Minggu, 03 April 2011

Suamiku, apakah Dhamma spiritual hanya milik kaum lelaki? Apakah perempuan juga dapat memahaminya?


Artikel ini berkenaan dengan pertanyaan seorang Istri, yaitu Dhammadinnà kepada suaminya, Visàkha. Suaminya merupakan 1 diantara 101 orang yang mencapai buah tingkat kesucian ke-1 (Sotapanna) saat Buddha Gautama di RajaGraha, secara bertahap Ia mencapai tingkat kesucian ke-2 (Sakadagami) dan tingkat kesucian ke-3 (Anagami). Setelah di tingkat kesucian ke-3, suaminya menjadi tidak tertarik pada kehidupan rumah tangga dan berusaha meninggalkan keduniawian. Rangkaian kejadian inilah yang memicu pertanyaan Dhammadinnà pada suaminya, "Suamiku, apakah Dhamma spiritual hanya milik kaum lelaki? Apakah perempuan juga dapat memahaminya?" dan jawaban pertanyaan di atas anda akan temukan di bawah ini.

Cita-cita masa lampau Dhammadinnà
Bakal Theri Dhammadinna terlahir dalam sebuah keluarga miskin berkasta rendah di Kota Hamsavati pada masa kehidupan Buddha Padumuttara [15 Buddha sebelum Buddha Gautama, Untuk Buddha-Buddha lainnya lihat di sini]. Ia adalah orang yang bijaksana dan bajik.

Suatu hari Yang Mulia Sujàta, sepupu dan juga Siswa Utama Buddha Padumuttara, baru saja bangun dari pencapaian Penghentian [nirodha samapatti]. Meditasi dalam keadaan Nirodha samapatti, lamanya dapat berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu tanpa makan dan minum sama sekali sehingga begitu bangun dari keadaan tersebut, fisik mereka melemah dan memerlukan sokongan kekuatan makanan. Penderma manapun [Manusia maupun bukan] yang dapat mempersembahkan dana pada saat itu, akan mendapat berkah yang besarnya tak terhingga dan berbuah dikehidupan saat ini atau berikutnya.

Yang Mulia Sujàta, kemudian keluar dari pondoknya untuk mengumpulkan dàna makanan [Pindapatta] dan ketika itu, beliau bertemu dengan Dhammadinnà yang tengah berjalan membawa kendi sebagai pembawa air. Dhammadinnà melihatnya, dengan tangannya sendiri Ia persembahkan kue yang merupakan bekalnya dan ia pun diliputi pikiran gembira terhadap perbuatan baik yang dilakukannya.

Sebagai penghargaan atas baktinya, dan ingin melimpahkan berkah atas kebajikannya, Yang Mulia Sujàta kemudian duduk dan memakan kue itu saat itu juga.

Rasa bakti perempuan pekerja itu rupanya tumbuh begitu cepat sehingga Iapun mengajak Yang Mulia Sujàta ke rumahnya untuk memberikan lagi tambahan makanan. Kemudian, dengan memotong rambutnya (yang indah) dan menjualnya dengan harga murah, ia membeli makanan untuk dipersembahkan kepada Yang Mulia Sujàta di rumahnya. Ketika majikannya mengetahui perbuatan mulia itu, ia begitu gembira sehingga ia menikahkannya dengan putranya dan ia menjadi menantu si orang kaya.

Suatu hari, menantu orang kaya itu berkunjung ke vihàra Buddha bersama ibu mertuanya. Ketika ia sedang mendengarkan khotbah Buddha, ia melihat Buddha menunjuk seorang bhikkhuni sebagai yang terbaik dalam hal menjelaskan Dhamma. Ia sangat berkeinginan untuk mencapai gelar yang sama pada masa depan. Ia memberikan persembahan besar kepada Buddha dan Saÿgha dan bercita-cita untuk mencapai posisi tersebut. Buddha Padumuttara meramalkan bahwa cita-citanya akan tercapai dalam masa ajaran Buddha Gotama.

Kehidupannya Sebagai Penjaga Harta Istana Menantu orang kaya itu melakukan banyak kebajikan seumur hidupnya dan setelah umur kehidupannya berakhir, ia meninggal dunia dan terlahir kembali di alam dewa. Selanjutnya ia mengembara hanya di alam manusia dan alam dewa. Sembilan puluh dua siklus dunia [Maha Kappa, hancur dan terbentuknya; mengembang dan mengekerutnya Alam Semesta] sebelum siklus dunia sekarang, ia terlahir kembali sebagai istri seorang kaya yang menjadi pejabat penjaga harta istana bagi tiga pangeran yang merupakan adik tiri Buddha Phussa [7 Buddha sebelum Buddha Gautama]. Ia sangat dermawan sehingga jika seseorang meminta satu, ia akan memberikan dua.

Kehidupannya Sebagai Salah Satu dari Tujuh Putri Raja Kiki
Istri orang kaya itu melakukan banyak kebajikan seumur hidupnya, setelah umur kehidupannya berakhir, ia meninggal dunia dan terlahir kembali di alam dewa. Pada masa Buddha Kassapa [Buddha sebelum Buddha Gautama], ia terlahir kembali sebagai Putri Sudhammà, putri keenam dari tujuh putri Raja Kiki dari Bàrànasi, seperti yang telah disebutkan Sebelumnya. Bersama saudari-saudarinya, ia tetap menjadi perawan, menjalani kehidupan suci seumur hidupnya selama dua puluh ribu tahun, dan menjadi salah satu penyumbang bersama saudari-saudarinya yang mempersembahkan sebuah kompleks vihàra besar kepada Sangha.

Kehidupan Dhammadinnà, di Jaman Buddha Gautama
Putri Sudhammà melakukan banyak kebajikan seumur hidupnya dan saat meninggal dunia, ia terlahir kembali di alam dewa. Dari sana, ia mengembara hanya di alam dewa dan alam manusia selama tahun-tahun yang tidak terhingga lamanya. Pada masa Buddha Gotama, ia terlahir kembali dalam sebuah keluarga kaya di Ràjagaha. Saat ia menginjak usia menikah, ia menikah dengan seorang kaya bernama Visàkha dan dikenal oleh orang-orang sebagai Dhammadinnà, istri si orang kaya.

Visàkha dan Dhammadinnà, sembilan puluh dua siklus dunia sebelumnya, juga merupakan pasangan kaya sebagai Penjaga Harta istana dan istrinya pada masa Buddha Phussa yang layak dicatat dalam perjalanan kebebasan mereka.

Visàkha si orang kaya adalah salah satu dari seratus satu siswa Buddha yang mencapa pengetahuan Pemenang Arus (Tingkat kesucian ke-1) pada hari Buddha tiba di Ràjagaha (pada hari purnamadi bulan Pyatho (Januari) tahun 103 Mahà Era). Ia adalah sahabat Raja Bimbisàra.

Setelah menjadi seorang Ariya sebagai Pemenang Arus, Visàkha pada kemudian hari mendengarkan khotbah Buddha dan mencapai Sakadàgàmi-Phala (Tingkat kesucian ke-2, Yang Sekali Kembali) dan kemudian ia mencapai Anàgàmi-Phala (Tingkat kesucian ke-3, Yang Tak Kembali; phala = buah).

Begitu ia menjadi seorang Yang Tak Kembali, penampilan dan sikapnya berubah secara drastis. Jika ia pulang ke rumah berharap untuk melihat istrinya, wajahnya penuh dengan senyuman, penampilannya tenang, air mukanya cerah dan pikirannya damai.

Istrinya, Dhammadinnà, seperti biasanya, melihat melalui jendela yang berhiaskan ukiran menunggu kepulangan suaminya. Ketika ia melihat penampilan tenang suaminya berjalan pulang, ia merasa aneh, "Apa yang terjadi?" ia berpikir.

Ia menuruni tangga dan merentangkan tangannya menyambut suaminya. Walaupun sudah menjadi kebiasaan untuk menggenggam tangan istrinya dan berjalan menaiki tangga (sambil berbincang-bincang), pada hari itu, ia menarik tangannya dan tidak merangkul istrinya.

"Mungkin aku akan mengetahuinya nanti di meja makan," pikir sang istri.

Tetapi saat makan pagi, sang suami tidak makan bersama istrinya, melainkan makan sendirian dan berdiam diri bagaikan seorang bhikkhu yang sedang bermeditasi.

"Mungkin aku akan mengetahuinya nanti malam," ia berpikir.

Tetapi malam harinya, Visàkha tidak memasuki kamar mereka. Melainkan menyiapkan sebuah kamar terpisah sebagai kamar tidurnya dan tidur sendirian. Sang istri mulai cemas, "Apakah suamiku berselingkuh? Atau apakah orang lain telah menyebabkan kesalahpahaman antara kami? Atau apakah ia melihat cacat dalam diriku?"

Spekulasi-spekulasi yang tidak berdasar ini menggerogoti batinnya. Setelah dua atau tiga hari ia tidak tahan lagi melihat sikap sang suami. Ia berdiri, dan dengan merangkapkan tangannya menghormati suaminya, ia menunggu reaksinya. Kemudian sang suami berkata:

"Mengapa engkau mendatangiku pada saat yang tidak tepat ini?"

"Saat yang tidak tepat, ya, suamiku. Tetapi engkau sudah berubah sekarang. Ada apa denganmu? Apakah ada perempuan lain selain diriku?"

"Tidak, Dhammadinnà, tidak ada perempuan lain."

"Kalau begitu, apakah seseorang telah mengadu-domba kita?"

"Tidak, tidak ada hal seperti itu."

"Kalau begitu, apakah engkau melihat cacat dalam diriku?"

"Tidak, Dhammadinnà, engkau tidak memiliki cacat apa pun."

"Kalau begitu, mengapa engkau menjauhiku seolah-olah kita adalah orang asing satu sama lain dan bukannya suami istri? Engkau tidak banyak berbicara denganku beberapa hari terakhir ini."

Ditanya demikian oleh istrinya, Visàkha merenungkan, "Dhamma spiritual adalah hal yang sangat mendalam, tidak mudah menjelaskannya seperti hal-hal duniawi. Kalau memungkinkan, lebih baik aku menyimpannya sendiri. Tetapi sekarang, jika aku tidak menjelaskan, Dhammadinnà pasti akan beranggapan keliru dan menjadi patah hati."

Dengan pikiran demikian, Visàkha berkata:
"Dhammadinnà, setelah aku mendengarkan khotbah Buddha, aku telah memahami Dhamma spiritual. Seseorang yang telah memahami spiritualitas akan melihat urusan duniawi menjadi tidak cocok baginya. Jika engkau mau, ada empat puluh crore harta yang diberikan oleh orangtuamu kepada kita, dan ada empat puluh crore lagi yang diberikan oleh orangtuaku kepada kita, harta kekayaan bernilai delapan puluh crore ini kuserahkan kepadamu, dan perlakukanlah aku seperti ibu atau kakakmu. Aku akan puas dengan cara apa pun engkau merawatku. Atau, engkau juga boleh, mengambil seluruh harta kekayaan itu dan pulang ke rumah orangtuamu. Jika engkau tidak dapat memberikan hatimu kepada laki-laki lain, aku akan merawatmu seperti adik atau anakku."

Mendengar kata-kata jujur suaminya itu, Dhammadinnà merasa puas.

Ia berpikir, "Tidak ada orang yang dapat mengatakan hal itu. Suamiku pasti sungguh telah memahami Dhamma spiritual. Tetapi, apakah spiritualitas hanya dapat dimiliki oleh para lelaki? Mungkinkah seorang perempuan dapat memahaminya?"

Dengan merenungkan demikian, ia bertanya kepada suaminya, "Suamiku, apakah Dhamma spiritual hanya milik kaum lelaki? Apakah perempuan juga dapat memahaminya?"

"Mengapa, Dhammadinnà, siapa pun, laki-laki atau perempuan, yang mempraktikkan Dhamma sesuai dengan ajaran dengan tekun dapat menjadi pewaris Buddha dalam hal Dhamma. Jika seseorang memiliki kondisi yang cukup, yaitu, jasa masa lampau, untuk mencapai Pengetahuan Jalan, Spiritualitas dapat dicapai."

"Kalau begitu, izinkahlah aku untuk menjadi seorang bhikkhuni."

"Baiklah, istriku, aku senang engkau bercita-cita untuk mencapai spiritualitas. Aku tidak menyarankannya kepadamu karena aku tidak mengetahui tanggapanmu."

Visàkha kemudian bergegas menghadap Raja Bimbisàra yang bertanya, "O orang kaya, apakah tujuanmu datang pada saat yang tidak tepat ini?"

"Tuanku," Visàkha berkata, "Dhammadinnà ingin menjadi seorang bhikkhuni."

"Apa yang harus kusediakan untuk Dhammadinnà?"

"Tuanku, aku hanya ingin memohon dua hal, tandu emas dan merapikan kota."

Raja menyanggupi dua permohonan itu.

Perayaan Besar Saat Dhammadinnà Menjadi Seorang Bhikkhuni
Visàkha memandikan Dhammadinnà dengan air harum, memakaikan pakaian indah dan menuntunnya naik ke dalam tandu. Kemudian, dengan dikelilingi oleh sanak saudaranya (dan sanak saudara suaminya), ia dibawa ke vihàra bhikkhuni melalui kota yang dihias dengan keharuman dupa dan bunga-bungaan.

Di vihàra bhikkhuni, Visàkha diminta oleh para bhikkhuni untuk mengizinkan istrinya Dhammadinnà untuk menjadi seorang bhikkhuni. "O orang kaya," mereka berkata, "maafkanlah jika ia pernah berbuat kesalahan sekali atau dua kali." (Mereka berpikir si orang kaya itu mengabaikan istrinya.)

"Yang Mulia," orang kaya itu menjawab, "Istriku tidak melakukan kesalahan apa pun, ia menjalani kehidupan suci atas kemauannya sendiri."

Selanjutnya, seorang bhikkhuni yang menguasai Vinaya (aturan para Bikkhu) memberikan instruksi kepada Dhammadinnà untuk merenungkan kejijikan dari badan jasmani yang dimulai dari kelompok lima unsur, yaitu, rambut, bulu badan, kuku, gigi, dan kulit. Kemudian ia mencukur rambut Dhammadinnà, memakaikan jubah.

Visàkha kemudian bersujud kepada Bhikkhuni Dhammadinnà dan berkata, "Yang Mulia, berbahagialah dalam kehidupan suci di dalam Dhamma. Buddha telah mengajarkan kepada kita Dhamma yang agung pada awal, pada pertengahan, dan pada akhir."

Kemudian Visàkha pulang ke rumahnya.

Sejak hari Dhammadinnà menjadi seorang bhikkhuni, ia menerima banyak penghormatan dan persembahan dari para penduduk. Melihat banyaknya pengunjung, ia hanya memiliki sedikit waktu untuk bermeditasi. (Hanya sampai di sini kisah Dhammadinnà yang dikutip dari Komentar Majjhima Nikàya, Mula Pannàsa, Culavedalla Sutta atau di sini)

Theri Dhammadinnà mempertimbangkan, "Visàkha telah mengakhiri dukkha bahkan selagi masih sebagai perumah tangga. Aku sebagai seorang bhikkhuni juga harus dapat mengakhiri dukkha."

Ia mendatangi penahbisnya dan berkata, "Yang Mulia, aku lelah hidup di tempat seperti ini yang penuh dengan lima kenikmatan indria, aku ingin pergi dan menetap di vihàra di sebuah desa kecil."

Si penahbis memahami bahwa keinginan Dhammadinnà tidak boleh diabaikan karena ia berasal dari keluarga mulia, dan karena itu ia membawanya ke sebuah vihàra di sebuah desa kecil.

Berkat latihan meditasi yang pernah ia lakukan dalam banyak kehidupan lampau dengan melihat menembus sifat dari fenomena berkondisi, Dhammadinnà tidak memerlukan waktu yang lama untuk mencapai Pandangan Cerah dan mencapai tingkat kesucian ke-4 [Tingkat Kesucian tertinggi, Araha) lengkap dengan Empat Pengetahuan Diskriminatif [patisambidha]. [Note: Bahkan suaminya-pun, belum mencapai tingkatan itu]

Kemudian setelah mengetahui pencapaiannya, ia mempertimbangkan di manakah tempat yang cocok baginya untuk menolong orang lain untuk mencapai Pencerahan. Di sana tidak ada banyak kesempatan karena desa itu hanyalah sebuah desa kecil sedangkan di Ràjagaha ia akan dapat membantu sanak saudaranya. Maka ia memutuskan untuk kembali ke Ràjagaha dan setelah memohon penahbisnya agar menyertainya, ia kembali ke Ràjagaha.

Pertanyaan-pertanyaan Visàkha Sehubungan Dengan Dhamma
Ketika Visàkha mengetahui bahwa Theri Dhammadinnà telah kembali ke Ràjagaha, ia ingin mengetahui mengapa, setelah pergi menetap di sebuah desa kecil, bhikkhuni tersebut kembali lagi begitu cepat.

Ia pergi menemuinya tetapi ia tidak ingin mengajukan pertanyaan langsung apakah dalam menjalani kehidupan suci ia merasa betah seperti di rumah sendiri. Sebaliknya, ia akan mengajukan pertanyaan yang mendalam sehubungan dengan lima kelompok kehidupan yang menjadi objek kemelekatan (tentang sakkàyadiññhi), dan akan menilai batinnya dari jawaban-jawabannya.

Maka setelah Visàkha bersujud, duduk di tempat yang semestinya, Visàkha mengajukan pertanyaan-pertanyaan ajaran sehubungan dengan lima kelompok kehidupan yang menjadi objek kemelekatan. (pertanyaan-pertanyaan dan jawaban ini dapat dibaca dari Mulapannàsa, 5-Culayamaka Vagga, 4-Culavedalla Sutta.)

Dhammadinnà menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh Visàkha dengan cepat bagaikan derap kaki kuda yang berlari dan dengan tepat bagaikan tangkai teratai yang dipotong dengan belati yang tajam. Visàkha mengetahui intelektualitas Dhammadinnà dan melanjutkan dari hal-hal yang berhubungan dengan (tiga) Pengetahuan Magga (jalan) yang lebih rendah yang telah ia pahami.

Kemudian ia melanjutkan dengan hal-hal yang berhubungan dengan Arahatta-Magga [yang ia sendiri belum mencapainya tetapi hanya berdasarkan pengetahuan yang berasal dari apa yang ia dengar. Dhammadinnà mengetahui bahwa Visàkha mampu mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan Anàgàmi-Phala, dan bahwa ia telah melampaui pengetahuannya saat ia menanyakan:

"Yang Mulia, apakah pendamping Nibbàna?"

Dhammadinnà berkata, "Teman Visàkha, pertanyaanmu telah berlebihan; tidaklah mungkin bagimu untuk mencapai batas pertanyaan itu. (Tidaklah mungkin baginya untuk mencapai batas pertanyaan itu karena ia menanyakan pendamping Nibbàna, sedangkan Nibbàna itu unik dan tidak memiliki pendamping.) Sesungguhnya, teman Visàkaha, praktik mulia kesucian terdiri dari Tiga Latihan yang mengarah menuju Nibbàna, memiliki tujuan tertinggi Nibbàna, dan berakhir pada Nibbàna. Teman Visàkha, engkau boleh menghadap Bhagavà dan meminta Beliau untuk menjelaskan hal ini. Dan ingatlah penjelasan Bhagavà itu."

Kemudian Visàkha menghadap Buddha dan menceritakan kepada Beliau semua yang telah dikatakan antara dirinya dengan Theri Dhammadinnà. Ketika Buddha mendengar seluruh pertanyaan dan jawaban yang terjadi antara Visàkha dan Dhammadinnà, Beliau berkata, "Bhikkhuni Dhammadinnà telah bebas dari segala bentuk kemelekatan baik terhadap kelompok-kelompok khandhà masa lampau, masa depan, atau masa sekarang."

Kemudian Buddha mengucapkan syair berikut:
"(Visàkha,) ia yang tidak melekat pada kelompok-kelompok kehidupan pada masa lampau, masa depan atau masa sekarang, telah bebas dari noda-noda moral dan dari kemelekatan, ia Kusebut bràhmana (yaitu, Arahanta)." (Dhammapada, Syair ke-421)

Pada akhir khotbah tersebut banyak pendengar yang mencapai Pencerahan dan Buahnya dalam berbagai tingkat.

Kemudian Buddha memuji Dhammadinnà dan berkata, "Visàkha, umat awam, Bhikkhuni Dhammadinnà seorang bijaksana, Bhikkhuni Dhammadinnà memiliki pengetahuan luas. Visàkha, engkau meminta jawaban dari-Ku atas pertanyaan-pertanyaan itu, Aku juga akan menjawabnya dengan cara yang sama seperti jawaban Bhikkhuni Dhammadinnà. Inilah jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Ingatlah jawaban yang diberikan oleh Dhammadinnà." (Peristiwa ini melatarbelakangi Dhammadinnà dinyatakan sebagai bhikkhuni terbaik dalam menjelaskan Dhamma.)

(Harus dimengerti bahwa khotbah yang dibabarkan oleh Dhammadinnà, ketika ditegaskan kembali oleh Buddha dalam kata-kata yang lebih jelas, menjadi khotbah Buddha sendiri. Seperti halnya pesan (yang ditulis oleh juru tulis) yang disahkan dan disegel dengan cap kerajaan, menjadi pesan raja. Khotbah-khotbah lainnya yang dibabarkan oleh para siswa lainnya yang telah disahkan oleh Buddha juga dianggap sebagai khotbah Buddha.)

Dhammadinnà, Menjadi bhikkhuni terbaik
Pada kemudian hari ketika Buddha berada di Vihàra Jetavana di Sàvatthi, dan menganugerahkan gelar bhikkhuni terbaik, Beliau menyatakan: "Para bhikkhu, di antara para bhikkhuni siswa-Ku yang terampil dalam membabarkan Dhamma, Bhikkhuni Dhammadinnà adalah yang terbaik."

Demikianlah kisah Theri Dhammadinnà.

[Di ubah seperlunya dari sumber asli: Riwayat Agung Para Buddha 3, Bab 50 Riwayat Para Bhikkhuni Arahanta, (5) Theri Dhammadinnà, hal. 2898–2907 dan di sini]