Nagadasaka (24 tahun) + Shisunaga (18 tahun) + Kalasoka (28 tahun) ["The Cambridge History of India", hal.189 "Mahavamsa: Great Chronicle of Ceylon", Wilhelm Geiger, hal. xlvi] = 24+16+8+24+18+10 = 100 tahun.

    Ketika 100 tahun pertama telah selesai dan abad ke-2 telah dimulai, perpecahan besar terjadi, 12.000 Vajjiputta dari Vesālī berkumpul (di Mahavamsa: 10.000, Mhv 4.55, 5.4) dan menyatakan di Vesali 10 poin/hal [Dipv 5.16-17]
Terdapat 5 teks tradisi Utara yang mencatat keberadaan konsili ke-2 di Vesali ini, yaitu:
  1. Mahisāsaka nikāya pancavarga vinaya 30, (T.E.T.22, P.192a-b), 100 tahun setelah parinirvana.
  2. Mahāsangika vinaya 32, (T.E.T.22, P.493a-b), tanpa tahun.
  3. Dharmagupta vinaya 54, (T.E.T.22, P.96Sc), 100 tahun setelah Parinirvana
  4. Sarvāstivāda Vinaya 60, (T.E.T.23, P.449b-c). 110 tahun setelah parinirvana.
  5. Sudarsana Vibhāsā Vinaya I, (T.E.T.24.P677c), 100 tahun setelah parinirvana

  6. dari 5 ini, 4 Vinaya menuliskan karena dasa vathuni, sedangkan Vinaya Mahisangika hanya menuliskan karena menerima emas dan perak dan tidak 9 lainnya.
Berikut narasi konsili ke-2 di Vesali, dari Cullavagga, Khandaka 12 (dituliskan hampir serupa di kitab sejarah Srilanka: Dipavamsa dan Mahavamsa):
    100 tahun setelah Parinibananya Sang Buddha, Vajjiputtaka/Vatsiputriya (para bhikkhu yang adalah orang-orang Vajji dari Vesālī) mengajarkan dan memperbolehkan praktik: garam disimpan dalam tanduk; masih makan setelah 2 jari; Menolak makan yang telah dipersembahkan, pergi ke lain tempat untuk makan yang belum diserahkan; uposatha terpisah dalam satu batas wilayah yang sama; Melakukan tindakan ketika Saṅgha yang tidak lengkap; Melakukan sesuatu berdasarkan kebiasaan; Minum susu yang hampir menjadi dadih; minum yang difermentasikan tetapi belum terfermentasi; menggunakan kain alas duduk tanpa ada batasan dan menerima emas dan perak

    (Note:
    Dalam Cullavagga, Khandakka, Sanghabheda, terdapat 500 murid baru yang berasal dari para orang Vajji dari Vesali/Vajjiputtaka/Vatsiputriya, yang bergabung dengan kelompok Sangha pimpinan Devadatta. Setelah sang Buddha mengutus Sariputta dan MahaMoggallana, 500 Vajjiputtaka/Vatsiputriya ini mencapai kesucian tertentu dan kembali. Selain itu, Kokalika adalah murid kepala dari kelompok pria dan Tullananda adalah murid kepala dari kelompok bhikkhuni, masing-masing dari mereka ini membawa juga kelompoknya bergabung sehingga ada saja kemungkinannya bahwa Vajjiputtaka/Vatsiputriya di 100 tahun kemudian ini adalah ex sisa kelompok Devadatta murid dari yang lainnya.

    Di samping itu, hingga beberapa abad setelah masehi, keberadaan pengikut Devadatta dilaporkan masih ada: (1) Fa-xian/Fa-Hien, setelah mengidentifikasi 96 aliran heretik Buddhisme yang tersebar di bagian Tengah India berkata bahwa para pengikut Devadatta memberikan donasi pada 3 Buddha masalalu namun tidak pada Buddha Sakyamuni; (2) Xuanzang (awal abad ke-7) bahwa 3 vihara di Bengali Barat di Karnasuvarna adalah milik pengikut Devadatta; dan (3) Yujing/I-Cing (akhir abad ke-7) dalam komentarnya di Karmavacana teks Mulasavarstivadin bahwa dimasanya para petapa pengikut Devadatta tersebar di area Barat India dan pernah bertanya langsung pada satu di antara mereka apakah Ia pengikut aliran Devadatta yang dijawab samar yang mengindikasikan kekhawatiran orang akan tidak mau melayaninya lagi jika telak mengaku ("The Sangha of Devadatta: Fiction and History of a Heresy in the Buddhist Tradition", Max Deeg, hal 183-195)]

    Suatu ketika YM Yasa Kākaṇḍakā (Murid YM Ananda) sedang menetap di Vesālī dan pada hari Uposatha, para Vajjiputtaka/Vatsiputriya, meletakan sebuah kendi perunggu berisi air ditengah-tengah para bhikkhu dan berkata kepada para umat awam Vesālī yang datang agar memberikan 1 Kahapana atau 1/2 Pada atau 1 Masaka untuk Sangha karena ada yang harus dilakukan Saṅgha sehubungan dengan barang kebutuhan.

    [Note:
    Ananda lahir pada hari yang sama dengan Sidhartha Gautama dan wafat diusia 120 tahun [DhA ii.99] sehingga saat kejadian ini, YM Yasa telah memiliki > 60 tahun masa vassa/tahun menjalani kebhikkhuan. Kahapana = koin uang jaman itu yang terbuat dari emas atau perak atau perunggu]

    Mendengar itu, YM Yasa berkata kepada para umat awam agar tidak memberikannya, karena tidak diperbolehkan bagi para petapa, para bhikkhu putera Sakya tidak menyetujuinya, tidak menerima emas dan perak, tidak menggunakannya dan telah meninggalkannya, walaupun telah diberitahu demikian para umat awam Vesālī tetap memberikan koin uang. Sebelum malam berakhir, para bhikkhu membagi rata uang tersebut diantara mereka dan menyisihkan untuk porsi YM Yasa namun beliau berkata tidak memerlukannya dan tidak menyetujuinya.

    Para Vajjiputtaka/Vatsiputriya berkata bahwa YM Yasa telah mencela dan menghina umat awam yang berkeyakinan dan berkepercayaan penuh oleh karenanya dikenakan tindakan resmi Patisaraniya-kamma (Seorang Bhikkhu secara terbuka harus memohon maaf pada umat awam atas tindakannya yang tidak pantas). Karena ada aturan bahwa Bhikkhu yang dihadapkan pada tindakan tersebut harus diberikan utusan pendamping, maka YM Yasa memintanya.

    Bersama Bhikkhu utusan pendampingnya, YM Yasa pergi ke Vesali dan dihadapan para umat awam Vesali, beliau berkata bahwa Vajjiputtaka/Vatsiputriya katakan beliau telah mencela dan menghina umat awam yang berkeyakinan dan berkepercayaan penuh dengan menyampaikan apa yang bukan-dhamma sebagai bukan-dhamma, apa yang merupakan dhamma sebagai dhamma, apa yang bukan-disiplin sebagai bukan-disiplin dan apa yang merupakan disiplin sebagai disiplin yang dilanjutkan dengan penyampaian sabda sang Buddha, yaitu

    1. AN 4.50/Upakilesa bahwa emas dan perak MERUPAKAN NODA bagi petapa

    2. SN 42.10/Maniculaka Sutta bahwa samana/petapa TIDAK membolehkan, TIDAK menyetujui, telah melepaskan dan meninggalkan emas-perak, TIDAK ADA alasan untuk membenarkan emas dan perak

      [Note:
      Di samping itu, Sang Buddha telah menetapkan Nissaggiya no.18 (juga no.19) (yang muncul sehubungan kasus bhikkhu Upananda yang menerima dan tidak meninggalkan kepingan uang kahapana) bahwa seorang bhikkhu yang menerima uang dengan tangannya sendiri atau membuat orang lain menerima uang untuknya, atau menyetujuinya diletakkan di dekatnya atau disimpan untuknya, dia telah melakukan pelanggaran

      Ia hanya dapat berkata, “Kami tidak menerima uang, kami hanya menerima keperluan bhikkhu yang diperbolehkan dan di saat yang tepat.”. Jika pendana bertanya apa yang seharusnya dia lakukan dengan uang tersebut setelah sang bhikkhu menolaknya, bhikkhu tersebut dapat menjelaskan peraturan Vinaya, tetapi dia tidak boleh memberitahu pendana apa yang harus dilakukannya dengan uang tersebut. Jika pendana bertanya apakah ada kappiya yang mengurus keperluannya, sang bhikkhu dapat memberitahukannya. Kemudian, pendana dapat memberikan uang tersebut kepada sang kappiya dan uang itu tetap milik si pendana bukan milik bhikkhu ataupun kapiyya. Jika kappiya itu tidak menyediakan kebutuhan bhikkhu, bhikkhu dapat memberitahu pendana tentang ini, tetapi dia tidak boleh memaksa kappiya untuk membelikan apa yang diinginkannya (atau hal lain selain tujuan itu). Jika bhikkhu tersebut melakukannya, Ia terkena Nissaggiya pacittiya/pelanggaran yang memerlukan pengakuan dan pelepasan benda yang diterimanya (Lihat juga Pacittiya no. 10)

      Mengutip MN 55/Jivaka sutta: “Yampi so Tathāgataṃ vā tathāgatasāvakaṃ vā akappiyena āsādeti, iminā pañcamena thānena bahuṃ apuññaṃ pasavati” (Ketika Ia memberikan dengan pengharapan sesuatu yang tidak diperbolehkan kepada Sang Tathāgata atau siswaNya,..Ia mendapatkan banyak keburukan). Walaupun sutta ini tentang memberikan daging yang berasal dari pembunuhan, namun ada poin yang berlaku umum yaitu memberikan sesuatu yang merupakan NODA/tidak patut, itu adalah perbuatan AKUSALA/tidak bermanfaat]

    Mendengar itu, para umat awam Vesālī berkata bahwa YM Yasa adalah satu-satunya petapa, satu-satunya putera Sakya sedangkan Vajjiputtaka/Vatsiputriya, semuanya bukan petapa, bukan para putera Sakya dan memohon agar YM Yasa berkenan menetap di Vesali agar berkesempatan melayaninya. Setelah YM Yasa meyakinkan para umat awam Vesālī, beliau bersama bhikhu yang menjadi utusan pendampingnya kembali ke vihara

    Para Vajjiputtaka/Vatsiputriya kemudian bertanya kepada bhikkhu yang menjadi utusan pendamping apakah YM Yasa telah meminta maaf pada para umat awam Vesali. Bhikkhu itu menyatakan bahwa para umat awam sekarang malah menyatakan YM Yasa adalah petapa sedangkan mereka semua bukan.

    Para Vajjiputtaka/Vatsiputriya berkata bahwa YM Yasa tidak ditunjuk mereka untuk memberikan Informasi kepada para perumah tangga, oleh karenanya mereka melakukan ukkhepanīyakamma (mengeluarkan seorang bhikkhu dari sangha) kepadaNya dan mereka berkumpul untuk tujuan melaksanakan tindakan tersebut.


    [Note:
    Tindakan ini hanya bisa diambil dalam sangha yang lengkap (misal: Jumlah yang hadir lengkap tidak kurangnya, tidak kurang referensi, ada kehadiran para pihak, ada persetujuan kedua pihak, dll)]

    YM Yasa kemudian mengirim utusan mengundang kehadiran bhikkhu sepuh di Pāvā dan wilayah selatan Avantī, untuk penyelesaian perkara (Adhikarana) sebelum apa yang bukan-dhamma bersinar dan apa yang merupakan dhamma tersembunyi, sebelum apa yang bukan-disiplin bersinar dan apa yang merupakan disiplin tersembunyi, sebelum mereka yang mengatakan apa yang bukan dhamma menjadi kuat dan mereka yang mengatakan dhamma menjadi lemah, sebelum mereka yang mengatakan apa yang bukan disiplin menjadi kuat dan mereka yang mengatakan disiplin menjadi lemah.

    Beliau kemudian mengunjungi Bhikkhu sepuh Sambhūta Sāṇavāsī (Murid YM Ananda. Sambutha sāṇavāsī = Sambhuta pemakai jubah dari sāṇa/rami kasar) yang menetap di lereng gunung Ahoganga dan menyampaikan 10 hal yang diajarkan oleh Vajjiputtaka/Vatsiputriya.


    [Note:
    Kunjungan YM Yasa kepada YM Sambhuta Sanavasin, menunjukan YM Yasa lebih junior]

    Beliau sepakat bahwa ini memerlukan penyelesaian perkara dan demikian pula dengan 60 Bhikkhu sepuh dari Pava dan 88 Bhikkhu sepuh dari Avanti.

    Kemudian para Bhikkhu sepuh ini bermaksud mengunjungi Bhikkhu sepuh Revata (murid YM Ananda) yang menetap di Soreyya, seorang yang terpelajar, pewaris ajaran, ahli dalam Dhamma, vinaya dan kerangka ajaran, bijaksana, berpengalaman, cerdas; teliti, seksama, menyukai latihan. Mereka berpikir jika dapat memasukkan Yang Mulia Revata ke dalam kelompok, mereka menjadi lebih kuat sehubungan dengan penyelesaian perkara ini.

    Saat itu Bhikkhu sepuh Revata telah meninggalkan Soreyya dan menuju Saṃkassa dan ketika para bhikkhu sepuh tiba di Soreyya dan bertanya dimana YM Revata, mereka menjawab bahwa YM Revata telah menuju Saṃkassa.. Kaṇṇakujja.. Udumbara.. Aggaḷapura.. Kemudian para bhikkhu sepuh tiba di Aggalapura dan bertanya dimana YM Revata, mereka menjawab bahwa YM Revata telah menuju Sahajāti. Kemudian para bhikkhu sesepuh itu bertemu dengan Yang Mulia Revata di Sahajāti.

    Kemudian Bhikkhu Sepuh Sambhūta Sanavasin meminta kepada Bhikkhu sepuh Yasa, putera Kākaṇḍakā untuk mengajukan pertanyaan kepada Bhikkhu sepuh Revata mengenai 10 hal yang diajarkan oleh para Vajjiputtaka/Vatsiputriya apakah diperbolehkan atau tidak. Bhikkhu sepuh Yasa menghadap Bhikkhu sepuh Revata dan menanyakan 10 hal yang diajarkan Vajjputtaka dan Bhikkhu Sepuh Revata mengatakan bahwa 9 Hal yang diajarkan adalah tidak diperbolehkan, sedangkan mengajarkan melakukan praktek dengan alasan itu telah menjadi kebiasaan (atau biasa dilakukan) penahbis/upajjhāya atau guru/ācariya, kadang itu diperbolehkan dan kadang itu tidak diperbolehkan. Setelah mendapatkan jawaban ini Bhikkhu sepuh Yasa mengundang Bhikkhu sepuh Revata untuk hadir menyelesaikan perkara sehubungan dengan ini dan Bhikkhu Sepuh Revata menyanggupinya

    Di lain tempat, Bhikkhu sepuh Sāḷha, ketika sedang bermeditasi, suatu pemikiran muncul dalam pikirannnya mengenai siapa pembabar Dhamma apakah para Bhikkhu dari Timur atau dari Pava, setelah merenungkannya, beliau berkesimpulan bahwa para bhikkhu dari Timur BUKANLAH pembabar dhamma dan para bhikkhu dari Pāvā adalah pembabar dhamma. Seorang Deva dari alam murni Suddhavasa yang muncul di hadapannya mendukung kesimpulannya dan juga memohonnya untuk menegakkan Dhamma, beliau menjawab bahwa dulu maupun sekarang, beliau telah menegakkan Dhamma dan akan menyampaikan pandangannya saat beliau ditunjuk sehubungan dengan penyelesaian masalah.

    Para Vajjiputtaka/Vatsiputriya mendengar bahwa Bhikkhu Yasa, putera Kākaṇḍakā, yang hendak menghadiri pernyelesaian perkara sedang membentuk kelompok dan telah memperoleh kelompok. Kemudian Para Vajjiputtaka/Vatsiputriya berpikir untuk mengumpulkan kelompok agar menjadi lebih kuat sehubungan penyelesaian perkara dan bermasud untuk membujuk Bhikkhu sepuh Revata yang mereka juga kenal pula sebagai seorang terpelajar, pewaris ajaran, ahli dalam Dhamma, vinaya dan kerangka ajaran, bijaksana, berpengalaman, cerdas; teliti, seksama, menyukai latihan agar memihak mereka sehubungan dengan penyelesaian perkara.

    Untuk itu, kemudian Para Vajjiputtaka/Vatsiputriya menuju Sahajati dengan membawa barang-barang kebutuhan para petapa yang berlimpah – mangkuk-mangkuk dan jubah-jubah dan helai-helai kain alas duduk dan kotak jarum dan sabuk pinggang dan saringan-saringan dan kendi-kendi air.

    Dengan barang-barang itu mereka mendatangi bhikkhu sepuh Revata dan memohon atas nama sangha agar beliau sudi menerima persembahan mereka, Namun, Bhikkhu sepuh Revata tidak ingin menerima itu karena telah memiliki cukup. Karena gagal, mereka kemudian pergi menghadap murid dari Bhikkhu sepuh Revata, yaitu Bhikkhu Uttara yang telah 20 tahun (20 masa vassa) menjadi bhikkhu agar sudi menerima persembahan mereka, namun Bhikkhu Uttara juga tidak ingin menerima itu karena telah memiliki cukup, mereka kemudian mendesaknya untuk menerima, karena didesak, bhikkhu Uttara akhirnya mengambil 1 jubah saja dan menanyakan keperluan mereka.

    Para Vajjiputtaka/Vatsiputriya memohon pada Bhikkhu Uttara agar Bhikkhu sepuh Revata di tengah-tengah sangha mengatakan bahwa para bhikkhu dari Timur adalah pembabar-dhamma, para bhikkhu dari Pāvā adalah bukan pembabar-dhamma. Bhikkhu Uttara menyanggupi hal itu dan menyampaikan kepada Bhikkhu sepuh Revata. Setelah mendengar itu, Bhikkhu sepuh Revata berkata bahwa Bhikkhu Uttara sedang membujuknya melakukan yang bukan-dhamma dan mengusir Bhikkhu Uttara. Kemudian Bhikkhu Uttara menyampaikan kepada para Vajjiputtaka/Vatsiputriya bahwa gurunya telah mengusirnya karena menyetujui hal yang bukan Dhamma. Berkenaan dengan Bhikkhu Uttara, Para Vajjiputtaka/Vatsiputriya kemudian memintanya menjadi pembimbing mereka (garunissayaṃ gaṇhāmā).


    [Note:
    Meminta seseorang dengan masa 20 tahun sebagai pembimbing, mengindikasikan masa vassa yang dimiliki para Vajjiputtaka/Vatsiputriya adalah jauh di bawah 20 tahun]

    Kemudian Saṅgha berkumpul untuk penyelesaian Perkara. Agar tidak terjadi para bhikkhu yang memulai pertama kali perkara akan membuka kembali untuk tindakan resmi lainnya lagi, maka YM Revata mengajak sangha untuk menyelesaikan perkara ini di mana perkara ini muncul dan mereka pun pergi ke Vesali

    YM Revata kemudian berkata pada YM Sambhuta bahwa Ia akan mengunjungi Bhikkhu sepuh Sabbakāmi (Murid YM Ananda), yang telah menjalani 120 tahun masa vassa kebhikkhuan, bhikkhu dengan masa Vassa tertua di dunia saat itu dan meminta YM Sambhuta untuk mendatangi beliau juga dan menanyakan pendapat beliau mengenai 10 hal yang diajarkan para Vajjiputtaka/Vatsiputriya

    YM Sambhūta Sanavasin sampai ketempat kediaman YM Sabbakāmin ketika beliau sedang berbincang-bincang dengan YM Revata dan kepada dua bhikkhu sepuh itu, YM Sambhūta Sanavasin bertanya mengenai 10 hal yang diajarkan para Vajjiputtaka/Vatsiputriya dan apakah kesimpulan para beliau mengenai siapakah yang pembabar dhamma, apakah para bhikkhu dari Timur atau para bhikkhu dari Pāvā?”

    Kedua Sepuh itu berkata bahwa mereka telah menyimpulkan bahwa para bhikkhu dari Timur BUKANLAH pembabar dhamma dan para bhikkhu dari Pāvā adalah pembabar dhamma, namun demikian mereka tidak akan mengemukakan pandangan mereka hingga mereka ditunjuk sehubungan dengan penyelesaian perkara ini

    Kemudian Saṅgha berkumpul untuk penyelesaian perkara, setelah mengkonfrontasikan secara langsung KEDUA BELAH PIHAK (Para Vajjiputtaka/Vatsiputriya vs YM Yasa) dihadapan sangha namun tidak mendapat hasil penyelesaian, YM Revata kemudian mengusulkan agar dilakukan penyelesaian permasalahan dengan menyerahkan keputusan kepada orang-orang yang dipilih dan disepakati para pihak, Sangha menyetujuinya dengan berdiam diri. YM Revata kemudian memilih 4 Bhikkhu dari Timur (YM Sabbakāmin; YM Sāḷha/murid YM Ananda; YM Khujjasobhita/murid YM Ananda dan YM Vāsabhagāmika/murid YM Anuruddha) dan 4 bhikkhu dari Barat (YM Revata; YM Sambhūta; YM Yasa (semuanya murid YM Ananda) dan YM Sumana/murid YM Anuruddha) dan memberitahukan Sangha mengenai komite yang dibentuknya. Sangha menyetujuinya dengan berdiam diri.


    [Note:
    Bhikkhu Anuruddha adalah saudara terkecil dari Mahanama, wafat di area Vajji pada usia 115 tahun (DhA ii.413). Tidak diketahui umur awalnya, namun jika beliau ini wafat sebelum YM Ananda, maka masa Vassa YM Vasabhagamika dan YM Sumana, tampaknya jauh diatas 60 tahun
    Murid Sang Buddha lainnya, misalnya Upali (wafat 30 tahun setelah Sang Buddha Parinibbana), dilanjutkan dengan muridnya, Dasaka (50 tahun setelah Upali) dan dilanjutkan muridnya Sonaka (selama 44 tahun setelah Dasaka), maka ketika konsili ini berjalan, Sonaka baru memiliki 40 massa vassa (Mhv 5.104-153 dan Dipv 5.95-99)]

    Sangha kemudian menunjuk Bhikkhu Ajita yang mempunyai 10 masa vassa sebagai pembaca Patimokha (aturan dan/atau disiplin) dan penentu tempat duduk bagi para Bhikkhu sepuh. Kemudian komite yang terdiri dari para bhikkhu sepuh ini pergi ke Vihara Vālika untuk menyelesaikan perkara.

    YM Revata kemudian memberitahu Sangha bahwa Ia akan menanyai YM Sabbakamim sehubungan dengan Vinaya/Patimokha. Sangha menyetujuinya dengan berdiam diri. YM Sabbakamin memberitahu sangha bahwa Ia akan menjawab pertanyaan yang diajukan YM Revata. Sangha menyetujuinya dengan berdiam diri. YM Revata kemudian menanyakan 10 hal yang diajarkan oleh para Vajjiputtaka/Vatsiputriya kepada YM Sabbakamin dan jawaban beliau:

    1. Singilona Kappa menyimpan garam dalam tanduk dengan pikiran untuk ditambahkan pada makanan yang tidak/kurang garam. (Melanggar: Pācittiya ke-38: menyimpan makanan yang telah diserahkan lebih dari 1 hari. Versi Mahasanghika Praktimoksa: Pacattika ke-37)

      Ini dilarang di Sāvatthī, dalam Suttavibhaṅga masuk pelanggaran yang menuntut penebusan

    2. Dvangula Kappa: Masih makan saat bayangan yang terkena sinar matahari lewat tengah hari melebihi dua ruas jari (dvangula) (atau beranggapan boleh makan selama matahari yang melewati tengah hari tertutup awan). (Melanggar: Pācittiya ke-37: Makan di waktu yang salah (lewat tengah hari). Versi Mahasanghika Praktimoksa: Pacattika ke-36)

      Ini dilarang Di Rājagaha, dalam Suttavibhaṅga masuk pelanggaran yang menuntut penebusan

    3. Gāmantara Kappa: Telah selesai makan, menolak persembahan berikutnya tapi pergi ke lain tempat untuk makan yang belum dimakan dan/atau yang belum diserahkan kepadanya. (Melanggar: Pācittiya ke-35. Versi Mahasanghika Praktimoksa: Pacattika ke-33)

      Ini dilarang di Sāvatthī, dalam Suttavibhaṅga masuk pelanggaran yang menuntut penebusan

    4. Avāsa Kappa: Sekelompok Bhikkhu tinggal di batas area yang sama namun melakukan uposatha secara terpisah. (Pelanggaran Dukkaṭa: Maha Vagga 2,8,3. Versi Dharmagupta dan Mahisasaka ada padanannya: "Buddhist Sects in India". Nalinaksha Dutt, hal.18)

      Ini dilarang di Rājagaha, dalam apa yang berhubungan dengan Uposatha masuk pelanggaran perbuatan-salah karena di luar disiplin

    5. Anumati Kappa: Mengambil putusan terhadap bhikkhu tertentu ketika sangha tidak lengkap dengan pikiran, “Persetujuan akan didapatkan/dimintakan dari bhikkhu yang datang/tiba". (Pelanggaran Dukkaṭa: Mahavagga IX.3.5. Versi Mahisasaka ada padanannya)

      Ini dilarang dalam materi disiplin tentang hal-hal yang berhubungan dengan para bhikkhu Campa dan masuk pelanggaran perbuatan-salah karena di luar disiplin

    6. Ācīṇṇa Kappa: Melakukan praktek dengan alasan itu telah menjadi kebiasaan (atau biasa dilakukan) oleh penahbis/upajjhāya atau guru/ācariya. (Ini kadang-kadang diperbolehkan dan kadang-kadang tidak diperbolehkan: Lihat di: MahaVagga 1.25-35. Versi Mahisasaka ada padanannya)

    7. Amathita Kappa: Telah selesai makan, menolak persembahan berikutnya, namun minum susu apa pun yang tidak diserahkan yang telah melewati tahap sebagai susu namun belum menjadi dadih (disebut Yoghurt jika berbentuk pasta, dadih jika bertektur lebih padat. Proses fermentasi alami gula susu akan menghasilkan alkohol). (Melanggar: Pācittiya ke-35, juga Pacittiya ke-37, 39. Versi Mahasanghika Praktimoksa: Pacattika ke-36, 39)

      Ini dilarang di Sāvatthī, dalam Suttavibhaṅga masuk pelanggaran yang menuntut penebusan

    8. Jalogiṁ pātuṁ: Minum air tuak yang difermentasikan tetapi belum terfermentasi dan belum sampai pada tahap menjadi minuman keras. (Melanggar: Pācittiya ke-51 (Versi Mahasanghika Praktimoksa: Pacattika ke-76)

      Ini dilarang di Kosambi, dalam Suttavibhaṅga masuk pelanggaran yang menuntut penebusan

    9. Adasakaṁ nisīdanaṁ: Menggunakan kain alas duduk diluar batas yang dibolehkan. (Melanggar: Pācittiya ke-89: ukuran panjang: 2 sugata, lebar: 1.5 sugata dan tinggi: 1 sugata. Versi Mahasanghika Praktimoksa: Pacattika ke-86)

      Ini dilarang di Sāvatthī, dalam Suttavibhaṅga masuk pelanggaran yang menuntut penebusan

    10. Jātarūpa-rajataṁ: Menerima emas, perak dan koin/uang. (Melanggar: Nissaggiya Pācittiya ke-18/19. Versi Mahasanghika Praktimoksa: Nihsarghika Pacattika ke-18)

      Ini dilarang di Rājagaha, dalam Suttavibhaṅga masuk pelanggaran yang menuntut penebusan

    Kepada Sangha, Beliau sampaikan bahwa setelah diselidiki Sangha, 10 hal Ini adalah materi yang bertentangan dengan dhamma, bertentangan dengan disiplin, bukan instruksi Sang Guru. Pertanyaan resmi kemudian ditutup dan YM Sabbakamin juga menawarkan bahwa untuk meyakinkan para bhikkhu, agar menanyainya di tengah-tengah Saṅgha. YM Revatapun menanyai YM Sabbakāmin di tengah-tengah Saṅgha tentang 10 hal ini dan YM Sabbakāmin menjawabnya seperti di atas. 700 Bhikkhu hadir saat pembacaan disiplin
Setelah selesai konsili ke-2, kitab Buddhisme saat itu MASIH BUKAN Tipitaka/Tripitaka (3 keranjang) melainkan DvePitaka (2 keranjang), yaitu: Dhamma/sutta-sutta dan vinaya, sedangkan kitab Abhidhamma [sebanyak 7 kitab] MASIH BELUMLAH ADA.

Memperhatikan 10 pelanggaran di atas, Vinaya “mahasanghika” mempunyai kesamaan di 7 point sedang 3 point sisanya (no.4 – no.6) tidak ada:
    "agar Mahasanghika dapat bersepakat mengutuk point-poin ini, kita harus tunda pemakaian teks chinese, karena tidak ada lagi padanan sanskrit porsi skandhaka vinaya. Ada ringkasan Bhiksu-Prakirnaka (Yang adalah padanan Mahasanghika-lokottaravadin untuk vastu yang memuat skandhaka dari berbagai macam vinaya lainnya), namun itu sedikit membantu"["Mahasamghika Origins: The Beginnings of Buddhist Sectarianism", Janice J. Nattier dan Charles S. Prebish, hal.241-245].

    Perbish dan Nattier, tidak menuliskan detail padanannya, namun sudah berani menyimpulkan bahwa vinaya Pali dan vinaya Mahasanghika berkesesuaian penuh pada 10 point ini.
Catatan di Cullavagga (bagian dari kanon pali kelompok vinaya) berhenti sampai KONSILI ke-2. Tidak ada catatan lanjutan mengenai kejadian sesudahnya, misalnya apa yang kemudian dilakukan oleh Vajjiputtaka/Vatsiputriya, tentang Konsili ke-3 di jaman raja Asoka dan narasi di Cullavagga tentang konsili ke-1 dan ke-2, sama sekali tidak memuat kata “tipitaka”/Keranjang, hanya menuliskan dhamma, vinaya saja. Kejadian lanjutan setelah berakhirnya konsili ke-2, tercantum dalam kitab sejarah Srilanka yaitu: Dipavamsa dan Mahavamsa, juga di Kathāvatthu-aṭṭhakathā, Nidānakathā, karya Buddhaghosa (Abad ke-5) yang juga mengutip dari Dipavamsa:
    Konsili diadakan 100 tahun setelah Sang Buddha Parinibbana [Mhv 4.8; Dipv 4.47,48] diakhir tahun ke-10 jaman raja Kalasoka [Mhv 5.8]. Jumlah bhikkhu Vajjiputta yang berkumpul dan mengajarkan 10 hal adalah 10.000 [Mhv. 4.55 dan 5.4, Dipv 5.18 menyatakan: 12.000 Vajjiputtaka/Vatsiputriya berkonsili duluan untuk menetapkan 10 aturan yang akan mereka gunakan di Vesali]. Total bhikkhu yang hadir di Konsili ke-2 pimpinan YM Revata adalah 112.000 [Mhv 4.60, Dipv 5.20], kemudian beliau memilih 700 bhikkhu yang semuanya adalah Arahat yang membunyai Abhinna [Mhv 4.61; Dipv 4.52, 5.28]. Konsili dilakukan di Valikarama selama 8 bulan di jaman Raja Kalasoka, mengulang kembali pembacaan Dhamma [Mhv 5.62-63. Dipv 4.29]. Kejadian ini disebut Konsili ke-2 [Mhv 4. 66; Dipv 4.29]

    Setelah berakhir konsili ke-2, 10.000 Vajjiputtaka/Vatsiputriya dikeluarkan dari Sangha dan melakukan konsili sendiri. Jumlah yang besar ini menyebabkan ini disebut Mahāsāṃghika/Mahasanghika (kumpulan dengan jumlah besar) [Mhv 5.4; Di Dipv 5.31: Dinamakan Mahāsaṅgīti/kumpulan dengan jumlah besar].

    Mahasanghika/Mahāsaṅgīti kemudian juga menetap doktrin yang bertentangan; mengubah redaksi asli dan membuat redaksi lain; memindahkan sutta dari satu kumpulan ke kumpulan lain; mereka menghancurkan makna dan keyakinan; Di 5 koleksi dan di Vinaya, Biksu yang mengerti ataupun yang tidak tentang kotbah panjang ataupun kotbah tanpa penjelasan berupa makna literal ataupun tersirat menetapkan maksud yang salah sehubungan dengan kotbah-kotbah sang Buddha. Para biksu menghancurkan banyak makna, menolak kalimat-kalimat tunggal mendalam di sutta dan vinaya, membuat Sutta-sutta dan vinaya-vinaya lainnya, menolak teks berikut: Parivara yang merupakan abstrak dari isi, 6 bagian Abhidhamma, Patisambhida, Niddesa, dan beberapa bagian Jataka. Mereka membuat yang baru. Menjauhkan aturan asli tentang kata benda, jenis kelamin, komposisi, dan gaya ungkapan, mereka mengubah semua itu. [Dipv 5.30-38]

    [Note:
    Dipavamsa menyatakan “6 bagian” Abhidhamma DAN BUKAN 7 bagian, ini menunjukan, periode waktu ketika hal ini dicatatkan, adalah di SETELAH konsili ke-3 namun SEBELUM 1 bagian Abhidhamma lainnya rampung. Setelah 7 bagian rampung, MAHINDA membawanya ke Srilanka, seperti disebutkan Parivara Vinaya: MAHINDA (Murid Moggaliputta Tissa, pemimpin Konsili ke-3) pergi dari Jambudipa/India menuju Tambapanni/Pantai Utara Srilanka mengajarkan vinaya, 5 nikaya dan satta ceva pakaraṇe (7 kitab). Beberapa paragraph lanjutannya berisi tradisi urutan pengajar di Srilanka s.d Khema Thera yang mengajarkan tipetako/tipitaka. Sehingga disebut Tipitaka adalah setelah tambahan 7 kitab Abhidhamma]
Perlu dipertegas bahwa di setelah konsili ke-2, yaitu mulai abad ke-2 setelah wafatnya sang Buddha, tradisi Selatan mencatat Sangha Theravada TIDAK PERNAH terpecah. Mahāsāṃghika/Mahāsaṅgīti (dari ex Vajjiputtaka) adalah kumpulan dari mereka yang telah dikeluarkan [Mhv 5.2-13, Dipv 5.39-51], jadi mereka ini sudah bukan lagi dalam persekutuan Bhikhu. Mereka ini adalah umat awam berjubah (menurut pandangan Theravada).

Di perjalanan waktu, terjadi lagi, mereka yang telah dikeluarkan dari sangha Theravada (Tradisi Selatan/BS = Sthaviravada, tradisi Utara/BU) membentuk lagi persekutuan lainnya hingga terdapat lebih dari 17 aliran [Mhv 5.4-13, Dipv 5.39-49]. Seluruh perkumpulan umat awam (yang bukan Theravada/Sthaviravada) inilah yang kemudian disebut aliran/sekte [kecuali penomoran, dari Appendix B, Mahavamsa, Geiger, hal.277-283 dan untuk percabangannya: dari "Point of Controversy"/Kathavatthu, Shwe Zan Aung & Rhys Davids, Diagram menurut Komentar]:
    Mahasanghika/Mahāsaṅgīti (BS/BU) [= Vajjiputtaka/Vatsiputriya] (2) →
      Ekavyoharika (BS) atau Ekavyavaharika/Ekabboharika (BU) (5),
      Gokulika/Kaukkutika/Kukkulika/Kukkutika [= Lokottaravada] (6) →
        Pannatti (BS) atau Prajnapati (BU) (7),
        Bahulika (BS) atau Bahussutiya/Bahusrutiya (BU) (8) →
          Cetiya (BS) atau Caityasaila/Caityaka/Caitika (BU) (9)

    Vajjiputtaka (BS) atau Vatsiputriya/Vasaputriya (BU) [= Mahasanghika/Mahāsaṅgīti]. Menurut BS: induknya adalah Sarvastivada, menurut BU: cabang dari Sarvastivada] (3) →
      Dhammuttariya (BS) atau Dharmottariya (BU) (10),
      Bhaddayanika (BS) atau Bhadrayaniya (BU) [Dhammuttariya dan Bhaddayanika = Mahagiriya] (11),
      Chandagarika (BS) atau Sannagarika/Channagirika (BU) [= Abhayagirivasin] (12),
      Sammitiya (BS) atau Sammatiya (BU) [= Avantaka/Kurukullaka. Sarvastivada: Avantaka, Kurukullaka dan Vatsiputriya = Sammatiya] (13)

    Mahimsasaka (BS) atau Mahisasaka (BU) (4) →
      Dhammaguttika (BS) atau Dharmaguptaka (BU) (14)
      Sabbatthavada (BS) atau Sarvastivada (BU) [= Hetuvada/Hetuvidya. BU (dari pelancong China): 3 percabangan Sangha (BU: Akarnya = sangha bukan Theravada): Sthavira, Sarvastivada dan Vatsiputriya] (15).
        Kassapiya (BS) atau Kasyapiya (BU) [= Suvarkasaka] (15) →
          Samkantika (BS) atau Samkrantika (BU) [= Uttariya / Tamrasatiya] (17) →
            Suttavada (BS) atau Sauttrantika (BU) (18)

    Note:
    Terkait kata VIbhajjavada (BS) atau Vibhajyavada (BU). Geiger: Buddha menyatakan dirinya Vibhajjavada [Mhv 5.271-273], "therānaṃ saṃbandhavacanattā theravādo ti, (Theravada karena doktrin kolektif dari para Thera), vibhajjāvadinā munindena desitattā vibhajjavādo ti vuccati (Vibhajjavada karena Raja para Bijak adalah 'Vibhajjavada')" [Mhv Tika]. MN 9 (Aku mengatakan ini setelah menganalisis) dan AN 10.4 (Sang Bhagavā berbicara memuji-mencela setelah menganalisis). Oldenberg/Childer: Vibbhajjavada adalah nama lain Theravada. Taranatha: Vibhajjavada cabang dari Sarvastivada [Mahavamsa, Geiger]
Di samping aliran-aliran di atas, di Jambudwipa (sebutan India jaman dulu) terdapat 6 aliran lain: Hemavata(BS) atau Haimavata(BU), Rajagiriya (BS/BU) [dianggap cabang dari Mahasanghika], Siddhatthaka [Tidak ada dalam list BU], Seliya I (PubbaSeliya/BS atau Purvasailla/BU, dianggap dekat dengan Caityika), Seliya II (Aparaseliya/BS atau Apara/avarasaila/BU, cabang dari Mahasanghika) [Mhv 5.11-13; Dipv 5.54] dan Vajiriya (= Aarajagiruya/Dipv 5.54)[Mhv 5.13] atau Apararajagirika [Dipv 5.54]. Untuk Sri Lanka: Dhammaruci dan Segaliya [Mhv 5.13] juga Vetulya (terkait Mahayana) [Mhv 36.41, 111] dan menurut komentar Kathavatthu Abhidhamma jumlahnya 27 aliran:



Untuk tradisi Utara (Diagram menurut Vasumitra dan Bhavya),
SELURUH VERSI mulai dari sangha terpecah menjadi banyak aliran dan semuanya masih bhikkhu di bawah sangha. Sudut pandang bahwa setelah dikeluarkan dari persekutuan dan masih bhikkhu TIDAK DIMUNGKINKAN dalam tradisi Theravada, karena sejak tidak lagi dalam persekutuan (dilepas jubah), sudah bukan lagi bhikkhu namun umat awam:

  1. Vinitadeva (abad 8 M, Mūlasarvāstivāda): 22 aliran, diawali dengan Sangha terpecah menjadi 4 aliran (tidak ada record setelah konsili ke-2, terpecah menjadi sebanyak ini), yaitu (dikutip dari buku Baruah):
    1. Sthaviravāda: 3 aliran (Jetavaniya, Abhayagirivasin, Mahaviharavasin);
    2. Sammatiya: 3 aliran (Kaurukullaka, Avantaka, Vatsīputrīya);
    3. Sarvastivada: 7 aliran (Mūlasarvāstivāda, Kasyapiya, Mahisasaka, Dharmaguptaka, Bahuśrutīya, Tamrasatiya, Vibhajyavada);
    4. Mahāsāṃghika: 5 aliran (Purvasaila, Aparasaila, Haimavata, Lottaravada, Prajñaptivāda)

  2. Vasumitra ("Samayabhedo Paracana Cakra", Sarvāstivādin, terdapat kalimat: "..Buddha menyampaikan gâtha berikut: '..Semua ini akan muncul dari Mahâyâna, Yang tidak mengakui penegasan atau kontradiksi. Sekarang saya katakan bahwa di masa depan akan muncul, banyak tulisan Master Kumârajiva..". Setelah abad ke-5), untuk jumlah, Baruah: 20 aliran, Rhys Davids (tabel I, seluruhnya disebut Hinayana): 21 aliran.

  3. Bhavya I/Bhāvaviveka ("Nikāyabhedavibhaṅgavyakhyāna", Madhyamaka, abad ke-6 M) untuk jumlah, Baruah: 18 aliran, Rhys Davids (tabel I, seluruhnya disebut Hinayana): 25 aliran.
    Bhavya II untuk jumlah, Baruah: 21 aliran, Rhys Davids (tabel I, seluruhnya disebut Hinayana): 22 aliran.
    Bhavya III untuk jumlah, Baruah: 22 aliran, Rhys Davids (tabel I, seluruhnya disebut Hinayana): 18 Aliran.

  4. Yijing/I-Tsing (Dari bukunya Takakusu), 18 aliran, menggunkan kata "nikaya":
    I. Arya-mahasahghika-nikaya: 7 aliran, terbanyak di Magadha (India Tengah), sedikit di India: Barat (Lata dan Sindhu), Utara dan Selatan, di tolak di Srilanka dan belakangan ditranmisikan ke laut Selatan (Sumatera, Java dan lainnya) dan Shensi (Cina Barat)
    2. Arya-sthavira-nikaya: 3 aliran, hampir seluruhnya di India Selatan dan Tengah (Magadha), seluruhnya di Srilanka, sedikit di India Barat (Lata dan Sindhu), hidup berdampingan aliran lain di India Timur dan belakangan ditranmisikan ke laut selatan, tapi tidak di China
    3. Arya-mulasarvastivada-nikaya: 4 aliran (a. Mulasarvastivada, b. Dharmagupta, c. Mahisasaka dan d. Kasyapiya), kebanyakkan berkembang di Magadha, hampir seluruh India Utara, sedikit di India: Barat (Lata dan Sindhu) dan Selatan, hidup berdampingan aliran lain di India Timur. 3 aliran (b, c dan d), hampir tidak ada di India, tapi mempunyai pengikut di Udyana, Kharahar dan Kustana, namun tidak ada di Srilanka, hampir seluruhnya di kepulauan laut Selatan, sedikit di Champa (Cochin China), b ada di China Timur dan di Barat (Shen-si). ke-4 aliran berkembang di China Selatan (Selatan Yang-tse-kiang, Kwang-tung dan Kwang-si)
    4. Arya-sammitiya-nikaya: 4 aliran, berkembang di India Barat (Lata dan Sindhu) dan Tengah (Magadha), sedikit di India selatan, hidup berdampingan aliran lain di India Timur, tidak ada di India Utara dan Srilanka, sedikit di kepulauan laut Selatan, kebanyakan di Champa (Cochin-China) namun tidak ada di China.
["Buddhist Sects and Sectarianism", Bibhuti Baruah, hal 42-45; "Art. I.—Schools of Buddhist Belief", T. W. Rhys Davids, hal.5-7 dan "Art. IX.—The Sects of the Buddhists", T. W. Rhys Davids, hal.409 dan "Buddhist Practices In India", Takakusu, General Introduction, hal. XXIII-XXiV]

Apa yang disebut Sangha oleh Buddhist Selatan vs Buddhist Utara?
  1. Tradisi Buddhist Selatan:
    Sangha = Theravada, selain Theravada, seluruh aliran = umat awam (bukan Sangha)

  2. Tradisi Buddhist Utara:

    1. Vasumitra, dari konsili di Patna (tidak diakui Theravada), diskusi antara Sthavira Naga vs Praccha Bahusrutiya, tentang aliran-aliran, Sangha terbagi 2, yaitu: (1) Sangha Theravada/Sthaviravada dan (2) Sangha Mahasanghika [Prefatory Notes, hal xxxvi]
    2. Bavya: Sangha terbagi 20, 12 Sangha termasuk Sangha Theravada/Sthaviravada dan 8 Sangha termasuk Sangha Mahasanghika [Prefatory Notes, hal xxxvii]
["Point of Controversy"/Kathavatthu, Shwe Zan Aung & Rhys Davids, dari Diagram: Komentar, Vasumitra dan Bhavya]

Mahayana — Hinayana — Theravada:

Asal-Usul Mahayana
  1. Hirakawa: "Munculnya Buddhisme Mahayana sekitar 500 tahun setelah kematian Buddha..Buddhisme Mahayana memasukkan banyak elemen yang tidak ditemukan dalam Buddhisme awal" [hal.3] ... "Milindapanha.. bagian paling awal dari teks tersebut dapat ditentukan dengan membandingkan teks Pali dengan terjemahan Cina, Na-hsien pi-ch 'iu ching (T 1670a). Bagian-bagian yang ditemukan dalam kedua versi tersebut merupakan elemen tertua dari karya tersebut..Buddhisme India selama abad ke-1 dan ke-2 SM. Tidak ada unsur Buddhisme Mahayana yang dimasukkan dalam karya tersebut..." [hal.228-229]..."Istilah 'Mahayana' tidak ada di sebuah prasasti hingga abad ke-2 atau ke-3 M, namun penanggalan teks Mahayana diterjemahkan ke bahasa China membuktikan bahwa teks Mahayana ada di India Utara selama dinasti Kusana" (note: sekitar abad ke-1 M). [hal. 243-244] ["A History of Indian Buddhism From Sakyamuni to Early Mahayana", Akira Hirakawa, Asian Studies at Hawaii, No. 36, 1990]

  2. Baruah: Awal pergerakan Mahayana, berada dikisaran 500 tahun setelah Parinibbana Sang Buddha. ["Buddhist Sects and Sectarianism", Bibhuti Baruah, 3. Mahayana Buddhism, hal.66]

  3. Seishi Karashima: di Sūtra Teratai versi Gandhāri (Saddharma Puṇḍarīka Sūtra) kata Prakrit mahājāna (dalam arti mahājñāna/pengetahuan besar) ketika ditranslasi ke Sanskrit yang secara fonetik ambivalen (punya 2 arti berbeda) menjadi keliru diterjemahkan sebagai mahāyāna ["Who Composed the Mahāyāna Scriptures? ––– The Mahāsāṃghikas and Vaitulya Scriptures", hal. 114-115; "Vehicle (yāna) and Wisdom (jñāna) in the Lotus Sutra ––– the Origin of the Notion of yāna in Mahāyāna Buddhism", hal.163-196]

  4. Paul Williams: "Tidak ada keraguan bahwa setidaknya beberapa sutra Mahāyāna awal berasal dari lingkaran Mahāsāṃghika" ["Mahayana Buddhism: The Doctrinal Foundations", hal.21]

  5. Guang Xing: "Beberapa ahli berpendapat bahwa Prajñāpāramitā mungkin dikembangkan dari Mahāsāṃghika India selatan, area Āndhra, sungai Kṛṣṇa" ["The Concept of the Buddha: Its Evolution from Early Buddhism to the Trikaya Theory", hal.66]

  6. Hendrik Kern (orang pertama) dan AK Warder: Mahāyāna dan sutra-sutranya (misal versi awal Prajñāpāramitā) muncul dari Mahāsāṃghika Nikaya (mulai abad ke-1 SM) ["Histoire du bouddhisme dans l’Inde", H Kern dan "Indian Buddhism", AK Warder, hal. 335]

  7. Untuk kemunculan Mahayana/kendaraan besar, kitab "Tarkajvala” (pemikiran yang berkobar), Bavya (500 M – 578 M) dari aliran Madyamaka, Mahayana, menyampaikan:

    "Para pengumpul ajaran Mahayana adalah para Bodhisatva seperti Samantha Bhadra, Manjushri, Vajrapani, Maitreya dan banyak lagi. Aliran hinayana tidak mengumpulkan itu karena mereka tidak mempelajari kitab Mahayana..Setelah Buddha Parinibbana, para pengikut aliran Hinayana, sangat melekat pada ajaran yang mereka terima. Tidak ada yang mengumpulkan ajaran Mahayana. Ajaran Mahayana tersimpan di alam Naga, kemudian Nagarjuna mengumpulkan ajaran Mahayana dari alam Naga dan menyebarkannya di alam Manusia." ["Jewelled Staircase", Geshe Wangyal, hal. hal.47]

  8. Beberapa meragukan Sutra Prajñaparamita terkait dengan Nagarjuna, misalnya Max Walleser, di tahun 1923: "...pemikiran kesunyataan yang ditetapkan di Sutra Prajñaparamita dibawa untuk dikaitkan dengan nama yang kita bahkan tidak dapat secara positif mengatakan bahwa dia benar-benar ada, yang sekurangnya tetap Ia adalah penulis karya-karya yang dianggap berasal darinya: nama ini adalah Nagarjuna" ["Nagarjuna And The Ratnavali: New Ways To Date an Old Philosopher", Joseph Walser, JIABS, vol.25, hal. 209].

  9. Lamotte pada lampiran 9 "Maha Prajnaparamita Sastra" tentang para penulis pertama Madhyamika. Untuk Aryadeva, Ia mengutip awal komentar Candrakīrti (sekitar 600–650 M) tentang Catuḥśataka: “Āryadeva lahir di Siṃhala (Sri Lanka) putra raja negeri itu. Setelah menjadi putra mahkota, Ia pergi ke Dakṣina, menjadi murid Nāgārjuna” [Kalimat di Xuanzang, abad ke-7 M, di buku ke-4 ch.9: "ada seorang Bodhisattva dari Siṃhala (Chi-sse-tseu — Sri Lanka) yang disebut Deva"], kemudian mengkaitkan nama Aryadeva dengan Thera Deva (Dīpv 22.41,50 dan Mhv 36.29) yang ada saat Vetullavāda, dari Mahāyāna melanda Sri Lanka jaman raja Vohārikatissa (269-291 M), sehingga Nagarjuna berada pada abad ke-3 M, juga menjelaskan bagaimana Vetullavada adalah juga bagian dari Mahayana.
Mahayana — Hinayana
Kata Hinayana hanya terdapat dalam sutra-sutra Mahayana dan di dalamnya berisi bagaimana pandangan umum Mahayana terhadap Hinayana, misalnya:
  1. Gaganagañjaparipṛcchā: Dharmaratnanidhāna, 31.Māra, Mārakarman: "Mencari Hinayana (hīnayānaspṛhaṇatā) adalah pekerjaan para Māra" atau "所謂心向小乘是爲魔業"(曇無讖 Dharmakṣema, 414-426 Masehi, T 397(8) 105c17-18) atau "謂愛樂小乘是爲魔業"(不空 Amoghavajra, 720-774 Masehi, T 404 625c12-13) [Sanskrit: Āryagaganagañjaparipṛccha nāma mahāyanasūtra atau Tibet: The Exalted Discourse of the Great Vehicle entitled The Questions of Bodhisatva Gaganagañja atau lihat "The Sky as a Mahāyāna Symbol of Emptiness and Generous Fullness, A Study and Translation of the Gaganagañjaparipṛcchā". Vol. 1: Introduction, Jaehee Han, hal.42]

  2. Vajracchedika-prajna-paramita Sutra: 'Subhuti, kesimpulannya,...Tathagata menjelaskannya kepada mereka yang diinisiasi ke dalam Mahayana dan Yana Tertinggi. ... Mengapa? Karena, Subhuti, mereka yang menyenangi Hinayana dan menganut pandangan ego, kepribadian, makhluk dan kehidupan, tidak dapat mendengarkan, menerima, menyimpan (dalam pikiran), membaca dan melafalkan sutra ini dan menjelaskannya kepada orang lain. [Kumārajīva, T. 235, Part III, "The Diamond Cutter of Doubts" A Commentary on the Diamond Sutra, Ch'an Master Han Shan, terjemahan: Lu K'wan Yu/Charles Luk, hal.185]

  3. Aṣṭasāhasrikā Prajñāpāramitā, 11. Parivarta, 2: Subhuti, apakah para Bodhisattva yang tampak sangat cerdas yang, setelah memperoleh dan bertemu Mahayana, yang tidak dapat diubah, akan kembali meninggalkannya, berpaling darinya, dan memilih Hinayana? Subhuti: Tidak, Yang Mulia! (239,1) atau "tat kiṃ manyase subhūte api nu paṇḍitajātīyās te bodhisattvāḥ pratibhānti, ye avinivartanīyayānaṃ mahāyānam avāpya samāsādya punar eva tad vivarjya vivartya hīnayānaṃ paryeṣitavyaṃ maṃsyante? subhūtir āha - no hīdaṃ bhagavan" (Vaidya (1960) 118) atau "de nas tshe dang ldan pa rab ’byor gyis lha rnams kyi (6) dbang po brgya byin dang mi mdzad kyi bdag po tshangs pa dang ’dod pa na spyod pa dang gzugs na spyod pa’i lha’i bu de dag la ’di skad ces smras so" (Tib: Kg, brgyad stong, ka 170a5-6)

  4. Vimalakīrtinirdeśasūtra: "Untuk memalingkan orang dari Hīnayāna dan melibatkan mereka dalam Mahāyāna, dia muncul di antara para pendengar dan guru Dharma" [Vimalakīrtinirdeśasūtra, Thurmann, Robert A.F., 1976 atau Kg, ma 182a7-b1 atau Zhīqiān/T.474 atau Kumārajīva/T.475]

  5. Asokadatta-vyakarana Sutra:
    Putri Ajatasatru bernama Asokadatta, berusia 12 tahun ... Dia sedang duduk dengan sepatu emas bertatahkan permata di kakinya di aula ayahnya ketika Ia melihat para Sravaka. Dia tidak berdiri untuk menyambut mereka, tetapi duduk diam, tidak bertukar sapa dengan mereka, memberi hormat, atau meminta mereka untuk duduk.
    Melihatnya tanpa takut hanya duduk diam, Raja Ajatasatru: “Apakah kau tidak tahu bahwa semua orang ini adalah murid utama Sakyamuni Tathagata? Apakah kau tidak tahu bahwa mereka telah mencapai Dharma agung, dan merupakan ladang berkah di dunia?..setelah kau melihat mereka, mengapa kau tidak berdiri untuk menyambut mereka? Mengapa tidak memberi hormat kepada mereka, bertukar sapa dengan mereka, dan mempersilakan mereka duduk?
    Asokadatta: "Pernahkah Yang Mulia melihat atau mendengar bahwa seorang raja universal berdiri untuk menyambut raja-raja kecil ketika dia melihat mereka?". Raja: "Tidak"
    Asokadatta: "Pernahkah Yang Mulia melihat atau mendengar bahwa seekor singa, raja binatang buas, bangkit untuk menyambut serigala ketika melihat mereka?" Raja: "Tidak"
    ... Asokadatta: "Oleh karenanya, Yang Mulia, buat apa seorang Bodhisattva, yang besar dalam kebaikan dan welas asih, yang telah bersumpah mengejar pencerahan tertinggi, harus memberi hormat pada Sravaka dari Hinayana? yang tidak memiliki kebesaran kebaikan maupun kebesaran welas asih? Baginda, buat apa orang yang mengikuti jalan menuju pencerahan tertinggi, yang seperti singa, raja binatang buas, harus memberi hormat pada mereka yang mengikuti Hinayana, yang seperti serigala?" [hal.116]
    ..."Seperti orang yang mencari peruntungan di laut; namun kembali hanya dengan 1 koin saja; demikian persisnya prilaku para Sravaka; Setelah mencapai samudera luas Dharma, Mereka buang harta karun Mahayana, dan hanya membuat aspirasi sempit; untuk mengikuti jalan Hinayana ... [hal.117]

    Kāśyapaparivarta sūtra: Sang Buddha kepada Mahakasyapa:
    ...4 hal yang membuat bodhisatta kehilangan bodhicitta: ..3. mencerca dan merendahkan mereka yang mencari Mahayana, hingga mencemarkan nama baik mereka jauh dan luas; ...
    4 hal yang memungkinkan seorang Bodhisattva mempertahankan bodhicitta-nya dari 1 kehidupan ke kehidupan berikutnya,..sampai ia mencapai Kebuddhaan: ... 3. tidak menyukai doktrin Hlnayana,... [hal. 338]
    4 kesalahan yang mungkin dilakukan seorang Bodhisattva: ... 3. memuji Hinayana di antara mereka yang bergembira dalam Mahayana;...[hal.390]
    Singkatnya, seseorang yang mencapai 32 hal disebut Bodhisattva: ... 25. tidak menyukai Hinayana, tetapi selalu mencari manfaat besar Mahayana; [hal.392]

    ["A Treasury of Mahayana Sutras Selections from the Maharatnakuta Sutra", Translated from the Chinese by The Buddhist Association of the United States, Garma C. C. Chang, General Editor, 1983. Di terjemahkan biksu Kuṣāṇa, Lokakṣema dalam Ratnakuta - di ibu kota China, Luoyang, sekitar 178 - 189 M]
Sutra-sutra tersebut mengagungkan Mahayana dan mengemasnya seolah berasal dari ucapan Buddha, padahal kronologi perpecahan dari Buddhis Utara dan Selatan, seluruhnya menyatakan perpecahan baru terjadi banyak abad setelah Buddha Parinibbana, oleh karenanya, sutra-sutra tersebut bukanlah ucapan Buddha. Sutra-sutra tersebut menggambarkan keberadaan jalan hina atau Hinayana, jalan inferior, buruk atau jahat hasil dari pekerjaan Mara. Disebut Hinayana, adalah juga karena menolak doktrin Mahayana. Oleh karenanya, MAHAYANA-lah sebagai pencipta HINAYANA, sehingga bagi Mahayana, Hinayana bukanlah mitos, sehingga keberadaan Mahayana hadir mendahului keberadaan Hinayana.

Theravada — Hinayana
Hirakawa:
"Ta-chih-tu (T 1509, Mahaprajnaparamitopadesa) utamanya berhadapan langsung dengan Vaibhasika dari aliran Sarvastivada dan Sarvastivada dianggap Hinayana juga dalam banyak teks Mahayana. Sayangnya tidak diketahui apakah terminologi "Hinayana" di teks-teks Mahayana merujuk juga pada Theravada dan Mahasanghika.

Fa-Hien (fo-Kuo chi, T2085, record of Buddhist Lands) membagi area Buddhis indian ke dalam Mahayana, Hinayana dan campuran keduanya. Perbandingan diari perjalanan Fa-Hien dan Xuanzang, jelas mengindikasikan bahwa Fa-Hien menggunakan terminologi Hinayana kepada seluruh aliran dari Nikaya.

Xuanzang menyatakan Sarvastivada, Sammatiya dan Lokottaravada sebagai Hinayana, namun untuk 2 area di mana Ia temukan Theravada dan 3 tempat Ia temukan Mahasanghika, Ia hanya menyebutkan nama aliran tanpa melabelinyai "Hinayana". Perbedaan ini mungkin tidak signifikan, namun untuk 5 area yang terkait Theravada Srilanka, Ia merujuknya sebagai "Mahayana Theravada". Xuanzang merujuk Theravada Srilanka sebagai "Theravada Mahayana". Xuanzang tidak menganggap seluruh aliran Nikaya sebagai Hinayana, tapi Ia menganggap Lokottaravada dari aliran Mahasanghika sebagai Hinayana, terlepas bahwa banyak elemen Mahayana ditemukan dalam biograpi Buddha, Mahavastu, aliran Lokkottaravada.

Yijing (Nan-hai chi-kuei nei-fa chuan, T 2125, A record of Buddhism in India and the Malay Archipelago) mengamati tidak ada perbedaan signifikan dari cara hidup bhikkhu Hinayana dan Mahayana, Yijing mencatat, "Mereka yang menyembah Bodhisattva dan membaca Mahayana Sutra" adalah praktisi Mahayana. Hanya aliran Madhyamika dan Yogacara saja yang konsisten, disebutnya sebagai Mahayana. Hirakawa menyimpulkan "secara umum, terminologi Hinayana lebih sering diaplikasikan kepada aliran Sarvastivada". [A History of Indian Buddhism: From Śākyamuni to Early Mahāyāna, Akira Hirakawa, hal.256-257]

Xuanzang:
Mahinda datang ke Srilanka mengajarkan Buddhisme menurut dharma aliran Sthavira (shang-ts'o-pu) dari sekte Mahayana, setelah Mahinda, 200 tahun berlalu, satu aliran terpecah dua, yaitu Mahavihara yang menentang Mahayana dan menginduk pada Hinayana dan lainnya adalah Abhayagiri, yang mempelajari Hinayana dan Mahayana [Si-Yu-Ki, Buddhist records of The Western World, Xuanzang, ditranslasi Samuel Beal, Buku XI, hal 246-247].

Namun, kategori yang disebutkan Xuanzang sangat beresonansi dengan apa yang disampaikan Rhys Davids, bahwa terminologi Hinayana meliputi 18 aliran, utamanya, jika menolak doktrin Mahayana, oleh karenanya, Theravada dalam konteks ini adalah Hinayana.

Apa maksud dari Terminologi Theravada?
Kata Theravada muncul dalam kanon pali, misalnya MN 26, ketika Bodhisatta bertemu Āḷāra Kālāma dan Uddaka Rāmaputta:
    Aku dengan segera mempelajari Dhamma itu. Sejauh hanya mengulangi dan melafalkan ajarannya melalui mulut, Aku dapat mengatakan bahwa dengan pengetahuan (ñāṇavādañca) dan doktrin para sepuh (theravādañca) dan Aku mengakui, ‘Aku mengetahui dan melihat’—dan demikian pula orang-orang lainnya.

    Note:
    Arti Theravada: IB.Horner: "doctrine of the elders/doktrin para sepuh", Bhikkhu Nanamoli dan Bhikkhu Bodhi: "assurance/kepastian". Buddhaghosa di SP 1.131, dalam kata "sabbo theravada" = "seluruh opini para sepuh". Juga komentar Theragatha ganthārambhakathā, "yathā pana sīhanādaṃ pare migagaṇā na sahanti, kuto abhibhave, aññadatthu sīhanādova te abhibhavati evameva aññatitthiyavādā therānaṃ vāde na sahanti, kuto abhibhave, aññadatthu theravādāva te abhibhavanti" (Sebagaimana sekawanan hewan tidak dapat menandingi auman singa, apalagi melawannya, dan sebaliknya auman singa akan mengalahkan mereka, demikian pula pandangan para penganut agama lain tidak dapat menandingi pandangan para sesepuh, apalagi melawannya, dan sebaliknya pandangan para sesepuh akan mengalahkan mereka), sehingga arti Theravada = "doktrin para sepuh"
Doktrin para sepuh yang dimaksudkan adalah ucapan Buddha Gotama dan muridnya yang dihimpun 500 arahat di konsili ke-1, diteruskan melalui hafalan sampai konsili ke-3 jaman raja Asoka, dibawa Mahinda ke Srilanka, diteruskan melalui hafalan dan dilestarikan para Bhikkhu vihara Mahavihara. Inilah Theravada, yang disebut Hinayana oleh Mahayana.

"Buddhism: The early Buddhist schools and doctrinal history; Theravāda doctrine"
Paul Williams, Vol 2, Hal.222
Gambar ini memuat tabulasi jumlah aturan di setiap topik dalam Patimokha di beberapa aliran. Selintas tabulasi ini tidak banyak berbeda dan tidak tampak signifikan berbeda.

Terdapat 20 alasan yang menjadi landasan penyebab perpecahan dalam sangha, yaitu ketika Bhikkhu (satu atau beberapa atau sangha) mengajarkan bhikkhu lainnya mengenai apa
  1. yang BUKAN dhamma sebagai dhamma
  2. yang dhamma sebagai BUKAN Dhamma
  3. yang BUKAN vinaya sebagai vinaya
  4. yang vinaya sebagai bukan vinaya
  5. yang TIDAK diucapkan, TIDAK disampaikan Sang Buddha sebagai ucapannya
  6. yang diucapkan, disampaikan Sang Buddha sebagai TIDAK ucapannya
  7. yang TIDAK dipraktekkan Sang Buddha sebagai yang dipraktekkannya
  8. dipraktekkan Sang Buddha sebagai TIDAK dipraktekkannya
  9. yang BUKAN ditetapkan sang buddha sebagai yang ditetapkan
  10. yang ditetapkan sang buddha sebagai BUKAN yang ditetapkannya [List 1-10 di AN 1.140-149, AN 10.37/38]
  11. yang BUKAN pelanggaran sebagai pelanggaran
  12. yang merupakan pelanggaran (āpatti) sebagai BUKAN pelanggaran (anāpatti āpatti)
  13. yang pelanggaran ringan (lāhuka āpatti) sebagai pelanggaran berat (gārukā)
  14. yang pelanggaran berat sebagai pelanggaran ringan
  15. yang pelanggaran besar (duṭṭhulla āpatti) sebagai BUKAN besar (aduṭṭhulla āpatti)
  16. yang BUKAN pelanggaran besar sebagai besar
  17. yang pelanggaran dapat ditebus (sâvesasa āpatti) sebagai pelanggaran yang tidak dapat ditebus (anavasesā āpatti)
  18. yang pelanggaran tidak dapat ditebus sebagai yang dapat ditebus
  19. pelanggaran yang dapat diperbaiki (sappaṭikamma āpatti) sebagai tidak dapat diperbaiki (appaṭikamma āpatti)
  20. yang pelanggaran tidak dapat diperbaiki sebagai yang dapat diperbaiki [List 11-20 di: AN AN 1.150-169, AN 10.43]
Cullavagga, Khandakha 7 menyatakan PERPECAHAN SANGHA adalah karena Bhikkhu. Berikut pañca vatthūni (5 poin) yang dimintakan Devadatta dan nyaris menyebabkan perrpecahan sangha di jaman sang Buddha:
    Kemudian Devadatta mendatangi Kokālika, Kaṭamorakatissaka (putera Nyonya Khaṇḍā), dan Samuddadatta: “Yang Mulia, Marilah, kita memecah-belah Saṅgha Petapa Gotama dan merusak kerukunan..Kita menghadap pada petapa Gotama dan meminta 5 poin dengan mengatakan: ‘Yang Mulia, dalam berbagai cara Yang Mulia memuji sedikit keinginan, merasa puas, melenyapkan (keburukan), berhati-hati, berbelas kasih, mengurangi (rintangan-rintangan), mengerahkan kegigihan. Yang Mulia, 5 poin ini berperan besar dalam hal sedikit keinginan,…, mengerahkan kegigihan. Baik sekali, Yang Mulia, jika para bhikkhu, seumur hidup mereka harus:

    1. menjadi penghuni-hutan; siapa pun yang bepergian ke dekat desa, maka ia melakukan pelanggaran.
    2. menjadi penerima dana makanan dengan cara berjalan untuk mengumpulkannya; siapa pun yang menerima suatu undangan, maka ia melakukan pelanggaran.
    3. menjadi pemakai jubah kain buangan; siapa pun yang menerima jubah yang diberikan oleh perumah tangga, maka ia melakukan pelanggaran.
    4. berdiam di bawah pohon; siapa pun yang berada di bawah atap, maka ia melakukan pelanggaran.
    5. tidak boleh makan ikan dan daging, siapa pun yang memakan ikan dan daging, maka ia melakukan pelanggaran’

    Petapa Gotama tidak akan menyetujui hal-hal ini. Maka kemudian kita akan menarik orang-orang melalui ke-5 hal ini.". Kemudian Devadatta bersama dengan teman-temannya menghadap Sang Bhagavā dan menyampaikan hal tersebut. Sang Buddha berkata: ”Cukup, Devadatta, Siapa pun yang menghendaki, Ia:

    1. boleh menjadi penghuni-hutan; boleh menetap di dekat desa;
    2. boleh menerima dana makanan dengan cara berjalan untuk mengumpulkannya; boleh menerima undangan;
    3. boleh menjadi pemakai jubah kain buangan; boleh menerima jubah dari para perumah tangga;
    4. selama 8 bulan (selain masa vassa), Devadatta, Aku mengizinkan para bhikkhu menetap di bawah pohon;
    5. boleh memakan Ikan dan daging asalkan murni dalam 3 hal: TIDAK melihat secara langsung pada saat binatang tersebut dibunuh, TIDAK Mendengar secara langsung suara binatang tersebut pada saat dibunuh dan Mengetahui bahwa hidangan daging itu, TIDAK KHUSUS dibunuh agar dapat diberikan padanya”

    Devadatta merasa gembira, karena Sang Buddha TIDAK menyetujui 5 usulannya itu, kemudian Ia dan teman-temannya, bangkit dari duduk, berpamitan pada Sang Bhagavā menuju Ràjagaha mengajarkan 5 poin tersebut dan berkata pada para penduduk bahwa Sang Guru menolak apa yang menurut mereka adalah permohonan yang sangat beralasan karena 5 poin itu mengarah kepada ketidakmelekatan, dan seterusnya, dan mereka sebaliknya akan hidup dengan mematuhi 5 poin itu. Mereka yang tidak berkeyakinan dan kurang cerdas memuji Devadatta dan mencela Sang Buddha. Mereka yang berkeyakinan dan cerdas mengkritik Devadatta karena berusaha menciptakan perpecahan di dalam Sangha dan melangkahi kekuasaan Guru. Para bhikkhu yang mendengar kata-kata para penduduk itu juga mengkritik Devadatta dan melaporkan hal itu kepada Sang Buddha Buddha.

    Kemudian Sang Buddha bertanya kepada Devadatta: “Benarkah, seperti dikatakan, bahwa engkau, Devadatta, memecah-belah Saṅgha, menghancurkan kerukunan?”. Devadatta: “Benar, Yang Mulia”. Sang Buddha: “Cukup, Devadatta, jangan memecah-belah Saṅgha, karena ini berakibat sangat serius. Siapa pun yang memecah Saṅgha yang bersatu, Ia membentuk keburukan yang bertahan selama 1 kappa; Ia menderita di neraka selama 1 kappa; tetapi siapa pun, Devadatta, yang merukunkan Saṅgha yang terpecah, maka ia membentuk kebajikan luhur, Ia bergembira di alam surga selama 1 kappa. Cukup, Devadatta, jangan memecah-belah Saṅgha, karena ini berakibat sangat serius”

      Aturannya: Dalam sidang resmi sangha disampaikan agar yang bersangkutan berhenti membuat perpecahan dan agar bersatu, jika tetap membangkang, setelah 3x diberitahukan, maka bhikkhu ini melakukan pelanggaran saṅghādisesa. Para bhikkhu yang mendengarnya melakukan perbuatan tersebut tapi tidak menegurnya, maka para bhikkhu yang tidak mengatakan apapun ini, melakukan pelanggaran perilaku salah (āpatti dukkaṭa)

    Pagi harinya, ketika YM Ānanda memasuki Rājagaha untuk menerima dana makanan, Devadatta mendekatinya dan berkata: “Yang Mulia Ānanda, mulai hari ini aku akan menjalankan Uposatha yang berbeda dengan Sang Bhagavā dan berbeda dengan Saṅgha para bhikkhu dan akan menjalankan tindakan resmi untuk kelompok ini”. YM Ananda menyampaikan hal ini kepada Sang Buddha dan setelah memahami persoalan ini, sang Buddha mengucapkan syair ini: “Adalah mudah bagi orang baik melakukan kebaikan, melakukan kebaikan bagi orang jahat adalah sulit. Adalah mudah bagi orang jahat melakukan kejahatan, melakukan kejahatan bagi para mulia adalah sulit”

    Di hari Uposatha itu (hari ke-14/15 setelah bulan baru), Devadatta membagikan kupon suara, dengan mengatakan: “Yang Mulia, Kami, setelah menghadap Petapa Gotama, memohon ke-5 hal ini … Petapa Gotama tidak menyetujui ke-5 hal ini, tetapi kami akan hidup dengan menjalankan ke5 hal ini. Jika ke-5 hal ini sesuai dengan kehendak Yang Mulia, silakan masing-masing mengambil satu kupon suara”. Saat itu sebanyak 500 bhikkhu, yaitu para orang Vajji dari Vesālī, yang baru saja ditahbiskan dan masih belum berpengalaman berpikir: “Ini adalah aturan, ini adalah disiplin, ini adalah instruksi Sang Guru (satthusāsanan”ti),” mereka mengambil kupon suara. Kemudian Devadatta, setelah memecah sangha, bersama 500 bhikkhu ini, menuju Gayāsisa

    [Sang Buddha kemudian mengutus Sāriputta dan Moggallāna ke Gayāsisa untuk mengajarkan Dhamma kepada ke-500 bhikkhu yang dibawa Devadatta tersebut. Mereka mendapat kesempatan memberikan kotbah, kemudian munculah pada diri ke-500 Bhikkhu tersebut suatu penglihatan-dhamma, yang tanpa debu, tanpa noda bahwa “segala sesuatu yang muncul akan lenyap”. 500 Bhikkhu tersebut kemudian diajak untuk menghadap Sang Bhagavā]

    YM Sāriputta berkata kepada Sang Buddha agar para bhikkhu yang terlibat dalam perpecahan tersebut dapat ditahbiskan kembali, namun sang Buddha menyatakan bahwa para Bhikkhu ini tidak terlibat dalam perpecahan sangha.

    Berikut aturan terkait perpecahan sangha:
    YM Upāli kepada Sang Buddha: (1) sejauh apakah perselisihan dalam Saṅgha tetapi BUKAN perpecahan dalam Saṅgha? Dan (2) sejauh apakah perselisihan dalam Saṅgha dan adalah perpecahan dalam Saṅgha?

    Sang Buddha: “Jika, ada 1 orang di satu pihak dan 2 orang di pihak lain dan jika seorang yang ke-4 berkata dan membagikan kupon suara: ‘Ini adalah aturan, ini adalah disiplin, ini adalah instruksi Sang Guru, ambillah (kupon suara) ini, setujuilah ini’ – ini adalah perselisihan dalam Saṅgha tetapi BUKAN perpecahan dalam Saṅgha.

    “Jika, ada 2 orang disatu pihak dan 2 orang di pihak lain, dan jika seorang yang ke-5 berkata … 2 orang disatu pihak vs 3 orang di pihak lain dan jika yang ke-6 berkata … 3 orang vs 3 orang dan jika yang ke-7 berkata … 3 orang vs 4 orang di pihak lain dan jika yang ke-8 berkata dan membagikan kupon suara: ‘Ini adalah aturan...setujuilah ini’ – ini adalah perselisihan dalam Saṅgha tetapi BUKAN perpecahan dalam Saṅgha.

    Jika, 4 orang di satu pihak dan 4 orang di pihak lain dan jika seorang yang ke-9 berkata … ini, adalah perselisihan dalam Saṅgha dan adalah perpecahan dalam Saṅgha.

    Perselisihan dalam Saṅgha dan adalah perpecahan dalam Saṅgha terjadi karena 9 atau lebih dari 9 orang, namun hanya seorang bhikkhu dari komunitas yang sama, menetap di tempat yang sama, yang dapat memecah-belah Saṅgha, bukan karena seorang bhikkhunī bahkan jika ia melakukan tindakan memecah-belah, juga bukan karena seorang yang dalam masa percobaan, seorang samaṇera, seorang samaṇerī, umat awam pria dan/atau wanita, tidak memecah-belah Saṅgha bahkan jika ia melakukan tindakan memecah-belah

    Upali: "sejauh apakah, disebut Saṅgha menjadi terpecah?"

    Sang Buddha: "para bhikkhu menjelaskan..(sehubungan dengan 18 hal) membuat menarik dan memisahkan (teman), mereka menjalankan Uposatha secara terpisah, mereka menjalankan Undangan secara terpisah, mereka menjalankan tindakan (resmi) Saṅgha secara terpisah. Sejauh inilah, Saṅgha menjadi terpecah” [Vinaya, Cullavagga, Sanghabheda]

    (Keputusan Devadatta dan 3 rekannya untuk memecah belah sangha, tidak sesuai aturan, disamping jumlah kurang dari 5, tindakan mereka (jika 5 orang atau lebih) harus didahului dengan (1) mengundang sangha, (2) dihadapan sangha, disampaikan terjadi pelanggaran apa (3) dihadapan sangha, jika ada pendapat berbeda, dilakukan pengambilan kupon suara oleh para Bhikkhu (4) dihadapan sangha, disampaikan keputusannya. Namun hal ini tidak dilakukan Devadatta, sehingga pada jaman sang Buddha, yang terjadi baru sebatas perselisihan BUKAN perpecahan, walaupun Devadatta mengaku bahwa Ia memecah belah sangha dan beranggapan telah memecah belah. Kepada Devadatta, Sangha TIDAK PERNAH memberikan tindakan resmi mengeluarkannya dari persekutuan, sehingga sampai dengan akhir hayat, Devadatta tetap merupakan bhikkhu dan anggota bhikkhu sangha sang Buddha)
TIDAK SEMUA PERPECAHAN SANGHA adalah BURUK, misalnya dalam kasus dibawah ini.
    Seorang Bhikkhu yang menjelaskan: apa yang bukan-dhamma sebagai dhamma dan/atau apa yang dhamma sebagai bukan-dhamma … menjelaskan apa yang bukan pelanggaran berat sebagai pelanggaran berat

    jika ia memiliki pandangan bahwa dalam ini terdapat dhamma, jika ia memiliki pandangan bahwa dalam perpecahan terdapat dhamma namun tidak salah menyampaikan pendapat, tidak salah menyampaikan persetujuan, tidak salah menyampaikan kesenangan, tidak salah menyampaikan kehendak, ia berkata dan membagikan kupon suara, dengan mengatakan: ‘Ini adalah aturan, ini adalah disiplin, ini adalah instruksi Sang Guru, ambillah (kupon suara) ini, setujuilah ini’ – bahkan penyebab perpecahan dalam Saṅgha ini, TIDAK MENGALAMI kejatuhan, TIDAK MENUJU neraka, TIDAK MENETAP di sana selama satu kappa, dapat terselamatkan. [Cullavagga, Khandakha 7]
Sang Buddha menyatakan terdapat 4 KEUNTUNGAN yang menjadi MOTIF seorang bhikkhu melakukan perpecahan di dalam sangha dan bersenang dengan hal itu, sabda beliau ini sehubungan dengan Bāhiya, murid YM Anuruddha yang masih saja berniat menciptakan perpecahan di dalam sangha:
  1. Seorang bhikkhu jahat tidak bermoral, berkarakter buruk, tidak murni, berperilaku mencurigakan, merahasiakan perbuatannya, bukan seorang petapa walaupun mengaku sebagai petapa, tidak hidup selibat walaupun mengaku hidup selibat, busuk dalam batinnya, jahat, rusak. Ia berpikir: ‘Jika para bhikkhu mengetahui bahwa aku adalah seorang yang tidak bermoral … rusak, dan mereka bersatu, maka mereka akan mengusirku, tetapi jika mereka terpecah dalam kelompok-kelompok maka mereka tidak akan mengusirku.’

  2. seorang bhikkhu jahat berpandangan salah; ia menganut pandangan ekstrim. Ia berpikir: ‘Jika para bhikkhu mengetahui bahwa aku menganut pandangan salah, bahwa aku menganut pandangan ekstrim, dan mereka bersatu, maka mereka akan mengusirku, tetapi jika mereka terpecah dalam kelompok-kelompok maka mereka tidak akan mengusirku.’

  3. seorang bhikkhu jahat berpenghidupan salah; ia mencari penghidupannya melalui penghidupan salah. Ia berpikir: ‘Jika para bhikkhu mengetahui bahwa aku berpenghidupan salah dan mencari penghidupanku melalui penghidupan salah, dan mereka bersatu, maka mereka akan mengusirku, tetapi jika mereka terpecah dalam kelompok-kelompok maka mereka tidak akan mengusirku.’

  4. seorang bhikkhu menginginkan perolehan, kehormatan, dan penghargaan. Ia berpikir: ‘Jika para bhikkhu mengetahui bahwa aku menginginkan perolehan, kehormatan, dan penghargaan, dan mereka bersatu, maka mereka tidak akan menerima, menghormati, menghargai, dan memuliakanku; tetapi jika mereka terpecah dalam kelompok-kelompok maka mereka akan menerima, menghormati, menghargai, dan memuliakanku
Melihat ke-4 keuntungan ini, Ānanda, seorang bhikkhu jahat bersenang dalam perpecahan di dalam Saṅgha [AN 4.243/Sanghabhedaka sutta]

ASOKA - DINASTI MAURYA
Tradisi Buddhis Utara/Sarvaastivaada, pada 2 teks Vasumitra (100-200 M), Shibabu-lun [Risalah 18 aliran] dan Buzhiyi-lun [Risalah aliran-aliran]:
  1. menurut translasi Paramaartha (499-569 M): "116 TAHUN setelah wafatnya Bhagawan Buddha ... Terdapat sebuah negara yang besar bernama Paataliputra yang rajanya bernama Asoka memerintah Jambudviipa" [T 49 No. 2033, hal. 20a. juga No. 2032, p. 18a]

  2. menurut tripitaka versi Tiongkok, jaman dinasti Song, Yuan, Ming, dan Qing untuk Buzhiyi-lun: Penobatan Asoka menjadi raja adalah 160 TAHUN setelah wafatnya Buddha [misal: T 49, No. 2033, p. 20, note 7; Qian-long (Qing dynasty) vol. 102, No. 14, p. 468], namun Shibabu-lun pada edisi yang sama: 116 TAHUN.
Menurut Bhavya (abad ke-6), di kanon Tibet, Sde-pa tha-dad-par byed-pa da"n rnam-par b"sad-pa/Nikaayabheda-vibha'nga-vyaakhyaa [risalah perpecahan aliran]: 160 TAHUN di beberapa edisi kanon Tibet dan juga: 116 TAHUN di edisi-edisi lainnya.

Contoh translasi BAREAU untuk versi Narthang (1741-42 M) dan Peking (1724 M): "160 TAHUN (lo-brgya-drug-cu, Edisi Peking Tripitaka Tibet, vol. 127, No. 5640, p. 253, lembar daun 1, baris ke-3) telah berlalu sejak Buddha parinibbana, pada waktu itu, ketika raja bernama Dharmaa’soka memerintah di kota bernama Kusumapura, di sana berkembang pertikaian hebat dalam sangha sebagai konsekuensi kemunculan variasi pokok-pokok kontroversi" [Andre BAREAU, "Trois traites sur les sectes bouddhiques attribues a Vasumitra, Bhavya et Vinitadeva: Deuxieme partie", Journal asiatique 244 (1956), hal. 167-8. Translansi ke Perancis. Cf. BECHERT (1989), hal. 107-8].

Menurut translasi Watanabe untuk versi tripitaka Tibet Derge (1744 M): 116 TAHUN. [Watanabe Zuigan, versi Tripitaka Jepang, Osaki Gakuho, No. 94 (July 1939), hal.71, note 1].

[Diringkas dari: "A Discussion on the Determination of the Date of the Historical Buddha", Choong, Mun-keat (Wei-keat), Journal of Indian History, Vol. LXXVI-LXXVIII, 1997-1999, March, 2004]

Tradisi Buddhis Selatan:
"Genap 218 tahun setelah wafatnya Tathagata (= tahun ke-219), Seorang raja memerintah seluruh Jambudwipa (Tathaagatassa parinibbaanato dvinnam vassasataanam upari athaarasame vasse sakala-Jambudiipe ekarajjaabhisekam paapuni)." [Dipavamsa, VI, pp. 1, 19-20; Mahavamsa, V, p. 21; kitab komentar Vinaya Pali karya Buddhaghosa abad ke 5 M, Samantapasadika, I, pp. 41-42 (cf. Taisho, Tripitaka edisi China (ringkasan T) vol. 24, No. 1462, p. 679c)]. [Diringkas dari: Choong Mun-Keat]

Menurut Mahavamsa, kronologi Dinasti dan Raja yang memerintah mulai dari wafatnya Sang Buddha sampai dengan pemerintahan raja Asoka ["The Cambridge History of India", hal.189 "Mahavamsa: Great Chronicle of Ceylon", Wilhelm Geiger, hal. xlvi] adalah:
    Ajatasattu (32 tahun, Sang Buddha wafat di tahun ke-8 pemerintahannya = 24 tahun) + Udayin-Bhadda (16 tahun) + Anuruddha dan Munda (8 tahun) + Nagadasaka (24 tahun) + Shisunaga (18 tahun) + Kalasoka (28 tahun) + keturunan Kalasoka (22 tahun) + Nanda dan Keturunannya (22 tahun) + Candragupta (24 tahun) + Bindusara (28 Tahun) + Asoka dinobatkan (tahun ke-5 setelah Bindusara wafat. Mhv 5.22: setelah berlalu 4 tahun)
Jadi total 24 + 16 + 8 + 24 + 18 + 28 + 22 + 22 + 24 + 28 + 5 = 219 tahun setelah parinibbananya sang Buddha, adalah tahun ketika Asoka menjadi raja. Asoka wafat setelah memerintah 37 tahun lamanya (Mhv 20.6, Dipv 5.101), sehingga 256 tahun telah berlalu sejak parinibbananya sang Budha

Penemuan arkeologi Inskripsi-Inskripsi di atas batu tentang Devanampiya Piyadasi raja Magadha, Asoka:
terdapat sekurangnya 19 inskripsi berupa pilar batu dengan tinggi ± 12 – 15 Meter dan berat: ± 50 ton, 14 inskripsi pada batu yang besar dan beratnya bervariasi [“Asoka Maurya - His attitudes towards reformist sects of Jainas, Ajivikas and Buddhist as reflected in his Dhamma Edict?”, Bipin Shah].
  1. Inskripsi maklumat batu di Maski, tahun 1915, di baris pertama, tertulis "Devanampiya asokasa", dilanjutkan dengan kalimat, "Selama 2.5 tahun Saya sebagai umat awam.....Aku menemui (upagate)...Sangha...jambudwipa". pada Inskripsi Bhabru/Bairat, tertulis kalimat "Piyadasi laja magadhe sangham abhivademanam" (Raja Magadha yang ramah menyampaikan hormat pada Sangha'). Kata “Piyadassi” yang merujuk pada Asoka, tercantum dalam text Dipavamsa 6.1-18. Seluruh rangkaian ini, menegaskan bahwa Inkripsi-inkripsi yang ditemukan dengan memuat kata devanampiya dan piyadasi adalah memang merujuk pada Asoka, sehingga keberadaan Asoka adalah nyata

  2. Maklumat kecil batu I, yang ditemukan di 3 tempat (Brahmagiri, Rupanath dan Sahasram) terdapat tulisan angka "256":

    Brahmagiri: Iyam cha savan(e) sav(a)p(i)te vyuthena 200 50 6
    Rupnath: V(y)uthena savane kate 200 50 6 sata vivasa ta (atau ti)
    Sahasram: Iyam (cha savane v)ivuthena duve sapamnalatisata (atau dve satpancasaratrisate?) vivutha ti 200 50 6

    Tentang arti angka 256 yang tidak berisi petunjuk apakah itu sebagai tahun, hari atau orang:

    Geiger menuliskan bahwa Buhller dan fleet menyatakan sebagai “tahun” (256 tahun berlalu sejak nirwana), F.W Thomas menyatakan sebagai "hari” (256 hari), dengan mengartikan "lati" = "ratri" = malam. Geiger (dan bisa jadi, seluruh para ahli bahasa serupa) menyatakan: Fleet dan Buhler pastinya tahu ada kata “lati” dan mereka temukan bahwa konteknya tidak tepat untuk diterjemahkan demikian (Mahavamsa, Geiger, introduction, xxvii-xxviii. Sample ahli yang juga menolak ide bahwa kata lati = ratri, misal: ”Asoka”, Mookerji Radhakumud, hal. 114-115, cat kaki 3).

    Fleet menyampaikan: Nama-nama ahli-ahli bahasa, selain Buhller yang mengartikan sebagai “256 tahun”, nama para ahli lain yang menterjemahkan sebagai “256 hari” atau “256 orang” atau “256 kali”. Ia memahami bahwa tidak ada kata “tahun” (juga tidak ada kata hari atau orang atau kali) di inkripsi-inkripsi tersebut, namun kemudian, Ia menjadi bersepakat penuh dengan Buhller, dengan alasan bahwa penulisan angkat tahun namun tidak menyebutkan kata “tahun” adalah lazim dilakukan para ahli pali ketika menuliskan tahun karya mereka, Ia mengambil contoh Paññāsāmi (seorang ahli pali dan buddhis dari Burma, tahun 1861), dalam karyanya “Sasanavamsa” atau “Sasanavamsappadipika”, menuliskan tanggal selesai karyanya dengan kalimat, “Dvi-sate cha sahasse cha tevis-adhike gate punnayam Migasirassa nittham gata va sabbaso (Ini telah diselesaikan dalam menghormati purnama bulan Migasira, yang telah berlalu 1223) tanpa menambahkan kata “tahun” namun jelas yang dimaksudkan adalah “1223 tahun” dan bukan hari atau lainnya [“The Date of Buddha's Death, as Determined By a Record of Asoka”, J.F. Fleet, I.C.S.(Retd.), Ph.D., C.I.E. Journal of The Royal Asiatic Society, hal. 1-26, 1904].

    Kata 256 ini menjadi bahan kontroversi menarik karena 219 (tahun penobatan) + 37 (lamanya memerintah ref Mhv 20.6, Dipv 5.101) = 256 tahun berlalu sejak parinibannya sang Buddha

  3. Kemudian, Inskripsi maklumat Asoka pada pilar batu ke-13 (girnar dan kalsi), tertulis, “Yatra Aṃtiyoko nāma Y[o]na-raja paraṃ ca tena Atiyok[e]na cature 4 rajani Turamaye nama Aṃtikini nama Maka nama Alikasudaro nama” (Disana ada Yunani, rajanya bernama Antiochos, lebih jauh lagi ada 4 raja yang bernama Ptolemy, Antigonos, Maga dan Alexander)

    Antiochos II Theos (261 - 246 SM), Ptolemy II Philadelphos (285 - 247 SM), Antigonos Gonatos (278(1)/276(2) SM - 239 SM), Maga (300 - 258/wafat sebelum 250(2)(3) SM) dan Alexander of Epirus (272 - 258/255(2) SM) atau Alexander of Corinth (252 - 244 SM)

    [Sumber: (1)”The Edicts of King Asoka an English rendering“,Ven. S. Dhammika, 1994; (2) “Early Buddhist Transmission and Trade Networks: Mobility and Exchange Within and Beyond the Northwestern Borderlands of South Asia”, Jason Neelis , hal .82, cat kaki no.52; (3) Magas of Cyrene, cat kaki no.7]

    Irisan tahun kehidupan 4 raja tersebut berada pada dikisaran 260 SM s.d 256 SM. Pilar ini dinyatakan buatan tahun 256 SM (catatan kaki no.25), yaitu tahun pemerintahan Asoka ke-12 (“The Past Before Us”, Romila Thapar, hal.390, cat kaki no.14) atau ke-13 (“Early Buddhist Transmission and Trade Networks:..”, Jason Neelis, hal.82, Cat kaki no.52)

    Setelah 37 tahun memerintah (Mhv 20.6, Dipv 5.101), yaitu tahun ke-256 tahun setelah Buddha parinibana, Asoka wafat. Tahun 233/232 SM sebagai tahun wafatnya Asoka, disampaikan oleh ROMILA THAPAR dalam "Aśoka and the Decline of the Mauryas", 1980, hal.51
Purana Hindu:
Bhavishya Purana, DINASTI: Shishunaga - Nanda - Maurya - Shunga

Dinasti Shishunaga:
Dinasti Shishunaga (40 tahun) + Kakavarna (Geiger dan Jacobi menyatakan kakavarna (warna gagak) dan kalasoka (asoka hitam) orang yang sama tapi beda nama: 36/26 tahun) + Ksemadharman (20/36 tahun) Ksemajit/Ksatraujas (40/24 tahun) + Bimbisara (28 tahun) + Ajatashatru (25/27) + Darsaka (22/24 tahun) + Udayin (33 tahun) + Nandiwardana (40 tahun) + Mahanandin/Mahananda (43 tahun) = 328 tahun(1) atau 321 tahun(2)

Mulai Ajatasatru (setelah dikurangi 8 tahun saat wafatnya Buddha) s.d akhir dinasti = 155 tahun(1)/159 tahun(2)

Dinasti Nanda:
Mahapadma Nanda (Visnu Purana: 28 Tahun/Matsya dan Bhavishya Purana: 88 Tahun) + ke-3 anaknya (12 tahun) = 40/100 tahun. (Ada GAP 60 Tahun, Sumber Visnu Purana, lebih dekat ke versi Buddhis/Jain)

Dinasti Maurya:
Chandragupta (24 tahun) + Bindusara (25 tahun) + ASOKA (36 tahun) + Kunala (8 Tahun) + Bandupalita (8 Tahun) + Indrapalita (10 Tahun) + Devavarmana (7 tahun) + Shatadanu (7 Tahun) + Brihadratha (12 tahun) = 137 tahun
Sampai Asoka = 24+24 = 49 Tahun
Ajatasatru - Asoka = 155/159+40/100+ 49 = 244/308 Tahun.
Asoka - Akhir dinasti Maurya = 88 Tahun

Dinasti Shunga:
Pushyamitra, ex-jendralnya Brihadratha (36 tahun) + Agnimitra (8 tahun) +...
    Note:
    (1) "Bhavishya Purana", B.K. Chaturvedi, hal.65
    (2) "History of Ancient India", Rama Shankar Tripathi, hal.113.
    Tentang Darsaka,
    Bhasvishya Purana dan Chaturvedi TIDAK menyebutkan berapa lama pemerintahannya namun Chaturvedi menuliskan mulai dari Ajatasatru s.d berakhirnya dinasti = 163 tahun, sehingga Ia memerintah selama 22 tahun. Rama Shankar juga TIDAK menyebutkan lama pemerintahan Darsaka. Literature belakangan, yang menyebutkan adanya pemerintahan Darsaka adalah di Vasavadattanya-nya Bhasa (abad ke-3 Masehi), namun tidak menyebutkan berapa lama Ia memerintah dan diambil dari purana mana. Jadi angka 24 tahun adalah hasil perkiraan para Pengarangnya. Baik literature Buddhism dan Jain, TIDAK menyatakan Darsaka memerintah setelah Ajatasatu.
Karena di Buddhis dan Jain tidak ada nama Darsaka setelah Ajatasatru dan TIDAK semua Purana memuat nama Darsaka, juga nama dan tahun kehidupannya berasal dari literature belakangan, juga 2 litratur purana (Bhavisya/Matsya vs Vayu) untuk Mahapadma Nanda, berselisih 60 tahun, jika ini dikoreksi 22/24 tahun + 60 tahun = 82/84 tahun, maka jumlah tahun wafatnya Buddha sampai Asoka menjadi raja = 222 tahun /224 tahun. Purana juga menyatakan bahwa Asoka memerintah 36 tahun, maka total jumlah tahun berlalu hingga wafatnya Asoka adalah 258 - 260 tahun.

Angka ini TIDAK JAUH berbeda dengan kronologis tahun versi Buddhis Selatan dan juga versi inkripsi-inkripsi yang ditemukan yang menyatakan kisaran 256 tahun berlalu sejak Parinibbananya sang Buddha


Konsili ke-3,
Penemuan arkeologi di beberapa inskripsi pilar Saranath-Kosambi-Sanchi jaman Asoka, menyampaikan pernah terjadi perpecahan dalam Sangha dan telah dibuat bersatu dijamannya ("Asoka", D.R. Bhandarkar,R. G. Bhandarkar, hal.91-94; Terjemahan Inskripsi dari "Sects & Sectarianism", Bhikkhu Sujato)
    Sangha bhikkhu dan bhikkhuni telah dibuat bersatu.
    Sepanjang anak-anak dan cucu-cucuku masih hidup, dan sepanjang matahari dan bulan masih bersinar, siapa pun bhikkhu atau bhikkhuni yang memecah belah Sangha akan memakai jubah putih dan tinggal di luar vihara
    Apakah keinginanku?
    Agar kesatuan Sangha akan bertahan lama.


    ’Raja Aśoka,
    Minor Pillar Edict, Sāñchī
Beberapa teks tradisi Utara menyatakan alasan perpecahan aliran diakibatkan oleh bhikkhu tertentu yang menyampaikan 5 point (pañca-vastūni/gzhi lnga) dan nama Bhikkhu yang dituduhkan adalah "Mahadeva", misal:
  1. "San louen hiuan yi" karya Ki-tsang dari aliran Mahayana (berdasarkan karya Paramartha dari aliran mahayana), kitab komentar dari "Samayabhedo paracana cakra", Visumitra: Pemicu pecahnya Mahasamghika dan Sthaviriya adalah karena aktivitas dari Mahadeva yang menambahkan 5 point (pañca-vastūni) dan juga MEMASUKAN sutra MAHAYANA ke dalam TRIPITAKA

  2. "Samayabhedo paracana cakra", Vasumitra, aliran Sarvastivada: Nama Bhikkhu yang menyampaikan 5 point (pañca-vastūni): Mahadeva, yang menerima: Aliran Mahasanghika, yang menolak: aliran Stravira ["Mahasamghika Origins: The Beginnings of Buddhist Sectarianism", hal.247]

    Terdapat 3 terjemahan china untuk kitab ini, yaitu (i) 'Shi-pa' pu' lun, terjemahan entah oleh Kumarajiva (401-413) atau Paramartha (546-569). (ii) Pu' chi-i-lun, Paramartha dan (iii) I-pu'-tsung-lun, Xuanzang (662) [“Buddhist Sects in India”, Dutt, Introduction]

  3. "Abhidharma mahavibhasa sastra", Katyāyāniputra, aliran Sarvastivada: Nama Bhikkhu yang menyampaikan 5 point (pañca-vastūni): Mahadeva, yang menerima: Mahasanghika, yang menolak: Sarvastivadin ["Mahasamghika Origins: The Beginnings of Buddhist Sectarianism", hal.247]
Berikut narasi versi Mahāvibhāṣā (Vasumitra, T 1545):
    Di masa lalu, tersebutlah seorang pedagang dari Mathura, yang beristri cantik dan mempunyai anak rupawan bernama Mahadeva. Ayahnya kemudian dalam waktu yang lama, pergi keluar daerah untuk berdagang. Mahadevapun beranjak dewasa. Ia kemudian melakukan inses dengan ibunya, Ketika tahu ayahnya akan datang, karena takut perbuatannya diketahui, Ia membuat rencana dangan Ibunya dan kemudian, Ia bunuh ayahnya. Perbuatannya perlahan terungkap hingga Ibu-Anak pindah ke Pāṭaliputta. Di sana Ia bertemu seorang Arahat, yang dulu, di daerah asalnya, Ia pernah berdana padanya, karena takut perbuatannya terungkap, Ia bunuh bhikkhu itu. Belakangan karena ibunya bersetubuh dengan lelaki lain, Ia bunuh ibunya.

    Hidupnya penuh keresahan, kemudian Ia mendengar bahwa ajaran Buddha mengajarkan Dhamma untuk melenyapkan kesalahan masa lalu. Ia kemudian pergi ke vihara Kukkuṭārāma dan saat itu, seorang bhikkhu yang sedang berlatih meditasi jalan sambil melantunkan syair, “Jika seseorang melakukan kesalahan berat, dengan melakukan kebajikan, Ia membuatnya berakhir, Orang ini menyinari dunia bagaikan bulan yang muncul dari awan”. Ia tertarik dan girang mendengar ini, maka Iapun memohon penahbisan dan Bhikkhu itu menahbiskannya tanpa melakukan pemeriksaan terlebih dahulu akan masa lalunya.


    [Note:
    Prosedur STANDAR penahbisan bhikkhu yang telah berjalan RATUSAN TAHUN sebelum konsili ke-3 (dan masih BERJALAN RATUSAN TAHUN kemudian) adalah:

    1. Kehadiran MINIMUM 10 bhikkhu [dengan pengecualian di daerah yang kekurangan Bhikkhu, misalnya pada kasus YM Soma di Avanti boleh 4 bhikkhu + 1 Vinayadhara] dan harus mempunyai masa vassa MINIMUM 10 tahun, terpelajar dan Kompeten untuk menahbiskan
    2. UPAJJHAYA HARUS menyelidiki calon Bhikkhu, yaitu: harus manusia, tidak pernah membunuh: Ibu, ayah, Arahat, melecehkan Bhikkhuni dan banyak lagi yang jika SALAH SATUNYA SAJA atau malah BEBERAPA dari hal itu dilakukan, maka jika Ia belum ditahbiskan maka ia TIDAK BOLEH ditahbiskan, jika IA SUDAH DITAHBISKAN, maka Ia HARUS DIKELUARKAN dari persekutuan.
    3. Setelah ditahbiskan, Ia pun harus tinggal 5 tahun untuk mendapat bimbingan dari Upajjhaya/Achariyanya [Mahavagga, Khandaka ke-1, penahbisan]

    Jadi, bagaimana mungkin dari 10 Bhikkhu yang menahbiskan ini, TIDAK 1 PUN yang menanyakan pertanyaan standar berupa asal-usul calonnya?
    Sutra juga telah menghinformasikan bahwa di tempat lamanya perbuatan kejinya telah menyebar, maka BAGAIMANA MUNGKIN dari seluruh bhikkhu di Vihara itu TIDAK 1 PUN yang mendengar masa lalunya disebelum, disaat atau disesudah penahbisan bahkan hingga bertahun-tahun kemudian?

    Untuk itu, ada beberapa kemungkinan tentang ini:

    (1) Kisah ini bohong dan/atau
    (2) Mahadeva tidak pernah membunuh ayah, ibu, arahat tersebut dan/atau
    (3) Para bhikkhu di Vihara itu bukanlah bhikkhu karena TIDAK TAHU prosedur standar dalam menahbiskan dan/atau
    (4) Pengarang kisah ini memakai kacamata aturan vinaya alirannya sendiri sebagai dasar mengarang dan menganggap dimasa lalupun terjadi seperti itu..]

    Karena cerdas, tak lama setelah penahbisan, Mahadeva HAFAL SELURUH TRIPITAKA juga trampil dalam berkata-kata, para penduduk Pataliputta menganggapnya pembimbing dan bahkan dianggap Arahat. Karenanya, Raja kerap mengundangnya ke istana untuk berdana dan memohon dhamma. Kemudian, Ia mengajarkan 5 point (pañca-vastūni) kepada para muridnya:

    (1) Ketika Ia mimpi basah, Ia berkata itu terjadi karena gangguan mara yang iri dan bahwa arahat masih memiliki kotoran.
    (2) Arahat masih memiliki ketidaktahuan.
    (3) Arahat dan Pacekka Buddha masih memiliki keragu-raguan.
    (4) Karena muridnya melihat dirinya tidak ingat jalan ketika memasuki kota, Ia berkata Arahat masih belajar dari orang lain dan tidak dapat mengetahui dengan sendirinya.
    (5) Karena telah melakukan sejumlah besar kejahatan, ketika sendirian di tengah malam, kesalahan membebaninya yang membuatnya tertekan dan takut sehingga seringkali berteriak: “Oh (Aho), betapa menderitanya!”. Ketika ditanya muridnya, Ia berkata bahwa Jalan Mulia dapat dimunculkan dengan meneriakan “Aho betapa menderitanya”


    [Note:
    Seluruh Bhikkhu, baik atau buruk, arahat atau bukan yang ditahbiskan sebelum konsili ke-3, TIDAKLAH MENGENAL Tripitaka. SEBELUM konsili ke-3, yang ada hanya Sutta dan Vinaya (dvepitaka/dua keranjang) namun SETELAH konsili ke-3, keranjang bertambah satu lagi dengan Abhidhamma sehingga disebut Ti-Pitaka/Tripitaka. Di Cullavagga, Vinaya dan di banyak sutta hanya menyebutkan kata Dhamma/sutta dan Vinaya (+ matika: ringkasan/topik sutta dan/atau patimokha/227 aturan, terkadang matika adalah sinonim dari patimokkha), TIDAK PERNAH menyatakan kata TIPITAKA,

    Jadi teks-teks yang berasal dari tradisi Utara maupun tradisi Selatan yang menggunakan kata TIPITAKA/TRIPITAKA dalam narasinya, maka ini dibuat paling cepat setelah berakhirnya KONSILI ke-3.

    Tanggapan Theravada untuk klaim pandangan tentang arahat ada di KathaVatthu, KV 2.1 s.d KV 2.6. Kathavatthu adalah 1 bagian/kitab Abhidhamma berupa detail point kontroversi saat pembersihan para bhikkhu berpandangan salah di MENJELANG Konsili ke-3.

    Di Katavatthu, terdapat 2 variasi klaim pandangan untuk topik kata "aho", yaitu: klaim saat memasuki jhana (KV 2.5) dan "aho betapa menderitanya" untuk klaim saat memasuki sang jalan (KV 2.6).

    Karena Mahadeva dikatakan HAFAL TRIPITAKA, maka 5 poin yang Ia sampaikan di kisah ini, bisa jadi bukanlah ide orsinilnya, namun berasal dari daftar yang telah ada.]

    Kemudian, para bhikkhu sepuh di Vihara Kukkuṭārāma satu persatu wafat. Pada hari ke-15, tibalah waktu untuk Upasatha. Giliran Mahadeva untuk mengajarkan Sila. Ia kemudian mengajarkan pandangannya. Saat itu di sangha ada beberapa siswa yang sedang dalam latihan dan telah mahir yang sangat terpelajar, kokoh dalam sila dan seorang yang mencapai Jhana. Ketika mereka mendengar ajaran itu tanpa kecuali mereka waspada dan berkeberatan, mereka mengeritik bahwa hanya seorang bodoh yang membuat statement itu dengan berkata "Ini tidak ditemukan dalam TRIPITAKA" dan kemudian terjadi debat berkepanjangan yang memunculkan kelompok-kelompok hingga berita ini menyebar ke kota, sampai kementrian negara dan tidak kunjung berhenti, Raja mendengar tentang ini kemudian datang dan ikut mendengarkan perdebatan dan menjadi ragu mana yang Ia percayai. Ketika Raja bertanya bagaimana menyelesaikannya, Mahadeva berkata bahwa dalam vinaya dikatakan untuk menyelesaikan masalah, seharusnya bergantung pada apa yang dikatakan mayoritas.

    Raja memerintahkan kedua kelompok Sangha untuk berdiri terpisah. Kelompok yang tidak setuju adalah kelompok orang mulia, walau tua, jumlahnya sedikit sedangkan kelompok yang setuju adalah kelompok Mahadeva, muda, dan berjumlah banyak. Karenanya mereka Mayoritas. Yang lebih sedikit disebut Sthavira dan yang lebih banyak disebut Mahāsaṅghika, Para orang mulia kemudian meninggalkan vihara Kukkuṭārāma menuju Kashmir dan tinggal di sana. Raja kemudian membangun vihara di Kashmir..
    ["Sects and Sectarianism, Bab.5", Juga lihat di: di sini, di sini, di sini, di sini dan di sini]

    [Note:
    Dari 7 cara penyelesaian perkaran (Adhikarana) di Vinaya, salah satunya melalui suara terbanyak/Yebhuyyasika (lihat di MN 104/samagama untuk aplikasinya) yaitu dengan metoda membisikan di telinga, secara rahasia atau terbuka. Apapun itu, SELALU:

    1. TIDAK DIMUNGKINKAN adanya campur tangan umat awam dalam pelaksanaan urusan kebhikkhuan dan TIDAK DIMUNGKINKAN menyerahkan keputusan penyelesaian perkara kepada umat awam. Penyelenggara kupon suara tetap HARUS Bhikkhu dengan 5 kualitas, yaitu: TIDAK memihak, TIDAK melalui kebencian, kebodohan, ketakutan dan tahu apa yang diambil/tidak. Bhikkhu itu harus diminta kesediannya terlebih dahulu dan kemudian Sangha pun harus diberitahu oleh seorang Bhikkhu lainnya yang berkompeten dan berpengalaman mengenai kesediannya
    2. HARUS MEMENUHI 10 SYARAT SAH, diantaranya: JUMLAH Yang menganut dhamma HARUS lebih banyak dan/atau HARUS PASTI bahwa jika dilakukan maka SANGHA TIDAK AKAN TERPECAH atau TIDAK MUNGKIN TERPECAH dan harus diselenggarakan oleh SANGHA YANG LENGKAP bukan SANGHA YANG TIDAK LENGKAP

    Jadi bagaimana mungkin seorang ahli Tripitaka dan juga kumpulan para bhikkhu terpelajar paham dhamma dan vinaya yang ada dalam kisah ini TIDAK TAHU cara MENYELESAIKAN perkara yang NYATA-NYATA ada di 220 aturan+7 aturan penyelesaian masalah dan juga di MN 104/Samagama?]
Menariknya,
teks-teks tradisi Utara sendiri, TIDAK KONSISTEN untuk menetapkan nama Mahadeva sebagai pihak yang bertanggung jawab. TERDAPAT BANYAK VARIASI NAMA LAINNYA yang terkait dengan 5 point (pañca-vastūni), misalnya, Nāga (atau Mahāraṭṭha dalam terjemahan Paramārtha), Pratyantika, Bahuśruta, Mahābhadra dan Bhadra (yang kemudian 5 poin ini diadopsi oleh Nāga dan Sāramati/Sthiramati) [“Sects and Schims”, Bhikkhu sujato, Bab 4.1]. Mari kita ambil sebagai sample nama Bhadra dalam 2 teks tradisi Utara:
  1. "Nikayabheda vibhanga vyakhyana" karya Bhavya, dari Aliran Sammitiya: Nama Bhikkhu yang menyampaikan 5 point: Bhadra
  2. Dari Tarkajvala: “137 tahun setelah wafatnya Yang sempurna, Di masa Raja Nanda dan Mahāpadma diselenggarakan pertemuan para Arya di kota Pataliputra yaitu YM Mahakasyapa, Mahāloma (SPU tchen-po), Mahātyaga (gtang-ha tchen-po), Uttara (bla-ma) & (Di buku: ini dan ini ada tambahan nama YM Revata) lainnya. Ketika mereka berkumpul, Mara mengambil bentuk Biksu Badra memamerkan mukjizat menentang mereka dan menyampaikan 5 poin yang menyebabkan perpecahan dalam Sangha. Para Sthavira yang bernama Naga, Sthiramati dan Bahuśrutīya mengadopsi pandangan itu dan mengajarkannya (Di buku lainnya nama bahusrutiya/Bahusastra tidak ada dan kalimatnya menjadi: Para Sthavira yang bahusastra (sangat terpelajar) bernama Naga dan Sthiramati). Mereka katakan itu ajaran Buddha. Kemudian sangha terpecah menjadi dua aliran Sthavira dan Mahāsāṃghika. Selama 63 tahun terjadi pertengkaran.
Teks-teks dari tradisi Utara sendiri mengalami perpecahan ketika mencoba menyampaikan siapakah bhikkhu x, sang penyampai 5 point.

Moggaliputta vs Upagupta, Tradisi garis ajaran dan Konsili ke-3
  1. Tradisi Utara [Divyavadana, Asokavadana, Abad ke-4 M]:
    Perpecahan Buddhisme
    Berikut narasi “Śāripūtraparipṛcchā sutra”, buatan anonim, abad ke-4 M, yang meminjam figure sang Buddha yang seolah meramalkan masa depan Buddisme:

    Setelah Aku memasuki Parinibbana, Mahākassapa..meneruskan kepada Ānanda. Ānanda → Majjhantika → Śāṇavāsin → Upagupta.

    [Note:
    NAMUN tradisi garis leluhur ajaran di teks-teks Sanskrit di tradisi Utara sendiri TIDAK KONSISTEN, walaupun sama-sama mulai dengan kalimat "100 tahun setelah Parinibbana sang Buddha", misalnya teks aliran Sarvastivadin:

    "mama varṣaśataparinirvṛtasya mādhyandino nāma bhikṣur bhaviṣyaty ānandasya bhikṣoḥ sārdhaṃvihārī..mādhyandino nāmnā ānandasya bhikṣoḥ sārdhaṃvihārī sa upaguptaṃ pravrājayiṣyati" [mūlasarvāstivāda vinaya, khandhaka, Bhaiṣajyavastu] atau di "A-yu-wang-Chuan"/Asokarajavadana, terjemahan SanghaBadra, 506 M menyatakan: Majjhantika/mādhyandina yang menahbiskan Upagupta ["Buddhist Sects in India", Dutt, hal.127].

    Di sini: Ananda → Madhyandino → Upagupta

    Sementara teks lainnya:
    "eṣa ānanda rurumuṇḍo nāma parvataḥ atra varṣaśataparinirvṛtasya tathāgatasya śāṇakavāsī nāma bhikṣurbhaviṣyati so ’tra rurumuṇḍaparvate vihāraṃ pratiṣṭhāpayiṣyati, upaguptaṃ ca pravrājayiṣyati" [Divyavadana no.26/pāṃśupradānāvadānam].

    Di sini: Ananda → Sanakavasin → Upagupta

    Sementara,
    Tradisi garis penahbis yang seharusnya adalah:
    Belatthasisa (dari kelompok Uruvela Kassapa) → Ananda → 6 Thera Konsili ke-2. Pembimbing/Achariya Ananda adalah Sang Buddha sedangkan upajjhayanya Ananda BUKANLAH Mahakassapa melainkan Belatthasisa.

    Jadi Ananda bukanlah penerus Mahakasyapa]

    Setelah Upagupta terdapat raja Maurya Aśoka.. Cucunya bernama Puṣyamitra. Ia naik tahta...

    [Note:
    Konon, Upagupta adalah kepala sangha di Mathura pada jaman Asoka. ["Buddhist Sects and Sectarianism", Bibhuti Baruah, hal.51] dan Konon dikatakan bahwa Ia adalah pendiri Sarvastivada ["Buddhism: A Modern Perspective", Charles Prebish, hal.42-43] serta konon juga, Asoka menjadi Buddhis adalah karena biksu Balapandita/Samudra dan kemudian biksu Upagupta menjadi gurunya.

    Semua legenda tentang Upagupta hanya ada dalam tradisi Utara dan berasal dari kitab-kitab yang muncul JAUH SETELAH konsili ke-3.

    Upagupta VS Mara: Di konsili ke-3 atau Bukan?
    Kitab lokadipani/lokappannatti (karya Saddhammaghosa, abad ke-11 Masehi) yang beredar di Burma, Laos dan Thailand yang diterjemahkan oleh Phra Dhammadhiraja mahamuni (Abad ke-20) membuat legenda itu TERKAIT dengan pelaksanaan konsili ke-3 namun hasil penelitian John Strong menyatakan sebaliknya bahwa legenda itu TIDAK TERKAIT dengan konsili ke-3.

    Episode di legenda itu adalah tentang sebuah festival megah yang akan diselenggarakan Raja Asoka sehubungan dengan temuan relik-relik Buddha di dalam stupa-stupa yang dulu dibangun Raja Ajatasatru. Relik-relik itu dijaga sekawanan robot mekanik galak buatan Roma yang akan menyerang siapapun yang mencoba masuk. Oleh karenanya Raja Asoka harus menemukan mekanik ahli yang dapat melumpuhkannya dan untuk mengantisipasi gangguan Mara saat berlangsungnya festival relik, Raja Asoka memohon petunjuk sangha, kemudian seorang samanera sakti menganjurkan Raja agar meminta bantuan Kisanaga Upagupta ["The Legend and Cult of Upagupta: Sanskrit Buddhism in North India and Southeast Asia", John Strong, Ch 9. Lokapannati].

    Informasi dari John Strong dalam episode UPAGUPTA vs MARA di Lokapannatti ADALAH SELARAS dengan legenda-legenda lain tradisi Utara tentang Upagupta untuk episode yang sama.

    Dinasti Maurya atau Dinasti Shunga?
    Pushyamitra BUKAN cucu Asoka namun senapati raja terakhir dinasti Maurya, Brhihadrata, setelah membunuhnya, Pushyamitra mendirikan dinasti Shunga dan memerintah 36 tahun, kemudian digantikan Agnimitra.

    Pushyamitras-tu senanir-udhritya Sa Brihadratham-Karishyati Sa Vai rajyam- Shattrims'ati sama nripah (Pushyamitra, Panglima Tertinggi, akan mencabut Brihadratha dan memerintah selama 36 tahun - Matsya Purana)
    Tatah Pushyamitrah Senapatih Svaminam hatva rajyam Karishyati (Senapati Pushyamitra akan memerintah setelah membunuh tuannya - Vishnu Purana) [Dari: "HISTORY OF MAGADHA FROM c. 187 B.C. TO A.D. 300", Ray, Murari Mohan, ch.2]

    Kronologis kejadian perpecahan di sutra ini terjadi pada jaman raja ke-1 atau ke-2 dinasti Shunga BUKAN di jaman Asoka.

    Jarak Asoka - akhir Dinasti Maurya = 37 + 52 = 89 tahun (Jadi jarak dari wafatnya Sang Buddha s.d mulainya Pushyamitra = 218 + 89 = 307 tahun). Kronologi raja Srilanka mulai Devanampiyatissa, memerintah 40 tahun mulai tahun ke-18 Asoka [40 + 19 (37 tahun Asoka-18/Devanampiyatissa) = 59 tahun] (Mhv 20.28. Dipv 17.82) sampai dengan 30 tahun kemudian mulai dari Raja Uttiya - Suratissa (Mhv 20.57-21.3, Dipv 17.93-18.46) = 59 + 30 = 89 Tahun. Jadi, Raja Sri Lanka yang hidup sejaman Pushyamitra adalah Raja Sena, Guttika, Asela dan Elara.]

    [berikutnya diceritakan Puṣyamitra menghancurkan dan menindas Buddhisme, seperti yang diterjemahkan Lamotte, “History of Indian Buddhism”, hal.389-390. Yaitu 500 Arahat diperintahkan Sang Buddha untuk tidak memasuki Nibbana, tetapi berdiam di alam manusia untuk melindungi Dharma. Ketika Puṣyamitra hendak membakar teks Sutta-Vinaya, Maitreya menyelamatkannya dan menyembunyikannya di surga Tusita

    Klaim penindasan Pushyamitra terhadap Buddhisme berupa penghancuran vihara-vihara dan membunuhi para bhikkhu hanya muncul di tradisi Utara (contoh lain di Divyavadana: shokavadana) tapi tidak ada di tradisi Selatan. Oleh karenanya, di hal. 392, E. Lamotte menyatakan: "Untuk menghakimi lewat teks, Pushyamitra harus dibebaskan karena kurangnya bukti. Namun demikian, seperti yang dikemukakan H. Kern..ada kemungkinan di beberapa daerah, telah terjadi penjarahan vihara, dengan izin diam-diam dari gubernur"]

    Sifat raja berikutnya sangat baik. Boddhisattva Maitreya.. menciptakan 300 orang pemuda yang turun ke alam manusia untuk mencari jalan Buddha. Mengikuti ajaran Dhamma 500 Arahat, Para pria dan wanita di negeri raja ini berbondong-bondong memohon penahbisan. Demikianlah para bhikkhu dan bhikkhuni kembali ada dan berkembang. Para Arahat pergi ke alam surga dan membawa Sutta dan Vinaya kembali ke alam manusia

    Pada saat itu, ada seorang bhikkhu bernama “Bahuśruta”, memohon pendapat pada para arahat dan raja, bermaksud untuk membangun sebuah paviliun untuk Sutta-Vinaya-Ku, dengan membuat sebuah pusat pendidikan bagi mereka yang bermasalah


    [Note:
    Dalam pandangan Mahayana, nibbana dan Parinibbana adalah semacam alam padahal dalam tradisi selatan, seorang disebut Arahat adalah karena Ia padam/Nibanna dan yang diajarkan sang Buddha adalah cara untuk mengakhiri dukkha/nibanna bukan mencapai alam nibanna.

    Maka bagaimana mungkin sang Buddha malah memberikan perintah mereka yang telah padam untuk tidak padam?

    Sutta-Sutta dan Vinaya hingga berakhirnya dinasti Shungga masih diturunkan secara oral dan BELUMLAH DITULISKAN, maka apa yang harus dibakar?

    Juga karena masih ada 500 Arahat, maka apa perlunya mengambil sutta dan vinaya di surga? Bukankah mereka ini juga dapat menahbikan dan mengajarkan pada 300 manusia ciptaan ini agar juga mencapai arahat?]

    Pada saat itu ada seorang bhikkhu sepuh yang menginginkan kemashyuran, selalu ingin mempertahankan pandangannya sendiri. Ia mengubah, menambah dan memperluas Vinaya-ku, suatu yang dikembangkan Kassapa yang disebut “Mahāsaṅghikavinaya”. Ia mengambil dari luar dan mencampurkanya dengan yang ada, para pemula menjadi tertipu. Mereka membentuk kelompok berbeda, masing-masing membahas apa yang benar dan salah

    Pada saaat itu, ada seorang bhikkhu yang memohon putusan raja. Raja mengumpulkan dua kelompok itu, menyiapkan potongan kayu berwarna hitam dan putih untuk voting dan mengumumkan kepada mereka: ‘Jika kalian menyukai Vinaya lama, ambillah kayu hitam. Jika kalian menyukai Vinaya baru, ambillah kayu putih’. Yang mengambil kayu hitam berjumlah 10.000, hanya 100 yang mengambil kayu putih. Raja menganggap bahwa itu semuanya kata-kata Sang Buddha, tetapi karena berbeda dalam hal yang disenangi mereka seharusnya tidak berbagi tempat tinggal yang sama.

    [Note:
    Selain membuat aturan baru mengajar agar tidak padam, Sutra ini juga membuat aturan vinaya baru yaitu: Penyelesaian masalah kebhikkhuan melalui Voting/Yebhuyyasika dapat dilakukan dengan campur tangan umat awam sebagai wasit pemutus padahal ini adalah kasus kebhikkhuan BUKAN kasus umat awam yang pura-pura menjadi Bhikkhu.

    Lucunya hasil campur tangan umat awam ini malah menghasilkan perpecahan dalam sangha. Dalam MN 104/Samagama, dicontohkan aplikasi pendapat mayoritas:

    "Dan bagaimanakah terjadinya pendapat mayoritas? Jika para bhikkhu itu tidak dapat menyelesaikan perkara itu di dalam tempat kediaman itu, maka mereka harus mendatangi tempat kediaman di mana terdapat lebih banyak bhikkhu. Di sana, mereka semuanya harus berkumpul bersama dalam kerukunan. Kemudian, setelah berkumpul, tuntunan Dhamma harus ditetapkan. Begitu tuntunan Dhamma telah ditetapkan, perkara itu harus diselesaikan sedemikian sesuai dengan tuntunan Dhamma itu. Demikianlah pendapat mayoritas. Dan demikianlah terjadinya penyelesaian perkara-perkara di sini dengan penghapusan perkara melalui pendapat mayoritas"

    Juga dalam Vinaya tradisi selatan ditegaskan bahwa penyelesaian perkara melalui suara mayoritas HANYA BOLEH digunakan jika tidak membuat perpecahan dalam sangha.]

    Mayoritas yang melatih diri dengan (vinaya) lama karenanya disebut ‘Mahāsaṅghika’. Minoritas yang melatih diri dengan (Vinaya) baru adalah para Sesepuh, sehingga mereka disebut ‘Sthavira’. Juga, Sthavira dibentuk, aliran Sthavira

    [Note:
    Kata "Sthavira" vs "Mahasanghika"
    Pemakaian kata “Sthavira/Thera (= tua/sepuh dalam masa vassa)” dan “Mahasanghika (= kelompok yang besar jumlahnya baik itu sepuh ataupun tidak)" hanyalah penamaan untuk membedakan dan tidak ada hubungannya dengan perbedaan pandangan-pandangan aliran. Di perkembangan selanjutnya, ini kemudian menjadi pembeda aliran, yaitu mereka yang belatih vinaya dan sutta dari konsili ke-1 dan 3 disebut aliran para sepuh atau Sthavira/TheraVada. Sementara yang bukan, yang jumlahnya memang lebih besar disebut aliran Mahayana.]

    300 tahun setelah wafat-Ku, dari perselisihan ini muncul:

    1. Sarvāstivāda dan Vātsīputrīya [Puggalavādin]
    2. Dari Vātsīputrīya muncul aliran Dharmottarīya, aliran Bhadrayānika, aliran Saṁmitīya, dan aliran Ṣaṇṇagarika.
    3. Dari aliran Sarvāstivādin memunculkan aliran Mahīśāsaka, Moggaliputtatissa [atau Moggali-upatissa; atau Moggala-upadeśa] memulai aliran Dharmaguptaka, aliran Suvarṣaka, dan aliran Sthavira. Lagi muncul aliran Kaśyapīya dan Sautrantika.

    Dalam 400 tahun muncul aliran Saṁkrāntika.

    Dari aliran Mahāsaṅghika, 200 tahun setelah Nibbana-Ku, karena pendapat lain muncul aliran Vyavahāra, Lokuttara, Kukkulika, Bahuśrutaka, dan Prajñaptivādin

    [Note:
    Perpecahan Mahāsaṅghika yang dikatakan terjadi 200 tahun setelah wafatnya Sang Buddha ini membingungkan karena menempatkan Pushyamitra berada dikurun waktu 200 tahun setelah wafatnya sang Buddha]

    Dalam 300 tahun, karena perbedaan dalam pengajaran, dari 5 aliran ini muncul: aliran Mahādeva, aliran Caitaka, aliran Uttara [śaila]

    Demikianlah terdapat banyak [aliran] setelah suatu periode kemunduran yang panjang. Jika tidak seperti ini, akan terdapat hanya 5 aliran, yang masing-masing berkembang.” [Sumber: "Sects and Sectarianism", Bhikkhu Sujato, bab.4.3]

    [Note:
    Sang Buddha yang membolehkan Buddhisme pecah menjadi 5 aliran untuk hidup rukun dalam perbedaan adalah membingungkan, karena TIDAK PERNAH sang Buddha menyetujui adanya SANGHABEDHA (perpecahan dalam sangha) dan menyatakan bahwa sangha harus tetap dalam satu kesatuan]

  2. Tradisi Selatan [Dipavamsa/Abad ke-4 M; Mahavamsa dan Samantapasadika/bad ke-5 M]:
    Hubungan antara konsili ke-2 dan konsili ke-3
    Para Thera di konsili ke-2, melihat setelah berlalu 118 tahun, kekisruhan Buddhisme akan terjadi dan seorang anak dari keluarga Bramana Moggali (Moggaliputta) akan menyelesaikannya, maka Siggava dan Candavajji diinstruksikan untuk menemukan dan mendidik anak itu [Mhv 5.95-103].

    Tradisi jalur Vinaya di konsili ke-3:
    Upali (30 tahun) → Dasaka (50 tahun) → Sonaka (44 tahun) → Siggava (55 tahun) dan CandaVajji → Moggaliputta Tissa (68 Tahun) [Mhv 5.104-153 dan Dipv 5.95-99]

    Upali menahbiskan Dasaka. Upali wafat 30 tahun setelah sang Buddha wafat, yaitu di tahun ke-6 pemerintahan UdayaBhadda (Sang Buddha wafat di tahun ke-8 pemerintahan Ajjatasattu + 24 tahun lagi sebelum UdayaBhadda) [Dipavamsa 4.38].
    Saat masa vassa Dasaka 40 tahun [Dipv 5.78] (Upasampada Dasaka tahun ke-16 Vijaya (dari 37 tahun) + tahun ke-20 Pangluvasudeva, Dipv 4.41; 5.77-78), Ia menahbiskan Sonaka.
    Saat masa vassa Sonaka 40 tahun Ia menahbiskan Siggava dan Candavajji. Saat itu adalah 100 tahun Nibannanya Sang Buddha dan 10 tahun pemerintahan Kalasoka (Dipv 4.44-46; 5.78-80).

    Apakah Sonaka = Sambhuta Sanavasin?
    Ketika Sang Buddha telah wafat selama 100 tahun maka Ananda telah wafat selama 60 tahun, Sehingga ketika konsili ke-2 berjalan, Sambhuta Sanavasin sudah bervassa > dari 60 tahun, sementara Sonaka baru 40 tahun (Ia pertama kali bertemu Dasaka saat berusia 15 tahun). Jadi Sonaka TIDAK PERNAH bertemu Ananda dan SONAKA bukanlah Sambhuta.

    Karena 700 yang dipilih Revata di konsili ke-2 adalah Bhikkhu Arahat dan mereka menugaskan murid Sonaka yaitu Siggava dan Candavajji untuk kelak menerima dan mendidik Moggaliputta, Maka Sonaka jelas ikut terlibat dalam Konsili ke-2.

    Kemudian,
    Tradisi Selatan TIDAK MENYEBUTKAN adanya Upagupta di jaman Asoka atau lebih tepatnya TIDAK ADA Upagupta di Jaman Asoka [Buddhist Saints in India: A Study in Buddhist Values and Orientations, Reginald A. Ray, hal.119]. Oleh karenanya, TIDAK ADA PULA PERTEMUAN Upagupta dengan ASOKA dan TIDAK ADA PULA episode UPAGUPTA vs MARA.

    ASOKA dan KONSILI KE-3:
    Catatan Buddhist Utara (sumber China) tentang konsili ke-3 jaman Asoka dibawah pimpinan Moggaliputta Tissa, yang berkesesuaian dengan Mahavamsa dan Dipavamsa, disampaikan "JOURNAL THE ROYAL ASIATIC SOCIETY: ART. X.—Pali Elements in Chinese Buddhism: a Translation of Buddhaghosa's Samanta-pasadika, a Commentary on the Vinaya, found in the Chinese Tripitaka. By J. TAKAKUSU, B.A"

      "Shan-chien-p'i-p'o-sha-lu" (Sudarsana-vibhasa-vinaya) [Nanjio no. 1125] / "I-ch'i-shan-chien-lU-p'i-p'o-sha" [(J.A. 1849, pp. 353-445),Nos. 55, 55°], translator oleh Se'ng-ch'ieh-po-t'o-lo (Samgha-bhadra), samana disnati Ts'i (479-502), tahun translasi 489 M [hal.422-423]

      Text China, Bk. i, fol. 21; Pali (Oldenberg,Vinaya, vol. iii), p. 299.:
      Sekitar 4 tahun pasca wafatnya raja Pin-t'ou-sha-lo (Bindusara), A-yuk (Asoka) membunuh seluruh saudaranya, hanya menyisakan saudara dari ibu yang sama. Setelah 4 tahun, Ia mengangkat diri menjadi raja. ini adalah 218 tahun sejak wafatnya Buddha dimana Raja Asoka menjadi penguasa tunggal di tanah Jambudipa (Yen-fu-li)
      Pali: Te sabbe Asoko attana saddhim ekamatikam Tissakumaram thapetva ghatesi. Gahatento cattari vassani anabhisitto 'va rajjam karetva cattunnam vassanam accayena tathagatessa parinibbanato dvinnam vassasatanam upari attharasame vasse sakala - Jambudipe ekarajjabhisekam papuni [hal.426-427].

      Text China Bk. ii, fol. 1; Pali, p. 306.:
      Mo-shen-t'o (Mahinda) menerima Upasampada saat genap berusia 20 tahun, Upajjhaya-nya Ti-shu, anak dari Mu-chien-lien (Moggaliputta Tissa), Acariya-nya Mo-ho-t'i-p'o (Mahadeva) dan Mo-shan-t'i (Majjhantika). Se'ng-ch'ieh-mi-to (Samghamitta) ditahbiskan menjadi pabbajja diusia 18 tahun dengan Upajjhaya T'ang-mo-po-lo (Dhamma-pali) dan Acariya-nya A-yu-po-lo (Ayupali). [hal.427]

      Text China. Bk. ii, fol. 9; Pali, p. 312:
      . Menjelang konsili agung di Po-ch'a-li-fu (Pataliputta), Asoka memanggil beberapa Bhikkhu dan menanyai mereka satu persatu ... Asoka, sekarang melihat agama telah murni, mengajak para Bhikkhu: Marilah yang mulia, melaksanakan Uposatha (Suddhani bhante dani sasanam, Karotu bhikkhusamgho uposathan ti). Kemudian Moggaliputta Tissa memimpin majelis dengan 1000 Bhikkhu terpilih dan kemudian membantah seluruh doktrin sesat dan penganut pandangan salah" [hal.427-428] ...

    Mahavamsa dan Dipavamsa:
    Mulai tahun ke-3 pemerintahan Asoka,
    Asoka menjadi Buddhis (berlindung pada Tiratana dan memohon sila) setelah bertemu dan mendengar dhamma dari samanera/Calon bhikkhu bernama Nigrodha (ponakannya, anak dari Sumana/Susima) [Mhv 5.72]. Sejak itu, setiap hari, Asoka berdana pada makin banyak Bhikkhu, hingga nantinya berjumlah puluhan ribu [Mhv 5.73], Ia bertemu Moggaliputta Tissa di VIhara dan menyatakan akan membangun 84.000 Vihara di kerajaannya [Mhv.5.78]

    Di tahun ke-4,
    Saudara tirinya (Tissa) dan mantunya (Agnibrahma) menjadi Bhikkhu. [Mhv 5.171]

    Di tahun ke-6 (219 + 6 = 225 tahun setelah Buddha Parinibbana),
    Pembangunan 84.000 Vihara dan Asokaarama, selesai dan pada hari ke-7 diadakan Festifal perayaan di seluruh tempat di mana Vihara-vihara itu dibangun. Di hari perayaan, namanya berubah dari Candasoka menjadi Dharmasoka [Mhv 5.176-189] juga 2 anaknya yaitu: Mahinda (Pria, 20 tahun) menjadi Bhikkhu dan Sanghamitta (Wanita, 18 tahun) menjadi Bhikkhuni (mungkin setelah suaminya, Agnibrahma, menjadi Bhikkhu, Ia bersiap menjadi calon Bhikkhuni dengan melatih 6 sila selama 2 tahun, makanya di hari itu Ia bisa ditahbiskan). [Mhv 5.200-211; "Asoka", Mookerji Radhakumud, hal.110].

    Ketika Mahinda ditahbiskan: (1) Mahadeva sebagai guru/ācariya-nya (ada 4 jenis ācariya: a. pabbajja-acariya/Guru penahbisnya ketika menjadi samanera dan yang memberi 10 sila; b. upasampada-acariya/Guru saat penahbisan/kamavacariya: pembaca usul dan keputusan saat upasampada; c. Dhamma-acariya/Guru pemberi dhamma; d. nissaya-acariya/Guru tempat bhikkhu baru tinggal bergantung selama maksimal 5 tahun); (2) Majjhantika sebagai guru Kammavaca-nya; (3) Moggaliputta Tissa sebagai Upajjhaya-nya (yang melantiknya menjadi Bhikkhu dan pemberi sila kebhikkhuan).

    Ketika Sanghamitta ditahbiskan: [Setelah 2 tahun menjalankan 6 Sila], pertama, ditahbhiskan dihadapan sangha bhikkhuni: (1) Bhikkhuni Ayupala sebagai acariya-nya dan (2) Bhikkhuni Dhammapala sebagai upajjhaya-nya, setelahnya, ditahbiskan dihadapan Sangha Bhikkhu atau langsung ditahbiskan dihadapan dua sangha. [prosedur ini disebut ubhatosaṃghe-upasampadā/Pentahbisan dihadapan dua sangha: AN 8.51 dan Cullavaga X di aturan ke-6 aṭṭha garudhamma]

    Pentahbisan dengan natticatuttha-kammavaca (4 permakluman: 1x usulan/natti + 3x pernyataan permohonan, sample: ..Upajjhaya: "Sekarang saatnya engkau, xxxx, memohon pada sangha untuk mentahbiskanmu". xxxx: "Yang mulia para bhante Saya memohon penahbisan, Saya mohon welas kasih para bhante untuk mengangkatku"-3x..). Jika untuk Bhikkhu dilakukan 1x dihadapan sangha Bhikkhu, namun untuk Bhikkhuni jadi 2x, yaitu pertama dihadapan sangha bhikkhuni dan kemudian dihadapan sangha Bhikkhu.

    Di tahun ke-8,
    Di satu waktu, di arama kerajaan, seorang Bhikkhu Arahat bernama Tissa kakinya digigit binatang beracun, Ia tidak ingin meminta obat ketika waktunya makan pagi, karenanya lukanye menjadi parah dan mengakibatkan kematian, Ia kemudian bersiap untuk Parinibbana dengan mengambil objek panas, tubuhnya melayang di udara, api keluar dari dalam tubuhnya membakar kulit dan dagingnya namun tidak tulangnya, Asoka mengetahui kejadian ini mengumpulkan relik tubuhnya untuk diberi penghormatan. dan kemudian memastikan tersedia juga cukup obat-obatan. Kemudian Adiknya yang juga Arahat (Sumitta) Parinibbananya bahkan dengan meditasi jalan. Karena ini, maka begitu banyaknya orang yang kemudian pindah doktrin keyakinan yang mengakibatnya sangat melimpahnya perolehan untuk Sangha [Mhv V.212-227]. Karena makin banyak yang pindah doktrin maka perolehan dan penghormatan yang diterima para petapa doktrin heretik menjadi jauh berkurang, Demi perolehan dan penghormatan, mereka berjubah kuning, menjadi bhikhhu penggelap, tinggal bersama para Bhikkhu di vihara-vihara seluruh negeri, menyampaikan doktrin-doktrin mereka sebagai ajaran Buddha dan mebawa tradisi mereka sebagaimana yang mereka inginkan [Mhv 5.228-230].

    Bhikkhu Moggaliputta Tisa, memperhatikan perkembangan ini, Ia kemudian menyerahkan kumpulan bhikkhu yang bersamanya kepada Mahinda, dan Ia menuju Ahoganga (area atas sungai Gangga, ini tidak sama dengan urumunda yang terletak di Mathura) menyepi 7 tahun lamanya. [Mhv 5.231-233]

    Karena begitu banyaknya para heretik dan kekisruhannya, para bhikkhu tak dapat mengendalikan mereka dengan aturan, akibatnya, para bikkhu seluruh negeri yang menjalankan vinaya tidak mau atau TIDAK DAPAT melakukan pemurnian diri (menyelanggarakan pembacaan Patimokha di hari Uposatha) bersama para biksu pencuri/penggelap ini.hal ini berlangsung 7 tahun lamanya. [Mhv 5.234]

    [Note:
    Mengapa tidak bisa melakukan Uposatha bersama dengan para heretik?
    Karena saat Uposatha dibacakanlah Patimokha, jadi, jangankan sedang berada bersama para non bhikkhu ini, bahkan jika bersama kumpulan para bhikkhu yang di kumpulan itu ada bhikkhu yang tidak murni (melakukan pelanggaan) maka bhikkhu itu TIDAK BOLEH mendengarkan pembacaan Patimokha, karena di kumpulan itu banyak umat awam yang menyamar jadi bhikkhu, maka tidak bisa dilakukan pembacaan Patimokha. Berikut dari Cullavagga bab 9, tentang Penangguhan patimokha saat Uposatha:

    "Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Sekarang, Aku, para bhikkhu, untuk seterusnya tidak akan melaksanakan Uposatha, Aku tidak akan membacakan Pātimokkha; sekarang kalian sendiri, para bhikkhu, yang harus melaksanakan Uposatha, harus membacakan Pātimokkha. Tidaklah mungkin, para bhikkhu, tidaklah selayaknya bahwa Sang Penemu-kebenaran harus melaksanakan Uposatha, harus membacakan Pāṭimokkha bersama dengan kelompok yang tidak sepenuhnya murni.

    Juga, para bhikkhu, Pātimokkha tidak boleh didengarkan oleh seseorang yang melakukan pelanggaran. Siapa pun yang mendengarkannya, maka ia melakukan pelanggaran perbuatan-salah, aku mengizinkan kalian, para bhikkhu, untuk menangguhkan Pātimokkha bagi ia yang, setelah melakukan pelanggaran, mendengarkan Pātimokkha.

    Dan beginilah, para bhikkhu, penangguhan itu: Pada hari Uposatha, apakah tanggal 14 atau 15, jika orang itu hadir maka hal ini harus diucapkan di tengah-tengah Saṅgha: ‘Yang Mulia, Mohon Saṅgha mendengarkan saya. orang itu melakukan pelanggaran; saya menangguhkan Pāṭimokkha baginya, Pātimokkha tidak boleh dibacakan jika ia hadir’ – (demikianlah) Pātimokkha ditangguhkan"

    Juga aturan mengenai alasan-alasan untuk menangguhkan pelaksanaan Uposatha lihat di Mahavagga, Khandhaka 2

    Theyyasaṃvāsako, bhikkhave, anupasampanno na upasampādetabbo, upasampanno nāsetabboti. Titthiyapakkantako, bhikkhave, anupasampanno na upasampādetabbo, upasampanno nāsetabbo (Para bhikkhu, Orang yang berada dipersekutuan dengan cara gelap tidak dengan penahbisan, tidak boleh ditahbiskan; jika ditahbiskan, ia harus dikeluarkan. Seorang yang pindah ke lain aliran tidak ditahbiskan, tidak boleh ditahbiskan; jika ditahbiskan, ia harus dikeluarkan) (Syarat ditahbiskan: Mahavagga, Theyyasaṃvāsakavatthu)
    mereka yang tanpa upajjhaya, grup sebagai upajjhaya, sangha sebagai upajjhaya, Theyyasamvasako sebagai upajjhaya dan Tittiyapkkhantako sebagai upajjhaya tidak boleh ditahbiskan, yang menahbiskan mereka melakukan pelanggaran perbuatan salah/dukkhata (Syarat Upasampada (tahbiskan): Mahavagga, Anupajjhāya-kādivatthu)
    Pacittiya no. 68/69: Tidak melakukan Uposatha Sanghakamma bersama: penggelap (theyya) atau mereka yang menyampaikan kotbah bertentangan dengan Dhamma Sang Buddha dan walaupun bhikkhu lain melarangnya berbuat demikian tetapi ia tetap tidak memperdulikannya]

    Tahun ke-17,
    Ketika Raja Asoka tahu, beliau memerintahkan menterinya mendatangi para Bhikkhu agar melakukan pemurnian diri. Sang Menteri kemudian menemui Para Bhikkhu pemegang teguh vinaya menyampaikan pesan raja, namun mereka TETAP MENOLAK melakukan pemurnian diri bersama para bhikhu palsu. Jengkel dengan jawaban ini, Sang Menteri menghunus pedangnya dan memenggal kepala para Bhikkhu yang menolak beruposatha, satu demi satu, hingga kemudian Tissa, bergegas menghampirinya yang membuat Menteri ini tidak berani meneruskannya dan kembali pada raja memberikan laporan. Mengetahui ini, Asoka diliputi penyesalan dengan pikiran apakah dirinya ikut bertanggung jawab atau tidak atas hal ini [Mhv 5.235-244]

    Raja kemudian mengundang Moggaliputta Tissa untuk kembali dari gunung Ahoganga. Undangan raja 2x ditolaknya dan yang ke-3x, diterimanya, Ia menuju Pataliputra dengan perahu dan menetap 7 hari lamanya. Moggaliputta kemudian meminta Raja mengundang para bhikkhu di Asokarama Pataliputta dan duduk disebelah Moggaliputta Tisa, Pertanyaan diajukan Moggaliputta kepada mereka dan 60.000 yang teridentifikasi berpandangan salah, diusir raja dari kumpulan dan raja bertanya doktrin apa yang diajarkan Sang Buddha, Moggaliputta tissa mengatakan doktrin analisis dan logika. Setelah itu barulah Uposatha diselenggarakan.[Mhv 245-274]

    [Note:
    Dalam kasus Devadatta dan kelompoknya, Sang Buddha TIDAK PERNAH menyatakan Devadatta dan kelompoknya TIDAK LAGI di persekutuan. Karena aturan itu, ditetapkan sang Buddha SETELAH KEMUNCULAN kasus Devadatta, oleh karenanya, seluruh bhikkhu yang ditahbiskan kelompok devadatta TETAP SAJA bhikkhu dan saat mereka kembali pada sangha pimpinan sang Buddha, mereka TIDAK PERLU ditahbisan ke-2 kalinya

    Pengujian pandangan akan menentukan jati diri mereka apakah mereka mengikuti tradisi yang disampaikan sang Buddha (konsili ke-1 dan 2) atau tidak, untuk itu ada 2 kategori kelompok umat awam yang menyamar sebagai bhikkhu di sangha saat itu, yaitu:

    1. Garis tradisi leluhur Vajjiputtaka/Vatsiputriya eks konsili ke-2 yang sejak konsili ke-2 tidak lagi tunduk pada aturan vinaya konsili ke-1 dan 2 sehingga mereka yang memisahkan diri ini dan turunan alirannya, BUKAN LAGI BHIKKHU sangha Sang Buddha, Walaupun mereka tetap berjubah dan/atau berjubah dengan penahbisan tradisi Vajjiputtaka/Vatsiputriya grup dan kemudian apakah mereka tetap dengan pandangan dan tradisi kaumnya atau bahkan ikut tradisi dhamma sang Buddha konsili ke-1 dan 2 NAMUN tidak ditahbihkan ulang, maka walaupun berjubah, bertindak seperti bhikkhu dan malah menggunakan aturan kebhikkhuan yang bahkan sama, mereka TETAP SAJA BUKAN bhikkhu

    2. Yang berinisiatif sendiri untuk berjubah atau yang tidak ditahbiskan secara benar dengan aturan vinaya adalah bukan bhikkhu

    Kedua tipe di atas ini masuk kategori umat awam dan BUKAN BHIKKHU, oleh karenanya aturan vinaya untuk mengeluarkan mereka dari sangha tidak diperlukan. Mereka ini masuk kategori penipuan yang untung saja, mereka ini, tidak dipenjarakan Raja.]

    Kemudian, Moggaliputtatissa, dari ribuan Bhikkhu yang telah dimurnikan ini, memilih 1000 Bhikkhu arahat untuk melakukan pertemuan. Inilah yang kemudian disebut sebagai KONSILI KE-3. Pertemuan ini diselenggarakan selama 9 bulan [Mhv 275-281] mengulang pembacaan Dhamma dan vinaya, membuat notulen konsili, menyusun ringkasan dhamma, analisis mendalam tentang berbagai topik dhamma, juga point-point kontroversi atas doktrin berbagai aliran dan sanggahannya sebanyak 7 bagian/kitab, yang disebut kitab Abhidhamma.

    Tahun ke-18/tahun ke-236/237 setelah Buddha parinibbana,
    Moggaliputta Tisa mengutus Mahinda bersama Itthiya, Uttiya, Sambala dan Bhaddasala (Mhv 12.7 dan Dipv 12.38-39, juga bersama samanera Sumana, anaknya Samghamitta, Mhv 13.4) untuk menyebarkan Buddhisme ke-Srilanka, juga mengutus 8 lainnya (beserta sejumlah bhikkhu) ke beberapa negara lainnya [Mhv 12.1-8] yang diantaranya adalah Majjhantika yang diutus ke Gandhara dan Kashmir. Di Kashmir, Majjhantika menaklukan Naga dan menyebarkan Buddhism. Mathura terletak di Utara Kashmir.

    [Note:
    Beberapa arti dan definisi dari Naga:

    1. Nama suku yang tersebar di beberapa wilayah, missal: Kashmir, Assam, Sri Lanka, dll. (A Social History of India, S. N. Sadasivan, hal.327-329) atau kumpulan orang yang menyembah mahluk supranatural Naga ("RELIGION AND PHILOSOPHY", Dr. Sunil Chandra Ray)
    2. orang yang memiliki kekuatan dan daya tahan luar biasa. Misal: Sang Buddha disebut: nāga karena kekuatan-Nya; singa (sīha) karena tanpa-ketakutan; berdarah murni (ājāniya) karena pemahaman-Nya akan apa yang telah Ia pelajari (byattaparicayaṭṭhena), atau karena Ia mengetahui apa yang benar dan apa yang salah; sapi pemimpin (nisabha) karena Ia tanpa tandingan; binatang pembawa beban (dhorayha) karena Ia membawa beban; jinak (danta) karena ia bebas dari perilaku menyimpang) [SN 1.38/Pecahan batu]. Para Bhikkhu arahat juga disebut Naga (SN 1.37)
    3. Pemikiran dan tindakannya yang luar biasa (Udana 4.4 dan 4.5. SN 1.37, 38)
    4. Karena UKURANNYA luar biasa (AN 6.43/Naga sutta)
    5. Mahluk supranatural yang berbentuk kobra besar, kadang berkepalanya satu, kadang banyak. Beberapa berkemampuan berubah bentuk menjadi Manusia. (Mahavagga I.63)].

    Majjhantika dan Upagupta
    Berkenaan mereka berdua, terdapat beberapa kesamaan yang ada antara tradisi Utara dan Selatan:

    1. Majjhantika TIDAK DISEBUTKAN KEBERADAANYA di konsili ke-2.
    2. Upagupta TIDAK DISEBUTKAN KEBERADAANNYA baik di Konsili ke-2 maupun di konsili ke-3
    3. Kedua Tradisi sama-sama menyebutkan bahwa Majjhantika pergi ke Gandhara dan Kashmir, menaklukan Naga dan menyebarkan Buddhism di sana
    4. Mathura terletak di Utara Kashmir

    Menurut Tradisi Selatan, di SEBELUM KONSILI ke-3, Aliran-aliran yang berpandangan salah, termasuk Sarvastivada, telah dibersihkan dan Kathavatthu memuat rincian pandangan ajaran aliran yang TELAH TERTOLAK ketika diuji melalui DHAMMA dan VINAYA dan bukan melalui voting, sehingga JIKA BENAR memang ada Upagupta dan JIKA BENAR Ia yang menciptakan aliran Sarvastivadin dan juga JIKA BENAR Ia adalah murid Majjhantika, maka benang merah yang MUNGKIN adalah ketika Majjhantika ke Kashmir dan karena Mathura ada di utara Kashmir, maka di situlah Upagupta menjadi murid Majjhantika, sehingga sangat mungkin bahwa legenda tentang Upagupta baru muncul di setelah berakhirnya konsili ke-3.

    Bukti keberadaan Moggaliputta Tissa
    Walaupun Moggaliputta Tissa TIDAK ADA disebutkan dalam teks-teks tradisi Utara dan HANYA ADA di teks-teks tradisi Selatan, namun NAMANYA dan kegiatannya ditemukan dalam penemuan arkeologi dari Inskripsi pada relik peti pada stupa no.2 di Sanchi dan Sonari tertulis: Sapurisasa Mogaliputasa (Orang suci Moggaliputta), juga untuk nama Majjhima, Kassapagotta dan Dundhubhisara (Yang dikirim ke Himalaya). [Journal of the Royal Asiatic Society of Great Britain & Ireland, Vol.13, hal.110-111]
Sehingga diakhir konsili ke-3, yaitu di tahun ke-236/237 sejak Buddha parinibbana, resmilah Buddhisme mempunyai Tipitaka/Tripitaka (3 keranjang), yaitu: Dhamma/sutta-sutta, Vinaya dan Abhidhamma.

Apakah Kitab Abhidhamma Sabda dari Sang Buddha?
Abhidhamma (yang 7 kitab) hanya terdapat di 2 aliran saja, yaitu: Theravāda (dalam bahasa Pali) dan Sarvāstivāda (Mahayana, hanya ada dalam bahasa Tionghoa, tidak ada dalam Prakrit dan Sanskrit). Walaupun sama-sama 7 kitab namun penamaannya dan juga isinya berbeda. J. Takakusu menyatakan: “Membandingkan dua set Abhidhamma, sejauh yang bisa saya akses, saya tidak menemukan point apapun, baik dalam bentuk atau materi yang bisa membawa kita untuk berpikir bahwa keduanya sama..” ("The Abhidharma Literature, Pāli and Chinese", J. Takakusu, hal.160-162). [Abhidharma lain yang hanya 5 kitab: "Śāriputra Abhidharma Śāstra" (tampaknya setelah masehi, dari aliran Dharmagupta), lainnya lagi yang juga tidak 7 kitab: "Tattvasiddhi" oleh Harivarman (abad ke-3/4 M, asal aliran tidak jelas: Suttavada, Bahussutiya, Dharmaguptaka atau lainnya)]

Kitab komentar menyatakan: Sang Buddha, di tahun ke-7 ke-Buddha-an, pergi ke Tavamtisa mengajarkan Abhidhamma kepada IbuNya (Nama devanya: Santusita, namun di Thag.vss.533f, ThagA.i.502, nama devanya: Māyādevaputta). Saat pembabaran itu, IbundaNya mencapai sotāpanna [Kitab komentar untuk: Jataka no.483 dan Dhammapada no. 181].

Kejadian ke Tavamtisa diawali peristiwa pertunjukan kesaktian dihadapan umat awam yang dilakukan YM Pindola Bhâradvadja pada hari ke-7, setelah 6 hari lamanya, 6 guru terkemuka [Purana Kassapa, Makkhali Gosala, Ajita Kesakambali, Pakudha Kaccayana, Sanjaya Belatthiputta, Nigantha-Nataputta] gagal memberi bukti kepada seorang pedagang kaya Rajagaha yang tidak percaya arahat sejati ada karena dibingungkan begitu banyaknya yang mengaku sebagai Arahat, untuk itu, Ia membuat mangkuk dari cendana dan menggantungkannya di atas rangkaian bambu setinggi 60 lengan dan mengumumkan, "Arahanta sejati boleh mengambil mangkuk ini dengan cara terbang ke angkasa".

Kejadian YM Pindola menghebohkan penduduk Rajagaha sehingga mereka mengekoriNya. Kegaduhan ini diketahui sang Buddha. YM Ananda menerangkan sebab terjadinya kegaduhan dan Sang Buddha menetapkan larangan, "Para bhikkhu…seorang bhikkhu tidak memperlihatkan kesaktiannya di hadapan umat awam; dan ini adalah pelanggaran, 'Dukkata âpatti'/Pelanggaran minor".

Pertunjukan kesaktian dari YM Pindola Bharadvaja, tercantum dalam vinaya: [Theravada Pali V.5.8; Dharmaguptaka ch 51 1916: 235-238 (96-99); Mahīśāsaka ch 26 1916: 238-243 (99-103); Sarvâstivāda ch 37 1916: 243-246 (103-105); Mūla,sarvâstivāda Divy 256.25-257.21], Kitab komentar: [AA 1:196-199; SA 393; DhA 14.2.2/3:199-201; ThaA 2:4-6; UA 252; J 4:263; SnA 570; ApA 197. S] dan hanya kitab komentar yang mencantumkan tahun kejadiannya, yaitu di tahun ke-6 masa Vassa .

Larangan tersebut menggembirakan para pengikut 6 Guru lainnya. Raja Bimbisara bertanya pada sang Buddha tentang pelarangan itu dan sang Buddha menyampaikan bahwa 4 bulan kemudian di Savatthi, beliau akan mempertunjukan keajaiban. [RAPB buku ke-1, hal 1187]. Jarak Rajagaha – Savatthi = 45 Yojana (504 km s.d 648 km).

Kemudian di Savatthi,
Beberapa dari sangha Bhikkhu dan bikkhuni, diantaranya Samaneri Cirra yang berumur 7 tahun dan Bhikkhuni Uppavalavanna memohon ijin untuk menggantikan beliau menunjukan kesaktian, namun tidak diperkenankan. Sang Buddha kemudian mempertunjukan kesaktiannya dan setelah itu ke alam Tavatimsa. Salah satu dari 6 guru, yaitu Purana Kassapa, bunuh diri terjun ke sungai karena malu akan kegagalannya di Rajagaha.

Apa yang dapat kita gali dari informasi di atas?
Di atas disampaikan bahwa YM Ananda memberitahukan kehebohan yang terjadi di Rajagaha kepada Sang Buddha. Sutta menginformasikan bahwa YM Ananda menjadi Buddhopaṭṭhāka (pembantu tetap Sang Buddha) justru mulai di tahun ke-20: "Paṇṇavīsati-vassāni (Selama 25 tahun); bhagavantaṃ upaṭṭhahiṃ (menjadi pendamping Sang Bhagava); Mettena kāya.. vacī.. manokammena (dengan cinta kasih melalui perbuatan, perkataan dan pikiran), chāyāva anapāyinī (bagai bayangan yang tak lepas)" [Thag 17.3/Ananda]. Jadi seharusnya terjadi di atas tahun ke-20.

Di atas ada Samaneri dan Bhikkhuni. Ini seharusnya terjadi di atas tahun ke-20.

Sutta Di DN2/Sāmaññaphala Sutta:
Raja Ajjatasattu pernah berkonsultasi dan kemudian disarankan juga untuk berkonsultasi lagi dengan 6 guru terkemuka, yang salah satunya adalah Purana Kassapa.

Raja Bimbisara wafat ketika Sang Buddha berusia 72 tahun (Sang Buddha wafat di tahun ke-8 masa pemerintahan Ajjatasattu). Dalam waktu 4 bulan, setelah pertunjukan Pindola Bhavadraja, Raja Magadha telah berganti dari Bimbisara menjadi Ajjatasattu. Ketika Purana Kassapa bunuh diri ini terjadi beberapa bulan setelah Ajjatasattu menjadi Raja

Oleh karenanya, perjalanan ke Tavatimsa, yang konon untuk urusan mengajar Abhidhamma, seharusnya terjadi di tahun ke-37

Sementara itu,
hasil konsili ke-1 dan ke-2, sama sekali tidak memuat adanya Abhidhamma sebagai ajaran yang khusus terpisah (atau kelak sebagai 7 kitab yang menjadi 1/3 tipitaka) dan 7 kitab Abhidhamma baru ada di tahun ke-3 SM, setelah konsili ke-3.

Mereka yang Pro: bahwa "Abhidhamma merupakan sabda sang Buddha", memberikan bukti, misal [Juga ini atau ini]:
  1. Vinaya Pitaka, Mahâvibhanga, Dabbamalaputta Thera-vatthu, "...YE TE BHIKKHÛ ABHIDHAMMIKÂ TESAM EKAJJHAM SENÂSANAM PAÑÑÂPETI TE AÑÑAMAÑÑAM ABHIDHAMMAM SÂKACCHISANTÎTI..." → Kalimat yang mengandung kata “Abhi” TIDAK ADA di mahavibhanga, namun ada kalimat yang MIRIP dengan itu, yaitu di Mahavibhanga dan cullavagga: "Ye te bhikkhū dhammakathikā tesaṃ ekajjhaṃ senāsanaṃ paññapeti – te aññamaññaṃ dhammaṃ sākacchissantīti" (Para bhikkhu ahli dhamma tergabungkan dalam satu kelompok mengatur tempat duduk dengan berpikir agar mereka dapat saling berbincang dhamma). Tampak jelas BUKAN "abhidhammika dan abhidhamma" namun "Dhammakathika dan dhamma"

  2. "..abhisamācārikāya sikkhāya sikkhāpetuṃ ādibrahmacariyikāya sikkhāya vinetuṃ abhidhamme vinetuṃ abhivinaye vinetuṃ.." (..membimbing latihan bentukan prilaku yang lebih dalam mendisiplinkan dengan latihan awal bentukan kehidupan suci mendisiplinkan dengan dhamma yang lebih dalam mendisiplinkan dengan disiplin yang lebih dalam) [Vinaya: Mahavagga Bodhikatha: Upasampādetabbapañcaka dan juga Parivara pali, bab 17:Upalipancaka]. Jika kata abhisamācārikāya dan abhivinaya di sini bukan sebagai ajaran/kitab tersendiri, maka begitu pula dengan abhidhamma.

  3. Vinaya Pitaka, Bhikkhuni Vibhanga, yaitu pada paragraph YANG BUKAN ucapan sang Buddha namun pada bagian bawah, yaitu bagian kalimat komentar kata-perkatanya atau penjelasan lanjutan kata-perkatanya:

    "Pañhaṃ puccheyyāti suttante okāsaṃ kārāpetvā vinayaṃ vā abhidhammaṃ vā pucchati, āpatti pācittiyassa. Vinaye okāsaṃ kārāpetvā suttantaṃ vā abhidhammaṃ vā pucchati, āpatti pācittiyassa. Abhidhamme okāsaṃ kārāpetvā suttantaṃ vā vinayaṃ vā pucchati, āpatti pācittiyassa" (Bertanya tentang Sutta tetapi malah berbalik bertanya Vinaya atau Abhidhamma; melanggar Pâcittiya. Bertanya tentang Vinaya tetapi malah berbalik bertanya Sutta atau Abhidhamma; melanggar Pâcittiya. Bertanya tentang Abhidhamma tetapi malah berbalik bertanya Sutta atau Vinaya; melangar Pâcittiya) [Pacittiya no.95]

    "Sabbasattuttamo sīho, piṭake tīṇi desayi; Suttantamabhidhammañca, vinayañca mahāguṇaṃ" (Yang terbaik dari segala mahluk, sang Singa, mengajarkan 3 pitaka: Suttanta, Abhidhamma, dan Vinaya—yang sangat berguna). [Vinaya: Parivara Pali, Samuṭṭhānasīsasaṅkhepa (ringkasan), bab ke-3]

    Thanissaro Bhikkhu:
    “Catatan Horner di Book of Disipline, kalimat komentar dalam aturan ini adalah 1 dari sedikit tempat di vinaya yang tampaknya merujuk pada abhidhamma sebagai sebuah teks (kitab) - ini mengindikasikan bahwa entah aturan atau kalimat komentarnya yang merupakan formulasi belakangan”.

    Tampaknya Horner benar, karena Parivara Vinaya, buku paling akhir yang muncul dalam Vinaya, sebagai penjelasan Vinaya, menyampaikan: MAHINDA (Murid Moggaliputta Tissa, pemimpin Konsili ke-3, abad ke-3 SM) dan beberapa bhikkhu lainnya (Iṭṭiya, Sambala, Bhaddanāma) pergi dari India menuju Srilanka mengajarkan: Vinaya, 5 nikaya dan “satta ceva pakaraṇe (7 kitab)”. Beberapa paragraph lanjutannya berisi tradisi urutan pengajar di Srilanka s.d Khema Thera yang mengajarkan tipetako/tipitaka (tiga keranjang). Kemudian pada bab ke-3nya (Samuṭṭhānasīsasaṅkhepa/ringkasan), kata satta ceva pakaraṇe (7 kitab) yang muncul di bab awal berubah menjadi kata “Abhidhamma”. Inilah Tipitaka yaitu setelah adanya tambahan 7 kitab Abhidhamma

  4. "Tena kho pana samayena sambahulā therā bhikkhū pacchābhattaṃ piṇḍapātapaṭikkantā maṇḍalamāḷe sannisinnā sannipatitā abhidhammakathaṃ kathenti. Tatra sudaṃ āyasmā citto hatthisāriputto therānaṃ bhikkhūnaṃ abhidhammakathaṃ kathentānaṃ antarantarā kathaṃ opāteti" (Pada saat itu, setelah makan dana makanan, sejumlah bhikkhu senior berkumpul duduk bersama di paviliun terlibat diskusi lebih dalam tentang Dhamma. Selagi para bhikkhu senior berdiskusi lebih dalam tentang Dhamma, YM Citta Hatthisāriputta berulang-ulang menyela pembicaraan mereka) [AN 6.60/Hatthisāriputta]. Maksud sutta ini BUKANLAH sedang mendiskusikan suatu ajaran khusus yang disebut dengan nama abhidhamma, namun mendiskusikan lebih dalam tentang Dhamma.

    Sample lain klaim:
    "..Idamassa javasmiṃ vadāmi. Abhidhamme kho pana abhivinaye pañhaṃ puṭṭho.." (..Ini, Aku katakan, adalah kecepatannya. Tetapi ketika ditanyai pertanyaan Dhamma yang lebih dalam dan disiplin yang lebih dalam..) [AN 3.141-142, AN 9.22]. Maksud sutta ini BUKANLAH bertanya tentang suatu ajaran khusus yang disebut abhidhamma dan abhivinaya, namun tentang pertanyaan yang lebih mendalam lagi mengenai dhamma dan vinaya.

    "..Puna caparaṃ, bhikkhave, bhikkhu dhammakāmo hoti piyasamudāhāro, abhidhamme abhivinaye uḷārapāmojjo.." (..Kemudian, Para Bhikkhu, seorang bhikkhu pencinta Dhamma dengan kata-taka yang menyenangkan sangat bergembira dengan dhamma yang lebih dalam dan disiplin yang lebih dalam..) [AN 10.17, 18, 50, 98; AN 11.14; DN 33, 34]. Maksud sutta ini BUKANLAH menggemari suatu ajaran khusus yang disebut abhidhamma dan abhivinaya, namun menggemari dhamma dan vinaya yang lebih mendalam lagi

    "Āraññikenāvuso, bhikkhunā abhidhamme abhivinaye yogo karaṇīyo. Santāvuso, āraññikaṃ bhikkhuṃ abhidhamme abhivinaye pañhaṃ pucchitāro. Sace, āvuso, āraññiko bhikkhu abhidhamme abhivinaye pañhaṃ puṭṭho na sampāyati, tassa bhavanti vattāro. ‘Kiṃ panimassāyasmato āraññikassa ekassāraññe serivihārena yo ayamāyasmā abhidhamme abhivinaye pañhaṃ puṭṭho na sampāyatī’ti—tassa bhavanti vattāro. Tasmā āraññikena bhikkhunā abhidhamme abhivinaye yogo karaṇīyo" (Seorang bhikkhu penghuni hutan harus menekuni Dhamma yang lebih dalam dan Disiplin yang lebih dalam. Ada di antara mereka yang mengajukan pertanyaan kepada bhikkhu penghuni hutan tentang Dhamma yang lebih dalam dan Disiplin yang lebih dalam. Jika, ketika ditanya demikian, ia tidak mampu menjawab, maka akan ada di antara mereka yang mengatakan tentangnya: ‘Apakah yang telah diperoleh Yang Mulia penghuni hutan ini dengan menetap sendirian di dalam hutan, melakukan apa yang ia sukai, karena ketika ditanya tentang Dhamma yang lebih dalam dan Disiplin yang lebih dalam ia tidak mampu menjawab?’ Karena akan ada di antara mereka yang mengatakan hal ini tentangnya, maka seorang bhikkhu penghuni hutan harus menekuni Dhamma yang lebih dalam dan Disiplin yang lebih dalam) [MN 69/Gullisani Sutta].

    Jika sutta-sutta di atas ini dianggap sebagai bukti adanya ajaran yang khusus diturunkan dengan nama abhidhamma, tentunya harus juga ada ajaran yang khusus diturunkan dengan nama abhivinaya, bukan?. Faktanya, tidak ada ajaran yang khusus diturunkan dengan nama abhivinaya, konsekuensinya, juga tidak ada ajaran yang khusus diturunkan dengan nama abhidhamma.

    Abhidhamma seperti apa yang sang Buddha maksudkan?
    ”…hal-hal ini yang telah Kuajarkan kepada kalian setelah mengetahuinya secara langsung, yaitu:

    4 landasan ingatan
    4 jenis usaha benar
    4 landasan kekuatan mental
    5 indriya/kemampuan
    5 Bala/kekuatan
    7 faktor pencerahan
    8 jalan Mulia [Total sejumlah 37 item ini juga tercantum di DN 16/Mahaparinibbana sutta sebagai 37 hal sisi pencerahan/Sattatiṁsā Bodhipakkhiya dhammā]

    dalam hal-hal ini kalian semuanya harus berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa perselisihan. Tesañca vo, bhikkhave, samaggānaṃ sammodamānānaṃ avivadamānānaṃ sikkhataṃ siyaṃsu dve bhikkhū abhidhamme nānāvādā... (Sewaktu kalian berlatih dalam kerukunan, dengan saling menghargai, tanpa perselisihan, dua bhikkhu mungkin membuat pernyataan berbeda sehubungan dengan Dhamma yang lebih dalam…)” [MN 103/Kinti Sutta]

    Jadi, Abhidhamma yang asli, yang merupakan ajaran sang Buddha ternyata adalah 37 hal sisi pencerahan/Sattatiṁsā Bodhipakkhiya dhammā!

  5. "Kusalāhaṃ visuddhīsu, kathāvatthuvisāradā; Abhidhamma-nayaññū ca, vasippattāmhi sāsane" (Aku menguasai baik, kemahiran kathavatthu, metoda Abhidhamma, di sasana ini) [KN, Thi Apadana 18/Khemātherīapadāna]. J.S Walters dan B.M Barua: “..Apadana dibuat SETELAH jaman raja Asoka”. A.K Warder: “..Apadana dibuat paling awal pada abad ke-1 SM” ["Journal pali text society", Vol.20, hal.32]
Meminjam logika cara berpikir yang sama, apakah karena kata “asoka” muncul di sutta dan vinaya, maka raja Asoka telah ada di jaman Buddha? atau disebut keberadaannya oleh Sang Buddha? Tentu tidak, bukan?

Bantahan mereka yang kontra, misalnya dari I.B Horner: Kata "ABHIDHAMMA" muncul tidak lebih dari 10x, [3x di vinaya pitaka], Frase tersebut dimaksudkan dalam konteks materi dan cara, dan BUKAN dalam konteks kumpulan kitab, misalnya di vinaya terdapat kata sutta, gatha (syair) dan abhidhamma sekaligus:
    [Berkenaan dengan bhikkhu yang melakukan pelanggaran karena meremehkan pembelajaran vinaya:] "Anāpatti—na vivaṇṇetukāmo, ‘iṅgha tvaṃ suttantegāthāyoabhidhammaṃ vā pariyāpuṇassu, pacchā vinayaṃ pariyāpuṇissasī..’" (Bukanlah pelanggaran, jika, tidak dimaksudkan untuk merendahkan, dia berkata, ‘dengar, apakah Anda mahir sutta, syair (Gatha) atau dhamma yang lebih dalam dan setelahnya mahir disiplin..’) [vinaya, Vol. III p.42 atau Mahavagga, Pacittiyakanda, sahadhammikavagga untuk Pacittiya no.72]".
Keberadaan kata syair (gatha) di situ, merupakan bukti yang lebih dari cukup untuk menunjukan bahwa "abhidhamma" BUKANLAH ajaran yang terpisah sendiri, karena "gatha" tidak berarti gatha Pitaka maka "abhidhamma" tidaklah berarti Abhidhamma Pitaka.

Klaim bahwa Abhiddhama diturunkan via YM Sariputta
YM Sariputta disebut sang Buddha sebagai “Yang terunggul dalam intuisi kebijaksanaan”, di beberapa sutta, kita temukan beberapa diskusi logika analisis, misal di Mahaghosinga sutta [YM Moggalana dan YM Sariputta] juga Mahavedalla sutta [YM Kotthita dan YM Sariputta] mereka berdiskusi lebih dalam lagi tentang Dhamma. Pembicaraan Dhamma yang dalam lagi ini adalah bagian dari Dhamma itu sendiri.
    YM Sariputta:
    2 minggu setelah ditahbiskan, Aku memahami analisa: [atthapaṭisambhidā/pengertian secara luas dan mendalam; dhammapaṭisambhidā/hubungan kondisi dan sebab; niruttipaṭisambhidā/Tata bahasa asal-usul interpretasi pengucapan dialek dan ekspresi; paṭibhānapaṭisambhidā/Penerangan, intelektual dan kefasihan penyampaian] dan dengan rincian ciri dan kekhasannya (sacchikatā odhiso byañjanaso) Itu saya nyatakan, terangkan, perlihatkan dan tunjukan dalam dalam berbagai cara (AN 4.173/Vibhatti sutta).
Pengakuan YM Sariputta ini adalah tentang apa yang dicapainya, tidak pernah disebutkan di manapun dalam sutta dan vinaya bahwa beliau mendapatkan suatu ajaran khusus yang disebut dengan nama Abhiddhama. Hanya kitab-kitab komentar buatan abad-abad belakanganlah yang memuat perluasan imaginasi bahwa Abhidhamma diturunkan via Sariputta yang dikaitkan dengan perjalanan fiksi sang Buddha ke Tavatimsa untuk mengajar Abhiddhama kepada IbuNya. Klaim kitab-kitab komentar ini, seharusnya mengundang beberapa pertanyaan lanjutan, misalnya
  1. Mengapa IbuNya tidak ke alam manussa saja untuk mendapatkan pengajaran, karena toh, sutta dan vinaya juga menyampaikan bahwa para devapun kerap berkunjung ke alam manussa untuk mendengarkan dhamma Sang Buddha dan para Arahat lainnya?
  2. Mengapa selama 3 bulan (90 hari) musim vassa alam manussa yang setara dengan 3.6 detik di Tavatimsa itu, Sang Buddha perlu turun (atau membuat proyeksi image-Nya) ke alam manussa untuk berpindapatta setiap harinya? Mengapa sang Buddha tidak kuat untuk tidak makan untuk sekedar hanya 3.6 detik saja? Atau mengapa para deva menjadi begitu pelitnya tidak menyuguhkan sesuatu jika memang waktunya pindapatta? Atau tidakkah nimittabuddha/bentukan Buddha palsu (untuk mengajar) membuat sang Buddha menjadi pelanggar sila ke-4, karena diriNya tidak menyampaikannya sendiri? Bagaimana mungkin kitab komentar (Dhammapada: Buddha vagga dan Abhidhamma: Ganthārambhakathā) sudah mengatakan ada 7 kitab (sattapakaraṇika, sattappakaraṇa = 7 kitab) Abhidhamma yang diajarkan Sang Buddha (dan Sariputta) padahal Kathāvatthu (salah satu dari 7 kitab) sendiri baru muncul di abad ke-3 SM, pasca perpecahan aliran?
[Lihat juga: "Abhidhamma Abhivinaya in the first two of the Pāli Canon", I.B. Horner, The Indian Historical Quarterly, Vol.17:3, Sep.1941 dan "What did the Buddha mean by the word 'abhidhamma'?", Bhikkhu Varado] [↑]


Konsili ke-4,
Buddhisme di India mengalami kemerosotan tajam pasca runtuhnya dinasti Maurya oleh Pushyamitra (185-149 SM), pendiri dinasti Shunga (185 -75 SM):
  1. Perpecahan di internal Buddhisme dan pengubahan kotbah ke dalam sanskrit (sebuah bahasa bagi kalangan eksklusif) menyumbang makin banyaknya doktrin membingungkan bagi pemeluknya, misalnya di Manjushri Mula Kalpa dan juga sejarahwan Taranatha dalam Rgya- gar-chhos-hbyung (Sejarah agama di India), tahun 1608, bab 10 yang menyatakan bahwa Panini, teman raja Nanda, mencapai Sravakabodhi dan ramalan Manjusri Mula Tantra bahwa Panini adalah Avalokitesvara [juga lihat: "Buddhist sects in India, Dutt, hal.7]

  2. Kita mungkin bisa abaikan narasi Divyavadana di Asokhavadana tentang kekejaman Pushyamitra terhadap Buddhism (juga dari sejarahwan Taranatha dan di Śāripūtraparipṛcchā sutra), yang beberapa pakar tampak skeptis tentang itu. Namun, penekanan panjang dinasti Buddhist Maurya terhadap Brahmanisme dan bagaimana caranya menduduki tahta, memberikan cukup alasan bagi Pushyamitra untuk menekan bangkitnya dinasti sebelumnya. akibatnya para pendukung Buddhism lebih condong pada raja yang pro-Buddhis, misalnya Raja Bactria/Yunani Menander I/Milanda (165/155-130 SM) yang menguasai India Utara dan pemeluk Buddhism. Awalnya Pushyamitra tidak dengan kekerasan, namun seiring adanya ancaman teritorial, tindakan represif di area Shuga yang tidak pro Shunga mungkin saja terjadi. Arah politik raja berikut dinasti ini, tampaknya berubah, mencoba meraih simpati melalui perbaikan beberapa situs Buddhis yang telah dirusak sebelumnya. [Lihat: "DECLINE AND FALL OF BUDDHISM, (A tragedy in Ancient India), Ch.2].
Abad ke-3 SM, pasca konsili ke-3, Mahinda (bersama: Iṭṭhiya, Uttiya, Bhaddasāla, dan Sambala dan lainnya) di kirim ke Srilanka. Mahinda saat itu telah 12 tahun menjadi Bhikkhu dan mencapai Srilanka 6 bulan kemudian (Mhv 13.1-5, yaitu 219 + 6 + 12.5 = 237.5 tahun setelah Buddha parinibbana). Ia tiba di Sri Lanka, bertemu Raja Devānampiyatissa (247-207 SM) pada Purnama bulan Jettha (236 M) dan membuat Raja berlindung pada Ti-ratana. Keesokan harinya, atas permintaan raja, Mahinda menuju Anurādhapura dan Ia bermalam di taman Mahāmeghavana, esoknya taman itu diberikan raja atas nama Sangha dan menjadi bagian dari berdirinya vihara Mahavihara (Mhv, Geiger, Introduction hal. 34-35. Sat itu adalah tahun berdirinya Mahavihara). Mahinda tinggal di taman itu selama 26 hari. Di Taman yang sama, yaitu pada hari ke-2nya Mahinda, ratu Anula dan 500 perempuan, setelah mencapai buah ke-2 kesucian, memohon penahbisan, namun ditolak karena aturan vinaya tidak mengijinkannya untuk langsung menahbiskan wanita (Mhv 15.18-20; Dipv 15.74-76), Ia usulkan agar penahbisan dilakukan dulu oleh Sanghamita (adik perempuan Mahinda), raja Devānampiyatissa kemudian mengutus mentri Arittha pergi ke India (Mhv 12.21-23; Dipv 15.77-95). Sambil menunggu Sanghamita tiba, Anula dan 500 perempuan melakukan 10 sila (Mhv 18.9-12; Dipv 15.84-85). Sanghamitta dan 10 bhikkhuni (atau 11 bhikkhuni - Mhv 19.5, yaitu: Uttarā, Hemā, Pasādapālā, Aggimittā, Dāsikā, Pheggu, Pabbatā, Mattā, Mallā dan Dhammadāsiyā - Dipv 15.78/18.12) tiba di Srilanka dengan membawa pohon Bodhi dan menahbiskan mereka menjadi Bhikkhuni Theravada (Mhv 18; Dipv 16.3-39) [Menurut vinaya penahbisan bhikkhuni, penahbisan dapat dilakukan setelah 2 tahun menjalankan 6 sila]. Pada jaman raja Uttiya (penerus Devānampiyatissa), yaitu di tahun ke-8-nya, Mahinda wafat [Dipv 17.94] dan di tahun ke-9-nya, Sanghamitta wafat [Mhv 20.48-49]

Ketika Vattagamani (Abad ke-1 SM), baru 5 bulan menjadi raja, terjadilah 3 peristiwa yang membuatnya kehilangan tahta dan mengungsi, yaitu pemberontakan Brahmana Tissa (Beminitiye), pendudukan oleh 7 kelompok suku Tamil/Damila [Mhv 33.37-61] dan bencana kelaparan besar selama 12 tahun. Setelah kalah dari 7 Damila, raja bersama keluarganya melarikan diri, saat itu Petapa Jain berteriak bahwa raja melarikan diri. Hal ini membuat raja bersumpah akan mendirikan Vihara di sana. Dalam perjalanan Raja ditolong Bikkhu Mahatissa dari Vihara Kupikkala yang memberikannya makanan dan lewat pembantunya, seorang umat awam bernama Tanasiva, Ia diberikan tempat tinggal. Setelah 14 tahun dan 10 bulan kemudian, Vattagamini berhasil merebut kembali tahtanya kemudian menepati sumpahnya dengan menghancurkan kuil Jainisme dan mendirikan Vihara Abhayagiri. Vihara ini kemudian diberikan kepada Mahatissa [Mhv 33.80-83].
    Note:
    Vihara Abhayagiri dibangun tahun ke-217, bulan ke-10 hari ke-10 setelah berdirinya MahaVihara [Mhv 33.80-81] atau ± 455 tahun dan 4 bulan setelah Buddha parinibana (237.5 tahun + 217 tahun bulan ke-10) atau ± 478 tahun dan 4 bulan sejak ditahbiskannya Mahapajapati Gotami menjadi Bhikkhuni pertama (455 tahun, 4 bulan + 23 tahun Buddha parinibbana) atau ± tahun 32/31 SM (Asoka wafat/± tahun 232 SM + 17.5 tahun (37 tahun pemerintahan Asoka - tahun ke-19.5 Mahinda tiba di Srilanka dan menerima Mahavihara) = 249.5 SM - 217 tahun, bulan ke-10)
Mahatissa kemudian diundang raja untuk tinggal di Anuradhapura (MahaVihara) dan tampak memiliki pengaruh besar terhadap kalangan kelas penguasa [History of BUDDHISM IN CEYLON, WALPOLA RAHULA, B.A.PhD, hal 83-84]. Karena sering mengunjungi keluarga kalangan awam, Sangha Mahavihara mendakwa Mahatissa telah melakukan pelanggaran kulasamsattha yang berakibat Ia dikeluarkan dari persekutuan/Sangha (pabbājaniyakamma). Muridnya, Bahalamassu Tissa (Tissa si Janggut lebat) mengajukan keberatan dan didakwa melakukan ukkepaniya (berpihak pada ketidakmurnian). Akhirnya mereka dengan sekumpulan bhiksu memisahkan diri dari Mahavihara menuju Abhayagiri-vihara dan membentuk aliran terpisah, tidak lagi datang ke Mahavihara: Demikianlah para bhiksu Abhayagiri memisahkan diri dari Theravada [Mhv 33.95-97]. Para bhiksu Abhayagiri menjadi semakin kuat sejak kedatangan beberapa bhiksu dari Pallarārāma, India Selatan, yang mengikuti tradisi Vajjiputtaka/Vatsiputriya (ex konsili ke-2). Guru mereka adalah Dhammaruci, dan ketika mereka bergabung dengan para bhiksu Abhayagiri, MahāTissa sendiri mengambil nama Dhammaruci dan para pengikutnya dikenal sebagai Dhammarucika [Inkripsi Kalyani, Dhammaceti, Burma tahun 1476 M, hal 39, juga ini].

Inilah perpecahan pertama Buddhisme di Sri lanka, seperti sabda Buddha tentang 20 landasan perpecahan sangha dan 4 MOTIF KEUNTUNGAN yang penyebabnya SELALU seorang bhikkhu, yang berasal dari komunitas yang sama, menetap di tempat yang sama

PENULISAN TIPITAKA
Sutta/Vinaya menyajikan informasi bahwa di sebelum jaman Buddha Gotama-pun, angka, aksara dan tulisan telah ada dan telah luas digunakan, misalnya:
  1. DN 1, 2,3, 4, 5, 6, 7, 8, 10, 13: "..akkharika..” (bermain menerka huruf yang ditulis di udara atau punggung seseorang)
  2. AN 3.65/Kalama Sutta: "..Marilah, para penduduk Kālāma,..., jangan karena kumpulan teks tertulis (mā piṭakasampadānena), .."
  3. Udana 3.39/Sippa Sutta: “..beberapa bhikkhu: “Keahlian naik gajah adalah yang utama”;.. berkuda.. berkereta.. Memanah.. Bermain pedang, .. Berkomunikasi lewat gerak.. Menghitung angka.. menulis (lekhā).. puisi.. berdebat.. Ilmu politik adalah keahlian utama”
  4. Vinaya, Mahakhanda: "Sekarang, seorang tertentu, setelah mencuri, setelah melarikan diri, Ia ditahbiskan dalam kehidupan suci. Di pengumuman kerajaan, tertulis, "Dimanapun orang ini terlihat, Ia dihukum mati" Orang melihatnya dan berkata, "Ini dia pencuri dalam tulisan itu. Mari kita hukum mati dia".. Menyebarlah desas desus, "..mengapa mereka menahbiskan pencuri yang ada dalam tulisan itu?".. Sang Buddha, berkata, "Para Bhikkhu, seorang pencuri dalam pengumuman tertulis, tidak boleh ditahbiskan, siapapun yang menahbiskannya melakukan pelanggaran dukkata"
  5. Vinaya, Parajika ke-3: "..memuji melalui tulisan: Ia menulis (lekhaṃ), "Siapapun yang mati, akan mendapatkan kekayaan, kemashyuran dan menuju surga". Pelanggaran Dukkata untuk setiap huruf (akkhara) yang ditulisnya. Setelah melihat tulisannya, orang menjadi berpikir, "Aku ingin Mati", Ia menyakiti dirinya, maka pelanggaran Thullaccaya terjadi, jika Ia mati, maka pelanggaran parajika terjadi"
  6. Vinaya, Pacittiya no.49: "..Bukan pelanggaran jika (bhikkhuni) belajar menulis.." (Anāpatti—lekhaṃ pariyāpuṇāti)
  7. Vinaya, Pacittiya no.65: “..Jika Upāli belajar menulis (lekha)...jika Upāli belajar menulis, jari-jarinya akan sakit.."
  8. Juga dalam kehidupan lampau Sang Buddha, di kitab komentar jataka, misal:

    no.159: "..Raja sangat gusar..Dia memerintahkan agar sebuah pesan ditulis di atas papan emas: 'Di antara pegunungan Himalaya terdapat sebuah bukit emas di Gunung Daṇḍaka..'"
    no. 181: "..kemudian menggores sebuah pesan di panahnya dengan tulisan: 'Saya, Asadisa, telah kembali. Saya bertekad untuk membunuh kalian semua dengan satu panah yang akan saya tembakkan kepada kalian. Bagi mereka yang masih mau hidup, silakan pergi.'"
    no.214: "...Maka, dia menulis bait berikut di atas daun: 'Apakah yang dapat minum ketika sungai banjir;…Teka-teki saya dibaca dengan benar..'"
    no.276: "..Kemudian raja berkata, “..kembalikan kepada rajanya. Tulislah di atas sebuah papan emas norma Kuru yang dijalankannya dan bawalah itu ke sini.”
Di Srilanka, Perang dan bencana kelaparan, membuat Tipitaka yang sejak jaman Mahinda diturunkan dengan cara dihafal/Mukhapathena, terancam punah akibat ribuan Bhikkhu wafat kelaparan atau mengungsi ke kawasan Malaya dan ke India. Dikatakan pula bahwa Mahāniddesa hanya dikenal oleh satu bhikkhu dan itupun oleh yang tidak bermoral [Buddhist Commentarial Literature, L. R. Goonesekere, The Wheel Publication No. 113, 2008, Political]. Mahāpitaka meminta Mahārakkhita, untuk belajar Mahāniddesa dari Bhikkhu tersebut, Mahārakkhita awalnya enggan karena Bhikkhu tersebut tidak bermoral, tapi akhirnya setuju karena Mahāpitaka juga ikut belajar bersamanya. di hari terakhir pelajaran, Ia temukan seorang wanita bersembunyi di bawah dipan Bhikkhu tak bermoral tersebut. Akhirnya, saat itu, terdapat 495 bhikkhu yang hafal kanon tipitaka dan di tahun ke-450 sejak Buddha parinibbana, yaitu tahun ke-6 pemerintahan Vaṭṭagāmaṇī, 500 bhikkhu di bawah pimpinan Mahārakkhita yang berpikir, "Di masa depan, makhluk-mahluk yang lemah dalam ingatan, kebijaksanaan dan konsentrasi, tidak akan dapat mengingat (teks kanonik) secara lisan" ["The history of Buddha's religion" (sasanavamsa, Paññāsāmi, 1861), Bimala Churn Law, Sri Satguru Publications, 1986, hal.24-26], menuliskan 3 Pitaka dan kitab komentar di atas daun palem, berlokasi jauh dari jangkauan raja Vattagamani, yang pro aliran Dhammaruci, di bawah perlidungan kepala desa Alulena, di Matula ('alu' ≠ 'abu' tapi 'aloka'/terang; lena = 'gua') (± 61 km dari Aluvihara, atau ± 140 km dari Anuradhapura) [juga Mhv 33.100-103. Dipv 20.19-21]
    Note:
    Geiger: Tahun Parinibbana Sang Buddha (yaitu tahun 544 SM) yang digunakan di Srilanka, Burma/Myanmar dan Siam/Thailand dianggap kurang tepat, karena seharusnya di tahun 483 SM. Masa pemerintahan Vaṭṭagāmaṇī ke-2 adalah 454-466 tahun setelah Buddha parinibbana (29 - 17 SM) [Mahavamsa, Geiger, Introduction, hal. xxiv-xxxvii], dengan versi ini, konsili ke-4 terjadi di kisaran tahun ke-455 setelah Buddha parinibbana.
Sutta menyampaikan sekurangnya 3 alasan mengapa ajaran sang Buddha (juga ajaran para Brahmana Hinduisme dan Jainisme) TIDAK DITULISKAN namun DIHAFALKAN:
  1. Pertama, karena hafalan dan kemampuan mengingat berkorelasi dengan 5 rintangan (1. hasrat indriya/kamacchanda, 2). itikad buruk/memusuhi/byapada, 3. malas-lamban/thina-midha, 4. kegelisahan-kecemasan/uddhacca-kukkucca dan 5.keraguan/vicikiccha), misalnya kepada Brahmana Saṅgārava yang menanyakan alasan mengapa himne-himne yang telah dilafalkan dalam waktu yang lama tidak teringat dalam pikiran dan mengapa himne-himne yang tidak pernah dilafalkan dalam waktu yang lama dapat teringat dalam pikiran [AN 5.193 dan SN 46.55], sehingga seseorang yang sulit mengingat dan/atau lupa terhadap hafalannya mencermikan bahwa dirinya masih dikuasai 5 rintangan.

  2. Kedua, merupakan bagian dari metoda penemuan kebenaran (saccānubodho/saccamanubujjhati): ...(Setelah menyelidiki penuh seorang Guru sehingga menjadi berkeyakinan); Ia mengunjunginya dan memberikan penghormatan; setelah memberikan penghormatan, memasang telinganya (sotaṁ odahati), dengan telinga mendengarkan Dhammanya (ohitasoto dhammaṁ suṇāti); setelah mendengar Dhamma, menghafalkannya (sutvā dhammaṁ dhāreti), meneliti makna ajaran yang telah dihafalkannya (dhatānaṁ dhammānaṁ atthaṁ upaparikkhati); ketika meneliti makna, memperoleh penerimaan atas ajaran melalui perenungan; ketika memperoleh penerimaan melalui perenungan atas ajaran, kemauan muncul; ketika kemauan muncul, ia mengerahkan tekadnya; setelah mengerahkan tekadnya, ia menyelidiki; setelah menyelidiki, ia berusaha; karena berusaha sungguh-sungguh, ia dengan tubuhnya mencapai kebenaran tertinggi dan melihat dengan menembusnya dengan kebijaksanaan [MN 95], sehingga penghormatan terhadap guru adalah ketika mendengarkan, seseorang tidak melakukan kegiatan lain, kecuali memperhatikan ajarannya dengan seksama.

  3. Ketiga, "..seorang siswa seharusnya TIDAK MENDEKATI Sang Guru demi: khotbah-khotbah, syair-syair, dan penjelasan-penjelasan (suttaṁ geyyaṁ veyyākaraṇaṁ). Mengapakah? Telah sejak lama, Ananda, engkau telah mempelajari, menghafalkan, melafalkan, memeriksanya dengan pikiran, dan memahaminya secara teori (dhammā: sutā, dhātā, vacasā, paricitā manasānupekkhitā, diṭṭhiyā suppaṭividdhā). TETAPI pembicaraan-pembicaraan terkait manfaat bebas halangan kemajuan pikiran (cetovinīvaraṇasappāyā), tidak terputusnya kebosanan (ekantanibbidāya), tanpa nafsu (virāgāya) , berhentinya (nirodhāya), damai (upasamāya), pemahaman sepenuhnya (abhiññāya sambodhāya), mengarah kepada Nibbāna (nibbānāya saṁvattati), yaitu, pembicaraan tentang keinginan yang sedikit, tentang kepuasan, kesendirian, keterasingan dari masyarakat, pembangkitan kegigihan, moralitas, konsentrasi, kebijaksanaan, kebebasan, pengetahuan dan penglihatan kebebasan: demi pembicaraan demikian maka seorang siswa seharusnya mendekati Sang Guru bahkan jika ia disuruh pergi sekalipun. [MN 122].
Bahkan dari sebelum jaman sang Buddha-pun telah banyak makhluk-mahluk yang lemah dalam ingatan, kebijaksanaan dan konsentrasi, oleh karenanya, alasan di masa Mahārakkhita, ajaran Buddha sampai dituliskan, adalah karena telah terjadi kelangkaan bhikkhu penghafal dhamma.

Sidang Agung ke-5 [1871 M] dan ke-6 [1954 M] terjadi jauh setelah 500 tahun sejak ditahbiskannya Bhikkhuni pertama
    Note:
    Tradisi Utara juga mempunyai konsili ke-4, diselenggarakan aliran Sarvāstivāda jaman dinasti Khushan-Gandhara, Raja Kanishkha, 127 M - 151 M. Lokasinya di Kashmir. dikatakan 500 bhikkhu pimpinan Vasumitra (Penduduk asli Gandara) berkumpul melakukan editorial kitab-kitab sanskrit dan merumuskan 7 kitab Abhidhamma oleh 7 pengarang berbeda (Vasumitra: Prakarana-Pada, Sariputra: Dharma-Skanda, Maudgalyayana: Prajnapti, Devasarman: Vijnana-kaya, Purna: dhatu-kaya, Katyayana/katyayaniputra: Jnana-Prasthana dan Mahakausthila: Sangiti-Paryaya). Konsili ini tidak pernah ada di literatur Theravada.

    Dutt: Ada 4 Vasumitra, yaitu: Vasumitra yang memimpin konsili Kanishkha di Khushan, Vasumitra aliran Sautrantika; Vasumitra, muncul 1000 tahun setelah Buddha parinibbana dan Vasumitra aliran Sarvastivada, yang darinya Xuanzang belajar doktrin Sarvastivada [“Buddhist Sects in India”, Nalinaksha Dutt, Introduction]

    Dinasti Kushan-Gandhara: Setelah bangsa Yuezhi kalah dari bangsa Xiongnu (220 SM dan 177 SM), mereka pecah menjadi Yuezhi Besar dan kecil. Yuezhi besar menuju lembah Lli dan mengusir bangsa Saka/Scythian. Bangsa Saka kemudian menetap di Kashmir dan sebagiannya bercampur ke dalam populasi Yuezhi. Michael Witzel ("Possible Iranian Origins for the Śākyas and Aspects of Buddhism", 2012) dan Christopher I. Beckwith ("Greek Buddha: Pyrrho's Encounter with Early Buddhism in Central Asia", hal 1-21) menduga ada keterkaitan antara bangsa Saka dan Sakya-nya Sidartha Gautama. Kemudian setelah Yuezhi diusir bangsa Wusun, mereka ke selatan (Sogdia) dan menetap di Baktria/Yunani. Sekitar tahun 75 M, satu dari lima suku Yuezhi Besar di Baktria, yaitu Kushana di bawah pimpinan Kujula Kadphises (Leluhur raja Kanishka) mendirikan dinasti Kushan-Gandhara, yang wilayahnya meliputi Gandhara, Kashmir, Afganistan dan India Barat laut.
MAHAYANA di SRI LANKA
Dalam "History of Buddhism in Ceylon", Walpola Rahula (hal. 89) menuliskan:
    Kedatangan Vaitulya ke Sri Lanka pada jaman raja Vohârika-Tissa (269 -291 M) Nikâyasangraha (Sejarah Srilanka belakangan, ed. Simon de Silva dan lainnya, 1907, hlm. 11) mengatakan bahwa para bhiksu Abhayagiri, yang dikenal sebagai Dhammarucika, menerimanya dan menyatakan Vaitulyapitaka disusun para brāhmana sesat yang disebut Vaitulya yang telah mengenakan pakaian para bhikkhu untuk merusak ajaran Buddha di masa Asoka; dan bahwa para bhikkhu Theriya-nikāya, setelah membandingkannya dengan dhamma dan vinaya, menolaknya dan menyatakannya sebagai ajaran palsu. Referensi ke brāhmana di sini menunjukkan bahwa Vaitulya-pitaka yang dibawa ke Sri Lanka disusun dalam bahasa Sanskrit, dan kita tahu bahwa sutra Mahāyâna semuanya dalam bahasa Sanskrit. ["The Conflict of Change in Buddhism: the Hīnayānist Reaction", Tola Fernando, Dragonetti Carmen, 1996, hal 251]
Raja Voharika Tissa menekan Vetulya dan membuat para herestik ini di bawah pengawasan menterinya, Kapila (Mhv 36.41). aliran Dhamarucika Abhayagiri Vihara menjadi sangat kuat di jaman Raja Mahasena [334-361 M] yang saat itu hampir membuat musnah Mahavihara.

BEBERAPA ATURAN PENAHBISAN BAGI BHIKKHU DAN BHIKKHUNI
Awalnya para bhikkhu ditahbiskan dengan metoda ehibhikkhu, kemudian bertambah dengan penahbisan dengan 3 perlindungan [Kd 1.9] namun kemudian penahbisan 3 perlindungan dihapuskan, diganti dengan penahbisan dengan 1 tindakan (formal): 1 usulan dan 1 resolusi yang dilakukan 3x [ñatticatutthena kammena upasampādetuṁ] [Kd 1.17] dan kemudian penahbisan dilakukan Sangha dengan jumlah sekurangnya 10 bhikkhu yang memiliki masa vassa 10 tahun dan kompeten [Kd 1.19] atau untuk Bhikkhuni, Penahbis harus memiliki masa vassa 12 tahun dan kompeten [Pacittiya ke-74, Bhikkhuni], Setelah Bhikkhu ditahbiskan, jika kompeten, Ia dapat bergantung pada Upajjhayanya hanya selama 5 tahun/vassa, tapi tidak bagi yang tidak kompeten [Kd 1.40]. Samanera: Pria yang belum cukup umur untuk menjadi bhikkhu, Ia ditahbiskan guru Pabbajja untuk menjalankan 10 sila/aturan latihan, setelah cukup umur dapat ditahbiskan penuh (upasampada) untuk menjadi Bhikkhu. Samanera bukan anggota Sangha.

Untuk Bhikkhuni,
Mulai sejak Mahapajapati Gotami berkehendak menjadi Bhikkhuni. Sang buddha menyatakan penahbisannya adalah dengan menerima 8 Garu dhamma (aṭṭhagarudhamma) [Kd 20.2]. Peraturan-kebhikkhuan dilatih pula oleh para Bhikkhuni selain peraturan yang khusus bagi bhikkhuni [Kd 20.3]. Diantara yang khusus, misalnya: Sikkhamana: wanitta, memohon kepada sangha (bhikkhuni) untuk berlatih 6 sila (5 sila + tidak makan lewat tengah hari) selama 2 tahun (pacittiya ke-63) baru setelahnya dapat memohon kepada sangha untuk dapat ditahbiskan menjadi bhikkhuni (Pacittiya ke-91), setelah mendapatkan ijin orang tua atau suami (Pacittiya ke-80). Samaneri: wanita yang belum cukup umur untuk menjadi bhikkhuni, Ia ditahbiskan guru pabbajja untuk menjalankan 10 Sila (Pacittiya ke-92), setelah cukup umur dapat ditahbiskan penuh untuk menjadi Bhikkhuni. Baik Sikkhamana dan Samaneri, untuk menjadi bhikkhuni penahbisannya melalui prosedur penahbisan dihadapan dua sangha (sangha bhikkhuni dan sangha Bhikkhu) [aturan garu-dhamma ke-6, cullavaga dan AN 8.51]. Sikkhamana dan Samaneri adalah bukan anggota Sangha. Wanita menikah yang berusia di bawah 12 tahun tidak dapat ditahbiskan (Pacittiya ke-64), wanita menikah berusia 12 tahun ke atas, tetap harus berlatih 6 aturan selama 2 tahun sebelum ditahbiskan (Pacittiya ke-65) dan harus mendapat persetujuan sangha (bhikkhuni). Demikian pula wanita yang tidak menikah berusia di bawah 20 tahun, juga tidak dapat ditahbiskan (Pacittiya ke-71)

Jumlah minimum anggota sangha untuk dapat melakukan tindakan formal/resmi:
  1. Sangha dengan 4 bhikkhu, tidak dapat melakukan: penahbisan (upasampadaṁ), undangan (pavāraṇaṁ ) dan rehabilitasi. (abbhānaṁ, dhammena samaggo sabbakammesu kammappatto)

    Bukan tindakan Formal dan tidak boleh dilakukan, jika sangha untuk jumlah 4 bhikkhu, tapi yang ke-4 adalah: [Bhikkhuni, sikkhamana, samanera, samaneri, pelaku pelanggaran berat, pengingkar pelatihan, orang yang diskors karena: tidak menyadari pelanggarannya, tidak melakukan perbaikan atas pelanggarannya, tidak membuang pandangan salah, seorang banci (paṇḍaka), dengan orang yang berada dalam persekutuan secara mencuri/menggelap, dengan orang yang telah menyeberang ke sekte lain, binatang, pembunuh: ibu, ayah, Arahat, penoda bhikkhuni, dengan pemecah belah sangha, orang yang melukai (Tathagata), hermafrodit (ubhatobyañjanaka), dengan orang dari persekutuan lain (nānāsaṁvāsaka), dengan orang yang tinggal di batas kawasan berbeda (nānāsīmāya ṭhita), orang yang melayang karena potensi kekuatan gaib, atau dengan orang yang menjadi target tindakan formal ini]

  2. Sangha dengan 5 bhikkhu, tidak dapat melakukan: penahbisan di kawasan tengah (majjhimesu janapadesu upasampadaṁ) dan rehabilitasi. Pengecualian khusus untuk penahbisan dapat dilakukan 5 bhikkhu, yaitu pada kawasan perbatasan (sabbapaccantimesu janapadesu): sangha 5 Bhikkhu dengan bhikkhu ke-5 adalah ahli vinaya [Kd 5.11], yaitu khusus pada kawasan yang langka terdapat samana (bhikkhu/bhkkhuni), sehingga untuk penahbisan bhikkhuni dihadapan 2 sangha, sangha bhikkhu jumlahnya 5 dan sangha bhikkhuni jumlahnya 5 serta bhikkhu/bhikkhuni yang ke-5 harus ahli vinaya.

    Bukan tindakan Formal dan tidak boleh dilakukan, jika sangha untuk jumlah 5 bhikkhu, tapi yang ke-5 adalah: [Bhikkhuni,..., orang yang menjadi target tindakan formal ini]

  3. Saṅgha dengan jumlah 10 bhikkhu, tidak dapat melakukan: Rehabilitasi.

    Bukan tindakan Formal dan tidak boleh dilakukan, jika sangha untuk jumlah 10 bhikkhu, tapi yang ke-10 adalah: [Bhikkhuni,..., orang yang menjadi target tindakan formal ini]

  4. Saṅgha dengan jumlah 20 bhikkhu dan/atau >20 bhikkhu dapat melakukan seluruh tindakan formal/resmi.

    Bukan tindakan Formal dan tidak boleh dilakukan, jika sangha untuk jumlah 20 bhikkhu, tapi yang ke-20 adalah: [Bhikkhuni,..., orang yang menjadi target tindakan formal ini] [Kd 9]
Pasca konsili ke-3 pun aturan tidak berubah, bahwa para Bhikkhuni hanya dapat ditahbiskan melalui metoda penahbisan dua sangha (oleh sangha bhikkhuni terlebih dahulu, baru kemudian oleh sangha Bhikkhu). Untuk dapat melakukan tindakan formal/resmi berupa penahbisan, diperlukan 10 Bhikkhu dan 10 Bhikkhuni namun untuk daerah sulit bhikkhu dan bhikkhuni, dapat dilakukan dengan 5 bhikkhu (4 Bhikkhu + 1 bhikkhu ahli vinaya) dan 5 bhikkhuni (4 Bhikkhu + 1 bhikkhu ahli vinaya). Seluruh bhikkkhu penahbis harus memiliki 10 tahun masa kebhikkhuan dan kompeten dan seluruh bhikkhuni penahbis, harus memiliki 12 tahun masa kebhikkhunian dan kompeten.

LENYAPNYA SANGHA BHIKKHUNI THERAVADA
Pada jaman Raja Gothābhaya (302-315 M), seorang Bhiksu aliran Vetullavāda dari Cola bernama Sanghamitta yang berdiam di Vihara Abhayagiri, menjadi sakit hati terhadap Para Bhikkhu Mahavihara setelah terjadinya pembersihan sangha dari doktrin Vettula. Sanghamitta adalah salah satu dari 60 bhiksu yang terusir (Mhv 36.109-113). Setelah dipercaya dalam persekutuan di vihara Thūpārāma, Sanghamitta menang debat melawan bHiksu Gothābhaya (paman raja Gothābhaya) sehingga menjadi kesayangan raja dan dipercaya mengasuh pendidikan pangeran Jetthatissa dan Mahāsena, namun Sanghamitta lebih menyukai Mahasena (Mhv 36.114-117). Ketika Gothābhaya wafat dan Jetthatisa menjadi raja (323-333 M), karena takut pada raja ini, Sanghamita kembali ke Cola, ketika Jetthatisa wafat dan Mahasena menjadi raja (334-361 M), Sanghamita kembali ke Sri Lanka (Mhv 36.122-123) dan melakukan upacara penahbisan Mahasena sebagai raja.

Sanghamitta menyatakan kepada Mahasena bahwa para Bhikkhu Mahavihara tidak mengajarkan dhamma benar, Vetulla-lah yang mengajarkan dhamma benar, akibatnya Mahasena memberikan maklumat bahwa siapapun yang berdana pada para bhikkhu Mahavihara akan dihukum. Mahavira kemudian terkucil, kosong dari para bhikkhu selama 9 tahun [Mhv 37.1-8] juga terbakar, hancur, dijarah Sanghamitta dan Menteri Sona, di mana semua yang berharga pindah ke Abhayagiri [Mhv 37.9-18], kejadian ini memicu pemberontakan menteri Meghavannabhaya, setelah raja dan mentri ini bertemu, raja menyadari kekeliruannya dan menyatakan akan membangun lagi Mahavihara. Raja kemudian membangun banyak vihara, diantaranya adalah Jetavana, tapi karena bujukan bhiksu Tissa dari vihara Dakkhinārā (dulunya para bhiksu Abhayagiri berdiam di sini), Jetavana dibangun dalam batasan area Mahavihara [Mhv 37.33-39] dan Mahasena juga membangun 2 vihara Biksuni yaitu Abhaya dan Uttara [Mhv 37.43]. Sanghamitta dan Mentri Sona terbunuh ketika berusaha menghancurkan vihara Thūpārāma. Pembunuhan ini atas perintah istri raja yang marah terhadap perbuatan mereka kepada Mahavihara [Mhv 37.26-28].

Raja Mahasena wafat sebelum selesainya vihara Jetavana, Ia digantikan anaknya, Sirimeghavanna (362-409 M). Raja baru ini kemudian mengumpulkan para bhikkhu Mahavihara [Cula Vamsa I.37.53-55] juga menyelesaikan pembangunan vihara Jetavana [Cula Vamsa I.37.65]. Vihara Jetavana mengikuti paham Sagaliya [Cula Vamsa I.78.22]. Setelah Jetavana ada, secara bertahap para bhikkhu Mahavihara kembali ke Mahavihara [Mhv 37.36-40].

Dr. H Goonatilake: Dua vihara Biksuni Abhaya dan Uttara lebih mungkin berafiliasi dan terkait Abhayagiri daripada Mahavihara (hal.8). Di jaman Raja Mahanama (409/410/412 - 431/434 M), bhiksu pengelana Tiongkok dan translator tripitaka, Fa-Hsien (429 M) tinggal 2 tahun di vihara Abhayagiri mencatat seorang pedagang Tiongkok mempersembahkan dana di Abhayagiri, beberapa Bhikṣuṇī berangkat ke Tiongkok dengan kapalnya (hal.9). Raja Mahanama pernah bersurat ke raja China dengan hadiah berupa model relik gigi yang tersimpan di vihara Abhayagiri. ["The Unbroken Lineage of the Sri Lankan Bhikkhuni Sangha from 3rd Century B.C.E. to the Present". Dr. H Goonatilake].

Bhiksuni pertama Tiongkok, Hui-kuo (sekitar 364-433 M, "Catatan Lengkap Biografi Bhikṣuṇī", vol.2, Cf. Tsai 36-38, biography no.14) merupakan anggota aliran Bhiksu Kashmir Gunavarman. Penahbisan Hui-kuo, Seng-kuo, dan lainnya terjadi di Nanking oleh bhikṣu Sanghavarman dan bhikṣuṇī senior Devasarā ["Buddhist Nuns’ Ordination in the Mūlasarvāstivāda Vinaya Tradition: Two Possible Approaches", Bhikṣuṇī Jampa Tsedroen, Journal of Buddhist Ethics, Vol.23, 2016].

Valentina Stache-Rosen: Gunavarman (367 - 431 M) dalam Chiao "Lives Eminent Monks" (T 2059 Kao Seng Chuan) dikatakan mahir 9 bagian kitab suci Buddha, 4 Agama (padanan di pali untuk kata nikaya), 10.000 kata-kata sutra, aturan dan meditasi (hal.8), Di usia 30 tahun pergi ke Sri Lanka dan kemudian ke Jawa (hal.9), Ia sangat mungkin berasal dari aliran Sarvastivada dan kemudian akrab dengan sutra Mahayana (hal.27). Fa-Hsien menyatakan vihara Abhayagiri di abad ke-3 M mengadopsi paham Vetulyapada, yang menurut Senarath Paranavithana, ini adalah Mahayana, sehingga lebih mungkin bagi Bhiksu seperti Gunavarman lebih diterima di Abhayagiri daripada di Mahavihara (hal.28). Gunavarman wafat sebelum penahbisan Bhiksuni, namun sempat meninggalkan wasiat dalam 36 sloka dan memesan agar wasiatnya diserahkan pada bhiksu yang datang dari India atau kepada bhiksu negeri ini untuk penahbisan (hal.24-25), ketika Sanghavarman ke Nanking, Ia menjadi penahbis Bhiksuni (hal.23) [GUNAVARMAN (367-431), "A Comparative Analysis of the Biographies found in the Chinese Tripitaka", Valentina Stache-Rosen].

Dapat disimpulkan bahwa jalur sangha bhiksuni Tiongkok yang didatangkan dari Sri Lanka ini adalah dari aliran Mahayana bukan Theravada.

Sekitar tahun 993 M, raja Rajaraja (985-1014 M) kerajaan Hindu, Cola, mulai menginvasi Anuradhapura/Sri Lanka dan baru sepenuhnya tertaklukan di tahun 1017 M jaman raja Cola, Rajendra 1 (1012-1044 M), Penaklukan kerajaan Cola mengaakibatkan sangha Bhikkhu dan Bhikkhuni Theravada Sri Lanka menjadi lenyap [Culavamsa I.55.19-22]. Sekitar tahun 1070 M, Raja Sri Lanka, Vijayabahu I (1059-1114 M) berhasil mengusir kerajaan Cola dan kemudian menghidupkan lagi sangha Bhikkhu Theravada Sri Lanka melalui jalur dari Burma [Culavamsa I.60.4-8; Prasasti lempengan Vēḷaikkārar dari Vijayabahu I, Polonnaruwa. Juga, "Buddhist Connections in the Indian Ocean: Changes in Monastic Mobility, 1000-1500", Anne M. Blackburn], namun sayangnya, tidak dapat dilakukan untuk sangha bhikhuni, karena saat itu, baik di Burma, Siam, Kamboja atau Laos yang merupakan 4 negara aliran Theravada lainnya, tidak lagi terdapat sangha Bhikkhuni, Oleh karenanya, sejak saat itu, sangha bhikkhuni aliran Theravada, lenyap selamanya.

Upaya menghidupkan sangha bhikkhuni tidak mungkin lagi dapat dilakukan karena syarat pentahbisan bhikkhuni memerlukan keberadaan bhikkhuni (sebagai upajjhaya, acariya, kammavaca + beberapa lagi) yang semuanya HARUS dari kalangan yang sama (Theravada), setelah itu, mereka pun akan ditahbiskan lagi dihadapan sangha Bhikkhu (Theravada).

Di jaman ini sudah terjadi upaya paksa untuk menghidupkan kembali sangha bhikkhuni Theravada, di antara dalih yang digunakan misalnya:
  1. Masih ada jalur bhikkhuni Sri Lanka yang menuju Tiongkok, padahal mereka ini bukan aliran Theravada, tapi aliran Mahayana. Penahbisan lintas aliran adalah tidak sah.
  2. Ide penahbisan dengan athagarudhamma lagi seperti kepada Mahapajapati Gotami, padahal jenis penahbisan ini hanya khusus diberikan sang Buddha kepada beliau dan tidak pernah lagi dilakukan beliau kepada orang lainnya.
  3. Bahwa penahbisan 500 orang pengiring Mahapajapatigotami tidak dilakukan secara 2 sisi, karena sang Buddha berkata "Para bhikkhu, Aku ijinkan para BHIKKHUNI untuk ditahbiskan oleh para bhikkhu (anujānāmi, bhikkhave, bhikkhūhi BHIKKHUNIyo upasampādetun”ti)". Padahal pada kalimatnya saja jelas ada kata "Bhikkhuni", artinya MahapajapatiGotami saat itu, telah bertindak sebagai pengusul, upajjhaya, acarya, kammavaca mereka, sehingga mereka disebut dengan kata "Bhikkhuni" bukan "calon bhikkhuni/Samaneri". Setelahnya, para bhikkhuni ini, ditahbiskan lagi dihadapan para bhikkhu. Jadi ini adalah metode penahbisan 2 sisi juga.
Upaya-upaya tentunya pernah juga terpikir oleh mereka yang ada di abad ke-11 (yang juga paham bahasa pali, sutta dan vinaya), namun ketika melihat kenyataan bahwa sangha bhikkhuni di 4 negara Theravada ternyata sudah tidak ada lagi, tidaklah mereka paksakan. [(↑)]